"Kenapa? Ada yang sakit?" Riko membelai lembut pucuk kepala istrinya. Pertama kali membuka mata setelah cukup lama tak sadarkan diri, Lea memasang ekspresi aneh yang mengundang rasa penasaran pria itu. Setelah berjam-jam dilanda gundah, penantian Riko terbayar sudah. "Kenapa ada di sini? Kupikir istri mudamu lebih membutuhkanmu."Lea sempat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Riko mencemaskan wanita lain. Sebagai istri, sakit sekali rasanya. "Kok ngomongnya begitu? Sudah kubilang kami bukan lagi suami istri. Dia sudah kuceraikan," kata Riko. "Hari di mana dia melenyapkan anak kita, hari itu juga aku langsung menceraikannya.""Tadi kelihatan panik banget lihat darah keluar dari perut Mbak Nelly. Yakin, anak itu bukan anakmu?""Astaga, Le. Kalau cemburu langsung ngomong saja, nggak usah pakai kode segala.""Siapa juga yang cemburu."Setahun lebih hidup bersama, Riko mulai bisa membaca perasaan istrinya. Beberapa kali ia juga mendengar nasihat tentang pernikahan dari Asih,
Lea memegangi dadanya, sesuatu di dalam sana seperti teremas. Sakit. Nyeri yang menjalar yang kemudian menuntun langkahnya menjauh dari tempat itu. Lea tak sanggup mendengar pengakuan suaminya tentang perasaan lelaki itu terhadap Nelly. Belum mendengar saja hati Lea sudah terasa sakit tak terkira, apa lagi jika mendengarnya langsung. Setelah tahu dan bahkan melihat sendiri suaminya menunjukkan sedikit perhatian pada Nelly, sejak itu Lea kehilangan kepercayaan kalau hanya dirinya satu-satunya orang yang bertahta di hati pria itu. "Bibi serius, Den. Jawab jujur! Jangan main-main. Kalau sampai terbukti Den Riko ada hati dengan perempuan itu, sebaiknya lepaskan Non Lea. Bibi tidak rela melihat istri sebaik dia disakiti.""Bi Asih ini ngomong apa? Jelas-jelas aku sudah menceraikan perempuan itu karena memilih mempertahankan Lea. Aku takut kehilangan Lea, Bi. Aku nggak mau pisah sama dia.""Itu saja nggak cukup, Den. Perempuan itu butuh pengakuan.""Apa bukti nyata nggak cukup, Bi?" Riko
"Berapa kali harus aku bilang, nggak usah kamu bikin kue-kue itu lagi. Semua uangku kamu yang pegang, kalau kurang tinggal ngomong. Aku akan bekerja lebih keras lagi."Sore itu sepulang dari kediaman Sakti, Riko yang disambut tumpukan toples kue kering di dapur tak bisa menahan diri lagi. Dia tak mau istrinya kelelahan bekerja sementara dia sendiri sanggup memberikan apa saja yang diinginkan Lea. Sepanjang hidupnya Riko bekerja keras, banyak uang yang berhasil ia kumpulkan dan sebagian dalam bentuk properti dan investasi kecil-kecilan sebelum Sinta memberinya satu anak perusahaan untuk dikelola. Riko memastikan Lea tak kekurangan uang, tapi gadis itu memaksa sewaktu meminta izin mengambil orderan kue kering. Tiap kali Riko menolak, Lea akan merajuk dan menggunakan senjata pamungkas untuk menekannya. Apalagi jika bukan soal ranjang. Pria lemah akan hal yang satu itu. Sebulan berlalu sejak kesalahpahaman yang terjadi antara Riko dan Lea, hubungan mereka perlahan membaik. Riko menepati
Lea membalas senyum suaminya sebelum Riko kembali membenamkan kepala di dadanya. Pria itu baru saja mengakhiri panggilan telepon, menyimpan ponsel yang sempat menyita perhatiannya dari sang istri. Tidak! Hari ini Riko sudah putuskan untuk menghabiskan waktu bersama Lea, demi untuk mengganti waktu yang tersita karena belakangan ini pria itu sering pulang larut malam. Lea sendiri tak ingin mengacaukan suasana romantis yang sudah susah payah dibangun suaminya. Sengaja dia diam karena ingin suaminya berinisiatif menceritakan tentang apa yang baru saja didengarnya dari anak buah pria itu yang ditugaskan untuk menjaga Nelly. "Tomo bilang perempuan itu sudah sadar."Lea tersenyum, akhirnya suaminya memilih terbuka dengannya. Artinya, kesalahan pria itu benar-benar dijadikan pelajaran agar tak terulang di kemudian hari. "Kak Riko mau ke sana?""Buat apa? Aku sudah janji mau temani kamu seharian ini, mumpung libur. Sudah lama kita nggak keluar.""Tapi dia sudah sadar, ada baiknya kalau ki
"Ikut aku ya?"Lea yang tengah memoles wajahnya dengan krim pun menoleh. Seingatnya hari ini suaminya sudah mulai kembali bekerja, lantas mau mengajaknya ke mana?"Ke mana, Kak? Bukannya Kak Riko harusnya kerja?""Iya, kamu temani aku kerja."Makin bingung saja Lea dibuatnya. Selama ini jangankan menghabiskan waktu berdua, berbicara pun sekadarnya. Ajakan Riko kali ini tentu saja membuat gadis itu terperangah."Aku di rumah saja, Kak. Lumayan mau coba resep kue baru. Kalau ikut Kakak nanti yang ada ganggu konsentrasi kerja lagi.""Yakin mau di rumah saja?""Lah kan biasanya aku juga di rumah."Riko memeluk istrinya dari belakang. Kelopak matanya terpejam saat aroma tubuh Lea sampai di indera penciumannya. Ada rasa tak rela melepas wanita itu demi tuntutan pekerjaan. Mendadak senyum lebar tersemat di bibir pria itu. Di usianya yang sudah kepala tiga, Riko merasa kasmaran seolah dirinya adalah kawula muda. Padahal, jarak usianya dengan Lea terpaut cukup jauh, dua belas tahun. Akan teta
"Kemana anak ini, dihubungi nggak diangkat." Riko kembali mendial nomor istrinya. Telah lebih dari tiga kali panggilannya tak kunjung diangkat, Riko tak bisa pulang tanpa mendengar suara Lea terlebih dulu. Semenjak hubungannya dengan Lea membaik, Riko selalu menyempatkan untuk menghubungi istrinya sebelum pulang sekadar menanyakan wanita itu ingin dibelikan makanan apa, atau yang lainnya. Namun, kali ini sudah setengah perjalanan pulang wanitanya itu tak juga memberikan kabar. Riko mulai berpikiran yang tidak-tidak. "Lebih cepat lagi, Bar!" titah pria itu, sementara dirinya kembali sibuk dengan gawai hendak menghubungi anak buahnya yang dia tempatkan untuk berjaga di rumah. Belum sempat Riko menelepon, satu panggilan masuk lebih dulu menyapanya. Dahi Riko berkerut melihat nama yang berkedip di layar, tukang kebun rumahnya. "Halo, Pak. Ada apa?" Tanpa pikir panjang Riko mengangkat panggilan tersebut. Pikiran buruk tak bisa dicegahnya mengingat pria tua yang telah beberapa tahun me
Riko tersenyum saat tatapannya dan Lea saling bertemu sesaat setelah istrinya itu tersadar. Kantuk yang sempat memberatkan kelopak mata kini sirna. Belahan jiwanya membuka mata, kebahagiaan datang menyelimuti pria itu. Didekapnya tubuh Lea dengan erat. Riko kecupi kening istrinya bertubi-tubi. "Kak!" Tetiba saja Lea memekik. Ia juga mendorong tubuh suaminya menjauh. Kilas ingatan akan kejadian sebelum dirinya jatuh pingsan kembali menari di depan mata. "Ada apa, Lea?" Riko kaget mendapat penolakan istrinya, tetapi kebahagiaan yang meluap dalam dada membuatnya kembali berkeinginan merengkuh tubuh itu. "Jangan peluk aku, Kak! Aku sudah kotor!" Lea menangis histeris sembari menggosok tubuhnya seakan berusaha menghilangkan noda yang melekat di sana. "Kamu ini ngomong apa, Sayang?""Jangan sentuh! Aku sudah kotor, Kak. Maafkan aku." Lea kembali menepis suaminya. Bahkan sengaja ia mendorong Riko untuk menjauh. "Aku diperkosa, Kak. Aku sudah berusaha melawan tapi dia memukulku, dia juga
Sepekan berlalu sejak kejadian itu, selama itu pula Riko menghabiskan waktunya untuk mengurus permasalahan yang ada. Bolak-balik rumah sakit demi memastikan Lea dan yang lainnya mendapatkan perawatan terbaik. Pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan, ia juga masih sempat menjalankan tugasnya di tengah padatnya aktivitas. Waktu dua puluh empat jam sehari terasa kurang. Walau lelah mengungkung raga, tetapi Riko menjalaninya dengan hati gembira. Baginya, Lea menjadi yang utama dalam hidupnya. Kebahagiaan wanita itu adalah kebahagiaannya juga. "Akhirnya kamu diperbolehkan pulang juga.""Padahal aku nggak apa-apa, Kak. Hanya luka kecil tapi kamu maksa buat dirawat.""Aku nggak mau nanggung resiko. Lebih baik tinggal lebih lama di rumah sakit demi meyakinkan kondisimu daripada terjadi sesuatu di kemudian hari." Pria itu membantu istrinya berkemas. "Bi Asih ikut pulang juga, kan?" Suami Lea itu mengangguk. "Jangan pecat dia ya, Kak? Aku sudah anggap bibi seperti keluarga sendiri