Kalimat penuh ancaman itu membuat ketiga orang yang sedang menjadi tontonan disana menoleh. Darren menatap Victor dengan tatapan tajam yang membuat pria itu terkejut dan melepaskan tangan Eloisa.
Darren langsung mengambil tangan Eloisa yang baru dilepas itu dan memeriksanya. Sepertinya cengkraman Victor cukup keras hingga meninggalkan memar berwarna kemerahan di pergelangan tangan Eloisa.
Hal itu membuat Darren emosi. Tanpa aba-aba dia memukul Victor hingga pria itu terjatuh.
“Victor!” seru Susan panik seraya menghampiri suaminya.
“Jangan kayak banci, beraninya sama perempuan. Sekali lagi kau mendekati Eloisa, kupatahkan tangan dan kakimu!” ancam Darren. Nada suaranya biasa, namun mata pria itu menunjukkan amarah, api biru disana menyala seakan siap membakar Victor. Dia sangat tidak suka pria yang tidak sopan pada wanita. Ibunya selalu mengajarkan untuk menghargai wanita, karena dari rahim merekalah kita dilahirkan.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Darren lembut pada Eloisa. Matanya menatap dengan penuh perhatian yang membuat jantung Eloisa sekarang berdisko. Dia hanya menggeleng, rasanya suaranya tidak akan bisa keluar. Bagaimana dia bisa bicara jika ditatap begitu intens oleh pria yang sangat tampan dengan mata sebiru laut. Bisa hanyut hati ini terbawa ombak ke dalam birunya bola mata itu!
“Ayo, kita ke bagian farmasi lagi. Kita minta obat untuk mengobati tanganmu,” kata Darren sambil mendorong pelan punggung Eloisa untuk berjalan. Mereka berjalan beriringan tanpa menoleh pada pasangan suami istri itu. Eloisa bersyukur karena kedatangan Darren, akhirnya dia bisa menjauh dari kedua orang yang tidak pernah ingin dia temui lagi!
Susan dan Victor menatap kepergian dua orang itu dengan emosi yang terpancar di mata mereka. Mereka sama-sama emosi, tapi dengan alasan yang berbeda.
Victor emosi karena cemburu, dia berpikir kalau pria itu adalah kekasih baru Eloisa. Pria itu terlihat sangat menjaga Eloisa.
Sedangkan Susan emosi karena iri. Dia tidak mengerti mengapa Eloisa selalu bisa mendapatkan pria yang berkualitas? Pria itu sangat tampan dan memperlakukan Eloisa seakan Eloisa adalah putri yang harus dilindungi.
Begitu juga dengan Victor. Dia yang memperkenalkan Victor pada Eloisa, tapi pria itu malah tertarik pada Eloisa daripada dirinya, padahal dirinya lebih cantik dan jauh lebih modis daripada Eloisa yang sederhana, namun dia bahkan harus menjebak Victor agar menikahinya.
Dan sampai sekarang, suaminya membencinya karena mengetahui hal itu. Dia benar-benar membenci Eloisa. Wanita itu tidak lebih baik darinya, tapi orang-orang yang dia inginkan selalu lebih menyukai wanita itu daripada dirinya!
“Saya tidak apa-apa,” kata Eloisa saat mereka sampai di depan kasir obat. Namun Darren seperti tidak mendengar perkataannya dan tetap meminta obat untuk memar pada petugas farmasi.
Setelah menerima obat itu, Darren membawa Eloisa untuk duduk di kursi tunggu dan pria itu mulai mengolesi salep memar di pergelangan tangan Eloisa. Jantung Eloisa kembali berdebar. Dia tidak pernah diperlakukan semanis seperti ini oleh pria. Dia terbiasa mandiri dalam melakukan apapun, sehingga sekarang dia merasa aneh jika dia diperlakukan seperti barang rapuh.
Saat dia berpacaran dengan Viktor, lebih banyak dirinya mengurusi keperluan pria itu. Jika dia terluka seperti ini, dia pasti mengobati dirinya sendiri. Pria itu biasanya hanya mengatakan pada dirinya untuk lebih berhati-hati.
