Mendadak Sakti merasa mulas. Ditatap sedemikian rupa oleh Chava membuatnya salah tingkah. Sakti takut, tapi bukan lantaran ada sesuatu yang ia sembunyikan dari sang istri. Yang paling Sakti takutkan adalah kehilangan Chava. "Makan dulu, yuk. Nanti baru Mas jelaskan." Sakti menuntun istrinya. "Mas lapar banget? Sudah nggak tahan?" Alih-alih menurut, Chava justru bergeming di tempat. Rasa lapar mendadak sirna gara-gara penasaran dengan isi pesan yang dikirim dengan nomor tanpa nama. "Ck, bukan Mas yang lapar, Mas masih bisa nahan tapi kamu kan ibu hamil, harus teratur makannya.""Aku juga belum lapar, masih bisa tahan juga. Atau jangan-jangan Mas sengaja ngulur waktu, iya? Mau berkelit? Atau lagi mikir nyari alasan yang logis biar aku bisa maklum, begitu?"Chava mendelik ketika tawa suaminya terdengar meledak memenuhi seluruh ruangan. Chava benci reaksi lelaki itu, seolah dirinya sedang membuat lelucon. "Kamu kalau cemburu kenapa gemesin banget sih, Yang?" Mencolek dagu Chava yang m
Langit jingga mengantar Sakti menuju satu tempat. Rasa penasarannya harus terpuaskan atau dia tak akan bisa tidur dengan nyenyak karena terus berselimut keresahan. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa saja menjadi kerikil dalam rumah tangganya dengan Chava. Ya, masing-masing dari mantan mereka. Azzam dan Mayang. Kecurigaan Sakti terhadap Azzam membawanya pada satu masalah baru. Berdasarkan informasi yang didapat dari orang kepercayaannya, ternyata mantan suami Chava itu terbukti bersih. Jauh dari apa yang Sakti tuduhkan selama ini. "Kalau bukan dia, lalu siapa lagi?" Sakti mendesah, berkali-kali lelaki di hadapannya itu mengelak. Menegaskan kalau bukan Azzam pelakunya. Sama sekali tak ada gambaran dalang di balik pengirim pesan misterius itu. Satu-satunya orang yang berpeluang menjadi tersangka, terbukti tak bersalah dan Sakti percaya sepenuhnya pada apa yang dikatakan orang suruhannya. "Kami masih berusaha menyelidikinya, Pak. Bapak tenang saja, secepatnya saya akan segera menemuk
Sembari menikmati secangkir kopi yang ia pesan, menemani rinai gerimis yang mulai deras. Pejalan kaki yang kebetulan melintas tampak berlarian mencari tempat berteduh. Sudah setengah jam berlalu sejak kepergian Mayang dari tempat itu, tetapi tak sedikit pun Mirna bergeming. Wanita itu rela menggelontorkan banyak uang demi melancarkan jalannya menguasai harta keponakan yang memang sudah seharusnya menjadi hak Sakti. Suaminya, Hendra selama ini hanya dititipi, tetapi begitulah kodrat manusia. Tak pernah puas. Mirna merasa terancam kemudian menggunakan orang di masa lalu Sakti untuk menyerang pemuda itu. "Kenapa harus dengan cara seperti ini, Ma? Papa masih sehat, Aldo juga sudah bekerja, dia bisa menghasilkan uang untuk dia sendiri dan bahkan sanggup menghidupi kita seandainya Papa ini jadi pengangguran. Nggak perlu lah, pakai cara kotor begini. Mama tau betul resikonya, dan Papa nggak mau sampai terseret.""Mama nggak butuh ocehan Papa yang nggak berguna, yang jelas semua Mama lakuka
Kehidupan yang sekarang dijalani suaminya, tak ayal membuat ikut Chava terseret arus. Ada banyak hal baru yang dia pelajari, pun Chava yang harus beradaptasi dengan gaya hidup yang identik melekat dalam diri orang kaya kebanyakan. Suka tak suka, mau tak mau, Chava harus mengikuti aturan tak tertulis itu. Posisinya sebagai istri dari pemilik sekaligus pemimpin perusahaan membuatnya terus berupaya memperbaiki diri, memantaskan diri untuk dapat bersanding dengan Sakti. Sinta memintanya mengikuti beberapa kursus, mendatangkan ahlinya langsung ke rumah. Dengan kondisinya yang juga sedang hamil, Chava tetap aktif melakukan banyak kegiatan. Sekarang, walau belum menunjukkan hasil yang memuaskan tetapi sudah mulai terlihat."Santai saja, anggap saja kita sedang kondangan, Yang. Ingat, rileks. Jangan bebankan pikiranmu dengan hal-hal yang nggak penting. Jangan pedulikan pandangan orang terhadap kita." Setengah berbisik, Sakti meraih pinggang Chava hingga tubuh mereka nyaris berhimpitan. Chav
Hidup bahagia bersama dan saling mencintai sampai nyawa bercerai dari raga. Tak muluk-muluk, hanya itu yang menjadi bagian dari setiap bait suci yang dilangitkan Chava di setiap detik waktunya. Kepahitan, duka dan derita di masa lalu, Chava pikir telah cukup sampai ketika dia memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Azzam. Chava tak sanggup. Demi Tuhan. Entah bagaimana jadinya jika pernikahan keduanya bernasib sama, mengalami kegagalan. Laki-laki seperti apa lagi yang bisa Chava percaya? "Mas." Chava menyeret paksa kakinya untuk mendekat. Tak hanya bibirnya yang gemetar, pun tubuhnya. Melihat apa yang tersaji di depan mata, nyeri yang bersumber dari dalam dada menjalar membuat sekujur tubuhnya gemetar hebat. "Mas Sakti." Berkali-kali bibir itu memanggil lirih tak percaya. Chava sungguh berharap apa yang dilihatnya hanyalah sebuah tipuan. Sisa tiga langkah lagi maka wanita hamil itu berhasil menjangkau ranjang. Tempat di mana dua anak manusia berlainan jenis tengah terbar
Sakti urung melangkah manakala rungunya menangkap suara tangisan yang terdengar samar. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, dapat pria itu lihat apa yang terjadi di dalam sana. "Aku minta maaf, Mas. Maafkan aku telah gagal menjadi orang tua. Andai menuruti perkataanmu dulu, mungkin kita tak akan mengalami pahitnya kehilangan. Andai aku tegas dulu, semuanya tak akan jadi seperti ini."Derai air mata berlomba jatuh di wajah tua Sinta, didekapnya pigura berisi fotonya bersama mendiang suami. Dulu, suaminya begitu terpukul atas kepergian anak sulung mereka. Rasa sayangnya yang begitu besar pada Dipta, juga perasaan bersalahnya merasa gagal sebagai ayah membuatnya menyusul kepergian sang anak hanya berselang tiga bulan setelah kematian Dipta."Kenapa kamu membuatku menunggu terlalu lama, Mas? Kenapa tidak langsung kamu jemput saja aku?"Tak tahan, Sakti mengambil langkah lebar. Duduk di samping neneknya lalu memeluknya erat. Wanita tua itu tampak tegar, tetapi rupanya ia begitu rapuh
Sakti yang kewalahan akhirnya menghubungi David untuk datang. Belum sepatah kata pun kalimat lolos dari bibirnya, tetapi pelukan dan usapan lembut terus lelaki itu berikan meski beberapa kali Chava menepisnya kasar. "Awas saja, Mas. Sampai kamu berani ada main di belakangku."Antara takut, gemas, tapi juga ingin marah. Andai bisa Sakti lampiaskan. Sayangnya ia tahu, cemburu atau marahnya wanita hamil tak ada tandingannya. Sementara waktu ia biarkan wanitanya menangis dengan bibir terus mengoceh memarahinya. Dengan telaten Sakti bantu sang istri mengusap air mata dan cairan dari hidung. "Nggak usah pura-pura baik!" omel ibu hamil itu lengkap dengan tatapan mendelik. Bukannya takut, Sakti justru tertawa. Menghadapi kemarahan Chava adalah hal paling menakutkan baginya, tetapi melihat bagaimana wanita itu dikuasai cemburu. Ada perasaan yang begitu sulit ia jabarkan. Ketakutan yang teramat besar akan kehilangan dirinya, membuat Sakti dihinggapi rasa haru. Sungguh. Baru kali ini Sakti m
"Sayang."Sakti kaget merasakan pergerakan jari Chava dalam genggamannya. Perlahan, bola mata dipayungi bulu hitam lentik itu bergerak, kelopak matanya terbelah sempurna. Chava menutupi sebagian wajah menggunakan tangan lain yang leluasa saat cahaya lampu membuatnya silau. "Syukurlah kamu sudah sadar. Mas takut banget tadi."Pandangan dua anak manusia itu saling bertemu, Chava mengerjap melihat kilat bening yang menggenangi telaga mata suaminya. Ia meringis, perutnya terasa kencang dan kaku, menjalar hingga punggung dan pinggang. "Apa yang dirasa? Bagian mana yang sakit? Biar Mas panggil dokter."Mendadak wajah cantik Chava murung. Ingatannya kini telah sepenuhnya kembali pada kejadian sebelum ia pingsan. Seperti mimpi, pria yang sangat dicintainya, yang siang malam selalu dieja dalam do'a, tega mengkhianatinya padahal, tak ada yang berubah dalam diri pria itu. Sikapnya masih hangat seperti ketika di awal pernikahan. "Terima kasih banyak, Dok. Saya akan lebih menjaga istri saya dan
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan