Orang bilang, hadiah dari Tuhan tak selalu dibungkus dengan kebahagiaan. Ada yang harus menapaki jalan terjal terlebih dulu, diiringi air mata dan perjuangan berdarah-darah. Setiap manusia terlahir dengan jalan hidup yang berbeda-beda, tetapi sejatinya mereka sama. Sedang sama-sama berjuang. Hembusan angin yang menerbangkan rambut Lea menyadarkan perempuan itu dari lamunannya. Sengaja ia membuka sebagian kaca jendela, menatap pemandangan yang terlihat berkejaran menjadi hiburan tersendiri setelah sebelumnya ketegangan meliputinya. "Lea! Bocah sundal! Perempuan sialan! Aku bersumpah aku nggak akan pernah memaafkanmu. Aku bersumpah aku akan merebut Mas Riko darimu. Dengar itu baik-baik, Le."Makian dan sumpah serapah Nelly yang sempat Lea dengar sebelum dia pergi dari tempat itu masih terekam jelas. Murkanya, kobaran api penuh kebencian di mata wanita itu menandakan seberapa besar kebencian Nelly terhadap dirinya. Seperti dugaan Lea, Nelly melakukan itu semua hanya untuk menggertak s
Riko tersenyum melihat foto yang dikirimkan Asih padanya siang ini. Potret istrinya yang tengah tergolek pulas di sofa sambil memeluk bantal dengan layar televisi yang masih menyala. Wajah yang sedikit memucat itu terlihat kelelahan, namun tetap terlihat cantik. Lea merajuk karena Riko tak menepati janjinya untuk sarapan di abang bubur ayam yang biasa mangkal tak jauh dari komplek perumahan. Pria itu tergesa karena ternyata ada pertemuan penting di perusahaan yang tak bisa diwakilkan, lalu siangnya Riko juga masih harus turun tangan langsung mengantar kolega bisnis Sakti kembali ke hotel. Karena merasa jengkel terus diabaikan, puncaknya Lea sama sekali tak membalas setiap pesan yang dikirimkan Riko pada wanita itu. Pun panggilan teleponnya tak pernah diangkat. Jadilah dia meminta Asih untuk mengawasi istrinya dan rutin berkabar."Lea sehat, Bang? Sudah lama aku nggak ketemu dia." Sakti meraih cangkirnya di meja, dia baru saja kembali setelah menjumpai rekan kerjanya di salah satu res
Lea menyeka sudut matanya, lelehan bening masih tak jua berhenti mengalir apalagi begitu ia selesai menelisik ruangan tempat di mana dia duduk bersama Riko saat ini. Batin Lea nelangsa, ayahnya menempati rumah bedeng biasa. Bangunan setengah permanen yang dinding kayunya bolong di beberapa bagian. Atap pun terdapat lubang di mana-mana, bisa dibayangkan betapa repotnya mereka ketika turun hujan. "Diminum, Le. Maaf, seadanya." Mayang meletak cangkir di meja, sepiring tempe goreng balut tepung turut serta menjadi pendamping. Tak ada wajah congkak, wajah dengan riasan tebal yang selalu memandang rendah orang lain. Pun dengan pakaian yang melekat di badan, hanya daster biasa menggantikan pakaian mewah yang identik dengan wanita itu di masa lalu. Mayang yang dilihat Lea saat ini benar-benar telah berubah. Bukan lagi Mayang yang dulu masih mengusik rumah tangga Sakti, kakak sepupunya. "Terima kasih." Lidah Lea kelu untuk memanggil wanita yang lebih pantas menjadi kakaknya itu dengan sebu
"Astaga!" Riko melotot melihat mesin penunjuk waktu, sepanjang tiga puluh dua tahun usianya, ini adalah pagi terburuk yang dialaminya. Dia bangun kesiangan. Biasanya bangun pukul lima pagi saja sudah membuatnya kalang kabut, ini matahari mulai meninggi dia bahkan baru mengucek mata. "Yang, bangun, Yang! Kita kesiangan." Pria itu mengusap bahu istrinya sekilas sebelum ia turun untuk mengutip helaian kain yang berakhir tragis di lantai. Pergulatan panas semalam membuat Riko lupa diri, sedikit memaksa dia meminta Lea melayaninya sampai menjelang pagi. "Sayang, bangun!" Kali ini Riko menyambar handuk dan gegas ke kamar mandi. Keluar dari sana dengan masih memakai jubah mandi, Riko melihat istrinya masih pulas bergelung di bawah selimut. Sengaja ia menyingkat ritual mandinya karena tak mau semakin terlambat tiba di kantor. Ada rapat umum pemegang saham pukul sepuluh nanti dan Riko tak bisa absen. Untungnya semalam dia sudah mengabari Dimas untuk siaga mengawal Sakti. "Yang, kamu sakit
"Apa! Bagaimana bisa? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" Riko yang baru saja ke luar dari ruang rapat gegas mengambil kunci mobil di meja kerjanya. Pria itu berlarian sampai menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Asih mengabari kalau Lea tiba-tiba jatuh pingsan. Ketakutan semakin nyata menyadari kebodohannya meninggalkan istri padahal Riko tahu betul Lea sedang kurang sehat. "Bar, kabari Rita, aku belum sempat pamit pulang tadi. Kasih tau aku nggak balik lagi ke kantor, suruh dia mengurus pekerjaanku hari ini." Riko membuang asal ponselnya di jok samping tanpa menunggu sahutan Bara. Dia sampai meninggalkan pria yang setia mendampinginya saking panik takut terjadi sesuatu yang buruk pada Lea. Sementara itu di rumah. Lea membuka matanya pelan, indera penciumannya kental akan aroma minyak kayu putih. Pandangannya yang semula gelap, berangsur terang kemudian menjadi jelas. Wajah penuh kecemasan Asih yang pertama kali dilihatnya. Wanita tua itu menangi
Riko hanya pasrah ketika istrinya terus menerus menolak bantuannya. Cukup lama Lea mengurung diri di kamar mandi, wajah piasnya membuat Riko khawatir, tapi untuk kesekian kali Lea menghindarinya. "Minum dulu, Yang. Aku minta Bi Asih bikin air jahe lemon buat kamu."Pria itu bisa sedikit bernapas lega, Lea mau menerima uluran tangannya mengangsurkan cangkir kemudian mulai menyesap cairan keruh di dalamnya. "Kita ke dokter saja ya, tadi ngapain saja di kamar mandi lama sekali?"Sunyi. Lea sama sekali tak berminat untuk menyahut. Dia menarik selimut dan malah berbaring membelakangi suaminya. Tubuhnya terasa lemah, nyeri di kepalanya juga membuatnya enggan membuka mata. "Lea. Maafin aku, Yang. Kamu salah paham. Jangan marah lagi ya, aku minta maaf."Lea masih bertahan dalam kebisuan. Memejamkan mata mengarungi pulau mimpi lebih menarik minat Lea saat ini. Hasratnya yang sempat meninggi beberapa saat lalu, seketika sirna tak berbekas usai mendapat penolakan dari sang suami. Rasa kesalny
Riko menerima bantal dan selimut yang diberikan Lea padanya, tapi pria itu masih berdiam diri di tempat, tak berminat pergi dari sana. Demi apa pun, dia ingin selalu berdekatan dengan istrinya biarpun terus didiamkan wanita itu. Sikap judes dan dingin Lea sama sekali tak Riko pedulikan. Kehamilan Lea memang belum bisa dipastikan kebenarannya, tapi Riko terlanjur bahagia. Tugasnya saat ini hanya perlu merayu istrinya agar tak lagi marah, barulah mereka bisa membahas perihal kehamilan itu. "Yang, nggak perlu di kamar sebelah, kan? Di sini saja. Kalau kamu nggak mau dekat sama aku, aku bisa tidur di bawah, kok.""Enggak! Aku mual lihat muka kamu, Mas."Riko pikir istrinya bersikap begitu karena marah gara-gara salah paham dengan penolakannya, tapi ternyata kata Asih sikap Lea karena bawaan bayi."Ayolah, Yang. Kali ini saja, kumohon. Nanti aku pijat, aku peluk, mau aku ceritakan sesuatu atau mau makan sambil kusuapi?""Ya sudah kalau nggak mau pergi, aku yang akan tidur di kamar sebela
Lelah yang semula menyelimuti raga musnah, pun dengan kantuk yang tetiba lenyap. Selesai menghubungi Adam tadi, Riko terjaga sepenuhnya. Ia dekap tubuh Lea, rasa takut kehilangan wanita yang sangat dicintainya itu membuatnya tak tenang. Wajah polos yang tampak pulas itu terlihat sangat kelelahan. Tak pernah bosan Riko memandangnya. Pun dengan kecupan di dahi mewakili perasaan pria itu saat ini. "Aku sungguh sangat mencintaimu, Lea. Untuk pertama kalinya aku takut kehilangan."Riko tumbuh dewasa hanya dengan ayahnya karena sang ibu telah lebih dulu berpulang ketika dirinya masih sangat kecil. Kasih sayang dan perhatian selama ini Riko dapatkan dari Asih, pelayan setia yang mengabdi sejak ayahnya masih menjadi bujangan sampai tutup usia. Selain Asih, Riko hidup seorang diri. Dia menjalani kehidupannya dengan datar, sampai kemudian pernikahannya dengan Lea merubah segalanya. Rasanya Riko baru saja memejam ketika samar dia dengar bunyi gaduh yang bersumber dari kamar mandi. Riko terhe