"Lihat itu, suami simpanannya baru pulang. Dia pasti kesulitan menipu istri sahnya sampai akhirnya mengabaikan gundiknya. Sekian lama baru pulang.""Iya. Zaman sekarang sebagai istri kita harus pandai-pandai menjaga suami kita agar tak dijadikan sasaran pelakor, ibu-ibu.""Padahal gagah loh orangnya, tampan begitu kok ya mau-maunya sama perempuan kampung. Nggak ada cantik-cantiknya, apalagi sih yang dicari?""Seringnya kasus perselingkuhan biasanya jelas cantikan istri sahnya kemana-mana. Pelakor cuma modal gatal sama ngangkang doang.""Ini nggak bisa dibiarkan. Pokoknya kita harus lapor sama Pak RT. Jangan sampai kita kecipratan dosa dua manusia laknat itu. Bisa saja mereka menutupi perzinahan dengan mengaku sudah nikah siri. Ih, amit-amit. Heran, manusia begitu kok ya seperti nggak ada malunya."Bara baru saja memarkirkan mobil, sedikit heran melihat ibu-ibu tetangganya sibuk berkumpul sambil bergosip menatap ke arahnya. Telinganya sampai gatal mendengar gunjingan mereka, belum lagi
Indah melihatnya, melihat bagaimana suaminya melempar tatapan penuh pemujaan terhadap wanita lain. Melihat bagaimana suaminya beramah-tamah pada wanita lain, kemudian tertawa bersama, saling melempar canda. Sikap hangat yang ditunjukkan Bara di hadapan atasan dan rekan kerjanya berbanding terbalik ketika pria itu bersikap kepada istrinya. Kenyataannya, diakui atau tidak, Indah pikir suaminya memiliki kepribadian ganda. Dan tentunya hanya dirinya seorang yang tahu sisi lain pria itu. Indah tersenyum miris, mentertawakan nasibnya yang tak seberuntung istri-istri di luaran sana. Bahkan mungkin, gelar istri tak dianggap yang paling nelangsa, jatuh pada dirinya. "Cepat sembuh seperti sedia kala, Mbak Indah. Sepertinya sudah terlalu lama kami di sini, sudah saatnya kami pulang." Lea mengakhiri obrolan, sementara yang lain kompak diam memberikan kesempatan pada istri dari atasan mereka untuk berpamitan. "Buru-buru, Non Lea. Padahal saya senang lho, jadi ada teman ngobrol.""Lain waktu sa
Lolongan Indah memecah kebisuan malam. Suaranya melemah, pun dengan tubuhnya yang kini tak lagi meronta. Tak ada lagi permohonan yang lolos dari bibirnya, yang ada hanya isak tangis tertahan. Bulir bening yang seolah tak ada habisnya, terus membanjiri pipinya yang tirus. Tatapannya kosong. Indah gagal. Perjuangannya mempertahankan harga diri dan kehormatannya berakhir sia-sia usai Bara berhasil mendapatkan apa yang lelaki itu inginkan. Satu-satunya hal yang paling berharga yang dimiliki Indah. Satu-satunya hal yang bisa dibanggakan wanita itu. Kini, telah diambil oleh Bara dengan cara yang paling menyakitkan bagi seorang wanita. "Pak," lirih bibir itu mengucap tanpa suara. Tenaganya sudah habis. Kerinduannya pada sosok cinta pertamanya kian menggunung. Hadi, meski tak pernah memanjakannya dengan kemewahan, tapi pria itu tak pernah sedikit pun melukainya. 'Indah berhasil menjaga diri, pak. Indah berhasil mempersembahkan kehormatan Indah untuk suami Indah.'Perempuan yang telah resm
"Pergi sebelum kesabaranku habis dan ambil uangmu!" Bara melempar lembaran uang yang baru saja dia keluarkan dari dompet."Anda ini tenaga medis, tugas Anda menyelamatkan nyawa orang, bukan malah mengompori seseorang untuk berbuat buruk!""Dan saya sudah melakukan tugas saya dengan baik. Saya sedang menyelamatkan nyawa seorang istri dari suami berhati kejam dan tak berperasaan seperti Anda," balas Wahyuni tanpa rasa takut sedikit pun.Tubuh kekar Bara membuat siapa saja yang melihatnya tahu sebesar apa tenaga pria itu, tapi Wahyuni yakin pria itu tak akan berani main fisik padanya."Tutup mulutmu dan jangan ikut campur urusan pribadiku. Anda di sini saya minta untuk mengobati istri saya, setelah tugas Anda selesai, jangan mencampuradukkan dengan sesuatu yang bukan menjadi ranah Anda, Bu Bidan!" tegas suami Indah itu sengaja menyadarkan Wahyuni pada posisinya."Baik. Terima kasih." Wahyuni mengambil tas kerjanya, menatap pilu Indah yang masih tergugu di ranjang. "Lekas pulih, Mbak. Sa
