Tak ada satu orang pun di dunia ini yang menginginkan perpisahan, apalagi dengan orang yang telah menempati ruang hati untuk waktu yang lama. Begitu juga Hana. Azzam berhasil mencuri hatinya dengan segenap yang ada dalam diri pria itu. Hanya satu kesalahan Hana, ya ... mencintai pria beristri. Walau memang dia tak bisa sepenuhnya disalahkan, tetapi seharusnya dia bisa menekan ego. Andai bisa menahan diri, Hana tak akan hidup bahagia di atas tangisan wanita lain. Hingga akhirnya Hana menyadari setiap apa yang dia lakukan, telah menemukan jalan untuk berbalik menyerangnya. Orang menyebutnya .... Karma. "Maaf." Sekali lagi Azzam berbisik. Jangankan menatap mata bening istrinya, Azzam tak sanggup sekadar mengangkat kepalanya. "Kamu masih muda, cantik dan punya karir bagus, sementara lihat aku! Kamu berhak mendapatkan yang jauh lebih dariku, Han." Hana dapat menangkap suara lirih yang terdengar bergetar. Detik berikutnya, isak tangis pecah tak tertahankan makin menambah nelangsa. "A
Lelah yang melanda tak membuat Sakti kesulitan menjemput mimpi. Sepulangnya menuruti permintaan Chava, lelaki itu tak sabar menempati kasurnya setelah sempat membersihkan diri. Namun, saat baru saja Sakti terlelap, pria itu bangkit seketika manakala mendengar bunyi gaduh yang bersumber dari dalam kamar mandi. Rasa kantuk lenyap digantikan perasaan cemas. Sakti hampir terpelanting karena tersandung kakinya sendiri, saking paniknya ia tak berhati-hati. "Yang?"Chava berdiri di depan wastafel sembari memegangi perutnya. Semua isi telah berpindah dalam lubang pembuangan, tetapi Chava masih saja muntah sampai hanya tinggal cairan bening yang keluar. "Pahit banget, Mas. Tenggorokanku sampai terasa panas. Perut juga nggak enak banget." Wanita itu mengungkapkan keluhannya, menyandarkan kepala di dada sang suami. Sekujur badannya terasa lemas, belum lagi wajahnya yang pucat seakan tak dialiri darah, membuat Sakti makin cemas. Wanita itu pasrah
Malam kian merangkak naik, udara makin dingin. Tak ada gugusan bintang, apalagi dewi malam, langit gulita bak permadani hitam raksasa. Gelegar petir yang sesekali terdengar bak amukan semesta, ditambah duduk di sana seorang diri semakin membuat Hana nelangsa. Ke mana arah mata memandang, hanya akan menimbulkan rasa iri kian menjadi. Di antara banyaknya penunggu di rumah sakit itu, benar hanya dirinya seorang yang berjaga malam itu, tak ada sanak saudara yang menemani. Hana menyeka wajahnya yang basah. Sejak tadi ia tak henti menangis meski dokter mengatakan Azzam tak mengalami luka yang berarti. "Han."Suara samar yang kemudian menjeda tangisan Hana, wanita itu gegas bangkit memasuki bangsal rawat usai tahu suaminya telah sadar. "Han, aku ...,"Tak sempat Azzam melanjutkan ucapannya. Hana membantunya duduk, wanita itu juga yang mengambilkan air minum untuknya. "Dibawa istirahat saja biar lekas pulih." Sengaja tak mau membahas banyak hal yang kemungkinan justru dapat memperburuk ko
Prang! Chava tersentak, gelas susu dalam genggamannya tiba-tiba saja merosot dan berakhir di lantai. Serpihan kacanya berserakan bercampur dengan cairan kecokelatan. "Mbak Chava nggak apa-apa?" Sari mendekati majikannya, dia papah tubuh Chava yang masih gemetaran untuk menjauh dari sana. "Kalau butuh apa-apa sebaiknya minta sama Bibi saja, Mbak. Takut Mbak Chava kenapa-napa malah bahaya," kata Marni yang juga datang dengan segelas air putih. "Diminum dulu, Mbak. Tenang, nggak ada yang luka, kan?"Sari dan Marni saling berpandangan, mereka ketakutan melihat Chava yang masih syok. "Mbak.""Perasaan saya tiba-tiba nggak enak, Bi. Ada apa ya?"Chava sendiri tak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tiba-tiba saja dadanya bergemuruh, perasaan yang sulit Chava ungkapkan. Wanita hamil itu bahkan sampai menangis karena terlalu takut. Kedatangan Nelly yang kemudian menjawab ketakutan Chava. Akan tetapi bukan perasaan lega, yang ada ketakutan wanita itu justru semakin menjadi-jadi. "Saya b
