Moonela terperanjat. Dia sontak berbalik, lalu melayangkan tamparan sampai orang itu mundur beberapa langkah.Begitu melihat orang itu adalah Adelio, Moonela mengamati lingkungan sekitarnya terlebih dahulu. Kemudian, dia meraih kerah baju pria itu dan membentak dengan galak, "Kamu cari mati, ya? Berani sekali kamu menggunakan cara rendahan seperti ini!"Wajah Adelio tampak merah, napasnya memburu. Ketika menatap Moonela, yang ada di tatapannya hanya hasrat.Moonela pun merasa jijik melihatnya. Dia langsung menendang kaki Adelio. Karena memakai sepatu hak tinggi, Adelio pun mendengus kesakitan dan terjatuh ke tanah."Kamu ingin mempermainkanku dengan cara ini? Asal kamu tahu saja, aku jauh lebih berpengalaman darimu!" maki Moonela seraya menginjak dada Adelio dengan murka.Adelio tampak terengah-engah. Rasa sakit di kakinya membuat pikirannya menjadi lebih jernih. Dia menyahut dengan lemas, "Air ... ada yang salah dengan air yang kita minum. Jangan pedulikan aku."Moonela menunduk menat
Claude melemparkan ponselnya. Lantaran bisa merasakan Lillia sudah bangun, dia pun menoleh untuk menatapnya.Lillia tampak meringkuk. Setelah ditatap oleh Claude, dia pun tidak bisa berpura-pura tidur lagi. Dia membuka matanya, bersikap seolah-olah semua ini wajar. Sambil menatap Claude, dia berkata, "Aku telepon Moonela dulu, aku khawatir padanya."Claude pun berbalik untuk mengambil ponsel di nakas. Lillia menatap punggungnya yang terdapat banyak bekas cakaran. Meskipun mereka sudah cukup sering bercinta, ini pertama kalinya mereka melakukannya sesengit itu.Ketika Claude menyodorkan ponsel kepada Lillia, dia bisa melihat wajah wanita ini mulai memerah. Lillia mengambil ponselnya, lalu mendapati bahwa orang yang diteleponnya saat linglung bukanlah Moonela, melainkan Claude. Pantas saja, pria ini tidur di sebelahnya.Ekspresi Claude terlihat datar seperti biasanya. Namun, kalau Lillia mengamati dengan saksama, dia akan mendapati bahwa terdapat sedikit perbedaan hari ini.Saat ini, tat
Melihat Lillia meringkuk, Claude masih melanjutkan, "Kita tetap suami istri, meskipun sedang ikut acara."Lillia menggigit bibirnya dan tidak berbicara lagi. Hanya mereka yang tahu hubungan suami istri ini. Ketika Nikita memfitnahnya, Claude tidak pernah mengatakan mereka ini suami istri. Perkataan ini hanya akan dilontarkan oleh Claude setelah mendapatkan kepuasan di ranjang.Claude menatapnya sambil bertanya, "Kenapa jadi diam?""Sekarang belum terlalu malam. Orang-orang nggak akan berpikiran macam-macam kalau melihatmu keluar sekarang," ujar Lillia sambil memejamkan mata.Claude menatapnya dengan dingin, lalu bertanya lagi, "Kamu begitu nggak sabar ingin mengusirku?"Lillia melepaskan diri dari pelukan Claude, lalu menarik selimut dan duduk di ranjang. Sorot matanya terlihat lembut saat menjawab, "Aku nggak ingin membuat Bu Moonela repot, apalagi dituduh yang aneh-aneh oleh kontestan lain."Claude mendengus dan tidak berbicara lagi. Menurut Claude, Lillia benar-benar pintar menyanju
Adelio duduk di sofa dan berkata dengan wajah sedih, "Aku sudah tanya ke tim produksi, mereka nggak punya obat yang ingin kuberikan padanya. Aku sering menggunakan obat itu, efeknya sangat manjur. Karena itulah aku menitip orang lain membelinya dari luar."Moonela mengambil obat yang dibawa pulang olehnya, lalu mencari informasi di internet. Ternyata obat itu harganya cukup mahal dan hanya dijual di toko obat terbesar di kota ini. "Coba kuoleskan padamu," kata Moonela setelah menyimpan ponselnya.Lillia melirik Adelio sekilas, lalu duduk di sampingnya. "Kamu boleh tetap di sini kalau berkata jujur. Kalau nggak, kamu terpaksa harus keluar dari acara ini."Moonela berjongkok di hadapan Lillia, lalu meletakkan kaki Lillia di pahanya. Setelah itu, Moonela mengeluarkan obatnya dan mulai memijat pergelangan kaki Lillia. Adelio tetap terlihat sedih dengan matanya yang berkaca-kaca. "Diberi nyali sebesar apa pun aku nggak akan berani punya maksud lain padamu."Lillia memandangnya sambil mengat
Moonela mengangguk. "Memang seharusnya membiarkannya menetap. Bagaimanapun, dia lebih baik daripada Claude. Selain datang untuk menidurimu, pada dasarnya dia nggak berguna."Wajah Lillia kembali tersipu mendengarnya, "Jangan ungkit masalah itu lagi. Kebetulan aku nggak terlalu mengantuk, kita lanjut kerjakan pakaiannya saja."Moonela langsung mengiakannya, "Boleh, terserah kamu saja."Di sisi lain, Cedron ternyata tidak kembali ke kamarnya, melainkan pergi ke kamar Claude. "Masalahnya nggak bisa diselesaikan?" tanya Claude yang duduk di meja kerjanya dengan dingin. Cedron melangkah ke hadapannya, lalu menepukkan kedua tangannya ke meja. Cedron yang biasanya senang bergurau, kini tiba-tiba menjadi serius. "Aku sudah membahasnya dengan Kak Lillia tadi, dia merasa Adelio nggak bermaksud jahat."Mendengar hal itu, Claude yang sedang sibuk membaca dokumen langsung menghentikan gerakannya. "Kalau ada masalah, katakan saja terus terang."Cedron menatapnya dengan serius, lalu berkata dengan te
Baru saja Cedron hendak bicara, Lillia sudah menyelanya terlebih dulu, "Selama kamu membantunya sampai dia memberimu obat ini, apakah ponselmu pernah terpisah darimu?"Adelio mulai berpikir keras. Sejenak kemudian, dia tiba-tiba berkata, "Saat Idris mengukur tubuhku, dia memberiku minum segelas air. Setelah minum, aku dipaksa mengobrol dengannya, lalu tertidur beberapa menit ...."Cedron membasahi bibirnya, lalu berkata, "Siapa tahu apa yang kalian lakukan di kamar itu? Nggak mungkin dia akan mengaku mengirimkan pesan itu dari ponselmu setelah kamu meminum air." Setelah berhenti sejenak, Cedron kembali menimpali, "Apakah Idris punya keuntungan kalau dia memfitnahmu?"Moonela mengangkat tangannya, lalu berkata, "Kenapa nggak ada untungnya? Asalkan dia bisa merusak reputasi asistenku, bukankah sama saja dengan menghancurkan reputasiku? Sejujurnya, dia bukan ingin menjebak Adelio, Adelio hanya korban. Target utamanya adalah aku dan Lillia.""Tanpa bukti sama sekali, bukankah itu hanya omo
Lillia tiba-tiba menerobos ke kamar Claude tanpa memedulikan apa pun. Dia berdiri di depan pintu dengan mata berkaca-kaca. Claude yang masih merasa kesal terhadapnya karena masalah Adelio, langsung menyindirnya, "Karena takut aku mengusir orang itu, kamu datang menangis padaku?""Nenek terjatuh, aku ingin minta cuti untuk pulang melihatnya." Lillia tidak ingin berdebat dengan Claude, saat ini dia hanya mengkhawatirkan kondisi neneknya.Claude langsung mengubah ekspresi sinisnya dan berdiri seraya berkata, "Kamu keluar dulu, aku akan segera datang."Lillia awalnya mengira Claude akan menahannya dengan alasan pekerjaan, tak disangka semuanya akan berjalan semulus ini.Langit mulai gelap, Lillia keluar dari hotel dan berjalan mondar-mandir di depan pintu. Hanya dalam sekejap, mobil Claude telah melaju pelan dari parkiran hotel. Melihat mobil Claude yang berhenti di depannya, hati Lillia yang tadinya kacau, kini telah menjadi lebih tenang.Baru saja dia duduk di samping Claude, Claude bert
"Jawab saja." Suara Claude tidak terdengar jelas. Saat mengatakan hal itu, Claude mengembuskan napas berat, jelas sekali dia merasa kesal dengan telepon itu. Saat melihat peneleponnya ternyata adalah Nikita, Lillia terdiam sejenak sebelum berkata, "Ini telepon dari Nikita."Claude membuka matanya, lalu menjawab panggilan itu. "Ada apa?""Claude, di sini turun hujan, aku ketakutan ...," kata Nikita dengan suara yang hampir menangis. Suaranya terdengar sangat kasihan. Lillia mendongak untuk menatap Claude."Aku sedang nggak ada di hotel," jawab Claude dengan suara berat. Kekesalannya tadi juga telah menghilang.Dalam hati Lillia bergumam, 'Bilang saja kalau mau pulang ke hotel.' Lillia merasa agak marah, sehingga dia mengentakkan kakinya ke betis Claude. Claude meringis kesakitan melihat Lillia. Lillia hanya mengerjapkan matanya sambil memasang ekspresi tak bersalah."Kamu keluar?" Nikita terdengar agak kaget. Dia tahu bahwa Lillia juga meminta cuti karena neneknya terkena masalah. Masih