"Pergi sebelum kesabaranku habis dan ambil uangmu!" Bara melempar lembaran uang yang baru saja dia keluarkan dari dompet."Anda ini tenaga medis, tugas Anda menyelamatkan nyawa orang, bukan malah mengompori seseorang untuk berbuat buruk!""Dan saya sudah melakukan tugas saya dengan baik. Saya sedang menyelamatkan nyawa seorang istri dari suami berhati kejam dan tak berperasaan seperti Anda," balas Wahyuni tanpa rasa takut sedikit pun.Tubuh kekar Bara membuat siapa saja yang melihatnya tahu sebesar apa tenaga pria itu, tapi Wahyuni yakin pria itu tak akan berani main fisik padanya."Tutup mulutmu dan jangan ikut campur urusan pribadiku. Anda di sini saya minta untuk mengobati istri saya, setelah tugas Anda selesai, jangan mencampuradukkan dengan sesuatu yang bukan menjadi ranah Anda, Bu Bidan!" tegas suami Indah itu sengaja menyadarkan Wahyuni pada posisinya."Baik. Terima kasih." Wahyuni mengambil tas kerjanya, menatap pilu Indah yang masih tergugu di ranjang. "Lekas pulih, Mbak. Sa
"Cukup, Bang! Abang mau bikin dia mati?" Bara menepis tangan Ardi, mendorong pria yang lebih muda darinya itu untuk menjauh agar dia leluasa memberikan pelajaran pada preman bayaran Andre yang dibayar untuk mencelakakan Indah. Tak ada rasa cinta bukan berarti dia akan diam saja ketika ada orang berniat melenyapkan nyawa istrinya. Harga dirinya menjadi taruhan. Pun Bara tak mau Indah terseret dalam masalah karena dirinya. "Ampun, Bang. Ampun!""Beruntung istriku baik-baik saja, sampai dia terluka parah, aku pastikan kamu dan Andre akan membusuk di penjara!""Ampun, Bang. Kasihani keluarga saya di rumah. Anak saya masih kecil-kecil, Bang. Siapa yang ngasih makan mereka kalau bukan saya. Terpaksa saya terima tawaran Bang Andre karena anak bungsu saya sedang sakit keras." Darah pria itu telah mengucur, menodai tubuh dan lantai tempatnya meringkuk, tapi Bara masih belum puas meluapkan kemarahannya. Sampai kemudian, jeritan lelaki itu mengingatkan Bara pada wajah kesakitan Indah.Kepala
Rindu Bapak, ternyata tak ada yang bisa mencintaiku seperti Bapak mencintaiku. Maafkan Indah yang tak bisa membahagiakan dan membersamai Bapak di masa tua Bapak karena harus mengabdi pada suami. Begitu yang ditulis Indah, mewakilkan kerinduannya yang menggunung pada pria yang menjadi cinta pertamanya nun jauh di sana. Bara menekan dada yang terasa sesak. Ia menggeleng tak percaya membayangkan ketika dengan ganasnya dia meminta hak pada Indah. Jejak keunguan masih terukir jelas di beberapa bagian tubuh Indah. Melihat wanita itu, tiba-tiba Bara menjadi malu sendiri. "Arghh! Ma-mau apa, Mas?" Tetiba netra Indah terbuka lebar. Reflek dia menarik selimut menutupi tubuhnya dan beringsut mundur. Kentara sekali sorot mata penuh ketakutan yang membuat Bara makin dikepung sesal. Sebegitu takutnya perempuan itu kembali diapa-apakan suaminya. "Mau ambil charger, punyaku ketinggalan di paviliun." Bara pura-pura mencari-cari benda itu, tapi tak kunjung ketemu. Lelaki itu berusaha bersikap bia
Bara tak langsung pergi begitu ia memasuki mobilnya. Ada yang aneh, serasa ada yang meledak dalam dadanya dan Bara kesulitan menggambarkan perasaannya saat ini. Cukup lama pria itu memandangi tangannya, mengusap bagian di mana bibir Indah menempel tadi kemudian mengecupnya pelan. Angannya tetiba melayang teringat malam panas yang dia lakukan bersama Indah. Dia pria dewasa, sekali pun baru pernah mengalaminya, tapi Bara tahu kalau dirinyalah yang pertama mencicipi semua yang ada dalam diri wanita itu. Bibirnya, semuanya. "Sial! Sudah mau berangkat kok ya masih sempat-sempatnya berpikiran mesum, Bar ... Bar." Pria itu memukul kepalanya, menepis pikiran liar yang sempat membangkitkan gejolak kelelakiannya. Mobil melaju pelan, Bara menekan klakson sembari membuka sebagian kaca mobil. Senyumnya kembali merekah manakala melihat sesosok pria dengan pakaian lusuh dan compang-camping tampak duduk di bawah pohon Angsana. Pria itu melempar senyum, memamerkan jempolnya. "Edo memang selalu tot
Indah terus menunduk, sejujurnya dia malu terus ditatap suaminya dengan intens. Awalnya Indah pikir ada yang aneh di wajahnya, takut riasannya jelek di mata Bara mengingat selama melajang dia tak pernah bersolek.Namun, rupanya tak ada yang salah. Dan Bara memang benar-benar menatapnya. Indah merasa seperti sedang bermimpi. Ada yang berbunga di dalam sana. "Mau nambah?"Lamunan Indah terputus, ia kembali mengaduk mangkuk sebelum menyuap. "Nggak usah, Mas. Ini juga belum habis," ucapnya."Nggak usah malu kalau mau nambah, atau mau dibungkus saja dibawa pulang?"Indah menggeleng. Sengaja ia menyisakan ruang di lambungnya untuk makan terang bulan. Sudah lama dia tak makan kudapan manis favoritnya itu."Habis ini mau ke mana, Mas?""Jalan-jalan mau? Ke taman sambil lihat pemandangan. Atau mau pergi belanja, barangkali mau bebelian kebutuhan pokok." Bara menawarkan beberapa pilihan sekaligus."Memang boleh?" Tanya perempuan itu dengan polosnya."Kan aku yang nawarin. Mau, nggak?""Sebenar
"Mas." Reflek Indah menolak tubuh suaminya ketika Bara mencoba memangkas jarak di antara mereka. Tubuhnya bergetar hebat, wajah serta keganasan Bara ketika menindihnya kala itu, benar-benar membuat Indah ketakutan. "Ndah." Bara mencekal pergelangan tangan istrinya, menggagalkan niat Indah yang hampir melompat dari ranjang. "Ma-mas aku ..." Kata-katanya tertahan. Indah menahan tangis. Sungguh, dia takut. "Hei, tenang. Aku janji semuanya akan baik-baik saja."Indah tak bisa menolak kali ini. Tanpa bisa dicegah tiba-tiba saja Bara mendekapnya sangat erat. "Kamu istriku, aku berhak sepenuhnya atas dirimu. Dan kali ini aku menginginkannya," bisik Bara, suaranya terdengar berat tetapi lembut dan enak didengar. "Aku janji akan melakukannya dengan lembut, kamu bisa percaya sama aku," ujar pria itu lagi, kali ini dengan wajah memelas. "Tolong, bantu aku."Indah tertegun. Ketakutan yang begitu besar menguasai dirinya, tapi melihat manik mata sehitam tinta yang tengah menyorotnya penuh ha
Serasa berdiri di persimpangan jalan, Indah bingung hendak kemana membawa kakinya melangkah. Semua masih serba abu-abu di depan sana, dan setiap keputusan yang akan diambilnya akan menentukan bagaimana hidupnya di masa mendatang. Perubahan Bara tak serta merta diterima Indah dengan tangan terbuka, sekali lagi, Indah hanya tak ingin terlalu berharap banyak pada pernikahan ini. Bisa jadi apa yang dilakukan Bara hanyalah bentuk penyesalan pria itu saja atas apa yang sudah dia lakukan padanya. "Mbak Indah ya?" Pria berjaket hijau menghampiri Indah yang sedang berdiri di depan pagar. Menyerahkan pelindung kepala begitu melihat Indah mengangguk dengan melempar senyum. "Sesuai aplikasi ya, Mbak? Mau kirim apa, Mbak? Biar saya taruh sekalian di depan.""Nggak apa-apa, Pak. Masih bisa saya bawa sendiri." Indah memangku tas kain berisi beberapa botol. Ia menaiki motor dan kuda besi itu pun melaju. Di tempatnya, masih mengenakan pakaian compang-camping, Edo berlari menuju tempat ia menyembun
Puas menangis sampai rasanya kering air mata, Indah terhuyung mencoba bangkit. Kehidupannya boleh jadi hancur, tapi dunia masih terus berputar. Selagi nyawa masih dikandung badan, ada hak raga yang tak bisa dilalaikan. Indah kembali merapikan lembaran foto yang tak ubahnya anak panah beracun tiap kali ia melihatnya. Indah simpan kotak itu di tempat terbaik, sama seperti seseorang yang sudah memberikan 'kado' istimewa itu, Indah pun mulai menyiapkan hadiah sebagai ucapan 'terima kasihnya'. "Lagi apa? Kangen," bisik Bara sambil memeluk istrinya dari belakang. Indah sedang mencuci sayuran di dapur ketika suaminya datang. Indah tak mendengar deru mesin mobil pria itu karena terlalu sibuk dengan pikirannya. Dia harus memastikan satu hal sebelum membulatkan tekad pada keputusan awalnya. "Kamu habis nangis?" Bara memutar bahu Indah sehingga mereka saling berhadapan. "Kamu sakit?" Menempelkan tangan di kening, Bara terlihat sangat mencemaskan istrinya. "Aku nggak apa-apa." Kenyataannya
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan