Tiga bulan sebelumnya..
Eloisa sedang berdiri di rooftop universitas tempatnya mengajar, kedua sikunya diletakan di pagar pembatas dan jemarinya menopang dagunya. Padangannya mengarah ke arakan awan di atas sana, kacamatanya dia letakan di saku kemejanya dan sepatunya sudah dia lepaskan agar dia bisa merasa lebih rileks. Pikirannya dipenuhi pembicaraannya dengan kedua orang tuanya tadi malam. Mereka berencana menjodohkan dirinya dengan seorang dosen yang juga mengajar di kampusnya ini.
Usianya yang sudah menginjak dua puluh tujuh mungkin memang membuat kedua orang tuanya khawatir. Dia tidak pernah membawa seorangpun pria ke rumahnya semenjak putus dari pacar brengseknya lima tahun lalu. Sebenarnya, hal itu dikarenakan dirinya sendiri yang menjaga jarak dari para pria. Dia sudah tidak percaya lagi dengan sikap manis dan rayuan mereka. Itu semua hanya karena ada mereka inginkan. Setelah mereka mendapatkannya apa yang mereka mau, maka mereka akan membuangmu begitu saja!
Tiba-tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya, dia merasa seseorang memeluknya dari belakang. Sontak Eloisa menolehkan wajahnya, bermaksud untuk memarahi siapapun yang seenaknya memeluknya.
“Halo sayang,” sapa suara itu lembut.
“Ap ...!” kata-katanya terputus saat bibirnya dilumat pria itu. Tubuhnya langsung kaku. Karena terlalu terkejut, dia tidak langsung mendorong siapapun pria itu. Tapi dengan cepat akal sehatnya kembali dan dia berusaha mendorong pria itu. Bukannya melepaskannya, pria itu memeluk tubuhnya semakin erat.
“DARREN!”
Teriakan itu membuat pria yang memeluknya melepas ciumannya dan menoleh ke arah suara yang sepertinya memanggil namanya itu. Eloisa merasa tubuh pria itu menegang dan pelukannya melemah. Eloisa yang menyadari hal itu berusaha untuk membalik tubuhnya, setelahnya dia berniat mendorong pria itu agar menjauh darinya.
Namun, pria itu kembali memeluknya erat. Sekarang malah dia benar-benar berada dalam dekapan pria itu. Dia tidak bisa bergerak karena entah bagaimana pria itu bisa mengunci tubuhnya hingga tidak bisa bergerak sama sekali! Wajahnya tenggelam di dada bidang pria itu dan dia mencium aroma maskulin parfum pria itu, perpaduan antara musk dan cyprus yang terasa menyegarkan di penciumannya.
“Teganya kamu melakukan ini di depanku!” suara wanita itu terdengar bergetar. O-ow sepertinya itu pacar pria ini!
“Bukankah kamu tahu peraturannya, Clara?” kata pria yang memeluknya. Suara pria itu sangat tenang, tidak terdengar emosi apapun. Bahkan, menurutnya terdengar terlalu santai! Bisakah orang bersikap santai di saat kepergok sedang ciuman dengan wanita lain oleh pacarmu sendiri?
“Tapi kamu janjian denganku hari ini!” komplain wanita itu mulai terisak. Nah, wanita itu pasti sedang menangis sekarang! Kasihan sekali, dia sangat ingin menjelaskan kesalahpahaman aneh ini pada wanita itu.
“Tanpa drama dan air mata, Clara. Kita putus!” jawab pria itu.
Tubuh Eloisa menegang. Bukankah pria ini yang salah? Berpelukan dan berciuman dengan wanita lain di depan pacarnya? Kenapa wanita itu yang diputuskan? Bukannya harusnya pria ini sekarang sedang berusaha menjelaskan apapun itu atau mengarang cerita apalah untuk meyakinkan si pacar!
“Tidak. Tidak, Darren. Kumohon maafkan aku, tidak akan aku ulangi lagi. Beri aku satu kesempatan lagi. Aku tidak akan bertingkah seperti ini lagi. Aku akan mengalah, tidak apa-apa kalau kamu mau bersama dia sekarang,” pinta wanita itu mengiba.
“Tidak, Clara. Hanya ada satu kesempatan dan kamu tahu itu. Pergilah!” usir pria itu.
“Darren, kumohon,” Clara merengek.
“Pergilah, Clara. Kita sudah selesai!” tegas pria itu.
Terdengar suara langkah kaki menjauh dan pintu dibanting, lalu pelukan pria itu melemah. Eloisa langsung mendorong pria itu sekuat tenaga yang akhirnya membuat pelukan itu terurai.
Eloisa mundur beberapa langkah lalu melototi pria itu. Namun pandangannya buram, dia tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Dia lupa kalau belum menggunakan kacamatanya. Eloisa lalu mengambil dan memakai kacamatanya agar bisa melihat dengan jelas pria bajingan di depannya ini.
“Bu Eloisa?” suara terkejut pria itu yang lebih dulu memanggil namanya membuat Eloisa mengangkat wajahnya setelah memakai kacamatanya dan melihat sang casanova kampus, Darren Noah Hartadi!
Demi apapun yang ada di dunia ini. Dari semua setan mesum yang pernah dia kenal, kenapa harus rajanya yang sekarang berdiri di depannya?!
Eloisa bisa melihat tatapan syok pria tampan di depannya. Dia tidak pernah melihat wajah yang begitu tampan dari jarak sedekat ini, bahkan mungkin wajah pria ini lebih mulus daripada wajahnya. Dan warna bola mata sebiru laut yang sekarang sedang menatapnya itu terlihat asli, pria di depannya ini benar-benar iblis tampan bermata biru!
Saat dulu dia mengajar mahasiswa ini, mereka tidak pernah berada dalam jarak kurang dari satu meter kecuali saat mahasiswanya mengumpukan tugas, itu karena dia selalu membatasi interaksi dengan lawan jenis seminimal mungkin.
Dia langsung berbalik badan, berencana segera pergi dari rooftop itu. Dia tidak perlu penjelasan atas kesalahpahaman tadi. Dari tatapan terkejut Darren saat melihatnya tadi, sudah jelas kalau pria itu salah orang. Anggap saja hal ini tidak pernah terjadi dan hidupnya akan tenang kembali.
Namun tangannya tiba-tiba ditarik dan dia kembali ke pelukan pria itu. Sekali lagi pria itu menciumnya dan kali ini sungguh membuatnya syok. Bajingan ini sudah tahu siapa dirinya dan masih bersikap kurang ajar!
PLAK
Suara tamparan itu terdengar nyaring. Omelan marah Eloisa tertahan karena dia terkejut saat melihat darah mengalir keluar dari luka baret yang tiba-tiba muncul di pipi pria itu. Dia lalu menoleh ke tangannya dan melihat bekas darah di mata cincinnya yang sekarang menghadap bagian dalam jemarinya. Cincin itu memang sedikit kebesaran, jadi terkadang bergeser dan berputar sendiri di jarinya.
Darren menyentuh pipinya yang terasa perih dan terkejut saat jarinya menyentuh cairan lengket dan melihat apa yang ada di jarinya. Matanya terbelalak melihat darah yang ada disana. Dia kembali menyentuh wajah tampannya, asetnya sebagai model yang sekarang terluka dan darah mengalir cukup banyak dari luka itu.
“Ma-maafkan saya!” seru Eloisa panik dan dia melupakan kemarahannya. Dia langsung mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan menempelkannya di pipi Darren.
“Sa-saya tidak sengaja. Cincin saya sedikit kebesaran dan suka berputar sendiri di jari,” dia masih berusaha menjelaskan dan mencoba menghapus darah yang masih terus mengalir dari luka itu walau sudah dia lap dengan saputangannya. Dia tidak menyadari kalau Darren masih sedang menatap bibirnya yang sibuk menjelaskan ketidaksengajaannya.
Darren tidak terlalu memperdulikan luka itu, yang ada di pikirannya sekarang adalah mengapa bibir wanita ini rasanya berbeda dengan pacar-pacarnya selama ini? Dia bahkan sudah tidak mau lagi menghitung jumlah wanita yang sudah dia cium, dari yang masih polos sampai yang pro.
Baginya semua rasanya sama saja, menyenangkan dan kadang menggairahkan, tapi tidak dengan bibir wanita ini. Mengapa? Dia bahkan tidak bisa mendeskripsikan rasa bibir wanita ini. Karenanya dia mencium wanita ini sekali lagi, dan ternyata dia masih tidak bisa menemukan jawabannya. Mungkin dia harus mencium lebih lama agar bisa menemukan jawabannya!
Dia merasa bibir wanita itu yang terus bicara itu terlihat sangat mengundang minta dicium. Mungkin dia bisa minta dosennya ini untuk menjadi salah satu pacarnya saja, jadi dia bisa bebas mencium wanita ini. Sudut bibirnya tertarik keatas saat membayangkan wanita ini balas menciumnya, ‘Rasanya pasti sangat menggairahkan!’
****
“Aduh, kenapa lukanya tidak mau berhenti?!” Eloisa semakin panik. Sekarang sapu tangannya sudah penuh darah.“Ku- kurasa kita perlu pergi ke klinik. Takutnya lukanya infeksi,” kata Eloisa lagi saat melepas saputangannya dari pipi Darren, darah segar kembali mengucur. “Aduh, saya sudah tidak ada saputangan lagi!” dia terus mengoceh sendiri, tidak menyadari kalau pria di depannya belum bergerak atau bicara sepatah katapun. Mendengar Eloisa mencari sapu tangan, otomatis tangan Darren mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan memberikannya pada wanita itu. Eloisa langsung mengambil sapu tangan itu dan menekan kembali luka yang sudah kembali mengeluarkan darah lagi. Dia langsung menyuruh Darren menekan sapu tangan itu ke pipinya dan menarik lengan pria itu yang satunya untuk mengikutinya turun dari rooftop menuju klinik kampus. Kedua orang itu tidak memperhatikan kalau ada orang lain yang bersembunyi di belakang pintu menuju rooftop, yang memang menunggu mereka turun dari roofto
“Lukanya jangan sampai terkena air karena nanti bisa infeksi. Plester harus diganti dua kali sehari sehabis mandi. Nanti akan saya berikan resep salep luka dan obat anti nyeri , karena kadang akan timbul nyeri. Jika membengkak atau demam, segera kembali ke rumah sakit.” kata Dokter Albert.“Bagaimana saya mencuci muka kalau lukanya tidak boleh terkena air?” tanya Darren.“Plesternya tahan air. Jadi setelah mandi, plesternya dibuka dan lukanya diberi salep, lalu tutup lagi dengan plester baru.” jawab Dokter Albert.“Apakah lukanya akan meninggalkan bekas, Dok?” tanya Darren lagi. Biar bagaimanapun wajahnya adalah aset untuk pekerjaannya sekarang.“Hm, luka di bagian sini agak dalam. Kemungkinan nanti akan meninggalkan garis putih. Tapi karena kamu pria, kurasa tidak masalah dengan sedikit bekas luka,” kata Dokter Albert sambil menunjuk bagian pipi dekat rahang. Eloisa memucat mendengar perkataan Dokter Albert. Bagaimana ini kalau memang luka itu berbekas? Sedangkan mahasiswanya ini be
Kalimat penuh ancaman itu membuat ketiga orang yang sedang menjadi tontonan disana menoleh. Darren menatap Victor dengan tatapan tajam yang membuat pria itu terkejut dan melepaskan tangan Eloisa.Darren langsung mengambil tangan Eloisa yang baru dilepas itu dan memeriksanya. Sepertinya cengkraman Victor cukup keras hingga meninggalkan memar berwarna kemerahan di pergelangan tangan Eloisa. Hal itu membuat Darren emosi. Tanpa aba-aba dia memukul Victor hingga pria itu terjatuh.“Victor!” seru Susan panik seraya menghampiri suaminya.“Jangan kayak banci, beraninya sama perempuan. Sekali lagi kau mendekati Eloisa, kupatahkan tangan dan kakimu!” ancam Darren. Nada suaranya biasa, namun mata pria itu menunjukkan amarah, api biru disana menyala seakan siap membakar Victor. Dia sangat tidak suka pria yang tidak sopan pada wanita. Ibunya selalu mengajarkan untuk menghargai wanita, karena dari rahim merekalah kita dilahirkan.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Darren lembut pada Eloisa. Matanya menat
Hati-hati, Bu, nanti terantuk kaca lagi. Sayang kalau kacanya sampai pecah!” goda Darren.Eloisa mengerjap, keterpesonaan pada wajah tampan di depannya berubah menjadi kekesalan. Apa maksudnya? Gakpapa gitu kepalanya benjol asal kacanya tidak pecah?Darren yang melihat wajah kesal Eloisa merasa gemas, dia menarik tangannya yang tadi memegangi kepala wanita itu, lalu mencubit hidung wanita itu.“Makanya konsentrasi saat ditanya, Bu. Dimana alamat rumah Ibu?” tanya Darren lagi. Dia melirik gemas wanita di sampingnya yang ternyata sedang mendelik tajam menatapnya. “Lama-lama kita menginap disini, loh, Bu.” gurau Darren sambil tertawa melihat wajah wanita itu. Jika wanita itu bermaksud mengintimidasi dirinya, sudah pasti wanita itu gagal. Ayah dan kakaknya jauh lebih menyeramkan saat sedang marah.“Saya, sih, tidak masalah. Saya bisa tidur dimana saja. Apalagi, ditemani Bu Dosen cantik,” kata Darren terus menggoda Eloisa. Alisnya sekarang dinaik turunkan, senyum jail belum hilang dari bi
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Eloisa keluar dari mobilnya. Dia melirik ke kiri dan kanan, takut mahasiswanya itu masih berkeliaran di dekat rumahnya. Entah apa yang dia takutkan? Kalau takut dicium paksa lagi, sebenarnya lebih mudah saat pria itu berada di mobilnya. Hanya saja, dia merasa tidak aman.Begitu keluar dari mobilnya, Eloisa langsung berlari masuk ke rumahnya dan menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Tidak jauh dari rumahnya, Darren masih memperhatikan rumah Eloisa. Dia melihat wanita itu masuk ke rumahnya dan tidak lama terlihat lampu menyala dari jendela yang memiliki balkon di lantai dua, berarti disanalah kamar wanita itu. Dia harus memastikan kalau wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Seburuk-buruknya sikapnya, ibunya selalu mengajarkannya untuk bertanggung jawab. Jika dia mengantarkan wanita pulang, jadi, dia akan memastikan kalau wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Setelahnya, dia baru akan pulang ke rumahnya atau ke tempat
“Aduh!” keluh Eloisa. Dia lalu melihat banyak mahasiswi yang berdiri mengelilingi dirinya. Dia mengenali beberapa mahasiswi yang pernah masuk kelasnya. Dia langsung berdiri dan memasang ekspresi dinginnya.“Ada apa ini?” tanyanya kaku sambil memelototi para mahasiswi itu, mencoba mengingat nama mereka.“Tidak ada yang boleh melangkahi Darren Club. Jangan berpikir karena Anda seorang Dosen, maka Anda bisa seenaknya merayu Darren!” kata salah satu mahasiswi yang tidak dia kenal.“Merayu Darren?” ulang Eloisa. Dia tercengang. Siapa yang merayu siapa disini?!“Jangan berlagak bodoh! Aku melihatmu turun bergandengan tangan dengan Darren setelah kalian berciuman!” tuduh Clara sambil menunjuk Eloisa. Eloisa sebenarnya tidak mengenal wanita itu, tapi dia mengenali suara wanita itu. Wanita yang diputuskan si buaya di rooftop.“Kalian salah sangka. Bukan seperti itu kejadiannya!” bantah Eloisa. Dengan horor Eloisa berpikir kalau semua wanita ini adalah pacar si buaya dan dia akan dikeroyok. Tid
Tidak lama kemudian, Pak Darius kembali, pria itu langsung membuka pintu klinik dan menyalakan lampu. Dengan penerangan yang cukup, matan Eloisa bisa melihat dengan lebih baik. Matanya memiliki kelainan sejak kecil, sejak di sekolah dasar dia sudah memakai kacamata plus, bukan minus. Jadi, dia bisa melihat jelas objek yang jaraknya jauh, tapi, tidak bisa melihat jelas objek yang jaraknya dekat. Apalagi saat penerangan kurang, matanya semakin sulit untuk melihat tanpa kacamata yang dibuat khusus sesuai kebutuhannya. Kekurangannya itu membuat inderanya yang lain lebih tajam. Telinganya bisa mendengar suara dari jarak cukup jauh dan cepat mengenalinya, termasuk mengenali suara orang lain. Dengan beberapa kali mendengar suara orang yang sama, dia akan langsung mengenali orang itu walaupun mereka tidak sedang berhadapan.Darius membantu wanita di depannya untuk duduk dan mulai membuka laci dan rak untuk mencari antiseptik untuk membersihkan luka. Setelah menemukan yang dia cari, dia segera
“Dia tidak mendatangi ayah dan kak Darius untuk meminta pertanggungjawaban karena mengaku kuhamili, kan?” Darren menyuarakan rasa penasarannya. Mereka sudah terbiasa dengan wanita yang tiba-tiba datang ke rumah dan mengaku dihamili oleh Darren. Jadi, dari sepuluh kali Darren duduk di kursi pesakitan keluarganya ini, minimal delapan kalinya berurusan dengan wanita.“Tidak. Namun tadi aku melihat dia dirudung oleh segerombolan mahasiswi yang sebagian dari mereka pernah kudengar namanya kau sebutkan,” jawab Darius dan Darren langsung memucat. Dan ekspresinya tentu saja terlihat jelas oleh keluarganya, yang berarti dia memang melakukan salah. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ayahnya lagi. Pertanyaan Ayahnya membuat Darren tidak jadi bertanya mengenai kondisi Eloisa pada kakaknya. Sekarang dia melirik semua orang yang ada disana, dari Kakaknya, ke Ayahnya, lalu ke Ibunya. Masa dia harus mengaku kalau dia salah mencium orang? Dosen pula!“Darren!” panggil Rosaline setelah sekian lama k