Lolongan Indah memecah kebisuan malam. Suaranya melemah, pun dengan tubuhnya yang kini tak lagi meronta. Tak ada lagi permohonan yang lolos dari bibirnya, yang ada hanya isak tangis tertahan. Bulir bening yang seolah tak ada habisnya, terus membanjiri pipinya yang tirus. Tatapannya kosong. Indah gagal. Perjuangannya mempertahankan harga diri dan kehormatannya berakhir sia-sia usai Bara berhasil mendapatkan apa yang lelaki itu inginkan. Satu-satunya hal yang paling berharga yang dimiliki Indah. Satu-satunya hal yang bisa dibanggakan wanita itu. Kini, telah diambil oleh Bara dengan cara yang paling menyakitkan bagi seorang wanita. "Pak," lirih bibir itu mengucap tanpa suara. Tenaganya sudah habis. Kerinduannya pada sosok cinta pertamanya kian menggunung. Hadi, meski tak pernah memanjakannya dengan kemewahan, tapi pria itu tak pernah sedikit pun melukainya. 'Indah berhasil menjaga diri, pak. Indah berhasil mempersembahkan kehormatan Indah untuk suami Indah.'Perempuan yang telah resm
"Pergi sebelum kesabaranku habis dan ambil uangmu!" Bara melempar lembaran uang yang baru saja dia keluarkan dari dompet."Anda ini tenaga medis, tugas Anda menyelamatkan nyawa orang, bukan malah mengompori seseorang untuk berbuat buruk!""Dan saya sudah melakukan tugas saya dengan baik. Saya sedang menyelamatkan nyawa seorang istri dari suami berhati kejam dan tak berperasaan seperti Anda," balas Wahyuni tanpa rasa takut sedikit pun.Tubuh kekar Bara membuat siapa saja yang melihatnya tahu sebesar apa tenaga pria itu, tapi Wahyuni yakin pria itu tak akan berani main fisik padanya."Tutup mulutmu dan jangan ikut campur urusan pribadiku. Anda di sini saya minta untuk mengobati istri saya, setelah tugas Anda selesai, jangan mencampuradukkan dengan sesuatu yang bukan menjadi ranah Anda, Bu Bidan!" tegas suami Indah itu sengaja menyadarkan Wahyuni pada posisinya."Baik. Terima kasih." Wahyuni mengambil tas kerjanya, menatap pilu Indah yang masih tergugu di ranjang. "Lekas pulih, Mbak. Sa
"Cukup, Bang! Abang mau bikin dia mati?" Bara menepis tangan Ardi, mendorong pria yang lebih muda darinya itu untuk menjauh agar dia leluasa memberikan pelajaran pada preman bayaran Andre yang dibayar untuk mencelakakan Indah. Tak ada rasa cinta bukan berarti dia akan diam saja ketika ada orang berniat melenyapkan nyawa istrinya. Harga dirinya menjadi taruhan. Pun Bara tak mau Indah terseret dalam masalah karena dirinya. "Ampun, Bang. Ampun!""Beruntung istriku baik-baik saja, sampai dia terluka parah, aku pastikan kamu dan Andre akan membusuk di penjara!""Ampun, Bang. Kasihani keluarga saya di rumah. Anak saya masih kecil-kecil, Bang. Siapa yang ngasih makan mereka kalau bukan saya. Terpaksa saya terima tawaran Bang Andre karena anak bungsu saya sedang sakit keras." Darah pria itu telah mengucur, menodai tubuh dan lantai tempatnya meringkuk, tapi Bara masih belum puas meluapkan kemarahannya. Sampai kemudian, jeritan lelaki itu mengingatkan Bara pada wajah kesakitan Indah.Kepala
Rindu Bapak, ternyata tak ada yang bisa mencintaiku seperti Bapak mencintaiku. Maafkan Indah yang tak bisa membahagiakan dan membersamai Bapak di masa tua Bapak karena harus mengabdi pada suami. Begitu yang ditulis Indah, mewakilkan kerinduannya yang menggunung pada pria yang menjadi cinta pertamanya nun jauh di sana. Bara menekan dada yang terasa sesak. Ia menggeleng tak percaya membayangkan ketika dengan ganasnya dia meminta hak pada Indah. Jejak keunguan masih terukir jelas di beberapa bagian tubuh Indah. Melihat wanita itu, tiba-tiba Bara menjadi malu sendiri. "Arghh! Ma-mau apa, Mas?" Tetiba netra Indah terbuka lebar. Reflek dia menarik selimut menutupi tubuhnya dan beringsut mundur. Kentara sekali sorot mata penuh ketakutan yang membuat Bara makin dikepung sesal. Sebegitu takutnya perempuan itu kembali diapa-apakan suaminya. "Mau ambil charger, punyaku ketinggalan di paviliun." Bara pura-pura mencari-cari benda itu, tapi tak kunjung ketemu. Lelaki itu berusaha bersikap bia
Bara tak langsung pergi begitu ia memasuki mobilnya. Ada yang aneh, serasa ada yang meledak dalam dadanya dan Bara kesulitan menggambarkan perasaannya saat ini. Cukup lama pria itu memandangi tangannya, mengusap bagian di mana bibir Indah menempel tadi kemudian mengecupnya pelan. Angannya tetiba melayang teringat malam panas yang dia lakukan bersama Indah. Dia pria dewasa, sekali pun baru pernah mengalaminya, tapi Bara tahu kalau dirinyalah yang pertama mencicipi semua yang ada dalam diri wanita itu. Bibirnya, semuanya. "Sial! Sudah mau berangkat kok ya masih sempat-sempatnya berpikiran mesum, Bar ... Bar." Pria itu memukul kepalanya, menepis pikiran liar yang sempat membangkitkan gejolak kelelakiannya. Mobil melaju pelan, Bara menekan klakson sembari membuka sebagian kaca mobil. Senyumnya kembali merekah manakala melihat sesosok pria dengan pakaian lusuh dan compang-camping tampak duduk di bawah pohon Angsana. Pria itu melempar senyum, memamerkan jempolnya. "Edo memang selalu tot
Indah terus menunduk, sejujurnya dia malu terus ditatap suaminya dengan intens. Awalnya Indah pikir ada yang aneh di wajahnya, takut riasannya jelek di mata Bara mengingat selama melajang dia tak pernah bersolek.Namun, rupanya tak ada yang salah. Dan Bara memang benar-benar menatapnya. Indah merasa seperti sedang bermimpi. Ada yang berbunga di dalam sana. "Mau nambah?"Lamunan Indah terputus, ia kembali mengaduk mangkuk sebelum menyuap. "Nggak usah, Mas. Ini juga belum habis," ucapnya."Nggak usah malu kalau mau nambah, atau mau dibungkus saja dibawa pulang?"Indah menggeleng. Sengaja ia menyisakan ruang di lambungnya untuk makan terang bulan. Sudah lama dia tak makan kudapan manis favoritnya itu."Habis ini mau ke mana, Mas?""Jalan-jalan mau? Ke taman sambil lihat pemandangan. Atau mau pergi belanja, barangkali mau bebelian kebutuhan pokok." Bara menawarkan beberapa pilihan sekaligus."Memang boleh?" Tanya perempuan itu dengan polosnya."Kan aku yang nawarin. Mau, nggak?""Sebenar
"Mas." Reflek Indah menolak tubuh suaminya ketika Bara mencoba memangkas jarak di antara mereka. Tubuhnya bergetar hebat, wajah serta keganasan Bara ketika menindihnya kala itu, benar-benar membuat Indah ketakutan. "Ndah." Bara mencekal pergelangan tangan istrinya, menggagalkan niat Indah yang hampir melompat dari ranjang. "Ma-mas aku ..." Kata-katanya tertahan. Indah menahan tangis. Sungguh, dia takut. "Hei, tenang. Aku janji semuanya akan baik-baik saja."Indah tak bisa menolak kali ini. Tanpa bisa dicegah tiba-tiba saja Bara mendekapnya sangat erat. "Kamu istriku, aku berhak sepenuhnya atas dirimu. Dan kali ini aku menginginkannya," bisik Bara, suaranya terdengar berat tetapi lembut dan enak didengar. "Aku janji akan melakukannya dengan lembut, kamu bisa percaya sama aku," ujar pria itu lagi, kali ini dengan wajah memelas. "Tolong, bantu aku."Indah tertegun. Ketakutan yang begitu besar menguasai dirinya, tapi melihat manik mata sehitam tinta yang tengah menyorotnya penuh ha
Serasa berdiri di persimpangan jalan, Indah bingung hendak kemana membawa kakinya melangkah. Semua masih serba abu-abu di depan sana, dan setiap keputusan yang akan diambilnya akan menentukan bagaimana hidupnya di masa mendatang. Perubahan Bara tak serta merta diterima Indah dengan tangan terbuka, sekali lagi, Indah hanya tak ingin terlalu berharap banyak pada pernikahan ini. Bisa jadi apa yang dilakukan Bara hanyalah bentuk penyesalan pria itu saja atas apa yang sudah dia lakukan padanya. "Mbak Indah ya?" Pria berjaket hijau menghampiri Indah yang sedang berdiri di depan pagar. Menyerahkan pelindung kepala begitu melihat Indah mengangguk dengan melempar senyum. "Sesuai aplikasi ya, Mbak? Mau kirim apa, Mbak? Biar saya taruh sekalian di depan.""Nggak apa-apa, Pak. Masih bisa saya bawa sendiri." Indah memangku tas kain berisi beberapa botol. Ia menaiki motor dan kuda besi itu pun melaju. Di tempatnya, masih mengenakan pakaian compang-camping, Edo berlari menuju tempat ia menyembun