Sagara tersenyum pasi kemudian bangun dari duduknya. “Ingat, ucapan elo juga, Andra. Nggak ada yang mau sama perempuan yang lagi hamil. Cum ague!” ucapnya kemudian meninggalkan kedua manusia itu, keluar dari rumah tanpa pamit akan pergi ke mana.Juga, menyepelekan sikapnya yang terlihat biasa saja dengan ucapan Andra. Seolah Hanna memang tidak akan ada lagi yang mau selain dirinya.‘Apa maksud dari ucapan kamu, Sagara? Kamu menyesal, karena sudah menikahiku?’ Hanna memejamkan matanya. Kemudian duduk di depan Andra sembari menatap kosong piring yang masih berisi sandwich yang tidak dihabiskan oleh Sagara.“Ngapain dipikirin, Hanna. Kamu memang lagi hamil. Tapi, itu anak sebentar lagi brojol. Kalau si Sagara udah ngomong kayak gitu, itu artinya dia menyepelekan kamu. Menganggap kamu sudah tidak ada akan lagi yang mau sama kamu.”Andra menghela napasnya dengan kasar sembari geleng-geleng. “Keparat emang si Sagara ini. Dahlah, Hanna. Kalau aku jadi kamu, udah aku tinggalin, cowok begituan
Jonas menghela napas pelan. “Ada. Walau dia percaya sama kamu, sepertinya dia juga tetap menyimpan rasa takut aku mendekati kamu lagi. Dan kamu tau, aku bukan pria yang dia bayangkan.”Hanna mengerutkan keningnya. “Maksud kamu?”Jonas tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. “Mungkin suami kamu terlalu mencintai kamu. Dia hanya mengancam aku agar jangan macam-macam sama kamu, kalau masih ingin kerja di sana. Udah, itu aja.”Hanna tersenyum getir lagi. Lantas membuat Jonas memiringkan kepalanya.“Apa yang sedang kamu sembunyikan, Hanna? Kenapa kamu seperti tidak yakin dengan ucapanku tadi?”Hanna menggelengkan kepalanya. “Bukan seperti itu, Jonas. Hanya saja … dia nggak seperti yang kamu pikirkan. Hati dia sedang bercabang. Dia meninggalkan perempuan yang tulus mencintainya demi menikahiku.”Kini, Jonas yang mengerutkan keningnya. “Suami kamu … punya pacar? Maksudnya gimana, Hanna? Aah! Sebaiknya kita ngobrol di café aja. Sepertinya kamu belum makan siang. Kita sambil makan siang aja
Jonas—yang memang berusia tiga tahun lebih tua dari Sagara lantas memiliki pemikiran yang dewasa dan memahami kondisi kelabilan yang sedang Sagara alami kini. Namun, ia juga tidak ingin menyalahkan Hanna yang ingin menghukum suaminya itu dengan pergi tanpa sepengetahuan pria itu.“Sudah kenyang, Hanna?” tanya Jonas setelah melihat nasi serta lauk di atas piring Hanna sudah habis.Hanna mengangguk. “Sudah, kok. Sangat kenyang. Terima kasih ya, Jonas.”“Sama-sama. Jangan nangis lagi, yaa.”Hanna mengulas senyumnya. “Iya, Jonas. Gimana kabar mama kamu? Katanya, kamu pulang karena mama kamu sakit.”Jonas menganggukkan kepalanya. “Sudah mendingan. Tapi, masih belum bisa bangun.”“Oohh. Semoga cepat sembuh ya, Jonas. Aku tau, kamu adalah anak kesayangan mama kamu.”Jonas tersenyum lebar. “Kamu … masih ingin di sini? Sudah hampir jam lima.”Hanna melihat jam yang melingkar di tangannya. “Oh, iyaa. Sudah sore. Ternyata, bukan makan siang lagi. Tapi sekalian makan malam.”Jonas terkekeh sembar
Andra menghela napasnya dengan panjang. Ia pun menghubungi Citra, meminta untuk menemuinya di rumahnya."Apa?! Hanna kabur dari rumah? Sejak kapan?" Citra terkejut dengan ucapan Andra yang memberi tahu jika Hanna pergi dari rumah."Makanya ke sini. Gue minta bantuan elo buat nyari Hanna. Si Sagara pake acara sakit, pula. Kebiasaan emang ini anak. Tiap ada masalah, pasti lupa makan dan akhirnya bikin asam lambungnya naik.""Astaga. Ya udah, gue ke rumah elo sekarang. Kebetulan, gue lagi free juga." Citra menutup panggilan tersebut dan bergegas menuju rumah Andra.Sementara Andra kembali duduk di samping Sagara. Ia menghela napasnya dengan pelan sambil menatap Sagara yang tengah duduk sembari melamun."Makan, nih. Kalau pengen ketemu sama Hanna, elo harus sembuh. Kita cari sama-sama. Gue bakal nemenin elo nyari Hanna sampai ketemu," kata Andra berucap dengan pelan.Mata sembab dan layu mengangkat dan menatap Andra. "Gue mengkhawatirkan kondisi Hanna di luar sana, Ndra. Kalau di rumah da
Hanna terdiam sejenak. Ia baru tahu, Andra datang ke sini mencarinya hanya bersama Citra. Kemudian ia pun menggelengkan kepalanya. Menghilangkan rasa khawatirnya kepada Sagara."Mungkin nyarinya berpencar. Makanya nggak barengan," ucapnya berharap seperti itu. "Atau mungkin juga dia lagi sibuk urus resto. Sepuluh hari lagi restonya selesai dan akan segera dibuka untuk umum," sambungnya kemudian.Namun, raut wajahnya tidak berkata seperti itu. Ia mengkhawatirkan kondisi Sagara di sana. Ingin kembali, tapi masih belum ingin. Hanna pun tersenyum pasi."Bukan karena sakit. Dia memang udah gak peduli lagi sama aku. Mana mau, nyari aku," ucapnya dengan pelan.Dita mengusapi lengan Hanna. "Bukan begitu, Mbak. Mas Sagara pasti nyari Mbak. Jangan berpikir negatif terus kalau sebenarnya Mbak ingin sekali, Mas Sagara mencintai Mbak dengan sepenuh hati dia."Hanna menolehkan kepalanya dengan pelan kepada Dita. "Begitu ya, Dit?" tanyanya kemudian.Dita mengangguk. "Iya. Istirahat lagi, Mbak. Saya
Andra mengendikan bahunya. “Sagara bakal bikin Lestari maju lagi setelah puas menyakiti Krisna. Dia udah punya strategi yang nggak akan elo tau sampai semuanya dia lakukan. Banyak hal yang dia rencanakan termasuk bikin Lestari akan kembali maju lagi. Kita cukup jadi penonton aja.“Sekarang, Sagara belum bisa gerak karena kepergiaan Hanna. Dia nggak akan bisa kerja kalau Hanna belum ditemukan. Sebenarnya, sumber kekuatan Sagara ada di Hanna. Tapi, dia sendiri yang udah bikin Hanna sakit.”Citra menghela napasnya dengan pelan. “Papa emang keterlaluan. Kalau Sagara butuh gue agar dimaafin sama Hanna, gue siap. Karena, kalau Papa nggak kasih tau semuanya, Sagara pasti nggak akan sampai bersikap dingin dan bingung sampai cuekin Hanna.”Andra menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Sagara bisa mengatasi masalahnya sendirian, kalau masalah hubungannya.”“Oh, gitu.”Andra mengangguk lagi. Setelahnya, ia
Pagi hari. Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Sagara yang baru selesai mandi kemudian sarapan dan minum obat. Ia terus memantau ponselnya, berharap pesan yang ia kirim pada ponsel terkirim.Namun, hingga lima belas menit lamanya Hanna masih belum mau mengaktifkan ponselnya. Lantas pria itu putus asa. Tak ingin menunggu lagi lantaran Hanna tidak akan pernah mau mengaktifkan ponselnya sampai kapan pun.Sagara memilih untuk pergi ke rumah sakit jiwa untuk menemui sang mama. Sudah terlalu lama ia membiarkan Mayang sendiri di sana. Sudah waktunya ia menjenguk dan melihat keadaannya yang semakin parah itu.“Sagara. Kondisi elo udah sehat bener? Muka elo masih pucat kayak gitu,” kata Andra mengejar Sagara yang sudah berada di garasi mobil.Sagara mengangguk dengan pelan. “Gue udah mendingan, Andra. Gue mau jenguk Mama.”“Yaa gue ikut, Sagara. Biar gue aja yang nyetir. Muka elo masih pucat, elo juga pasti nggak punya ten
Sagara lantas memijat keningnya. Sementara Suster Indah hanya mendengarkan saja. Ia pun tak bisa merespon apa pun karena tidak pernah melihat sosok hantu berbentuk Satya di ruangan itu.Namun, ia teringat sesuatu saat ia menginap di sana dan menemani tidur Mayang di ruangan tersebut. Ia pun menolehkan kepalanya dengan cepat kepada Sagara.“Mas. Saya teringat sesuatu saat saya tidur di sini,” kata Suster Indah kepada Sagara.Sagara menoleh pelan kepada Suster Indah. “Ingat apa, Sus? Suster lihat papa saya, nyamperin Mama?”Suster Indah menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Bukan, Mas. Saya nggak bisa lihat hal begituan. Tepatnya saya melihat Bu Mayang bicara sendiri di tengah malam jam dua pagi.”Sagara mengerutkan keningnya. “Ngomong sendiri? Bukannya, yang nggak waras emang suka ngomong sendiri. Selain ngomongnya ngelantur. Nggak bisa dipercaya kalau orang gila ngomong.”Suster Indah terkekeh
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu