"Kemana anak ini, dihubungi nggak diangkat." Riko kembali mendial nomor istrinya. Telah lebih dari tiga kali panggilannya tak kunjung diangkat, Riko tak bisa pulang tanpa mendengar suara Lea terlebih dulu. Semenjak hubungannya dengan Lea membaik, Riko selalu menyempatkan untuk menghubungi istrinya sebelum pulang sekadar menanyakan wanita itu ingin dibelikan makanan apa, atau yang lainnya. Namun, kali ini sudah setengah perjalanan pulang wanitanya itu tak juga memberikan kabar. Riko mulai berpikiran yang tidak-tidak. "Lebih cepat lagi, Bar!" titah pria itu, sementara dirinya kembali sibuk dengan gawai hendak menghubungi anak buahnya yang dia tempatkan untuk berjaga di rumah. Belum sempat Riko menelepon, satu panggilan masuk lebih dulu menyapanya. Dahi Riko berkerut melihat nama yang berkedip di layar, tukang kebun rumahnya. "Halo, Pak. Ada apa?" Tanpa pikir panjang Riko mengangkat panggilan tersebut. Pikiran buruk tak bisa dicegahnya mengingat pria tua yang telah beberapa tahun me
Riko tersenyum saat tatapannya dan Lea saling bertemu sesaat setelah istrinya itu tersadar. Kantuk yang sempat memberatkan kelopak mata kini sirna. Belahan jiwanya membuka mata, kebahagiaan datang menyelimuti pria itu. Didekapnya tubuh Lea dengan erat. Riko kecupi kening istrinya bertubi-tubi. "Kak!" Tetiba saja Lea memekik. Ia juga mendorong tubuh suaminya menjauh. Kilas ingatan akan kejadian sebelum dirinya jatuh pingsan kembali menari di depan mata. "Ada apa, Lea?" Riko kaget mendapat penolakan istrinya, tetapi kebahagiaan yang meluap dalam dada membuatnya kembali berkeinginan merengkuh tubuh itu. "Jangan peluk aku, Kak! Aku sudah kotor!" Lea menangis histeris sembari menggosok tubuhnya seakan berusaha menghilangkan noda yang melekat di sana. "Kamu ini ngomong apa, Sayang?""Jangan sentuh! Aku sudah kotor, Kak. Maafkan aku." Lea kembali menepis suaminya. Bahkan sengaja ia mendorong Riko untuk menjauh. "Aku diperkosa, Kak. Aku sudah berusaha melawan tapi dia memukulku, dia juga
Sepekan berlalu sejak kejadian itu, selama itu pula Riko menghabiskan waktunya untuk mengurus permasalahan yang ada. Bolak-balik rumah sakit demi memastikan Lea dan yang lainnya mendapatkan perawatan terbaik. Pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan, ia juga masih sempat menjalankan tugasnya di tengah padatnya aktivitas. Waktu dua puluh empat jam sehari terasa kurang. Walau lelah mengungkung raga, tetapi Riko menjalaninya dengan hati gembira. Baginya, Lea menjadi yang utama dalam hidupnya. Kebahagiaan wanita itu adalah kebahagiaannya juga. "Akhirnya kamu diperbolehkan pulang juga.""Padahal aku nggak apa-apa, Kak. Hanya luka kecil tapi kamu maksa buat dirawat.""Aku nggak mau nanggung resiko. Lebih baik tinggal lebih lama di rumah sakit demi meyakinkan kondisimu daripada terjadi sesuatu di kemudian hari." Pria itu membantu istrinya berkemas. "Bi Asih ikut pulang juga, kan?" Suami Lea itu mengangguk. "Jangan pecat dia ya, Kak? Aku sudah anggap bibi seperti keluarga sendiri
Riko dan Lea saling beradu pandang. Lea memutusnya lebih dulu dengan membuang muka. Wajahnya mencetak senyum kecut. Sekeras apa pun usahanya untuk menyelamatkan rumah tangganya, kenyataan menamparnya. Membuatnya tersadar kalau pernikahannya tak lagi sama setelah kehadiran orang ketiga. "Ditungguin tuh sama mantan istri." Sengaja Lea menekan dua kata terakhirnya, berharap suaminya mengerti kalau keputusan besar yang diambilnya dulu adalah kesalahan fatal yang sampai kapan pun akan menorehkan kenangan buruk dan tak bisa dilupakan begitu saja. "Kamu kok ngomongnya begitu, Yang?""Terus aku harus ngomong apa? Kenyataannya dia memang mantan istri kamu, Kak.""Aku sudah cerita sama kamu alasan aku menikahinya, aku juga sudah jujur sama kamu kalau aku dan dia nggak pernah sekali pun terlibat kontak fisik selayaknya suami istri. Ayolah, Le aku sudah minta maaf dan berusaha menebus kesalahanku." Suara Riko melemah. Ia berdiri canggung tanpa melakukan apa pun, serba salah. Mau berbicara lag
