Darren mengepalkan tangannya saat melihat Eloisa masuk ke dalam mobil yang sangat dia kenal, yaitu mobil kakaknya. Dia hanya melihat sekilas saat wanita itu masuk ke dalam mobil kakaknya, namun dia bisa melihat wanita itu tidak menggunakan kacamata. Apakah Eloisa sekarang tertarik pada Kak Darius? Bahkan wanita itu menggunakan softlens untuk pergi dengan kakaknya. Saat di restoran dulu juga wanita itu menggunakan softlens.Dia menggeram saat teringat betapa cantik dan anggunnya Eloisa saat mereka bertemu di restoran dulu. Sekarang dia merasa ingin menghajar kakaknya lagi!Dia memakai pelindung kepalanya dan mulai menyalakan mesin motornya, namun belum menjalankannya. Dia tahu kakaknya selalu awas dengan keadaan, jadi dia harus memberi jarak yang cukup jauh agar tidak membuat kakaknya menyadari kalau ada yang mengikuti. Walaupun dia menggunakan motor sewaan, tetap saja dia takut kakaknya akan mengenalinya. Kemampuan kakaknya untuk mengenali segala sesuatu agak mengerikan menurutnya.
Darren tidak jadi membayar nasi gorengnya, dia meminta abang penjual untuk membuatkan satu porsi nasi goreng lagi.“Nambah lagi?” tanya abang penjual heran, karena secara penampakan tubuh Darren tidak besar dan porsi nasi gorengnya itu banyak.“Iya, Bang. Nasi goreng abang top banget, jadi gak bisa kenyang sepertinya,” jawab Darren sambil mengacungkan jempol yang membuat si abang penjual nasi goreng tertawa. Dia lalu kembali duduk di sebelah dua pria yang sedang berbicara sambil berbisik itu. Nomor rumahnya adalah dua puluh delapan dan komplek rumahnya ini tidak besar, jadi hanya ada satu rumah dengan nomor dua puluh delapan.“Ingat, wanita itu tidak akan membayar sisanya jika kau gagal lagi!” omel si pria kacamata sambil berbisik.“Aku mengerti. Setelah ini tidak akan gagal lagi. Kau tahu kan kemampuanku? Sekali mungkin keberuntungan wanita itu, tapi tidak akan ada yang kedua kali.” jawab si pria kurus dengan percaya diri.Kemudian nasi goreng pesanan mereka datang, obrolan mereka t
Darren perlahan melepaskan pegangan tangannya pada lengan pembunuh bayaran di atasnya setelah dia menarik nafas panjang untuk mengisi paru-parunya. Dia sudah berusaha melepaskan tangan pria itu sejak tadi dan tidak berhasil, jadi dia harus mencari cara lain.Sekarang kondisi kritis, salah perhitungan sedikit saja maka dia yang akan mati. Dia tidak akan bisa melawan tenaga pria diatasnya itu karena posisi pria itu lebih menguntungkan darinya.Jaka menyerigai dan langsung mengencangkan cekikannya saat merasakan pegangan tangan yang memegang lengannya mengendur. Dia pikir pria itu akhirnya kelelahan dan lemas karena kekurangan oksigen. Jaka tidak menyadari kalau kedua tangan Darren berpindah tempat.“Aarrgh … Bangsat!” maki Jaka terkejut saat kedua putingnya dicubit dan diputar Darren sekuat tenaga. Cekikannya di leher Darren langsung terlepas dan Darren langsung menerjang Jaka.Mereka bergulat sambil saling menghajar semampu mereka, dalam pikiran mereka sekarang hanya ada dua pilihan, m
Tubuh Jaka jatuh terlungkup, darah merembes keluar dari luka tembak di punggungnya. Tubuhnya seperti boneka kain saat Aji menendang tubuhnya agar terlentang.“Kau pikir siapa dirimu yang bisa seenaknya memutuskan untuk melepaskan pekerjaan ini? Apalagi kau telah membuat posisiku berada dalam bahaya.” kata Aji sinis.“Ke-kenapa … Uhuk!” tanya Jaka terbata, lalu dia batuk darah. Matanya memancarkan ketakutan saat melihat ekspresi dingin di wajah Aji.“Kau sudah tidak berguna lagi, lebih baik kau mati daripada nanti mereka mengorek informasi darimu.” kata Aji sebelum menembak kepala Jaka.Setelah membuang mayat Jaka, Aji melajukan motornya untuk kembali ke rumahnya, namun sebelumnya dia mampir dulu di sebuah toko ponsel untuk membeli ponsel baru dan mengganti nomor ponselnya. Dia lalu membakar ponsel yang masih berisi kartu ponselnya lamanya dan menginjak bangkai ponsel itu untuk memastikan barang itu hancur tidak bersisa.****Sumpah serapah keluar dari bibir Darren esok paginya saat di