"Cukup, Bang! Abang mau bikin dia mati?" Bara menepis tangan Ardi, mendorong pria yang lebih muda darinya itu untuk menjauh agar dia leluasa memberikan pelajaran pada preman bayaran Andre yang dibayar untuk mencelakakan Indah. Tak ada rasa cinta bukan berarti dia akan diam saja ketika ada orang berniat melenyapkan nyawa istrinya. Harga dirinya menjadi taruhan. Pun Bara tak mau Indah terseret dalam masalah karena dirinya. "Ampun, Bang. Ampun!""Beruntung istriku baik-baik saja, sampai dia terluka parah, aku pastikan kamu dan Andre akan membusuk di penjara!""Ampun, Bang. Kasihani keluarga saya di rumah. Anak saya masih kecil-kecil, Bang. Siapa yang ngasih makan mereka kalau bukan saya. Terpaksa saya terima tawaran Bang Andre karena anak bungsu saya sedang sakit keras." Darah pria itu telah mengucur, menodai tubuh dan lantai tempatnya meringkuk, tapi Bara masih belum puas meluapkan kemarahannya. Sampai kemudian, jeritan lelaki itu mengingatkan Bara pada wajah kesakitan Indah.Kepala
Rindu Bapak, ternyata tak ada yang bisa mencintaiku seperti Bapak mencintaiku. Maafkan Indah yang tak bisa membahagiakan dan membersamai Bapak di masa tua Bapak karena harus mengabdi pada suami. Begitu yang ditulis Indah, mewakilkan kerinduannya yang menggunung pada pria yang menjadi cinta pertamanya nun jauh di sana. Bara menekan dada yang terasa sesak. Ia menggeleng tak percaya membayangkan ketika dengan ganasnya dia meminta hak pada Indah. Jejak keunguan masih terukir jelas di beberapa bagian tubuh Indah. Melihat wanita itu, tiba-tiba Bara menjadi malu sendiri. "Arghh! Ma-mau apa, Mas?" Tetiba netra Indah terbuka lebar. Reflek dia menarik selimut menutupi tubuhnya dan beringsut mundur. Kentara sekali sorot mata penuh ketakutan yang membuat Bara makin dikepung sesal. Sebegitu takutnya perempuan itu kembali diapa-apakan suaminya. "Mau ambil charger, punyaku ketinggalan di paviliun." Bara pura-pura mencari-cari benda itu, tapi tak kunjung ketemu. Lelaki itu berusaha bersikap bia
Bara tak langsung pergi begitu ia memasuki mobilnya. Ada yang aneh, serasa ada yang meledak dalam dadanya dan Bara kesulitan menggambarkan perasaannya saat ini. Cukup lama pria itu memandangi tangannya, mengusap bagian di mana bibir Indah menempel tadi kemudian mengecupnya pelan. Angannya tetiba melayang teringat malam panas yang dia lakukan bersama Indah. Dia pria dewasa, sekali pun baru pernah mengalaminya, tapi Bara tahu kalau dirinyalah yang pertama mencicipi semua yang ada dalam diri wanita itu. Bibirnya, semuanya. "Sial! Sudah mau berangkat kok ya masih sempat-sempatnya berpikiran mesum, Bar ... Bar." Pria itu memukul kepalanya, menepis pikiran liar yang sempat membangkitkan gejolak kelelakiannya. Mobil melaju pelan, Bara menekan klakson sembari membuka sebagian kaca mobil. Senyumnya kembali merekah manakala melihat sesosok pria dengan pakaian lusuh dan compang-camping tampak duduk di bawah pohon Angsana. Pria itu melempar senyum, memamerkan jempolnya. "Edo memang selalu tot
Indah terus menunduk, sejujurnya dia malu terus ditatap suaminya dengan intens. Awalnya Indah pikir ada yang aneh di wajahnya, takut riasannya jelek di mata Bara mengingat selama melajang dia tak pernah bersolek.Namun, rupanya tak ada yang salah. Dan Bara memang benar-benar menatapnya. Indah merasa seperti sedang bermimpi. Ada yang berbunga di dalam sana. "Mau nambah?"Lamunan Indah terputus, ia kembali mengaduk mangkuk sebelum menyuap. "Nggak usah, Mas. Ini juga belum habis," ucapnya."Nggak usah malu kalau mau nambah, atau mau dibungkus saja dibawa pulang?"Indah menggeleng. Sengaja ia menyisakan ruang di lambungnya untuk makan terang bulan. Sudah lama dia tak makan kudapan manis favoritnya itu."Habis ini mau ke mana, Mas?""Jalan-jalan mau? Ke taman sambil lihat pemandangan. Atau mau pergi belanja, barangkali mau bebelian kebutuhan pokok." Bara menawarkan beberapa pilihan sekaligus."Memang boleh?" Tanya perempuan itu dengan polosnya."Kan aku yang nawarin. Mau, nggak?""Sebenar