Eloisa membuka matanya perlahan saat kesadarannya kembali dan dia merasa kepalanya sangat berat. Perlahan dia berusaha untuk duduk dan saat memperhatikan sekitarnya, dia baru menyadari kalau dia bukan berada di kamarnya.
Alisnya berkerut karena dia tidak mengenali tempatnya berada sekarang. Mengapa dia terbangun di tempat asing seperti ini? Dia berada di sebuah kamar yang cukup luas dan terlihat bersih, dan sekarang dia duduk di sebuah ranjang besar.
Walau tempat ini terlihat bagus, dia mulai ketakutan, karena dia tidak ingat mengapa dia bisa berada disini?. Dia mencoba untuk memikirkan penyebab dia berada di ruangan ini, tapi bukannya ingat, kepalanya malah semakin sakit.
Dia mendengar suara kunci pintu dibuka dan dia semakin ketakutan, dia memundurkan dirinya hingga punggungnya menempel pada dipan ranjang.
“Kau sudah sadar?” tanya pria yang masuk.
“Da-Darren?” tanya Eloisa saat mengenali pria tampan itu. Dia menghembuskan nafas lega saat melihat orang yang dikenalnya. Namun wajahnya kembali pucat saat ingatannya kembali setelah dia melihat pria itu.
“Ka-kau membiusku?!” tuduh Eloisa. Saat itu, dia baru selesai mengajar dan dia bergegas menuju mobilnya yang berada di parkiran kampus. Dia mempercepat langkahnya karena sekarang sudah jam tujuh malam dan tempat parkir sudah sepi. Saat akan masuk ke dalam mobilnya, dia melihat Darren yang menunggunya di sebelah mobilnya. Dia belum sempat bertanya apapun karena Darren langsung membekap wajahnya dengan sapu tangan, dan setelahnya dia tidak ingat apa-apa lagi.
“Maaf, Eloisa. Aku tidak bisa membiarkanmu menikah dengan Kak Darius,” kata Darren dengan wajah sendu.
“Apa maksudmu?” tanya Eloisa panik, dua hari lagi adalah hari pernikahannya. Eh, mungkin tidak sampai dua hari kalau sekarang sudah berganti hari. Dia tidak tahu sekarang dia ada dimana? Jam berapa? Apakah hari sudah berganti?
“Kau boleh menikah dengan pria lain, siapa saja, asal bukan Kakakku,” kata Darren sambil berjalan mendekati Eloisa.
“Apa kau gila?! Aku akan menikah dua hari lagi, atau besok kalau sekarang sudah hari sabtu. Jangan macam-macam, Darren, kau bisa mempermalukan keluargamu sendiri dengan menculikku seperti ini!” kata Eloisa panik. Dia turun dari ranjang, dia berniat keluar dari tempat ini dan kembali ke rumahnya. Jika ini sudah berganti hari, orang tuanya pasti sudah sangat panik dan mencarinya kemana-mana, dia tidak pernah tidak pulang tanpa mengabari mereka.
Tubuhnya limbung dan dia hampir jatuh jika Darren tidak menangkap tubuhnya, sepertinya tubuhnya masih lemas karena pengaruh obat bius.
“Aku sudah meninggalkan surat untuk orang tuaku. Aku minta mereka tidak mencari kita karena kita kawin lari,” kata Darren yang membuat Eloisa terbelalak.
“Kau gila! Aku mau pulang. Aku akan menikah dengan Darius, bukan denganmu!” Eloisa semakin panik saat mendengar perkataan Darren. Dia terus berontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu.
“Jika kau tidak mau menikah denganku, maka menikahlah dengan pria lain, asal bukan dengan Kakakku!” kata Darren sambil memeluk erat Eloisa. Tidak bisa, dia tidak bisa membiarkan Eloisa menikah dengan Kakaknya. Dia sudah hampir gila karena membayangkan Eloisa akan menjadi milik Kakaknya, dan dia akan benar-benar gila jika mengijinkan pernikahan itu terjadi.
“Tidak begini, Darren. Tidak bisa seperti ini. Aku sudah berjanji akan menikah dengan Darius dan karenanya aku akan menikah dengannya.” kata Eloisa. Walau suaranya tegas, namun air matanya jatuh, air matanya tidak mau mendengarkan perintah otaknya untuk berhenti, malah turun semakin deras.
“Kakakku tidak akan menikahimu jika aku sudah memilikimu,” kata Darren yang membuat tubuh Eloisa kaku.
“Tidak. Kau tidak akan melakukan itu!” Eloisa terbelalak dan ketakutan saat menyadari maksud perkataan Darren. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari Darren. Namun tenaganya terlalu kecil karena tubuhnya masih lemas, bahkan jika tidakpun, dia tidak akan mampu melawan Darren yang memiliki keterampilan beladiri.
“Aku tahu kau mencintaiku, Eloisa. Dengan aku memilikimu sekarang, kita akan bisa bersama selamanya,” bisik Darren sambil mendorong tubuh Eloisa ke ranjang.
“Tidak, Darren! Berhenti!” teriak Eloisa histeris saat Darren berusaha membuka pakaiannya, namun pria itu seperti tuli dan malah menyentak paksa kemeja yang dia gunakan hingga kancing-kancingnya lepas.
“Aku mencintaimu, Eloisa,” kata Darren seakan pernyataan cintanya bisa membuat Eloisa melunak dan menerima dirinya.
“Jangan … hiks … kumohon …, Darren … jangan, jangan hancurkan aku,” pinta Eloisa mengiba dengan tatapan penuh ketakutan.
Tangan Darren berhenti saat merasakan tubuh Eloisa yang gemetar. Sekarang tangannya juga ikut gemetar, dia tidak bisa melakukannya, dia tidak bisa menyakiti wanita yang begitu dia cintai sepenuh hatinya, wanita yang telah dia jaga dan lindungi selama ini.
“Sialan!” maki Darren sambil memukul ranjang. Dia lalu turun dari ranjang dan bergegas keluar dari ruangan itu sebelum dia kehilangan akal lagi dan memperkosa Eloisa.
****
Tiga bulan sebelumnya..Eloisa sedang berdiri di rooftop universitas tempatnya mengajar, kedua sikunya diletakan di pagar pembatas dan jemarinya menopang dagunya. Padangannya mengarah ke arakan awan di atas sana, kacamatanya dia letakan di saku kemejanya dan sepatunya sudah dia lepaskan agar dia bisa merasa lebih rileks. Pikirannya dipenuhi pembicaraannya dengan kedua orang tuanya tadi malam. Mereka berencana menjodohkan dirinya dengan seorang dosen yang juga mengajar di kampusnya ini.Usianya yang sudah menginjak dua puluh tujuh mungkin memang membuat kedua orang tuanya khawatir. Dia tidak pernah membawa seorangpun pria ke rumahnya semenjak putus dari pacar brengseknya lima tahun lalu. Sebenarnya, hal itu dikarenakan dirinya sendiri yang menjaga jarak dari para pria. Dia sudah tidak percaya lagi dengan sikap manis dan rayuan mereka. Itu semua hanya karena ada mereka inginkan. Setelah mereka mendapatkannya apa yang mereka mau, maka mereka akan membuangmu begitu saja!Tiba-tiba sepasan
“Aduh, kenapa lukanya tidak mau berhenti?!” Eloisa semakin panik. Sekarang sapu tangannya sudah penuh darah.“Ku- kurasa kita perlu pergi ke klinik. Takutnya lukanya infeksi,” kata Eloisa lagi saat melepas saputangannya dari pipi Darren, darah segar kembali mengucur. “Aduh, saya sudah tidak ada saputangan lagi!” dia terus mengoceh sendiri, tidak menyadari kalau pria di depannya belum bergerak atau bicara sepatah katapun. Mendengar Eloisa mencari sapu tangan, otomatis tangan Darren mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan memberikannya pada wanita itu. Eloisa langsung mengambil sapu tangan itu dan menekan kembali luka yang sudah kembali mengeluarkan darah lagi. Dia langsung menyuruh Darren menekan sapu tangan itu ke pipinya dan menarik lengan pria itu yang satunya untuk mengikutinya turun dari rooftop menuju klinik kampus. Kedua orang itu tidak memperhatikan kalau ada orang lain yang bersembunyi di belakang pintu menuju rooftop, yang memang menunggu mereka turun dari roofto
“Lukanya jangan sampai terkena air karena nanti bisa infeksi. Plester harus diganti dua kali sehari sehabis mandi. Nanti akan saya berikan resep salep luka dan obat anti nyeri , karena kadang akan timbul nyeri. Jika membengkak atau demam, segera kembali ke rumah sakit.” kata Dokter Albert.“Bagaimana saya mencuci muka kalau lukanya tidak boleh terkena air?” tanya Darren.“Plesternya tahan air. Jadi setelah mandi, plesternya dibuka dan lukanya diberi salep, lalu tutup lagi dengan plester baru.” jawab Dokter Albert.“Apakah lukanya akan meninggalkan bekas, Dok?” tanya Darren lagi. Biar bagaimanapun wajahnya adalah aset untuk pekerjaannya sekarang.“Hm, luka di bagian sini agak dalam. Kemungkinan nanti akan meninggalkan garis putih. Tapi karena kamu pria, kurasa tidak masalah dengan sedikit bekas luka,” kata Dokter Albert sambil menunjuk bagian pipi dekat rahang. Eloisa memucat mendengar perkataan Dokter Albert. Bagaimana ini kalau memang luka itu berbekas? Sedangkan mahasiswanya ini be
Kalimat penuh ancaman itu membuat ketiga orang yang sedang menjadi tontonan disana menoleh. Darren menatap Victor dengan tatapan tajam yang membuat pria itu terkejut dan melepaskan tangan Eloisa.Darren langsung mengambil tangan Eloisa yang baru dilepas itu dan memeriksanya. Sepertinya cengkraman Victor cukup keras hingga meninggalkan memar berwarna kemerahan di pergelangan tangan Eloisa. Hal itu membuat Darren emosi. Tanpa aba-aba dia memukul Victor hingga pria itu terjatuh.“Victor!” seru Susan panik seraya menghampiri suaminya.“Jangan kayak banci, beraninya sama perempuan. Sekali lagi kau mendekati Eloisa, kupatahkan tangan dan kakimu!” ancam Darren. Nada suaranya biasa, namun mata pria itu menunjukkan amarah, api biru disana menyala seakan siap membakar Victor. Dia sangat tidak suka pria yang tidak sopan pada wanita. Ibunya selalu mengajarkan untuk menghargai wanita, karena dari rahim merekalah kita dilahirkan.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Darren lembut pada Eloisa. Matanya menat
Hati-hati, Bu, nanti terantuk kaca lagi. Sayang kalau kacanya sampai pecah!” goda Darren.Eloisa mengerjap, keterpesonaan pada wajah tampan di depannya berubah menjadi kekesalan. Apa maksudnya? Gakpapa gitu kepalanya benjol asal kacanya tidak pecah?Darren yang melihat wajah kesal Eloisa merasa gemas, dia menarik tangannya yang tadi memegangi kepala wanita itu, lalu mencubit hidung wanita itu.“Makanya konsentrasi saat ditanya, Bu. Dimana alamat rumah Ibu?” tanya Darren lagi. Dia melirik gemas wanita di sampingnya yang ternyata sedang mendelik tajam menatapnya. “Lama-lama kita menginap disini, loh, Bu.” gurau Darren sambil tertawa melihat wajah wanita itu. Jika wanita itu bermaksud mengintimidasi dirinya, sudah pasti wanita itu gagal. Ayah dan kakaknya jauh lebih menyeramkan saat sedang marah.“Saya, sih, tidak masalah. Saya bisa tidur dimana saja. Apalagi, ditemani Bu Dosen cantik,” kata Darren terus menggoda Eloisa. Alisnya sekarang dinaik turunkan, senyum jail belum hilang dari bi
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Eloisa keluar dari mobilnya. Dia melirik ke kiri dan kanan, takut mahasiswanya itu masih berkeliaran di dekat rumahnya. Entah apa yang dia takutkan? Kalau takut dicium paksa lagi, sebenarnya lebih mudah saat pria itu berada di mobilnya. Hanya saja, dia merasa tidak aman.Begitu keluar dari mobilnya, Eloisa langsung berlari masuk ke rumahnya dan menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Tidak jauh dari rumahnya, Darren masih memperhatikan rumah Eloisa. Dia melihat wanita itu masuk ke rumahnya dan tidak lama terlihat lampu menyala dari jendela yang memiliki balkon di lantai dua, berarti disanalah kamar wanita itu. Dia harus memastikan kalau wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Seburuk-buruknya sikapnya, ibunya selalu mengajarkannya untuk bertanggung jawab. Jika dia mengantarkan wanita pulang, jadi, dia akan memastikan kalau wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Setelahnya, dia baru akan pulang ke rumahnya atau ke tempat
“Aduh!” keluh Eloisa. Dia lalu melihat banyak mahasiswi yang berdiri mengelilingi dirinya. Dia mengenali beberapa mahasiswi yang pernah masuk kelasnya. Dia langsung berdiri dan memasang ekspresi dinginnya.“Ada apa ini?” tanyanya kaku sambil memelototi para mahasiswi itu, mencoba mengingat nama mereka.“Tidak ada yang boleh melangkahi Darren Club. Jangan berpikir karena Anda seorang Dosen, maka Anda bisa seenaknya merayu Darren!” kata salah satu mahasiswi yang tidak dia kenal.“Merayu Darren?” ulang Eloisa. Dia tercengang. Siapa yang merayu siapa disini?!“Jangan berlagak bodoh! Aku melihatmu turun bergandengan tangan dengan Darren setelah kalian berciuman!” tuduh Clara sambil menunjuk Eloisa. Eloisa sebenarnya tidak mengenal wanita itu, tapi dia mengenali suara wanita itu. Wanita yang diputuskan si buaya di rooftop.“Kalian salah sangka. Bukan seperti itu kejadiannya!” bantah Eloisa. Dengan horor Eloisa berpikir kalau semua wanita ini adalah pacar si buaya dan dia akan dikeroyok. Tid
Tidak lama kemudian, Pak Darius kembali, pria itu langsung membuka pintu klinik dan menyalakan lampu. Dengan penerangan yang cukup, matan Eloisa bisa melihat dengan lebih baik. Matanya memiliki kelainan sejak kecil, sejak di sekolah dasar dia sudah memakai kacamata plus, bukan minus. Jadi, dia bisa melihat jelas objek yang jaraknya jauh, tapi, tidak bisa melihat jelas objek yang jaraknya dekat. Apalagi saat penerangan kurang, matanya semakin sulit untuk melihat tanpa kacamata yang dibuat khusus sesuai kebutuhannya. Kekurangannya itu membuat inderanya yang lain lebih tajam. Telinganya bisa mendengar suara dari jarak cukup jauh dan cepat mengenalinya, termasuk mengenali suara orang lain. Dengan beberapa kali mendengar suara orang yang sama, dia akan langsung mengenali orang itu walaupun mereka tidak sedang berhadapan.Darius membantu wanita di depannya untuk duduk dan mulai membuka laci dan rak untuk mencari antiseptik untuk membersihkan luka. Setelah menemukan yang dia cari, dia segera