Hening menjeda sejenak, kebisuan menyelimuti dua anak manusia yang saling berhadapan. Genggaman tangan Riko mengerat, rasa takut kehilangan begitu besar tersirat di matanya. Bibir keduanya saling bungkam, tetapi mereka sibuk berbicara melalui bahasa mata. Lea sibuk mencari kejujuran di kedalaman telaga mata lelakinya, sementara Riko berusaha meraba perasaan gadis itu terhadapnya. Setahun lebih hidup dan bahkan tidur di ranjang yang sama, nyatanya tak mampu membuat mereka mengenal lebih dekat satu sama lain. Pada akhirnya, badai berhasil mengusik ketenangan bahtera yang baru terkembang layarnya karena pondasinya kurang kokoh. "Kamu ingat, sekitar tujuh bulan lalu sewaktu aku pulang tengah malam dengan luka jahit di lengan?"Lea memutar ingatan pada kejadian yang baru disebut suaminya. Beruntung ia masih mengingatnya dengan jelas karena selama mereka menikah, Riko bisa dikatakan sangat jarang pulang tengah malam, pun dengan keadaan terluka cukup parah. Keahlian bela diri Riko tak perl
Mendengar derit pintu membuat Lea mendongak, ia urung merebah melihat kedatangan suaminya di kamar tamu. Kamar yang biasa dijadikan pelarian Lea di tengah kegalauan. "Kenapa di sini?" Riko berjalan mendekat. "Aku ingin sendiri, aku butuh suasana baru. Bukankah seharusnya kamu sudah pergi, Kak? Istrimu yang lain membutuhkanmu, aku tak mau menjadi alasan dosamu di akhirat kelak karena tak bisa membuatmu adil terhadap istri-istrimu.""Aku mau di sini saja." Riko malah ikut bergabung bersama istrinya di ranjang. Lea tak sempat mengelak karena suaminya dengan cepat merebahkan kepala di pangkuannya. Lagi, kebisuan panjang menyelimuti, masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. "Bagaimana kalau kita pergi bulan madu, Le? Katamu tadi kamu butuh suasana baru. Bulan madu pertama kita waktu itu lebih mirip liburan. Aku ingin kita mengulanginya, aku ingin memperbaiki semuanya, bagaimana kalau kita memulainya lagi dari awal?"Lea tak langsung menjawab, ada banyak pertimbangan b
"Lihat apa yang terjadi sekarang? Ini semua nggak akan terjadi seandainya saja waktu itu kamu bisa tegas, Kak!" Kilat kemarahan memancar di mata Lea, perempuan itu menahan tangis setelah mendapat perlakuan tak mengenakan dari Nelly. Riko mengajaknya untuk kembali ke mobil, dan begitu tiba di sana tanpa menunda waktu Lea menumpahkan kekecewaannya. "Bertanggung jawab bukan berarti harus menikahi. Masih ada banyak jalan kamu membalas budi tanpa harus menodai ikatan pernikahan kita. Kita bisa rawat bayi itu bersama, memastikan anak itu tumbuh dengan baik dan mendapatkan fasilitas terbaik semampu kita." Lea menggeleng tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala suaminya saat itu. Tega sekali Riko mengambil keputusan bahkan tanpa melibatkannya. "Oh, aku lupa kalau suamiku memiliki penghasilan fantastis, apalagi anak perusahaan yang dipegang mulai berkembang pesat. Jangankan menafkahi satu istri, empat sekaligus juga kamu mampu," sindir Lea begitu menohok. "Lea, kita sudah sepakat mem
"Kenapa? Ada yang sakit?" Riko membelai lembut pucuk kepala istrinya. Pertama kali membuka mata setelah cukup lama tak sadarkan diri, Lea memasang ekspresi aneh yang mengundang rasa penasaran pria itu. Setelah berjam-jam dilanda gundah, penantian Riko terbayar sudah. "Kenapa ada di sini? Kupikir istri mudamu lebih membutuhkanmu."Lea sempat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Riko mencemaskan wanita lain. Sebagai istri, sakit sekali rasanya. "Kok ngomongnya begitu? Sudah kubilang kami bukan lagi suami istri. Dia sudah kuceraikan," kata Riko. "Hari di mana dia melenyapkan anak kita, hari itu juga aku langsung menceraikannya.""Tadi kelihatan panik banget lihat darah keluar dari perut Mbak Nelly. Yakin, anak itu bukan anakmu?""Astaga, Le. Kalau cemburu langsung ngomong saja, nggak usah pakai kode segala.""Siapa juga yang cemburu."Setahun lebih hidup bersama, Riko mulai bisa membaca perasaan istrinya. Beberapa kali ia juga mendengar nasihat tentang pernikahan dari Asih,
Lea memegangi dadanya, sesuatu di dalam sana seperti teremas. Sakit. Nyeri yang menjalar yang kemudian menuntun langkahnya menjauh dari tempat itu. Lea tak sanggup mendengar pengakuan suaminya tentang perasaan lelaki itu terhadap Nelly. Belum mendengar saja hati Lea sudah terasa sakit tak terkira, apa lagi jika mendengarnya langsung. Setelah tahu dan bahkan melihat sendiri suaminya menunjukkan sedikit perhatian pada Nelly, sejak itu Lea kehilangan kepercayaan kalau hanya dirinya satu-satunya orang yang bertahta di hati pria itu. "Bibi serius, Den. Jawab jujur! Jangan main-main. Kalau sampai terbukti Den Riko ada hati dengan perempuan itu, sebaiknya lepaskan Non Lea. Bibi tidak rela melihat istri sebaik dia disakiti.""Bi Asih ini ngomong apa? Jelas-jelas aku sudah menceraikan perempuan itu karena memilih mempertahankan Lea. Aku takut kehilangan Lea, Bi. Aku nggak mau pisah sama dia.""Itu saja nggak cukup, Den. Perempuan itu butuh pengakuan.""Apa bukti nyata nggak cukup, Bi?" Riko
"Berapa kali harus aku bilang, nggak usah kamu bikin kue-kue itu lagi. Semua uangku kamu yang pegang, kalau kurang tinggal ngomong. Aku akan bekerja lebih keras lagi."Sore itu sepulang dari kediaman Sakti, Riko yang disambut tumpukan toples kue kering di dapur tak bisa menahan diri lagi. Dia tak mau istrinya kelelahan bekerja sementara dia sendiri sanggup memberikan apa saja yang diinginkan Lea. Sepanjang hidupnya Riko bekerja keras, banyak uang yang berhasil ia kumpulkan dan sebagian dalam bentuk properti dan investasi kecil-kecilan sebelum Sinta memberinya satu anak perusahaan untuk dikelola. Riko memastikan Lea tak kekurangan uang, tapi gadis itu memaksa sewaktu meminta izin mengambil orderan kue kering. Tiap kali Riko menolak, Lea akan merajuk dan menggunakan senjata pamungkas untuk menekannya. Apalagi jika bukan soal ranjang. Pria lemah akan hal yang satu itu. Sebulan berlalu sejak kesalahpahaman yang terjadi antara Riko dan Lea, hubungan mereka perlahan membaik. Riko menepati
Lea membalas senyum suaminya sebelum Riko kembali membenamkan kepala di dadanya. Pria itu baru saja mengakhiri panggilan telepon, menyimpan ponsel yang sempat menyita perhatiannya dari sang istri. Tidak! Hari ini Riko sudah putuskan untuk menghabiskan waktu bersama Lea, demi untuk mengganti waktu yang tersita karena belakangan ini pria itu sering pulang larut malam. Lea sendiri tak ingin mengacaukan suasana romantis yang sudah susah payah dibangun suaminya. Sengaja dia diam karena ingin suaminya berinisiatif menceritakan tentang apa yang baru saja didengarnya dari anak buah pria itu yang ditugaskan untuk menjaga Nelly. "Tomo bilang perempuan itu sudah sadar."Lea tersenyum, akhirnya suaminya memilih terbuka dengannya. Artinya, kesalahan pria itu benar-benar dijadikan pelajaran agar tak terulang di kemudian hari. "Kak Riko mau ke sana?""Buat apa? Aku sudah janji mau temani kamu seharian ini, mumpung libur. Sudah lama kita nggak keluar.""Tapi dia sudah sadar, ada baiknya kalau ki
"Ikut aku ya?"Lea yang tengah memoles wajahnya dengan krim pun menoleh. Seingatnya hari ini suaminya sudah mulai kembali bekerja, lantas mau mengajaknya ke mana?"Ke mana, Kak? Bukannya Kak Riko harusnya kerja?""Iya, kamu temani aku kerja."Makin bingung saja Lea dibuatnya. Selama ini jangankan menghabiskan waktu berdua, berbicara pun sekadarnya. Ajakan Riko kali ini tentu saja membuat gadis itu terperangah."Aku di rumah saja, Kak. Lumayan mau coba resep kue baru. Kalau ikut Kakak nanti yang ada ganggu konsentrasi kerja lagi.""Yakin mau di rumah saja?""Lah kan biasanya aku juga di rumah."Riko memeluk istrinya dari belakang. Kelopak matanya terpejam saat aroma tubuh Lea sampai di indera penciumannya. Ada rasa tak rela melepas wanita itu demi tuntutan pekerjaan. Mendadak senyum lebar tersemat di bibir pria itu. Di usianya yang sudah kepala tiga, Riko merasa kasmaran seolah dirinya adalah kawula muda. Padahal, jarak usianya dengan Lea terpaut cukup jauh, dua belas tahun. Akan teta