Sakti menautkan alis melihat Riko memberinya kode berupa kedipan mata berulang. Semula dia tak begitu memperhatikan, pun tak tahu maksud Riko melakukan itu, tetapi kemudian ia menyadari kalau orang kepercayaan Sinta itu tengah memintanya untuk berbicara empat mata. "Sayang, apa tidak sebaiknya kamu pulang saja? Lebih baik ibu hamil sepertimu istirahat di rumah, tak baik terlalu lama berada di sini.""Mas ngusir aku?"Nah, kan! Sakti menghembuskan napas berat, padahal bukan itu maksudnya. Sekarang dia harus memutar otak agar wanitanya itu tak merajuk yang berujung akan mendiamkannya seharian penuh. "Bukan itu maksudnya, Yang. Kamu kan sedang hamil, kasihan dede bayinya, lagi pula rumah sakit bukan tempat yang baik untuk ibu hamil sepertimu.""Ya, baiklah." Chava menarik diri dari kursi yang ditempatinya, meraih tas yang ia taruh di nakas. "Sekalian temani oma, kasihan beliau kalau di rumah sendirian yang ada makin murung nanti." Sakti berujar seraya memeluk istrinya. "Mas nggak ap
"Pelan-pelan saja, Mas. Hati-hati."Sudut bibir Sakti menukik, entah sudah keberapa kalinya kalimat itu terus meluncur dari bibir Chava. Sejak mengalami penyerangan, wanita itu mengalami cemas berlebihan. Hampir setiap saat dia memastikan kondisinya, memastikan dirinya minum obat dan istirahat teratur. Bahkan untuk pekerjaan kecil saja musti mendapat izin dari ibu hamil yang makin hari terlihat semakin cantik. "Maaf, ya. Dalam kondisi begini bukannya Mas yang memanjakan dan mengurusmu, ini malah kebalikannya. Mas merepotkanmu.""Bicara apa kamu, Mas. Tidak ada yang namanya merepotkan antara suami istri. Saling berbagi dalam segala hal, termasuk melayani dan menjaga ketika sakit, itu semua bukti cinta itu nyata."Sakti meraih tengkuk Chava kemudian melabuhkan satu kecupan di dahi perempuan itu. "Dede bayi gimana, rewel nggak?""Enggak. Dia anak yang baik, sepertinya dia tau papanya sedang kurang sehat jadi dia nggak mau ngrepotin mamanya."Sakti menatap istrinya dalam-dalam, beruntung
"Kenapa harus sejauh ini kalau hanya untuk berlibur, Nak? Lagi pula kamu sedang hamil, Oma takut perjalanan jauh ini akan membuatmu kelelahan."Netra tua dibalik bingkai kacamata itu menyoroti cucu menantunya. Chava duduk dengan gelisah, diajak bicara pun tak nyambung karena sedari tadi ibu hamil itu terus melamun. "Apa tidak sebaiknya kita pulang saja, Nell?" Beralih menatap perawatnya yang duduk di samping sopir. "Sudah tanggung, Nyonya. Sudah setengah jalan." Nelly menyahut sekadarnya. Ia sendiri dapat merasakan kegelisahan Chava karena sejujurnya dia pun ikut mencemaskan Riko. "Seperti tidak ada hari lain saja." Sinta mendesah. "Oma lelah ya? Sebaiknya Oma istirahat saja nanti begitu sampai Chava bangunkan." Chava menyesali dirinya yang mengabaikan wanita tua itu lantaran terus memikirkan Sakti. Ribuan do'a yang melangit dari dalam hati, tak henti wanita itu menyebut nama sang suami sembari sesekali mengusap jabang bayi dalam perutnya yang sesekali mengencang serasa ikut mera
Setiap yang hidup pasti akan mati, Sakti tahu itu. Akan tetapi ada hal yang sangat mengganggunya. Andai ia harus mati, apakah harus di tangan dua orang yang menjadi kepercayaan neneknya? Selain terluka andai tahu kepergian cucunya dengan cara tragis, entah akan sehancur apa hati Sinta mengetahui penyebab kematian cucu kesayangannya adalah orang yang paling ia percayai. Dalam kondisi babak belur, kesakitan yang merajai sekujur badan serasa membuat Sakti dekat dengan kematian. Tetapi daripada mati, ada hal yang jauh lebih menakutkan baginya, tentang bagaimana keadaan istri dan neneknya saat ini. Terlebih ada nyawa yang bergantung dalam gua penuh kasih sayang sang istri. Sakti marah, ia kecewa dan tak habis pikir dengan dua sosok di hadapannya, tapi sekali lagi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Nyawanya sendiri saja sedang berada di ujung tanduk, bagaimana bisa dia menyelamatkan Chava dan neneknya. Hanya do'a yang bisa ia eja dengan sepenuh hati. Andai garis takdir membawanya menemui ak
Suara tangis bersahutan terdengar samar, percakapan antara beberapa orang pria pun membaur memenuhi ruangan. Netra yang terpejam rapat seakan dilapisi lem, enggan terbuka. Terasa begitu berat. Belum lagi pusing menyerang kepala, nyeri di sekujur badan makin menyiksa. Tulang belulang serasa terlepas dari persendian, tak ada tenaga tersisa. Jangankan untuk sekadar mengubah posisi, untuk berbicara saja rasanya amat kepayahan. "Jangan nangis terus, kasihan bayimu. Oma tau, Oma paham betul gimana perasaanmu saat ini, tapi berusahalah untuk tetap kuat demi anakmu. Suamimu pasti sedih kalau melihatmu seperti ini." Sinta mengusap bahu cucu menantunya. Dia sendiri meminta Chava menghentikan tangis, tetapi bulir bening di wajahnya terus menganak sungai. Sekuat apa pun mencoba tegar, hatinya tak bisa diajak bekerjasama sehingga yang terlontar selalu berlawanan dengan perasaannya. Hati siapa yang tak remuk saat dihadapkan dengan masalah berat seperti ini? Kepercayaan yang terlanjur tertanam k
Riko familiar dengan situasi seperti ini, dia merasa de javu. Belasan tahun lalu ia merasakan hal yang sama, hanya saja dengan sosok berbeda. Jika Chava takut kehilangan suaminya, dulu hal serupa terjadi pada mendiang ayahnya. Demi pengabdian sang ayah pada trah Pradipta, seorang suami harus kehilangan istri, seorang anak harus merelakan ibunya berpulang. Rasa sakit yang tak terperi, Riko kecil merasakan semua itu. Hal yang tak sepantasnya dirasakan anak seusianya. Dia dipaksa dewasa karena keadaan. Namun, kehadiran Sinta, perhatian serta segala bentuk kasih sayang yang dicurahkan wanita tua itu padanya laksana mata air di tengah padang pasir. Sinta menuntaskan dahaganya akan kasih sayang seorang ibu yang hanya bisa tujuh tahun Riko rasakan. Sinta menggantikan posisi mendiang ibunya, mencukupi seluruh kebutuhannya sebagai anak. Hal itulah yang melatarbelakangi tumbuhnya kasih sayang yang sama terhadap wanita tua itu. Riko menghormatinya, lebih dari itu
"Aduh!" Buru-buru Chava meletakkan gelas yang dibawanya hingga sebagian isinya tumpah. Ia lantas duduk di sofa kecil dekat jendela sambil menarik napas sembari memegangi perutnya. Usia kandungannya sudah makin besar, gerakan bayinya pun sudah bisa dia rasakan. Meski hal itu sudah sering terjadi, tapi terkadang Chava masih tak bisa menyembunyikan kekagetannya. "Ada apa, Yang?" Sakti yang baru saja ke luar dari kamar mandi pun gegas mendekati wanita itu. Melihat Chava meringis seperti menahan rasa sakit seketika membuatnya panik. "Enggak apa-apa kok, Mas. Tadi si dede nendangnya agak kencang dari biasanya, sampai kerasa nyeri perutku.""Sabar. Namanya ibu hamil ya memang begitu, pasti banyak yang dirasa. Mas tau payahnya seperti apa, Mas juga nggak bisa sekadar mengurangi rasa sakit yang kamu alami, tetapi semua pengorbananmu selama hamil, melahirkan dan membesarkan anak kita nanti pasti akan diganjar dengan pahala yang tak terkira dari Tuhan."Chava mengangguk, tangannya masih berge
Jutaan kubik air yang runtuh dari langit kian deras, mencipta genangan yang membasahi bumi hingga bau tanah basah tercium kental. Masih dalam suasana duka yang menyelimuti, tangis di wajah Sinta masih belum kunjung reda. Seakan memiliki ikatan batin cukup kuat, Sinta memaksa untuk diantar ke rumah sakit menemui David. Pertemuan mengharu biru yang menguras air mata dan emosi berlangsung selama tiga jam. David menghembuskan napas usai meminta maaf pada semua orang yang dirasanya telah dia sakiti. Sinta yang masih belum bisa menerima kenyataan begitu terpukul kehilangan salah satu sosok yang sudah dianggapnya sebagai cucu. "Maafkan, Oma. Maaf." Bibir wanita berusia senja itu tak henti mengucap kata maaf. Sinta merasa ikut andil atas kekacauan yang terjadi. Andai dia bisa bersikap sewajarnya, mungkin kejadian seperti ini tak perlu terjadi. Kebahagiaannya karena telah dipertemukan dengan Sakti membuatnya melupakan sosok yang perlu dia bagi perhatian juga. "Berhenti menyalahkan diri, Ny