Tanpa mereka berdua sadari, Viktor dan Susan sedang memperhatikan mereka dari luar kaca yang menghadap bagian Farmasi. Pasangan suami istri itu sedang berjalan menuju mobil mereka dan tanpa sengaja kembali melihat Darren dan Eloisa. Victor dan Susan terdiam, hati mereka merasa sakit saat melihat bagaimana manisnya Darren memperlakukan Eloisa.
Dada Viktor sakit melihat pemandangan romantis itu. Dia menyesal karena dulu kurang memperhatikan Eloisa dan malah memilih untuk bermain api yang membuatnya sekarang harus terjebak bersama dengan wanita yang sangat dia benci sekarang. Wanita licik yang telah merusak kebahagiaannya bersama Eloisa!
Sedangkan Susan merasa sakit karena suaminya tidak pernah memperlakukannya sebaik itu, bahkan setengahnya pun tidak! Dan dia semakin membenci Eloisa karenanya. Pemandangan di depannya membuatnya semakin iri karena merasa Eloisa mendapatkan pria yang lebih baik daripada Victor.
****
Eloisa langsung menurut saat disuruh kembali duduk di kursi sebelah pengemudi. Hati dan pikirannya sekarang sangat lelah. Baginya, bertemu Viktor dan Susan adalah mimpi buruk yang kembali datang. Membuka luka lama yang sudah berusaha dia obati bertahun-tahun. Saat melihat mereka, luka itu seakan langsung mencuat kembali ke permukaan.
Hari ini adalah hari yang sangat sial baginya. Dimulai dari pertemuannya dengan mahasiswa kurang ajar yang membuatnya berakhir di rumah sakit ini dan diakhiri dengan bertemu dengan dua orang yang selama ini dia hindari. Mungkin dia harus mandi kembang setelah sampai di rumah.
“Dimana alamat rumah Anda, Bu Eloisa?” tanya Darren. Dia tidak tertarik mencari tahu drama tadi. Dia bukan orang yang kepo dengan urusan orang lain, tapi dia tidak suka melihat pria yang menggunakan tenaganya untuk memaksa wanita yang lebih lemah dari mereka. Sekarang dia mau mengantar dosennya yang berwajah datar ini pulang ke rumahnya.
Dia memperhatikan wajah datar itu dan menyadari kalau sikap wanita ini sedikit mirip dengan kakaknya. Kaku, datar, minim bicara. Dia tiba-tiba membayangkan bagaimana jika Kak Darius dan dosen ini berpacaran? Mungkin mereka hanya berbicara seperlunya. Satu bertanya dan yang lainnya menjawab, tidak ada obrolan seperti orang pada umumnya. Dia terkekeh geli karena membayangkan hal itu.
“Bu,” panggil Darren lagi. Kali ini dia mengeraskan suaranya, namun sepertinya pikiran wanita itu sedang tidak fokus hingga tidak mendengar panggilannya. Dasar wanita, selalu baper kalau baru ketemu mantan. Entah pria tadi itu mantan pacar atau mantan gebetan? Terlihat jelas kalau masih ada cinta di tatapan pria tadi.
Tiba-tiba rasa isengnya muncul. Dia mendekati wanita itu dan berbisik di telinga Wanita itu.
“Bu Eloisa,” panggilnya sambil berbisik mendesah.
Duk
Eloisa yang terkejut karena Darren berbisik di telinganya, langsung menjauhkan kepalanya dari pria itu yang menyebabkan kepalanya membentur kaca jendela mobil. Dia meringis karena merasakan sakit, lalu menatap tajam pada pria itu yang sekarang sedang menatapnya geli.
“Apa yang kamu lakukan?!” seru Eloisa kesal.
“Dari tadi saya memanggil Ibu, tapi Ibu tidak merespon. Jadi saya mencoba bicara tepat di telinga Ibu, takutnya Ibu memiliki masalah pendengaran,” jawab Darren sambil tersenyum geli melihat Eloisa yang terantuk kaca mobil. Eloisa mendelik melihat wajah tengil mahasiswanya yang sedang meledeknya itu.
“Tadi saya menanyakan alamat rumah Ibu,” kata Darren menjelaskan.
“Kita kembali ke kampus saja,” jawab Eloisa.
“Untuk apa? Ibu masih ada jadwal mengajar?” tanya Darren. Dia melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
“Tidak,” jawab Eloisa.
“Jadi, untuk apa kembali ke kampus? Ada barang yang tertinggal?” tanya Darren lagi.
“Untuk mengembalikan kamu kesana. Memang kamu tidak membawa kendaraan ke kampus?” jawab Eloisa.
“Tadi Dokter mengatakan kalau saya tidak boleh menggunakan pelindung kepala dulu, jadi percuma kembali ke kampus. Nanti saya minta tolong teman saja untuk mengantarkan motor saya ke rumah.” jawab Darren menjelaskan.
“Baiklah. Kalau begitu saya yang antar kamu pulang,” tawar Eloisa. Setidaknya dia bertanggung jawab mengantarkan mahasiswanya ini pulang.
“Tidak perlu. Saya saja yang mengantarkan Ibu pulang. Nanti saya bisa pulang menggunakan taksi,” kata Darren.
Eloisa mengerutkan alisnya kesal. Mengapa pria ini sangat suka mendebatnya? Namun sebelum dia sempat protes, Darren sudah bicara lagi.
“Tangan Ibu harus diistirahatkan. Jadi biar saya yang mengantar Ibu pulang,” kata Darren manis saat melihat wajah dosennya yang sepertinya siap komplain. Bibirnya yang lemes ini sepertinya sudah terbiasa menggombal.
Eloisa mengerjap. Dia terkejut dengan alasan Darren mau mengantarkannya pulang. Pria ini mengkhawatirkan pergelangan tangannya? Tanpa bisa dicegah, wajahnya merona karena perlakuan semanis gula oleh pria yang sangat tampan di depannya ini, apalagi hanya karena sedikit memar di pergelangan tangan!
Alis Darren naik melihat wajah dosennya yang tiba-tiba merona yang jelas dia tahu karena perkataannya. Hal itu membuat rasa isengnya kembali dan ingin mengerjai Eloisa lagi, ternyata bisa merona juga dosen berwajah datar ini. Dia mengangkat sebelah tangannya dan menyentuh kening wanita itu.
“Tidak panas?” katanya pura-pura bingung seolah tidak tahu kalau wajah wanita itu merona karena kata-katanya.
Eloisa sontak memundurkan kepalanya lagi saat Darren menyentuh keningnya. Dia lupa kalau tadi kepalanya baru terantuk kaca jendela.
Darren yang sudah memprediksi hal itu langsung maju dan tangannya menahan kepala Eloisa agar tidak terantuk kaca lagi. Hal itu membuat wajah mereka menjadi dekat, jaraknya tidak sampai sejengkal tangan. Mereka saling bertatapan dan wajah Eloisa semakin merona karena ditatap intens oleh mahasiswa tampan di depannya. Jantungnya seakan ingin melompat keluar dari dadanya!