Lea berjalan anggun mendekati Nelly. Ketukan sepatu hak tingginya bertalu, semilir angin yang menerbangkan rambutnya nyatanya membuat wajah cantik itu semakin terlihat memukau. Pembawaannya anggun dan tenang tak mencerminkan usia muda yang identik meledak-ledak. "Berhenti! Mau apa kamu kesini, hah? Belum puas kamu menguasai Mas Riko? Setelah aku kehilangan bayiku, kamu bahkan masih saja serakah.""Yang kamu bicarakan itu suamiku, Mbak. Soal anakmu, aku turut berduka. Aku berdo'a semoga apa yang menimpamu bukanlah sebuah balasan dari Tuhan atas apa yang pernah kamu lakukan di masa lalu." Lea tersenyum miring. "Tutup mulutmu! Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku sedang mempertahankan hakku.""Hak yang mana? Kamu sudah bercerai dengan suamiku, jangan lupakan itu! Apalagi setelah kehilangan bayi dalam kandunganmu, sudah tidak ada lagi yang bisa kamu jadikan sebagai alasan untuk menjerat suamiku."Nelly terbahak. Tawanya lepas seolah apa yang baru saja dikatakan Lea a
Orang bilang, hadiah dari Tuhan tak selalu dibungkus dengan kebahagiaan. Ada yang harus menapaki jalan terjal terlebih dulu, diiringi air mata dan perjuangan berdarah-darah. Setiap manusia terlahir dengan jalan hidup yang berbeda-beda, tetapi sejatinya mereka sama. Sedang sama-sama berjuang. Hembusan angin yang menerbangkan rambut Lea menyadarkan perempuan itu dari lamunannya. Sengaja ia membuka sebagian kaca jendela, menatap pemandangan yang terlihat berkejaran menjadi hiburan tersendiri setelah sebelumnya ketegangan meliputinya. "Lea! Bocah sundal! Perempuan sialan! Aku bersumpah aku nggak akan pernah memaafkanmu. Aku bersumpah aku akan merebut Mas Riko darimu. Dengar itu baik-baik, Le."Makian dan sumpah serapah Nelly yang sempat Lea dengar sebelum dia pergi dari tempat itu masih terekam jelas. Murkanya, kobaran api penuh kebencian di mata wanita itu menandakan seberapa besar kebencian Nelly terhadap dirinya. Seperti dugaan Lea, Nelly melakukan itu semua hanya untuk menggertak s
Riko tersenyum melihat foto yang dikirimkan Asih padanya siang ini. Potret istrinya yang tengah tergolek pulas di sofa sambil memeluk bantal dengan layar televisi yang masih menyala. Wajah yang sedikit memucat itu terlihat kelelahan, namun tetap terlihat cantik. Lea merajuk karena Riko tak menepati janjinya untuk sarapan di abang bubur ayam yang biasa mangkal tak jauh dari komplek perumahan. Pria itu tergesa karena ternyata ada pertemuan penting di perusahaan yang tak bisa diwakilkan, lalu siangnya Riko juga masih harus turun tangan langsung mengantar kolega bisnis Sakti kembali ke hotel. Karena merasa jengkel terus diabaikan, puncaknya Lea sama sekali tak membalas setiap pesan yang dikirimkan Riko pada wanita itu. Pun panggilan teleponnya tak pernah diangkat. Jadilah dia meminta Asih untuk mengawasi istrinya dan rutin berkabar."Lea sehat, Bang? Sudah lama aku nggak ketemu dia." Sakti meraih cangkirnya di meja, dia baru saja kembali setelah menjumpai rekan kerjanya di salah satu res
Lea menyeka sudut matanya, lelehan bening masih tak jua berhenti mengalir apalagi begitu ia selesai menelisik ruangan tempat di mana dia duduk bersama Riko saat ini. Batin Lea nelangsa, ayahnya menempati rumah bedeng biasa. Bangunan setengah permanen yang dinding kayunya bolong di beberapa bagian. Atap pun terdapat lubang di mana-mana, bisa dibayangkan betapa repotnya mereka ketika turun hujan. "Diminum, Le. Maaf, seadanya." Mayang meletak cangkir di meja, sepiring tempe goreng balut tepung turut serta menjadi pendamping. Tak ada wajah congkak, wajah dengan riasan tebal yang selalu memandang rendah orang lain. Pun dengan pakaian yang melekat di badan, hanya daster biasa menggantikan pakaian mewah yang identik dengan wanita itu di masa lalu. Mayang yang dilihat Lea saat ini benar-benar telah berubah. Bukan lagi Mayang yang dulu masih mengusik rumah tangga Sakti, kakak sepupunya. "Terima kasih." Lidah Lea kelu untuk memanggil wanita yang lebih pantas menjadi kakaknya itu dengan sebu
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan