Share

59. Dalang Penyerangan

Penulis: Lintang RatuDolar
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sakti menautkan alis melihat Riko memberinya kode berupa kedipan mata berulang. Semula dia tak begitu memperhatikan, pun tak tahu maksud Riko melakukan itu, tetapi kemudian ia menyadari kalau orang kepercayaan Sinta itu tengah memintanya untuk berbicara empat mata.

"Sayang, apa tidak sebaiknya kamu pulang saja? Lebih baik ibu hamil sepertimu istirahat di rumah, tak baik terlalu lama berada di sini."

"Mas ngusir aku?"

Nah, kan!

Sakti menghembuskan napas berat, padahal bukan itu maksudnya. Sekarang dia harus memutar otak agar wanitanya itu tak merajuk yang berujung akan mendiamkannya seharian penuh.

"Bukan itu maksudnya, Yang. Kamu kan sedang hamil, kasihan dede bayinya, lagi pula rumah sakit bukan tempat yang baik untuk ibu hamil sepertimu."

"Ya, baiklah." Chava menarik diri dari kursi yang ditempatinya, meraih tas yang ia taruh di nakas.

"Sekalian temani oma, kasihan beliau kalau di rumah sendirian yang ada makin murung nanti." Sakti berujar seraya memeluk istrinya.

"Mas nggak ap
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Anna Saridwi
sepertinya david deh ini pelaku nya
goodnovel comment avatar
Jasmine Alamanda s
saha pelakunya???
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    60. Diujung Tanduk

    "Pelan-pelan saja, Mas. Hati-hati."Sudut bibir Sakti menukik, entah sudah keberapa kalinya kalimat itu terus meluncur dari bibir Chava. Sejak mengalami penyerangan, wanita itu mengalami cemas berlebihan. Hampir setiap saat dia memastikan kondisinya, memastikan dirinya minum obat dan istirahat teratur. Bahkan untuk pekerjaan kecil saja musti mendapat izin dari ibu hamil yang makin hari terlihat semakin cantik. "Maaf, ya. Dalam kondisi begini bukannya Mas yang memanjakan dan mengurusmu, ini malah kebalikannya. Mas merepotkanmu.""Bicara apa kamu, Mas. Tidak ada yang namanya merepotkan antara suami istri. Saling berbagi dalam segala hal, termasuk melayani dan menjaga ketika sakit, itu semua bukti cinta itu nyata."Sakti meraih tengkuk Chava kemudian melabuhkan satu kecupan di dahi perempuan itu. "Dede bayi gimana, rewel nggak?""Enggak. Dia anak yang baik, sepertinya dia tau papanya sedang kurang sehat jadi dia nggak mau ngrepotin mamanya."Sakti menatap istrinya dalam-dalam, beruntung

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    61. Sebuah Jebakan

    "Kenapa harus sejauh ini kalau hanya untuk berlibur, Nak? Lagi pula kamu sedang hamil, Oma takut perjalanan jauh ini akan membuatmu kelelahan."Netra tua dibalik bingkai kacamata itu menyoroti cucu menantunya. Chava duduk dengan gelisah, diajak bicara pun tak nyambung karena sedari tadi ibu hamil itu terus melamun. "Apa tidak sebaiknya kita pulang saja, Nell?" Beralih menatap perawatnya yang duduk di samping sopir. "Sudah tanggung, Nyonya. Sudah setengah jalan." Nelly menyahut sekadarnya. Ia sendiri dapat merasakan kegelisahan Chava karena sejujurnya dia pun ikut mencemaskan Riko. "Seperti tidak ada hari lain saja." Sinta mendesah. "Oma lelah ya? Sebaiknya Oma istirahat saja nanti begitu sampai Chava bangunkan." Chava menyesali dirinya yang mengabaikan wanita tua itu lantaran terus memikirkan Sakti. Ribuan do'a yang melangit dari dalam hati, tak henti wanita itu menyebut nama sang suami sembari sesekali mengusap jabang bayi dalam perutnya yang sesekali mengencang serasa ikut mera

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    62. Masuk Jebakan

    Setiap yang hidup pasti akan mati, Sakti tahu itu. Akan tetapi ada hal yang sangat mengganggunya. Andai ia harus mati, apakah harus di tangan dua orang yang menjadi kepercayaan neneknya? Selain terluka andai tahu kepergian cucunya dengan cara tragis, entah akan sehancur apa hati Sinta mengetahui penyebab kematian cucu kesayangannya adalah orang yang paling ia percayai. Dalam kondisi babak belur, kesakitan yang merajai sekujur badan serasa membuat Sakti dekat dengan kematian. Tetapi daripada mati, ada hal yang jauh lebih menakutkan baginya, tentang bagaimana keadaan istri dan neneknya saat ini. Terlebih ada nyawa yang bergantung dalam gua penuh kasih sayang sang istri. Sakti marah, ia kecewa dan tak habis pikir dengan dua sosok di hadapannya, tapi sekali lagi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Nyawanya sendiri saja sedang berada di ujung tanduk, bagaimana bisa dia menyelamatkan Chava dan neneknya. Hanya do'a yang bisa ia eja dengan sepenuh hati. Andai garis takdir membawanya menemui ak

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    63. Merasa Gagal

    Suara tangis bersahutan terdengar samar, percakapan antara beberapa orang pria pun membaur memenuhi ruangan. Netra yang terpejam rapat seakan dilapisi lem, enggan terbuka. Terasa begitu berat. Belum lagi pusing menyerang kepala, nyeri di sekujur badan makin menyiksa. Tulang belulang serasa terlepas dari persendian, tak ada tenaga tersisa. Jangankan untuk sekadar mengubah posisi, untuk berbicara saja rasanya amat kepayahan. "Jangan nangis terus, kasihan bayimu. Oma tau, Oma paham betul gimana perasaanmu saat ini, tapi berusahalah untuk tetap kuat demi anakmu. Suamimu pasti sedih kalau melihatmu seperti ini." Sinta mengusap bahu cucu menantunya. Dia sendiri meminta Chava menghentikan tangis, tetapi bulir bening di wajahnya terus menganak sungai. Sekuat apa pun mencoba tegar, hatinya tak bisa diajak bekerjasama sehingga yang terlontar selalu berlawanan dengan perasaannya. Hati siapa yang tak remuk saat dihadapkan dengan masalah berat seperti ini? Kepercayaan yang terlanjur tertanam k

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    64. Setelah Badai

    Riko familiar dengan situasi seperti ini, dia merasa de javu. Belasan tahun lalu ia merasakan hal yang sama, hanya saja dengan sosok berbeda. Jika Chava takut kehilangan suaminya, dulu hal serupa terjadi pada mendiang ayahnya. Demi pengabdian sang ayah pada trah Pradipta, seorang suami harus kehilangan istri, seorang anak harus merelakan ibunya berpulang. Rasa sakit yang tak terperi, Riko kecil merasakan semua itu. Hal yang tak sepantasnya dirasakan anak seusianya. Dia dipaksa dewasa karena keadaan. Namun, kehadiran Sinta, perhatian serta segala bentuk kasih sayang yang dicurahkan wanita tua itu padanya laksana mata air di tengah padang pasir. Sinta menuntaskan dahaganya akan kasih sayang seorang ibu yang hanya bisa tujuh tahun Riko rasakan. Sinta menggantikan posisi mendiang ibunya, mencukupi seluruh kebutuhannya sebagai anak. Hal itulah yang melatarbelakangi tumbuhnya kasih sayang yang sama terhadap wanita tua itu. Riko menghormatinya, lebih dari itu

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    65. Sebuah Hukuman

    "Aduh!" Buru-buru Chava meletakkan gelas yang dibawanya hingga sebagian isinya tumpah. Ia lantas duduk di sofa kecil dekat jendela sambil menarik napas sembari memegangi perutnya. Usia kandungannya sudah makin besar, gerakan bayinya pun sudah bisa dia rasakan. Meski hal itu sudah sering terjadi, tapi terkadang Chava masih tak bisa menyembunyikan kekagetannya. "Ada apa, Yang?" Sakti yang baru saja ke luar dari kamar mandi pun gegas mendekati wanita itu. Melihat Chava meringis seperti menahan rasa sakit seketika membuatnya panik. "Enggak apa-apa kok, Mas. Tadi si dede nendangnya agak kencang dari biasanya, sampai kerasa nyeri perutku.""Sabar. Namanya ibu hamil ya memang begitu, pasti banyak yang dirasa. Mas tau payahnya seperti apa, Mas juga nggak bisa sekadar mengurangi rasa sakit yang kamu alami, tetapi semua pengorbananmu selama hamil, melahirkan dan membesarkan anak kita nanti pasti akan diganjar dengan pahala yang tak terkira dari Tuhan."Chava mengangguk, tangannya masih berge

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    66. Mulai Mereda

    Jutaan kubik air yang runtuh dari langit kian deras, mencipta genangan yang membasahi bumi hingga bau tanah basah tercium kental. Masih dalam suasana duka yang menyelimuti, tangis di wajah Sinta masih belum kunjung reda. Seakan memiliki ikatan batin cukup kuat, Sinta memaksa untuk diantar ke rumah sakit menemui David. Pertemuan mengharu biru yang menguras air mata dan emosi berlangsung selama tiga jam. David menghembuskan napas usai meminta maaf pada semua orang yang dirasanya telah dia sakiti. Sinta yang masih belum bisa menerima kenyataan begitu terpukul kehilangan salah satu sosok yang sudah dianggapnya sebagai cucu. "Maafkan, Oma. Maaf." Bibir wanita berusia senja itu tak henti mengucap kata maaf. Sinta merasa ikut andil atas kekacauan yang terjadi. Andai dia bisa bersikap sewajarnya, mungkin kejadian seperti ini tak perlu terjadi. Kebahagiaannya karena telah dipertemukan dengan Sakti membuatnya melupakan sosok yang perlu dia bagi perhatian juga. "Berhenti menyalahkan diri, Ny

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    67. Keinginan Chava

    Segelas jus alpukat dan sepotong roti bakar hazelnut yang masih menguarkan asap tipis belum tersentuh sama sekali. Chava masih setia mengunci rapat mulutnya. Meski telah berusaha mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu, tak dipungkiri, sakit itu masih terasa. Bukan Chava membenci Azzam maupun Hana, bukan. Hatinya telah berdamai cukup lama, berbesar hati untuk tidak menanam dendam dalam sanubari. Bukan pula rasa cintanya masih tertinggal untuk mantan suaminya, tetapi Chava juga manusia biasa. Setiap orang tentu berbeda menanggapi rasa sakit, juga mengobatinya. Tak Chava pungkiri, hatinya masih menyimpan sedikit kesakitan. Awalnya sengaja Chava ingin menghindari Hana, tetapi bujukan suaminya yang membuatnya sekarang berada di tempat yang sama dengan bekas madunya itu. Duduk saling berhadapan, mencipta suasana tak nyaman sementara Sakti menunggu di meja terpisah dengan dalih membiarkan dua wanita itu leluasa berbicara. "Maaf membuatmu tak nyaman setiap kali kita bertemu, Va. Sebag

Bab terbaru

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    159.

    Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    Bab. 158.

    Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    157.

    Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    156.

    "Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    155.

    Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    154.

    "Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    153.

    "Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    152.

    "Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki

  • Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder    151.

    "Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan

DMCA.com Protection Status