Eloisa membuka matanya perlahan saat kesadarannya kembali dan dia merasa kepalanya sangat berat. Perlahan dia berusaha untuk duduk dan saat memperhatikan sekitarnya, dia baru menyadari kalau dia bukan berada di kamarnya. Alisnya berkerut karena dia tidak mengenali tempatnya berada sekarang. Mengapa dia terbangun di tempat asing seperti ini? Dia berada di sebuah kamar yang cukup luas dan terlihat bersih, dan sekarang dia duduk di sebuah ranjang besar.Walau tempat ini terlihat bagus, dia mulai ketakutan, karena dia tidak ingat mengapa dia bisa berada disini?. Dia mencoba untuk memikirkan penyebab dia berada di ruangan ini, tapi bukannya ingat, kepalanya malah semakin sakit.Dia mendengar suara kunci pintu dibuka dan dia semakin ketakutan, dia memundurkan dirinya hingga punggungnya menempel pada dipan ranjang.“Kau sudah sadar?” tanya pria yang masuk.“Da-Darren?” tanya Eloisa saat mengenali pria tampan itu. Dia menghembuskan nafas lega saat melihat orang yang dikenalnya. Namun wajahny
Tiga bulan sebelumnya..Eloisa sedang berdiri di rooftop universitas tempatnya mengajar, kedua sikunya diletakan di pagar pembatas dan jemarinya menopang dagunya. Padangannya mengarah ke arakan awan di atas sana, kacamatanya dia letakan di saku kemejanya dan sepatunya sudah dia lepaskan agar dia bisa merasa lebih rileks. Pikirannya dipenuhi pembicaraannya dengan kedua orang tuanya tadi malam. Mereka berencana menjodohkan dirinya dengan seorang dosen yang juga mengajar di kampusnya ini.Usianya yang sudah menginjak dua puluh tujuh mungkin memang membuat kedua orang tuanya khawatir. Dia tidak pernah membawa seorangpun pria ke rumahnya semenjak putus dari pacar brengseknya lima tahun lalu. Sebenarnya, hal itu dikarenakan dirinya sendiri yang menjaga jarak dari para pria. Dia sudah tidak percaya lagi dengan sikap manis dan rayuan mereka. Itu semua hanya karena ada mereka inginkan. Setelah mereka mendapatkannya apa yang mereka mau, maka mereka akan membuangmu begitu saja!Tiba-tiba sepasan
“Aduh, kenapa lukanya tidak mau berhenti?!” Eloisa semakin panik. Sekarang sapu tangannya sudah penuh darah.“Ku- kurasa kita perlu pergi ke klinik. Takutnya lukanya infeksi,” kata Eloisa lagi saat melepas saputangannya dari pipi Darren, darah segar kembali mengucur. “Aduh, saya sudah tidak ada saputangan lagi!” dia terus mengoceh sendiri, tidak menyadari kalau pria di depannya belum bergerak atau bicara sepatah katapun. Mendengar Eloisa mencari sapu tangan, otomatis tangan Darren mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan memberikannya pada wanita itu. Eloisa langsung mengambil sapu tangan itu dan menekan kembali luka yang sudah kembali mengeluarkan darah lagi. Dia langsung menyuruh Darren menekan sapu tangan itu ke pipinya dan menarik lengan pria itu yang satunya untuk mengikutinya turun dari rooftop menuju klinik kampus. Kedua orang itu tidak memperhatikan kalau ada orang lain yang bersembunyi di belakang pintu menuju rooftop, yang memang menunggu mereka turun dari roofto
“Lukanya jangan sampai terkena air karena nanti bisa infeksi. Plester harus diganti dua kali sehari sehabis mandi. Nanti akan saya berikan resep salep luka dan obat anti nyeri , karena kadang akan timbul nyeri. Jika membengkak atau demam, segera kembali ke rumah sakit.” kata Dokter Albert.“Bagaimana saya mencuci muka kalau lukanya tidak boleh terkena air?” tanya Darren.“Plesternya tahan air. Jadi setelah mandi, plesternya dibuka dan lukanya diberi salep, lalu tutup lagi dengan plester baru.” jawab Dokter Albert.“Apakah lukanya akan meninggalkan bekas, Dok?” tanya Darren lagi. Biar bagaimanapun wajahnya adalah aset untuk pekerjaannya sekarang.“Hm, luka di bagian sini agak dalam. Kemungkinan nanti akan meninggalkan garis putih. Tapi karena kamu pria, kurasa tidak masalah dengan sedikit bekas luka,” kata Dokter Albert sambil menunjuk bagian pipi dekat rahang. Eloisa memucat mendengar perkataan Dokter Albert. Bagaimana ini kalau memang luka itu berbekas? Sedangkan mahasiswanya ini be