****
Hati-hati, Bu, nanti terantuk kaca lagi. Sayang kalau kacanya sampai pecah!” goda Darren.Eloisa mengerjap, keterpesonaan pada wajah tampan di depannya berubah menjadi kekesalan. Apa maksudnya? Gakpapa gitu kepalanya benjol asal kacanya tidak pecah?Darren yang melihat wajah kesal Eloisa merasa gemas, dia menarik tangannya yang tadi memegangi kepala wanita itu, lalu mencubit hidung wanita itu.“Makanya konsentrasi saat ditanya, Bu. Dimana alamat rumah Ibu?” tanya Darren lagi. Dia melirik gemas wanita di sampingnya yang ternyata sedang mendelik tajam menatapnya. “Lama-lama kita menginap disini, loh, Bu.” gurau Darren sambil tertawa melihat wajah wanita itu. Jika wanita itu bermaksud mengintimidasi dirinya, sudah pasti wanita itu gagal. Ayah dan kakaknya jauh lebih menyeramkan saat sedang marah.“Saya, sih, tidak masalah. Saya bisa tidur dimana saja. Apalagi, ditemani Bu Dosen cantik,” kata Darren terus menggoda Eloisa. Alisnya sekarang dinaik turunkan, senyum jail belum hilang dari bi
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Eloisa keluar dari mobilnya. Dia melirik ke kiri dan kanan, takut mahasiswanya itu masih berkeliaran di dekat rumahnya. Entah apa yang dia takutkan? Kalau takut dicium paksa lagi, sebenarnya lebih mudah saat pria itu berada di mobilnya. Hanya saja, dia merasa tidak aman.Begitu keluar dari mobilnya, Eloisa langsung berlari masuk ke rumahnya dan menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Tidak jauh dari rumahnya, Darren masih memperhatikan rumah Eloisa. Dia melihat wanita itu masuk ke rumahnya dan tidak lama terlihat lampu menyala dari jendela yang memiliki balkon di lantai dua, berarti disanalah kamar wanita itu. Dia harus memastikan kalau wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Seburuk-buruknya sikapnya, ibunya selalu mengajarkannya untuk bertanggung jawab. Jika dia mengantarkan wanita pulang, jadi, dia akan memastikan kalau wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Setelahnya, dia baru akan pulang ke rumahnya atau ke tempat
“Aduh!” keluh Eloisa. Dia lalu melihat banyak mahasiswi yang berdiri mengelilingi dirinya. Dia mengenali beberapa mahasiswi yang pernah masuk kelasnya. Dia langsung berdiri dan memasang ekspresi dinginnya.“Ada apa ini?” tanyanya kaku sambil memelototi para mahasiswi itu, mencoba mengingat nama mereka.“Tidak ada yang boleh melangkahi Darren Club. Jangan berpikir karena Anda seorang Dosen, maka Anda bisa seenaknya merayu Darren!” kata salah satu mahasiswi yang tidak dia kenal.“Merayu Darren?” ulang Eloisa. Dia tercengang. Siapa yang merayu siapa disini?!“Jangan berlagak bodoh! Aku melihatmu turun bergandengan tangan dengan Darren setelah kalian berciuman!” tuduh Clara sambil menunjuk Eloisa. Eloisa sebenarnya tidak mengenal wanita itu, tapi dia mengenali suara wanita itu. Wanita yang diputuskan si buaya di rooftop.“Kalian salah sangka. Bukan seperti itu kejadiannya!” bantah Eloisa. Dengan horor Eloisa berpikir kalau semua wanita ini adalah pacar si buaya dan dia akan dikeroyok. Tid
Tidak lama kemudian, Pak Darius kembali, pria itu langsung membuka pintu klinik dan menyalakan lampu. Dengan penerangan yang cukup, matan Eloisa bisa melihat dengan lebih baik. Matanya memiliki kelainan sejak kecil, sejak di sekolah dasar dia sudah memakai kacamata plus, bukan minus. Jadi, dia bisa melihat jelas objek yang jaraknya jauh, tapi, tidak bisa melihat jelas objek yang jaraknya dekat. Apalagi saat penerangan kurang, matanya semakin sulit untuk melihat tanpa kacamata yang dibuat khusus sesuai kebutuhannya. Kekurangannya itu membuat inderanya yang lain lebih tajam. Telinganya bisa mendengar suara dari jarak cukup jauh dan cepat mengenalinya, termasuk mengenali suara orang lain. Dengan beberapa kali mendengar suara orang yang sama, dia akan langsung mengenali orang itu walaupun mereka tidak sedang berhadapan.Darius membantu wanita di depannya untuk duduk dan mulai membuka laci dan rak untuk mencari antiseptik untuk membersihkan luka. Setelah menemukan yang dia cari, dia segera
“Dia tidak mendatangi ayah dan kak Darius untuk meminta pertanggungjawaban karena mengaku kuhamili, kan?” Darren menyuarakan rasa penasarannya. Mereka sudah terbiasa dengan wanita yang tiba-tiba datang ke rumah dan mengaku dihamili oleh Darren. Jadi, dari sepuluh kali Darren duduk di kursi pesakitan keluarganya ini, minimal delapan kalinya berurusan dengan wanita.“Tidak. Namun tadi aku melihat dia dirudung oleh segerombolan mahasiswi yang sebagian dari mereka pernah kudengar namanya kau sebutkan,” jawab Darius dan Darren langsung memucat. Dan ekspresinya tentu saja terlihat jelas oleh keluarganya, yang berarti dia memang melakukan salah. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ayahnya lagi. Pertanyaan Ayahnya membuat Darren tidak jadi bertanya mengenai kondisi Eloisa pada kakaknya. Sekarang dia melirik semua orang yang ada disana, dari Kakaknya, ke Ayahnya, lalu ke Ibunya. Masa dia harus mengaku kalau dia salah mencium orang? Dosen pula!“Darren!” panggil Rosaline setelah sekian lama k
“Sekarang cepat katakan keperluanmu, lalu segera pergi!” perintah Eloisa ketus begitu kaki pria itu menapak di lantai kamarnya. Dia kesal sekali pada buaya di depannya ini. Hal buruk yang terjadi padanya beberapa hari ini adalah karena si buaya. Dan sekarang, saat dia mau beristirahat saja masih di ganggu si buaya!Bukannya menjawab, Darren malah berjalan keliling kamar itu.“Eh, ngapain kamu?” tanya Eloisa dengan nada tidak suka sambil mengejar Darren.“Saya ingin menyalakan lampu. Dimana saklar lampunya?” tanya Darren.“Untuk apa? Cepat katakan keperluanmu, lalu segera pergi dari sini!” usir Eloisa untuk kesekian kalinya.Akhirnya Darren menemukan saklar lampu dan menyalakannya. Tatapannya sekarang terpaku pada Eloisa yang menatapnya tajam. Wanita itu menggunakan baju tidur dengan gambar hello kitty besar di tengah, rambutnya terurai dan wanita itu menggunakan kacamata dengan lensa bulat besar. Kemarin dia berpikir kalau akan lucu jika melihat dosennya ini memeluk boneka hello kitt
Betapa terkejutnya Eloisa saat keluar dari rumahnya dan menemukan mobil Pak Darius disana. Belum selesai keterkejutannya, kaca jendela mobil itu terbuka dan dia melihat orang yang paling tidak ingin dia lihat setelah mantan pacarnya dan istrinya itu!“Selamat pagi, Bu El.” sapa Darren dari kursi sebelah pengemudi. Dia tertawa melihat dosennya itu membelalakkan matanya.Eloisa menghentikan lidahnya yang sudah siap memaki si buaya saat melihat Pak Darius yang berada di kursi pengemudi.“Masuklah, Bu Eloisa. Saya akan mengantar anda ke kampus. Mobil anda kemarin ditinggal di kampus,” kata Darius. Eloisa mengerjap bingung, rasanya dia tidak membuat janji untuk dijemput semalam?“Ayo Bu El. Nanti kita terlambat!” kata Darren lagi saat melihat Eloisa masih belum bergerak dari tempatnya berdiri.Akhirnya Eloisa beranjak dari tempatnya dan masuk ke pintu penumpang bagian belakang mobil. Setelah duduk dengan nyaman, dia menyapa Darius.“Selamat pagi, Pak Darius,” sapanya sopan.“Selamat pagi,
Darius menghampiri Eloisa yang masih menatap horor pada Clara. Sepertinya wanita itu agak syok. Gadis-gadis di sekitar Darren memang bisa menjadi brutal setelah diputuskan adiknya itu. “Anda tidak apa-apa, Bu Eloisa?” tanya Darius. Dia menyentuh pundak Eloisa karena mata wanita itu masih fokus pada Clara. Eloisa tersentak karena sentuhan itu dan langsung menoleh pada Darius.“I-iya Pak Darius. Saya tidak apa-apa. Ha-hanya sedikit terkejut,” jawab Eloisa terbata. Perkataannya tidak sesuai dengan wajahnya yang sudah pucat.“Kembali ke tempatmu, Clara Suyanti!” perintah Darius dan dengan terpaksa gadis itu menurut, berjalan kembali ke tempat dirinya tadi berdiri. Di saat bersamaan, terdengar pintu diketuk dan Dokter Sofi masuk ke ruangan.“Anda memanggil saya, Profesor?” tanya Dokter Safi pada Profesor Adianto yang baru saja mengirimkan pesan padanya untuk datang ke ruangan ini.“Iya, Dokter Sofi. Saya ingin bertanya, apakah minggu lalu Bu Eloisa dan Darren datang ke klinik?” tanya Adia
Saat Darren dan Darius tiba di rumah sakit, Eloisa sudah berada di ranjang perawatan dan Ibu mereka duduk di sebelahnya. Wanita itu sudah menggunakan pakaian khas pasien rumah sakit. Wajah Darren sangat muram, untuk kedua kalinya dalam kurun waktu tidak lama, dia melihat Eloisa terbaring di ranjang perawatan."Bagaimana keadaanmu, Bu Eloisa?” tanya Darius.“Sudah jauh lebih baik. Kepalaku sudah tidak terlalu pusing.” jawab Eloisa.“Bagaimana kau bisa jatuh ke sungai?” kali ini Rosaline yang bertanya. “Tadi kepalaku sangat pusing. Aku hanya ingin mengambilkan tas Susan yang jatuh, tapi kepalaku malah semakin pusing dan tiba-tiba pandanganku menggelap.” jawab Eloisa tidak enak hati. Ini kedua kalinya dia menyusahkan keluarga Hartadi. Belum jadi menantu saja sudah merepotkan, apa kata orang nanti?“Kalau tidak enak badan, mengapa kau pergi?” tanya Rosaline.“Wanita yang bernama Susan datang dan mengajaknya pergi. Bahkan wanita itu memaksa Eloisa pergi dengan mobilnya saja,” Darren yang m
“Kau mau kembali ke restoran dulu untuk berganti pakaian?” tanya Darius sambil mengeluarkan sebuah paper bag berisi handuk dan pakaian ganti dari dalam mobil dan menyerahkannya pada Darren.“Tidak perlu. Sebentar aku ganti disana saja,” kata Darren sambil menunjuk sebuah pohon besar di dekat sungai.“Eh, Kakak ada bawa air?” tanya Darren dan Darius kembali mengeluarkan sebuah botol kemasan air mineral ukuran satu setengah liter dan sebuah sandal jepit, lalu memberikannya pada Darren.“Terima kasih,” kata Darren mengambil mengambil kedua barang itu dan berjalan ke arah pohon yang tadi dia tunjuk. Dengan cepat dia membuka pakaian basahnya, lalu membilas seluruh tubuhnya dengan air mineral itu dan mengeringkan tubuh dengan handuk, setelahnya dia berganti pakaian, kemudian berkumur dengan air mineral yang sudah dia sisakan tadi. Setelahnya, dia memasukkan pakaian kotor dan sepatunya ke dalam paper bag tadi dan berjalan kembali ke tempat Kakaknya menunggunya di sebelah mobil pria itu.“Kau
Darren terus berenang mengikuti arus membawanya dengan pemikiran kalau jarak antara dirinya dan Eloisa seharusnya tidak terlalu jauh, namun gelapnya malam membuatnya kesulitan menemukan wanita itu. Dia sudah berkali-kali muncul ke permukaan dan mencoba mencari tubuh Eloisa dan tidak menemukannya. Dia terus memanggil nama wanita itu. Dalam hatinya semakin takut kalau dia akan terlambat menemukan Eloisa. Bagaimana jika ternyata Eloisa tidak bisa berenang? Maka wanita itu akan tenggelam!Lalu sinar-sinar itu datang, bersama dengan teriakkan yang memanggil nama Eloisa, awalnya dari belakangnya, yang berarti orang-orang sedang membantu mencarinya dan Eloisa, lalu sebuah sinar dengan cepat melewatinya dan terdengar suara Silvi memanggilnya dan Eloisa.“Disini!” teriak Darren dan Silvi langsung menyuruh motor yang membawanya berhenti, dia lalu menyorot ke arah suara dan menemukan Darren.“Tuan muda!” seru Silvi senang.“Sorot ke depan sana!” perintah Darren sambil menunjuk ke arah depan dan
Satu setengah jam sebelumnya…“Ya, Susan. Kalian tidak perlu mengantarku, aku hanya pergi sebentar dengan temanku,” kata Eloisa pada Silvi dan Januar. Lalu Eloisa berjalan bersama Susan dan membantu Susan untuk duduk di mobilnya, baru setelahnya dia memutari mobil itu dan masuk dari sisi mobil satunya.“Kau bawa mobil dan ikuti dari jarak aman. Aku akan mengikuti dengan motor,” kata Januar setelah Eloisa masuk ke dalam mobil wanita yang bernama Susan.“Baik, Tuan,” jawab Silvi yang langsung berlari ke mobil setelah dia memotret plat nomor mobil yang baru saja jalan itu. Begitu juga dengan Januar yang segera berlari menuju motornya dan langsung melajukannya untuk mengejar mobil tadi. Dia berusaha mengingat dimana dia pernah bertemu dengan wanita yang dikatakan Eloisa sebagai temannya itu? Dia yakin, dia pernah bertemu dengan wanita itu. Yang pasti, wanita itu bukan salah satu dosen di kampusnya.Dengan mudah dia bisa mengikuti mobil yang memang dikendarai dengan kecepatan sedang itu. Da
“Terima kasih,” kata Eloisa saat Susan memberikan sebuah minuman jeruk dalam botol kemasan, saat mobil yang membawa mereka mulai melaju.“Sama-sama. Kuharap kau masih menyukai minuman itu,” kata Susan sambil membuka botol minuman miliknya sendiri yang rasa sirsak.“Ya, aku masih menyukainya,” jawab Eloisa sambil membuka botol itu dan minum. Walau dia masih merasa tidak nyaman berdekatan dengan Susan, tapi dia berusaha bersikap normal. Memikirkan keselamatan Susan dan bayinya saat wanita itu melahirkan, membuatnya berusaha untuk memaafkan perbuatan mantan sahabatnya itu.Tidak banyak percakapan di dalam mobil itu, yang hanya berkisar tentang basa basi saja. Eloisa berpikir kalau Susan membutuhkan privasi untuk bicara dengannya, dan karenanya mantan sahabatnya itu mengajaknya mengobrol di restoran yang ada di tepi sungai tempat mereka suka bermain waktu kecil dulu. Saat kecil mereka tinggal di pinggiran kota, dimana ada sebuah sungai besar yang merupakan tempat main anak-anak setempat,
Darren tidak tahu kalau Eloisa akan bisa mengenali dirinya saat dia menyamar, bukan dari penampilannya, tapi dari parfum yang dia gunakan. Jadi saat dia kembali menyamar sebagai salah satu pengawal yang bergantian mengawasi Eloisa, dia tidak bersikap waspada pada wanita itu, karena dia yakin kalau Eloisa tidak akan mengetahui jati dirinya.Begitu mereka berkenalan dan pria yang bernama Januar itu mendekat dan mengulurkan tangan, Eloisa sudah mencium samar wangi parfum yang sangat dikenalnya. Walaupun parfum itu dijual bebas dan banyak yang menggunakannya, tapi setelah digunakan dan menyatu dengan bau tubuh masing-masing orang, bisa menghasilkan aroma uniknya tersendiri, yang bisa disadari oleh orang-orang yang memang sensitif pada bau-bauan, seperti Eloisa.Eloisa yang sudah biasa memasang wajah datar, tidak menunjukkan keterkejutan sama sekali. Selesai berkenalan, dia sesekali melirik pada Januar dan mulai mengamati tinggi tubuh dan postur tubuh pria itu. Dia sudah melihat dua sosok p
“Jangan bercanda, Darren!” omel Rosaline sambil memijat keningnya.“Darren mohon, Ma. Darren terus merasa bersalah pada Bu Eloisa, biarkan Darren menjadi salah satu pengawal Eloisa. Anggap saja agar Darren bisa tenang jika melihat Bu Eloisa aman sampai dia menikah dengan Kak Darius nanti,” rengek Darren yang kembali mengeluarkan kemanjaannya untuk membujuk sang Ibu.“Darren kan juga gak ngapa-ngapain. Daripada Darren ngehalu atau mikirin yang ngak-ngak, lebih baik Darren melakukan hal yang berguna,” bujuk Darren lagi dan Rosaline membuang nafas pasrah. Rasanya sudah sangat lama Darren tidak mengerek padanya, padahal baru beberapa bulan, tepatnya sejak Darren patah hati. Dan dia juga mengerti maksud ‘ngehalu atau mikirin yang ngak-ngak’ itu adalah meratapi patah hati putranya itu.“Baiklah. Kau bisa bergantian jaga dengan pengawal lain, minta Lucas mengganti salah satu pengawal itu, denganmu,” kata Rosaline mengalah.“Terima kasih, Ma!” seru Darren senang sambil memeluk Rosaline. Ya, R
“Mengapa kau dan Nick tidak menceritakan tentang pembunuh bayaran itu kemarin?” tuntut Rosaline pada Darren. Sekarang mereka berempat dengan Adianto dan Darius sedang duduk di ruang tamu rumah mereka.“Kupikir itu ulah Clara juga, Ma. karena kejadian sekarang waktunya dekat dengan kejadian sebelumnya. Namun saat kupikirkan lagi semalam, lebih baik aku mencari lagi tentang pria yang bernama Aji itu, siapa tahu kalau dia sudah mendapatkan bayaran penuh, nanti pria itu akan berusaha membunuh Bu Eloisa lagi,” jawab Darren tanpa ekspresi lagi. Baik Adianto, Rosaline ataupun Darius, tidak bisa melihat emosi apapun di wajah Darren.“Ponsel yang kau bilang ingin kau retas?” tanya Darius.“Milik si pembunuh bayaran, namun kemarin Nick memintaku untuk tidak meminta tolong pada Kak Darius karena dia tidak ingin Kak Darius mencurigai perasaannya,” jawab Darren.“Aduh, Darren. Kau seharusnya tahu kalau hal seperti ini tidak bisa kalian atasi sendiri!” omel Rosaline.“Apa kau yang membunuh pria itu
“Tu-tunggu, Orlan … do …” Clara yang tangannya terikat, tidak bisa menghalangi Orlando mencekik lehernya.Ketiga pria lain juga menatap penuh kebencian pada Clara, jika bukan karena wanita itu, mereka tidak akan berada disini dengan nasib yang begitu mengenaskan. Apalagi yang bisa dibanggakan oleh seorang pria disaat mereka sudah dikebiri?Rosaline memberi kode dan seorang pengawalnya melepaskan tubuh Clara dari cekikan Orlando dan wanita itu tampak ketakutan menatap Orlando sambil berusaha menarik nafas.“A-ayahku tidak akan membiarkan kau menyakitiku,” cicit Clara.“Kau pikir Ayahmu bisa lepas dari mereka? Kau telah membawa keluarga kami semua hancur bersamamu!” geram Orlando.“A-apa maksudmu?” tanya Clara semakin pucat dan dia menoleh saat Orlando menunjuk ke televisi, dimana disana juga ada berita tentang kasus penyuapan yang membawa nama Ayah Clara dan banyak pejabat lainnya. Dia tahu selama ini Ayahnya menerima suap, tapi Ayahnya juga memiliki banyak antek, jadi posisi Ayahnya se