Bara tak langsung pergi begitu ia memasuki mobilnya. Ada yang aneh, serasa ada yang meledak dalam dadanya dan Bara kesulitan menggambarkan perasaannya saat ini. Cukup lama pria itu memandangi tangannya, mengusap bagian di mana bibir Indah menempel tadi kemudian mengecupnya pelan. Angannya tetiba melayang teringat malam panas yang dia lakukan bersama Indah. Dia pria dewasa, sekali pun baru pernah mengalaminya, tapi Bara tahu kalau dirinyalah yang pertama mencicipi semua yang ada dalam diri wanita itu. Bibirnya, semuanya. "Sial! Sudah mau berangkat kok ya masih sempat-sempatnya berpikiran mesum, Bar ... Bar." Pria itu memukul kepalanya, menepis pikiran liar yang sempat membangkitkan gejolak kelelakiannya. Mobil melaju pelan, Bara menekan klakson sembari membuka sebagian kaca mobil. Senyumnya kembali merekah manakala melihat sesosok pria dengan pakaian lusuh dan compang-camping tampak duduk di bawah pohon Angsana. Pria itu melempar senyum, memamerkan jempolnya. "Edo memang selalu tot
Indah terus menunduk, sejujurnya dia malu terus ditatap suaminya dengan intens. Awalnya Indah pikir ada yang aneh di wajahnya, takut riasannya jelek di mata Bara mengingat selama melajang dia tak pernah bersolek.Namun, rupanya tak ada yang salah. Dan Bara memang benar-benar menatapnya. Indah merasa seperti sedang bermimpi. Ada yang berbunga di dalam sana. "Mau nambah?"Lamunan Indah terputus, ia kembali mengaduk mangkuk sebelum menyuap. "Nggak usah, Mas. Ini juga belum habis," ucapnya."Nggak usah malu kalau mau nambah, atau mau dibungkus saja dibawa pulang?"Indah menggeleng. Sengaja ia menyisakan ruang di lambungnya untuk makan terang bulan. Sudah lama dia tak makan kudapan manis favoritnya itu."Habis ini mau ke mana, Mas?""Jalan-jalan mau? Ke taman sambil lihat pemandangan. Atau mau pergi belanja, barangkali mau bebelian kebutuhan pokok." Bara menawarkan beberapa pilihan sekaligus."Memang boleh?" Tanya perempuan itu dengan polosnya."Kan aku yang nawarin. Mau, nggak?""Sebenar
"Mas." Reflek Indah menolak tubuh suaminya ketika Bara mencoba memangkas jarak di antara mereka. Tubuhnya bergetar hebat, wajah serta keganasan Bara ketika menindihnya kala itu, benar-benar membuat Indah ketakutan. "Ndah." Bara mencekal pergelangan tangan istrinya, menggagalkan niat Indah yang hampir melompat dari ranjang. "Ma-mas aku ..." Kata-katanya tertahan. Indah menahan tangis. Sungguh, dia takut. "Hei, tenang. Aku janji semuanya akan baik-baik saja."Indah tak bisa menolak kali ini. Tanpa bisa dicegah tiba-tiba saja Bara mendekapnya sangat erat. "Kamu istriku, aku berhak sepenuhnya atas dirimu. Dan kali ini aku menginginkannya," bisik Bara, suaranya terdengar berat tetapi lembut dan enak didengar. "Aku janji akan melakukannya dengan lembut, kamu bisa percaya sama aku," ujar pria itu lagi, kali ini dengan wajah memelas. "Tolong, bantu aku."Indah tertegun. Ketakutan yang begitu besar menguasai dirinya, tapi melihat manik mata sehitam tinta yang tengah menyorotnya penuh ha
Serasa berdiri di persimpangan jalan, Indah bingung hendak kemana membawa kakinya melangkah. Semua masih serba abu-abu di depan sana, dan setiap keputusan yang akan diambilnya akan menentukan bagaimana hidupnya di masa mendatang. Perubahan Bara tak serta merta diterima Indah dengan tangan terbuka, sekali lagi, Indah hanya tak ingin terlalu berharap banyak pada pernikahan ini. Bisa jadi apa yang dilakukan Bara hanyalah bentuk penyesalan pria itu saja atas apa yang sudah dia lakukan padanya. "Mbak Indah ya?" Pria berjaket hijau menghampiri Indah yang sedang berdiri di depan pagar. Menyerahkan pelindung kepala begitu melihat Indah mengangguk dengan melempar senyum. "Sesuai aplikasi ya, Mbak? Mau kirim apa, Mbak? Biar saya taruh sekalian di depan.""Nggak apa-apa, Pak. Masih bisa saya bawa sendiri." Indah memangku tas kain berisi beberapa botol. Ia menaiki motor dan kuda besi itu pun melaju. Di tempatnya, masih mengenakan pakaian compang-camping, Edo berlari menuju tempat ia menyembun
Puas menangis sampai rasanya kering air mata, Indah terhuyung mencoba bangkit. Kehidupannya boleh jadi hancur, tapi dunia masih terus berputar. Selagi nyawa masih dikandung badan, ada hak raga yang tak bisa dilalaikan. Indah kembali merapikan lembaran foto yang tak ubahnya anak panah beracun tiap kali ia melihatnya. Indah simpan kotak itu di tempat terbaik, sama seperti seseorang yang sudah memberikan 'kado' istimewa itu, Indah pun mulai menyiapkan hadiah sebagai ucapan 'terima kasihnya'. "Lagi apa? Kangen," bisik Bara sambil memeluk istrinya dari belakang. Indah sedang mencuci sayuran di dapur ketika suaminya datang. Indah tak mendengar deru mesin mobil pria itu karena terlalu sibuk dengan pikirannya. Dia harus memastikan satu hal sebelum membulatkan tekad pada keputusan awalnya. "Kamu habis nangis?" Bara memutar bahu Indah sehingga mereka saling berhadapan. "Kamu sakit?" Menempelkan tangan di kening, Bara terlihat sangat mencemaskan istrinya. "Aku nggak apa-apa." Kenyataannya
"Jangan sampai tertinggal, Pak." Entah sudah peringatan yang keberapa kalinya, kata-kata yang sama terus berulang dikatakan Indah. "Baik, Mbak."Mereka sempat kehilangan jejak, tapi untungnya Indah berhasil menemukan keberadaan mobil suaminya lagi sehingga mereka masih terus membuntuti kemana mobil lelaki itu pergi. Hujan deras di beberapa tempat membuat Indah menggigil, tapi tak menyurutkan niatnya untuk mengetahui tujuan suaminya pergi kali ini. Motor terus melaju dengan menjaga jarak aman. Indah yakin suaminya juga tak akan mengetahui kalau dia sedang dibuntuti. Mantel dan helm serta masker yang dia pakai rasanya cukup untuk melakukan penyamaran itu. "Kita menepi di sana saja ya, Mbak. Jangan terlalu dekat, takutnya ketauan.""Iya, Pak terima kasih. Nanti saya kasih tambahan, jadi Bapak nggak usah khawatir."Tanpa melepas helm di kepalanya, Indah turun dari motor. Ia berjalan mengendap ke arah pagar yang tingginya setengah badan. Keberadaan pohon pucuk merah yang rindang mengun
Puluhan foto Bara berhasil Indah abadikan menjadi penghuni galeri ponselnya. Ia lantas meraih tas yang sempat disembunyikan, kemudian berjalan pelan meninggalkan bangunan itu dengan pasti. Sakit memang, tapi lebih baik kesakitan untuk satu waktu itu saja, terluka parah lalu setelahnya melepas sumber rasa sakit itu dan berdamai dengan kenyataan. Menerima apa yang sudah digariskan Yang Maha Esa. Membawa luka berdarah-darah, Indah merasa lega ketika ojek yang dipesannya mulai melaju meninggalkan perumahan. Takdir membawanya hanya dua bulan mencicipi manis menjadi istri seutuhnya. Indah ikhlas, dia rela jika dengan melepas Bara akan membuat lelaki itu hidup bahagia. Sementara dirinya, biarkan dia memeluk luka itu sendirian. Indah telah membungkus rapi kenangan manisnya selama hidup bersama Bara. Setelah ini, dia mungkin akan kembali menjadi perannya sebagai buruh serabutan lagi di kampung.Seperti dongeng dalam kisah klasik, dari itik buruk rupa menjelma menjadi angsa cantik. Kebahagia
Bising mesin yang beradu dengan padatnya lalu lintas. Banyaknya orang yang memenuhi kursi bus yang juga ditumpangi Indah, belum lagi bau keringat para penumpang yang bercampur parfum dan asap knalpot sungguh membuat Indah mual. Setibanya di terminal Indah sudah muntah, dan sudah setengah jam perjalanan dia kembali memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan. Sejak kemarin memang Indah hanya mengisi lambungnya dengan air minum saja. Sejak mengetahui suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain di belakangnya secara diam-diam, Indah kehilangan nafsu makan. Ia benar-benar tak merasakan lapar sama sekali. "Ini ada minyak angin, Mbak. Sini saya bantu pakaikan." Ibu-ibu paruh baya yang duduk di samping kursi penumpang Indah menawarkan bantuan. Indah yang memang sudah merasa sangat lemah tak sanggup menolak. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih pada wanita bertubuh tambun itu. "Baru pertama kali naik bus, ya?"Indah menggeleng. "Pernah Bu, tapi memang hanya sesekali.""Mukam