"Astaga!" Riko melotot melihat mesin penunjuk waktu, sepanjang tiga puluh dua tahun usianya, ini adalah pagi terburuk yang dialaminya. Dia bangun kesiangan. Biasanya bangun pukul lima pagi saja sudah membuatnya kalang kabut, ini matahari mulai meninggi dia bahkan baru mengucek mata. "Yang, bangun, Yang! Kita kesiangan." Pria itu mengusap bahu istrinya sekilas sebelum ia turun untuk mengutip helaian kain yang berakhir tragis di lantai. Pergulatan panas semalam membuat Riko lupa diri, sedikit memaksa dia meminta Lea melayaninya sampai menjelang pagi. "Sayang, bangun!" Kali ini Riko menyambar handuk dan gegas ke kamar mandi. Keluar dari sana dengan masih memakai jubah mandi, Riko melihat istrinya masih pulas bergelung di bawah selimut. Sengaja ia menyingkat ritual mandinya karena tak mau semakin terlambat tiba di kantor. Ada rapat umum pemegang saham pukul sepuluh nanti dan Riko tak bisa absen. Untungnya semalam dia sudah mengabari Dimas untuk siaga mengawal Sakti. "Yang, kamu sakit
"Apa! Bagaimana bisa? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" Riko yang baru saja ke luar dari ruang rapat gegas mengambil kunci mobil di meja kerjanya. Pria itu berlarian sampai menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Asih mengabari kalau Lea tiba-tiba jatuh pingsan. Ketakutan semakin nyata menyadari kebodohannya meninggalkan istri padahal Riko tahu betul Lea sedang kurang sehat. "Bar, kabari Rita, aku belum sempat pamit pulang tadi. Kasih tau aku nggak balik lagi ke kantor, suruh dia mengurus pekerjaanku hari ini." Riko membuang asal ponselnya di jok samping tanpa menunggu sahutan Bara. Dia sampai meninggalkan pria yang setia mendampinginya saking panik takut terjadi sesuatu yang buruk pada Lea. Sementara itu di rumah. Lea membuka matanya pelan, indera penciumannya kental akan aroma minyak kayu putih. Pandangannya yang semula gelap, berangsur terang kemudian menjadi jelas. Wajah penuh kecemasan Asih yang pertama kali dilihatnya. Wanita tua itu menangi
Riko hanya pasrah ketika istrinya terus menerus menolak bantuannya. Cukup lama Lea mengurung diri di kamar mandi, wajah piasnya membuat Riko khawatir, tapi untuk kesekian kali Lea menghindarinya. "Minum dulu, Yang. Aku minta Bi Asih bikin air jahe lemon buat kamu."Pria itu bisa sedikit bernapas lega, Lea mau menerima uluran tangannya mengangsurkan cangkir kemudian mulai menyesap cairan keruh di dalamnya. "Kita ke dokter saja ya, tadi ngapain saja di kamar mandi lama sekali?"Sunyi. Lea sama sekali tak berminat untuk menyahut. Dia menarik selimut dan malah berbaring membelakangi suaminya. Tubuhnya terasa lemah, nyeri di kepalanya juga membuatnya enggan membuka mata. "Lea. Maafin aku, Yang. Kamu salah paham. Jangan marah lagi ya, aku minta maaf."Lea masih bertahan dalam kebisuan. Memejamkan mata mengarungi pulau mimpi lebih menarik minat Lea saat ini. Hasratnya yang sempat meninggi beberapa saat lalu, seketika sirna tak berbekas usai mendapat penolakan dari sang suami. Rasa kesalny
Riko menerima bantal dan selimut yang diberikan Lea padanya, tapi pria itu masih berdiam diri di tempat, tak berminat pergi dari sana. Demi apa pun, dia ingin selalu berdekatan dengan istrinya biarpun terus didiamkan wanita itu. Sikap judes dan dingin Lea sama sekali tak Riko pedulikan. Kehamilan Lea memang belum bisa dipastikan kebenarannya, tapi Riko terlanjur bahagia. Tugasnya saat ini hanya perlu merayu istrinya agar tak lagi marah, barulah mereka bisa membahas perihal kehamilan itu. "Yang, nggak perlu di kamar sebelah, kan? Di sini saja. Kalau kamu nggak mau dekat sama aku, aku bisa tidur di bawah, kok.""Enggak! Aku mual lihat muka kamu, Mas."Riko pikir istrinya bersikap begitu karena marah gara-gara salah paham dengan penolakannya, tapi ternyata kata Asih sikap Lea karena bawaan bayi."Ayolah, Yang. Kali ini saja, kumohon. Nanti aku pijat, aku peluk, mau aku ceritakan sesuatu atau mau makan sambil kusuapi?""Ya sudah kalau nggak mau pergi, aku yang akan tidur di kamar sebela
Lelah yang semula menyelimuti raga musnah, pun dengan kantuk yang tetiba lenyap. Selesai menghubungi Adam tadi, Riko terjaga sepenuhnya. Ia dekap tubuh Lea, rasa takut kehilangan wanita yang sangat dicintainya itu membuatnya tak tenang. Wajah polos yang tampak pulas itu terlihat sangat kelelahan. Tak pernah bosan Riko memandangnya. Pun dengan kecupan di dahi mewakili perasaan pria itu saat ini. "Aku sungguh sangat mencintaimu, Lea. Untuk pertama kalinya aku takut kehilangan."Riko tumbuh dewasa hanya dengan ayahnya karena sang ibu telah lebih dulu berpulang ketika dirinya masih sangat kecil. Kasih sayang dan perhatian selama ini Riko dapatkan dari Asih, pelayan setia yang mengabdi sejak ayahnya masih menjadi bujangan sampai tutup usia. Selain Asih, Riko hidup seorang diri. Dia menjalani kehidupannya dengan datar, sampai kemudian pernikahannya dengan Lea merubah segalanya. Rasanya Riko baru saja memejam ketika samar dia dengar bunyi gaduh yang bersumber dari kamar mandi. Riko terhe
"Mas, bangun." Mayang mengguncang pelan bahu suaminya. Wajah yang mulai dihiasi kerutan itu tampak kelelahan, awalnya Mayang tak tega jika harus membangunkan suaminya. Akan tetapi ketukan di pintu yang terdengar beruntun membuatnya penasaran dengan tamu yang berkunjung di tengah malam buta begini. "Mas, bangun dulu." Kali ini tangan Mayang beralih mengusap rahang Hendra. "Ada apa?" Lelaki paruh baya itu menggeliat kemudian mengucek matanya sebelum mengubah posisinya menjadi duduk. "Anak-anak nggak rewel, kan?""Bukan. Tata sama Melodi sudah tidur. Mas dengar itu, dari tadi ada yang ngetuk pintu, Mas. Aku takut mau bukanya. Kira-kira siapa yang namu tengah malam begini?""Sebentar, aku periksa dulu."Mayang menyusul suaminya. Pria yang pertama kali dikenalnya begitu royal, berkharisma dan gagah itu kini tampak kurus dan tak terawat. Uang memang memegang peranan penting dalam kehidupan seseorang. Mayang melihat sendiri bagaimana orang hidup tanpa uang. Dia sendiri menjadi salah satu
Tepat pukul tiga pagi buta, kendaraan roda empat yang ditumpangi pasangan suami istri itu memasuki gerbang. Riko tak langsung turun begitu mematikan mesin mobil. Ia pandangi wajah cantik istrinya yang masih pulas di jok samping, sengaja Riko menyetingnya agar Lea leluasa tidur. Selesai menyantap sepiring penuh nasi goreng Jawa buatan papanya, keduanya langsung berpamitan pulang. Mayang membawakan sekantong penuh bakso goreng dan manisan pepaya buatannya. Lea memakannya di tengah perjalanan sebelum akhirnya dia mengantuk karena kekenyangan. Kelopak mata Lea terbelah, wajah lelah Riko menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Ia kaget menyadari posisi mereka yang masih berada di mobil, sementara matahari mulai menampakan diri. "Ya ampun, aku ketiduran sampai pagi di sini. Mas, bangun. Sudah siang."Riko meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Badannya yang tinggi tegap serasa disiksa lantaran beberapa jam tidur di dalam mobil. Hari sudah terang ketika dia melirik ke luar. "Sudah si
"Cukup!" hardik Riko yang seketika menghentikan dua pria yang terlibat perdebatan sengit. Bara dan Dimas tak berhenti saling menyalahkan, saling tuding dengan pembahasan yang membuat kepala Riko berdenyut. Dia mungkin bisa terima seandainya sosok yang dijadikan perdebatan anak buahnya bukanlah istrinya. Fakta bahwa Bara dan Dimas memiliki ketertarikan pada Lea, rasanya membuatnya nyaris terkena serangan jantung. "Aku akui aku memang suka pada Non Lea. Dia cantik. Kami seumuran, dia benar-benar mempesona," ungkap Dimas secara terang-terangan. Tak sedikit pun ada rasa takut mengakui itu di depan Riko. Atasan sekaligus suami dari wanita yang digandrunginya. "Tidak tau malu!" Bara kembali menyerang rekannya. "Cih! Lalu kamu sebut dirimu apa? Kamu bahkan sudah menyerupai bayangan yang tak pernah bisa lari dari Pak Bos. Jangan munafik, kamu sendiri juga jatuh cinta pada Non Lea.""Tapi aku tidak pernah bersikap kurang ajar dengan terus memandangi fotonya. Aku ...,""Baguslah. Akhirnya k
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan