Sakti urung melangkah manakala rungunya menangkap suara tangisan yang terdengar samar. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, dapat pria itu lihat apa yang terjadi di dalam sana. "Aku minta maaf, Mas. Maafkan aku telah gagal menjadi orang tua. Andai menuruti perkataanmu dulu, mungkin kita tak akan mengalami pahitnya kehilangan. Andai aku tegas dulu, semuanya tak akan jadi seperti ini."Derai air mata berlomba jatuh di wajah tua Sinta, didekapnya pigura berisi fotonya bersama mendiang suami. Dulu, suaminya begitu terpukul atas kepergian anak sulung mereka. Rasa sayangnya yang begitu besar pada Dipta, juga perasaan bersalahnya merasa gagal sebagai ayah membuatnya menyusul kepergian sang anak hanya berselang tiga bulan setelah kematian Dipta."Kenapa kamu membuatku menunggu terlalu lama, Mas? Kenapa tidak langsung kamu jemput saja aku?"Tak tahan, Sakti mengambil langkah lebar. Duduk di samping neneknya lalu memeluknya erat. Wanita tua itu tampak tegar, tetapi rupanya ia begitu rapuh
Sakti yang kewalahan akhirnya menghubungi David untuk datang. Belum sepatah kata pun kalimat lolos dari bibirnya, tetapi pelukan dan usapan lembut terus lelaki itu berikan meski beberapa kali Chava menepisnya kasar. "Awas saja, Mas. Sampai kamu berani ada main di belakangku."Antara takut, gemas, tapi juga ingin marah. Andai bisa Sakti lampiaskan. Sayangnya ia tahu, cemburu atau marahnya wanita hamil tak ada tandingannya. Sementara waktu ia biarkan wanitanya menangis dengan bibir terus mengoceh memarahinya. Dengan telaten Sakti bantu sang istri mengusap air mata dan cairan dari hidung. "Nggak usah pura-pura baik!" omel ibu hamil itu lengkap dengan tatapan mendelik. Bukannya takut, Sakti justru tertawa. Menghadapi kemarahan Chava adalah hal paling menakutkan baginya, tetapi melihat bagaimana wanita itu dikuasai cemburu. Ada perasaan yang begitu sulit ia jabarkan. Ketakutan yang teramat besar akan kehilangan dirinya, membuat Sakti dihinggapi rasa haru. Sungguh. Baru kali ini Sakti m
"Sayang."Sakti kaget merasakan pergerakan jari Chava dalam genggamannya. Perlahan, bola mata dipayungi bulu hitam lentik itu bergerak, kelopak matanya terbelah sempurna. Chava menutupi sebagian wajah menggunakan tangan lain yang leluasa saat cahaya lampu membuatnya silau. "Syukurlah kamu sudah sadar. Mas takut banget tadi."Pandangan dua anak manusia itu saling bertemu, Chava mengerjap melihat kilat bening yang menggenangi telaga mata suaminya. Ia meringis, perutnya terasa kencang dan kaku, menjalar hingga punggung dan pinggang. "Apa yang dirasa? Bagian mana yang sakit? Biar Mas panggil dokter."Mendadak wajah cantik Chava murung. Ingatannya kini telah sepenuhnya kembali pada kejadian sebelum ia pingsan. Seperti mimpi, pria yang sangat dicintainya, yang siang malam selalu dieja dalam do'a, tega mengkhianatinya padahal, tak ada yang berubah dalam diri pria itu. Sikapnya masih hangat seperti ketika di awal pernikahan. "Terima kasih banyak, Dok. Saya akan lebih menjaga istri saya dan
Mira. Tak terhitung sudah berapa banyak nama itu muncul di kepala Chava. Setelah menginterogasi suaminya, Chava juga mengorek keterangan dari David mengenai wanita itu. Sudah gatal tangannya ingin mencakar wajah yang dilapisi polesan make up tebal. Chava melihatnya sekilas dari ponsel asisten suaminya yang kebetulan menyimpan foto Mira. "Makan dulu, Yang.""Nggak usah panggil-panggil aku begitu!" Ibu hamil itu masih dalam mode kesal. "Ya terus maunya dipanggil apa?" Berusaha mengulur sabar, mengalah pada setiap perlakuan tak menyenangkan Chava. Kembali lagi, toh ini salahnya. "Ayo, duduk. Mau Mas suapin!" titah Sakti. Sikap lembut suaminya tak ayal membuat Chava luluh juga. Tak tega sebenarnya terus bersikap ketus, salahkan Sakti yang terus saja menguji kesabarannya. "Nggak mau makan itu, Mas." Chava menjauhkan tubuhnya usai melihat isi piring sekilas. Semenarik apa pun tampilannya, yang namanya makanan rumah sakit
Pakaian yang melekat di badan, aksesoris, tas tangan, sepatu dan pernak pernik yang tersemat di atas mahkota Chava membuat mata siapa saja yang melihat terpukau olehnya. Meski sederhana, tetapi orang dapat membedakan kualitas barang yang dipakai ibu hamil itu. Pun dengan logam mulia yang melingkari leher, pergelangan tangan dan yang terselip di antara celah jari. Kecantikan yang makin bersinar dipadukan dengan bentuk wajah dan riasan tipis. Sesaat Mira membalikkan pandangan, mengamati penampilannya dengan seksama. Berbanding terbalik, bak bumi dan langit antara dirinya dan Chava. Mira tertegun. Ia berdeham sekadar menetralkan debaran dalam dada yang masih sibuk berlarian. Sedikit gentar terbit, tetapi pantang baginya untuk mundur. Bagaimana pun jalannya, dia harus bisa menjadi istri dari pria yang diincarnya. "Saya sudah dengar dari suami saya, juga dari Pak David. Katanya ... kamu menuntut untuk dinikahi suami saya?" Tak ingin membuang waktu percuma, Chava langsung pada pokok tujua
"Ada apa, Mas?" Chava langsung menodong suaminya dengan pertanyaan begitu melihat Sakti mengakhiri panggilannya. "Mas, ada apa? Kenapa kita harus kembali ke rumah sakit? Aku nggak mau berhubungan lagi dengan dia, Mas. Ayo, pulang saja." Pertanyaan lain terlontar manakala Chava tak mendapat jawaban sementara David menuruti permintaan Sakti. Mobil terus meluncur membelah padatnya lalu lintas hari itu, menuju rumah sakit. Hembusan napas Sakti terdengar berat. Sejujurnya enggan berhubungan dengan mantan suami Chava, tapi Sakti tak berkutik saat ada hal penting yang berhubungan dengan nyawa seseorang. "Mas!" Menarik lengan baju suaminya. "Malah melamun, aku nggak mau ke rumah sakit, Mas. Ngapain juga kita ke sana. Aku sudah bilang kalau aku nggak mau berhubungan lagi dengan orang-orang itu," imbuh Chava menahan kesal. "Sayang, kita harus tetap ke sana. Bu Halimah sakit keras, beliau sangat merindukanmu.""Apa! Ja-jadi ibu sakit?"Air mata Chava merebak. Putusnya hubungan dengan Azzam
Tangis yang bersumber dari ruang keluarga terdengar semakin jelas seiring dengan langkah yang kian cepat. Gemuruh di dada Sakti kian bergejolak menimbulkan berbagai macam praduga yang sibuk berperang dalam benak. Sakti yang tak tahan hendak berlari, tetapi panggilan sang istri sukses menahan langkahnya. Ia menepak dahinya tersadar baru saja meninggalkan Chava. "Maaf, Yang. Saking paniknya Mas sampai lupa ninggalin kamu."Bukannya menjawab, Chava justru melanjutkan langkah meninggalkan suaminya. Perasaan lega yang sempat hinggap ketika melihat Sinta dalam keadaan baik-baik saja, digantikan rasa penasaran. Duduk saling berhadapan Sinta dan Lea, cucu dan nenek itu saling memeluk. Dari tempatnya, Chava bisa melihat bagaimana nenek tua suaminya itu kesulitan menenangkan cucu perempuannya. "Ada apa, Oma? Lea kenapa?" Sakti tak lagi bisa menahan rasa penasarannya. Sinta mengkode cucunya untuk duduk sementara pelukannya dan Lea baru terlepas. "Adikmu mau nginap di sini sementara waktu kat
Tak ada satu orang pun di dunia ini yang menginginkan perpisahan, apalagi dengan orang yang telah menempati ruang hati untuk waktu yang lama. Begitu juga Hana. Azzam berhasil mencuri hatinya dengan segenap yang ada dalam diri pria itu. Hanya satu kesalahan Hana, ya ... mencintai pria beristri. Walau memang dia tak bisa sepenuhnya disalahkan, tetapi seharusnya dia bisa menekan ego. Andai bisa menahan diri, Hana tak akan hidup bahagia di atas tangisan wanita lain. Hingga akhirnya Hana menyadari setiap apa yang dia lakukan, telah menemukan jalan untuk berbalik menyerangnya. Orang menyebutnya .... Karma. "Maaf." Sekali lagi Azzam berbisik. Jangankan menatap mata bening istrinya, Azzam tak sanggup sekadar mengangkat kepalanya. "Kamu masih muda, cantik dan punya karir bagus, sementara lihat aku! Kamu berhak mendapatkan yang jauh lebih dariku, Han." Hana dapat menangkap suara lirih yang terdengar bergetar. Detik berikutnya, isak tangis pecah tak tertahankan makin menambah nelangsa. "A