Langit jingga mengantar Sakti menuju satu tempat. Rasa penasarannya harus terpuaskan atau dia tak akan bisa tidur dengan nyenyak karena terus berselimut keresahan. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa saja menjadi kerikil dalam rumah tangganya dengan Chava. Ya, masing-masing dari mantan mereka. Azzam dan Mayang. Kecurigaan Sakti terhadap Azzam membawanya pada satu masalah baru. Berdasarkan informasi yang didapat dari orang kepercayaannya, ternyata mantan suami Chava itu terbukti bersih. Jauh dari apa yang Sakti tuduhkan selama ini. "Kalau bukan dia, lalu siapa lagi?" Sakti mendesah, berkali-kali lelaki di hadapannya itu mengelak. Menegaskan kalau bukan Azzam pelakunya. Sama sekali tak ada gambaran dalang di balik pengirim pesan misterius itu. Satu-satunya orang yang berpeluang menjadi tersangka, terbukti tak bersalah dan Sakti percaya sepenuhnya pada apa yang dikatakan orang suruhannya. "Kami masih berusaha menyelidikinya, Pak. Bapak tenang saja, secepatnya saya akan segera menemuk
Sembari menikmati secangkir kopi yang ia pesan, menemani rinai gerimis yang mulai deras. Pejalan kaki yang kebetulan melintas tampak berlarian mencari tempat berteduh. Sudah setengah jam berlalu sejak kepergian Mayang dari tempat itu, tetapi tak sedikit pun Mirna bergeming. Wanita itu rela menggelontorkan banyak uang demi melancarkan jalannya menguasai harta keponakan yang memang sudah seharusnya menjadi hak Sakti. Suaminya, Hendra selama ini hanya dititipi, tetapi begitulah kodrat manusia. Tak pernah puas. Mirna merasa terancam kemudian menggunakan orang di masa lalu Sakti untuk menyerang pemuda itu. "Kenapa harus dengan cara seperti ini, Ma? Papa masih sehat, Aldo juga sudah bekerja, dia bisa menghasilkan uang untuk dia sendiri dan bahkan sanggup menghidupi kita seandainya Papa ini jadi pengangguran. Nggak perlu lah, pakai cara kotor begini. Mama tau betul resikonya, dan Papa nggak mau sampai terseret.""Mama nggak butuh ocehan Papa yang nggak berguna, yang jelas semua Mama lakuka
Kehidupan yang sekarang dijalani suaminya, tak ayal membuat ikut Chava terseret arus. Ada banyak hal baru yang dia pelajari, pun Chava yang harus beradaptasi dengan gaya hidup yang identik melekat dalam diri orang kaya kebanyakan. Suka tak suka, mau tak mau, Chava harus mengikuti aturan tak tertulis itu. Posisinya sebagai istri dari pemilik sekaligus pemimpin perusahaan membuatnya terus berupaya memperbaiki diri, memantaskan diri untuk dapat bersanding dengan Sakti. Sinta memintanya mengikuti beberapa kursus, mendatangkan ahlinya langsung ke rumah. Dengan kondisinya yang juga sedang hamil, Chava tetap aktif melakukan banyak kegiatan. Sekarang, walau belum menunjukkan hasil yang memuaskan tetapi sudah mulai terlihat."Santai saja, anggap saja kita sedang kondangan, Yang. Ingat, rileks. Jangan bebankan pikiranmu dengan hal-hal yang nggak penting. Jangan pedulikan pandangan orang terhadap kita." Setengah berbisik, Sakti meraih pinggang Chava hingga tubuh mereka nyaris berhimpitan. Chav
Hidup bahagia bersama dan saling mencintai sampai nyawa bercerai dari raga. Tak muluk-muluk, hanya itu yang menjadi bagian dari setiap bait suci yang dilangitkan Chava di setiap detik waktunya. Kepahitan, duka dan derita di masa lalu, Chava pikir telah cukup sampai ketika dia memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Azzam. Chava tak sanggup. Demi Tuhan. Entah bagaimana jadinya jika pernikahan keduanya bernasib sama, mengalami kegagalan. Laki-laki seperti apa lagi yang bisa Chava percaya? "Mas." Chava menyeret paksa kakinya untuk mendekat. Tak hanya bibirnya yang gemetar, pun tubuhnya. Melihat apa yang tersaji di depan mata, nyeri yang bersumber dari dalam dada menjalar membuat sekujur tubuhnya gemetar hebat. "Mas Sakti." Berkali-kali bibir itu memanggil lirih tak percaya. Chava sungguh berharap apa yang dilihatnya hanyalah sebuah tipuan. Sisa tiga langkah lagi maka wanita hamil itu berhasil menjangkau ranjang. Tempat di mana dua anak manusia berlainan jenis tengah terbar
Sakti urung melangkah manakala rungunya menangkap suara tangisan yang terdengar samar. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, dapat pria itu lihat apa yang terjadi di dalam sana. "Aku minta maaf, Mas. Maafkan aku telah gagal menjadi orang tua. Andai menuruti perkataanmu dulu, mungkin kita tak akan mengalami pahitnya kehilangan. Andai aku tegas dulu, semuanya tak akan jadi seperti ini."Derai air mata berlomba jatuh di wajah tua Sinta, didekapnya pigura berisi fotonya bersama mendiang suami. Dulu, suaminya begitu terpukul atas kepergian anak sulung mereka. Rasa sayangnya yang begitu besar pada Dipta, juga perasaan bersalahnya merasa gagal sebagai ayah membuatnya menyusul kepergian sang anak hanya berselang tiga bulan setelah kematian Dipta."Kenapa kamu membuatku menunggu terlalu lama, Mas? Kenapa tidak langsung kamu jemput saja aku?"Tak tahan, Sakti mengambil langkah lebar. Duduk di samping neneknya lalu memeluknya erat. Wanita tua itu tampak tegar, tetapi rupanya ia begitu rapuh
Sakti yang kewalahan akhirnya menghubungi David untuk datang. Belum sepatah kata pun kalimat lolos dari bibirnya, tetapi pelukan dan usapan lembut terus lelaki itu berikan meski beberapa kali Chava menepisnya kasar. "Awas saja, Mas. Sampai kamu berani ada main di belakangku."Antara takut, gemas, tapi juga ingin marah. Andai bisa Sakti lampiaskan. Sayangnya ia tahu, cemburu atau marahnya wanita hamil tak ada tandingannya. Sementara waktu ia biarkan wanitanya menangis dengan bibir terus mengoceh memarahinya. Dengan telaten Sakti bantu sang istri mengusap air mata dan cairan dari hidung. "Nggak usah pura-pura baik!" omel ibu hamil itu lengkap dengan tatapan mendelik. Bukannya takut, Sakti justru tertawa. Menghadapi kemarahan Chava adalah hal paling menakutkan baginya, tetapi melihat bagaimana wanita itu dikuasai cemburu. Ada perasaan yang begitu sulit ia jabarkan. Ketakutan yang teramat besar akan kehilangan dirinya, membuat Sakti dihinggapi rasa haru. Sungguh. Baru kali ini Sakti m
"Sayang."Sakti kaget merasakan pergerakan jari Chava dalam genggamannya. Perlahan, bola mata dipayungi bulu hitam lentik itu bergerak, kelopak matanya terbelah sempurna. Chava menutupi sebagian wajah menggunakan tangan lain yang leluasa saat cahaya lampu membuatnya silau. "Syukurlah kamu sudah sadar. Mas takut banget tadi."Pandangan dua anak manusia itu saling bertemu, Chava mengerjap melihat kilat bening yang menggenangi telaga mata suaminya. Ia meringis, perutnya terasa kencang dan kaku, menjalar hingga punggung dan pinggang. "Apa yang dirasa? Bagian mana yang sakit? Biar Mas panggil dokter."Mendadak wajah cantik Chava murung. Ingatannya kini telah sepenuhnya kembali pada kejadian sebelum ia pingsan. Seperti mimpi, pria yang sangat dicintainya, yang siang malam selalu dieja dalam do'a, tega mengkhianatinya padahal, tak ada yang berubah dalam diri pria itu. Sikapnya masih hangat seperti ketika di awal pernikahan. "Terima kasih banyak, Dok. Saya akan lebih menjaga istri saya dan
Mira. Tak terhitung sudah berapa banyak nama itu muncul di kepala Chava. Setelah menginterogasi suaminya, Chava juga mengorek keterangan dari David mengenai wanita itu. Sudah gatal tangannya ingin mencakar wajah yang dilapisi polesan make up tebal. Chava melihatnya sekilas dari ponsel asisten suaminya yang kebetulan menyimpan foto Mira. "Makan dulu, Yang.""Nggak usah panggil-panggil aku begitu!" Ibu hamil itu masih dalam mode kesal. "Ya terus maunya dipanggil apa?" Berusaha mengulur sabar, mengalah pada setiap perlakuan tak menyenangkan Chava. Kembali lagi, toh ini salahnya. "Ayo, duduk. Mau Mas suapin!" titah Sakti. Sikap lembut suaminya tak ayal membuat Chava luluh juga. Tak tega sebenarnya terus bersikap ketus, salahkan Sakti yang terus saja menguji kesabarannya. "Nggak mau makan itu, Mas." Chava menjauhkan tubuhnya usai melihat isi piring sekilas. Semenarik apa pun tampilannya, yang namanya makanan rumah sakit