Riko dan Lea saling beradu pandang. Lea memutusnya lebih dulu dengan membuang muka. Wajahnya mencetak senyum kecut. Sekeras apa pun usahanya untuk menyelamatkan rumah tangganya, kenyataan menamparnya. Membuatnya tersadar kalau pernikahannya tak lagi sama setelah kehadiran orang ketiga. "Ditungguin tuh sama mantan istri." Sengaja Lea menekan dua kata terakhirnya, berharap suaminya mengerti kalau keputusan besar yang diambilnya dulu adalah kesalahan fatal yang sampai kapan pun akan menorehkan kenangan buruk dan tak bisa dilupakan begitu saja. "Kamu kok ngomongnya begitu, Yang?""Terus aku harus ngomong apa? Kenyataannya dia memang mantan istri kamu, Kak.""Aku sudah cerita sama kamu alasan aku menikahinya, aku juga sudah jujur sama kamu kalau aku dan dia nggak pernah sekali pun terlibat kontak fisik selayaknya suami istri. Ayolah, Le aku sudah minta maaf dan berusaha menebus kesalahanku." Suara Riko melemah. Ia berdiri canggung tanpa melakukan apa pun, serba salah. Mau berbicara lag
Lea berjalan anggun mendekati Nelly. Ketukan sepatu hak tingginya bertalu, semilir angin yang menerbangkan rambutnya nyatanya membuat wajah cantik itu semakin terlihat memukau. Pembawaannya anggun dan tenang tak mencerminkan usia muda yang identik meledak-ledak. "Berhenti! Mau apa kamu kesini, hah? Belum puas kamu menguasai Mas Riko? Setelah aku kehilangan bayiku, kamu bahkan masih saja serakah.""Yang kamu bicarakan itu suamiku, Mbak. Soal anakmu, aku turut berduka. Aku berdo'a semoga apa yang menimpamu bukanlah sebuah balasan dari Tuhan atas apa yang pernah kamu lakukan di masa lalu." Lea tersenyum miring. "Tutup mulutmu! Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku sedang mempertahankan hakku.""Hak yang mana? Kamu sudah bercerai dengan suamiku, jangan lupakan itu! Apalagi setelah kehilangan bayi dalam kandunganmu, sudah tidak ada lagi yang bisa kamu jadikan sebagai alasan untuk menjerat suamiku."Nelly terbahak. Tawanya lepas seolah apa yang baru saja dikatakan Lea a
Orang bilang, hadiah dari Tuhan tak selalu dibungkus dengan kebahagiaan. Ada yang harus menapaki jalan terjal terlebih dulu, diiringi air mata dan perjuangan berdarah-darah. Setiap manusia terlahir dengan jalan hidup yang berbeda-beda, tetapi sejatinya mereka sama. Sedang sama-sama berjuang. Hembusan angin yang menerbangkan rambut Lea menyadarkan perempuan itu dari lamunannya. Sengaja ia membuka sebagian kaca jendela, menatap pemandangan yang terlihat berkejaran menjadi hiburan tersendiri setelah sebelumnya ketegangan meliputinya. "Lea! Bocah sundal! Perempuan sialan! Aku bersumpah aku nggak akan pernah memaafkanmu. Aku bersumpah aku akan merebut Mas Riko darimu. Dengar itu baik-baik, Le."Makian dan sumpah serapah Nelly yang sempat Lea dengar sebelum dia pergi dari tempat itu masih terekam jelas. Murkanya, kobaran api penuh kebencian di mata wanita itu menandakan seberapa besar kebencian Nelly terhadap dirinya. Seperti dugaan Lea, Nelly melakukan itu semua hanya untuk menggertak s
Riko tersenyum melihat foto yang dikirimkan Asih padanya siang ini. Potret istrinya yang tengah tergolek pulas di sofa sambil memeluk bantal dengan layar televisi yang masih menyala. Wajah yang sedikit memucat itu terlihat kelelahan, namun tetap terlihat cantik. Lea merajuk karena Riko tak menepati janjinya untuk sarapan di abang bubur ayam yang biasa mangkal tak jauh dari komplek perumahan. Pria itu tergesa karena ternyata ada pertemuan penting di perusahaan yang tak bisa diwakilkan, lalu siangnya Riko juga masih harus turun tangan langsung mengantar kolega bisnis Sakti kembali ke hotel. Karena merasa jengkel terus diabaikan, puncaknya Lea sama sekali tak membalas setiap pesan yang dikirimkan Riko pada wanita itu. Pun panggilan teleponnya tak pernah diangkat. Jadilah dia meminta Asih untuk mengawasi istrinya dan rutin berkabar."Lea sehat, Bang? Sudah lama aku nggak ketemu dia." Sakti meraih cangkirnya di meja, dia baru saja kembali setelah menjumpai rekan kerjanya di salah satu res
Lea menyeka sudut matanya, lelehan bening masih tak jua berhenti mengalir apalagi begitu ia selesai menelisik ruangan tempat di mana dia duduk bersama Riko saat ini. Batin Lea nelangsa, ayahnya menempati rumah bedeng biasa. Bangunan setengah permanen yang dinding kayunya bolong di beberapa bagian. Atap pun terdapat lubang di mana-mana, bisa dibayangkan betapa repotnya mereka ketika turun hujan. "Diminum, Le. Maaf, seadanya." Mayang meletak cangkir di meja, sepiring tempe goreng balut tepung turut serta menjadi pendamping. Tak ada wajah congkak, wajah dengan riasan tebal yang selalu memandang rendah orang lain. Pun dengan pakaian yang melekat di badan, hanya daster biasa menggantikan pakaian mewah yang identik dengan wanita itu di masa lalu. Mayang yang dilihat Lea saat ini benar-benar telah berubah. Bukan lagi Mayang yang dulu masih mengusik rumah tangga Sakti, kakak sepupunya. "Terima kasih." Lidah Lea kelu untuk memanggil wanita yang lebih pantas menjadi kakaknya itu dengan sebu
"Astaga!" Riko melotot melihat mesin penunjuk waktu, sepanjang tiga puluh dua tahun usianya, ini adalah pagi terburuk yang dialaminya. Dia bangun kesiangan. Biasanya bangun pukul lima pagi saja sudah membuatnya kalang kabut, ini matahari mulai meninggi dia bahkan baru mengucek mata. "Yang, bangun, Yang! Kita kesiangan." Pria itu mengusap bahu istrinya sekilas sebelum ia turun untuk mengutip helaian kain yang berakhir tragis di lantai. Pergulatan panas semalam membuat Riko lupa diri, sedikit memaksa dia meminta Lea melayaninya sampai menjelang pagi. "Sayang, bangun!" Kali ini Riko menyambar handuk dan gegas ke kamar mandi. Keluar dari sana dengan masih memakai jubah mandi, Riko melihat istrinya masih pulas bergelung di bawah selimut. Sengaja ia menyingkat ritual mandinya karena tak mau semakin terlambat tiba di kantor. Ada rapat umum pemegang saham pukul sepuluh nanti dan Riko tak bisa absen. Untungnya semalam dia sudah mengabari Dimas untuk siaga mengawal Sakti. "Yang, kamu sakit
"Apa! Bagaimana bisa? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" Riko yang baru saja ke luar dari ruang rapat gegas mengambil kunci mobil di meja kerjanya. Pria itu berlarian sampai menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Asih mengabari kalau Lea tiba-tiba jatuh pingsan. Ketakutan semakin nyata menyadari kebodohannya meninggalkan istri padahal Riko tahu betul Lea sedang kurang sehat. "Bar, kabari Rita, aku belum sempat pamit pulang tadi. Kasih tau aku nggak balik lagi ke kantor, suruh dia mengurus pekerjaanku hari ini." Riko membuang asal ponselnya di jok samping tanpa menunggu sahutan Bara. Dia sampai meninggalkan pria yang setia mendampinginya saking panik takut terjadi sesuatu yang buruk pada Lea. Sementara itu di rumah. Lea membuka matanya pelan, indera penciumannya kental akan aroma minyak kayu putih. Pandangannya yang semula gelap, berangsur terang kemudian menjadi jelas. Wajah penuh kecemasan Asih yang pertama kali dilihatnya. Wanita tua itu menangi
Riko hanya pasrah ketika istrinya terus menerus menolak bantuannya. Cukup lama Lea mengurung diri di kamar mandi, wajah piasnya membuat Riko khawatir, tapi untuk kesekian kali Lea menghindarinya. "Minum dulu, Yang. Aku minta Bi Asih bikin air jahe lemon buat kamu."Pria itu bisa sedikit bernapas lega, Lea mau menerima uluran tangannya mengangsurkan cangkir kemudian mulai menyesap cairan keruh di dalamnya. "Kita ke dokter saja ya, tadi ngapain saja di kamar mandi lama sekali?"Sunyi. Lea sama sekali tak berminat untuk menyahut. Dia menarik selimut dan malah berbaring membelakangi suaminya. Tubuhnya terasa lemah, nyeri di kepalanya juga membuatnya enggan membuka mata. "Lea. Maafin aku, Yang. Kamu salah paham. Jangan marah lagi ya, aku minta maaf."Lea masih bertahan dalam kebisuan. Memejamkan mata mengarungi pulau mimpi lebih menarik minat Lea saat ini. Hasratnya yang sempat meninggi beberapa saat lalu, seketika sirna tak berbekas usai mendapat penolakan dari sang suami. Rasa kesalny