Sakti menautkan alis melihat Riko memberinya kode berupa kedipan mata berulang. Semula dia tak begitu memperhatikan, pun tak tahu maksud Riko melakukan itu, tetapi kemudian ia menyadari kalau orang kepercayaan Sinta itu tengah memintanya untuk berbicara empat mata. "Sayang, apa tidak sebaiknya kamu pulang saja? Lebih baik ibu hamil sepertimu istirahat di rumah, tak baik terlalu lama berada di sini.""Mas ngusir aku?"Nah, kan! Sakti menghembuskan napas berat, padahal bukan itu maksudnya. Sekarang dia harus memutar otak agar wanitanya itu tak merajuk yang berujung akan mendiamkannya seharian penuh. "Bukan itu maksudnya, Yang. Kamu kan sedang hamil, kasihan dede bayinya, lagi pula rumah sakit bukan tempat yang baik untuk ibu hamil sepertimu.""Ya, baiklah." Chava menarik diri dari kursi yang ditempatinya, meraih tas yang ia taruh di nakas. "Sekalian temani oma, kasihan beliau kalau di rumah sendirian yang ada makin murung nanti." Sakti berujar seraya memeluk istrinya. "Mas nggak ap
"Pelan-pelan saja, Mas. Hati-hati."Sudut bibir Sakti menukik, entah sudah keberapa kalinya kalimat itu terus meluncur dari bibir Chava. Sejak mengalami penyerangan, wanita itu mengalami cemas berlebihan. Hampir setiap saat dia memastikan kondisinya, memastikan dirinya minum obat dan istirahat teratur. Bahkan untuk pekerjaan kecil saja musti mendapat izin dari ibu hamil yang makin hari terlihat semakin cantik. "Maaf, ya. Dalam kondisi begini bukannya Mas yang memanjakan dan mengurusmu, ini malah kebalikannya. Mas merepotkanmu.""Bicara apa kamu, Mas. Tidak ada yang namanya merepotkan antara suami istri. Saling berbagi dalam segala hal, termasuk melayani dan menjaga ketika sakit, itu semua bukti cinta itu nyata."Sakti meraih tengkuk Chava kemudian melabuhkan satu kecupan di dahi perempuan itu. "Dede bayi gimana, rewel nggak?""Enggak. Dia anak yang baik, sepertinya dia tau papanya sedang kurang sehat jadi dia nggak mau ngrepotin mamanya."Sakti menatap istrinya dalam-dalam, beruntung
"Kenapa harus sejauh ini kalau hanya untuk berlibur, Nak? Lagi pula kamu sedang hamil, Oma takut perjalanan jauh ini akan membuatmu kelelahan."Netra tua dibalik bingkai kacamata itu menyoroti cucu menantunya. Chava duduk dengan gelisah, diajak bicara pun tak nyambung karena sedari tadi ibu hamil itu terus melamun. "Apa tidak sebaiknya kita pulang saja, Nell?" Beralih menatap perawatnya yang duduk di samping sopir. "Sudah tanggung, Nyonya. Sudah setengah jalan." Nelly menyahut sekadarnya. Ia sendiri dapat merasakan kegelisahan Chava karena sejujurnya dia pun ikut mencemaskan Riko. "Seperti tidak ada hari lain saja." Sinta mendesah. "Oma lelah ya? Sebaiknya Oma istirahat saja nanti begitu sampai Chava bangunkan." Chava menyesali dirinya yang mengabaikan wanita tua itu lantaran terus memikirkan Sakti. Ribuan do'a yang melangit dari dalam hati, tak henti wanita itu menyebut nama sang suami sembari sesekali mengusap jabang bayi dalam perutnya yang sesekali mengencang serasa ikut mera
Setiap yang hidup pasti akan mati, Sakti tahu itu. Akan tetapi ada hal yang sangat mengganggunya. Andai ia harus mati, apakah harus di tangan dua orang yang menjadi kepercayaan neneknya? Selain terluka andai tahu kepergian cucunya dengan cara tragis, entah akan sehancur apa hati Sinta mengetahui penyebab kematian cucu kesayangannya adalah orang yang paling ia percayai. Dalam kondisi babak belur, kesakitan yang merajai sekujur badan serasa membuat Sakti dekat dengan kematian. Tetapi daripada mati, ada hal yang jauh lebih menakutkan baginya, tentang bagaimana keadaan istri dan neneknya saat ini. Terlebih ada nyawa yang bergantung dalam gua penuh kasih sayang sang istri. Sakti marah, ia kecewa dan tak habis pikir dengan dua sosok di hadapannya, tapi sekali lagi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Nyawanya sendiri saja sedang berada di ujung tanduk, bagaimana bisa dia menyelamatkan Chava dan neneknya. Hanya do'a yang bisa ia eja dengan sepenuh hati. Andai garis takdir membawanya menemui ak
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan