"Jawab saja." Suara Claude tidak terdengar jelas. Saat mengatakan hal itu, Claude mengembuskan napas berat, jelas sekali dia merasa kesal dengan telepon itu. Saat melihat peneleponnya ternyata adalah Nikita, Lillia terdiam sejenak sebelum berkata, "Ini telepon dari Nikita."Claude membuka matanya, lalu menjawab panggilan itu. "Ada apa?""Claude, di sini turun hujan, aku ketakutan ...," kata Nikita dengan suara yang hampir menangis. Suaranya terdengar sangat kasihan. Lillia mendongak untuk menatap Claude."Aku sedang nggak ada di hotel," jawab Claude dengan suara berat. Kekesalannya tadi juga telah menghilang.Dalam hati Lillia bergumam, 'Bilang saja kalau mau pulang ke hotel.' Lillia merasa agak marah, sehingga dia mengentakkan kakinya ke betis Claude. Claude meringis kesakitan melihat Lillia. Lillia hanya mengerjapkan matanya sambil memasang ekspresi tak bersalah."Kamu keluar?" Nikita terdengar agak kaget. Dia tahu bahwa Lillia juga meminta cuti karena neneknya terkena masalah. Masih
Lillia seolah-olah tidak diperlukan di sana. Melihat hubungan keduanya begitu baik, Ohara tersenyum dengan lebih puas dan tenang."Umur kalian juga nggak muda lagi. Dengan kesibukan seperti ini, kapan kalian baru akan punya anak?" Saat sedang sarapan, Ohara tiba-tiba bertanya kepada Lillia dan Claude.Lillia yang tahu Claude benci didesak orang tua dan takut Claude akan salah paham juga, buru-buru berkata, "Sedang dipertimbangkan. Tubuhku sepertinya nggak begitu sehat, jadi gagal hamil terus. Kami sedang berusaha."Claude tidak berkomentar. Dia menikmati sarapannya dengan diam dan ekspresi yang tegang.Ohara menganggukkan kepalanya dengan lembut. "Seorang wanita melahirkan di usia 28 tahun nggak baik dan risikonya besar setelah berusia 30 tahun. Nanti aku akan mencari seorang dokter tradisional untukmu, kamu minum saja obat untuk merawat kondisi tubuhmu."Sebenarnya, Priya juga sudah melakukan semua hal itu. Namun, setiap kali menerima obatnya, Claude langsung membuangnya dan tidak mem
Meskipun tangan Claude kuat, dia tetap saja tidak bisa memegang panci yang penuh dengan air dengan satu tangan. Saat panci miring, air, kerang, dan sayuran tumpah di atas kompor gas. Apinya memang padam, tetapi kemeja, jas, dan sepatu kulit bermerek Claude kotor karena air yang tercampur dengan minyak itu. Beberapa kerang dan sayuran terjatuh dari meja ke lantai. Lillia yang memegang mangkuk, menyusutkan lehernya dan mundur ke belakang sambil memandang Claude dengan ekspresi polos dan takut. Claude benar-benar ingin menaruh panci itu ke kepala Lillia.Claude memelototi Lillia. "Kamu sengaja melakukan ini untuk balas dendam ya?"Lillia menggelengkan kepalanya dengan sekuat tenaga. "Kalau aku sengaja melakukannya, aku akan disambar petir!""Lillia, sebaiknya ucapanmu itu benar!" Claude jarang sekali marah besar."Kenapa?" Jilly memapah Ohara menuju pintu dapur.Lillia buru-buru berkata, "Ada kecelakaan kecil. Nggak apa-apa, aku akan membersihkannya."Claude meletakkan pancinya dan berkat
Pipi dan telinga Lillia memerah, tetapi dia masih berpura-pura tenang. "Kalau nggak mau pakai, kamu boleh keluar dengan telanjang ...."Claude meraih pergelangan tangan Lillia dan menariknya mendekat. Lillia yang tidak waspada langsung terjatuh ke dalam pelukannya. Dalam kebingungan, tangan Lillia menekan ke bagian yang terlarang.Saat tubuhnya terasa panas, Lillia berusaha keras untuk memberontak. "Pakai bajumu. Apa yang kamu lakukan di siang hari seperti ini?""Kamu cukup ingat ukuranku ya." Claude memandang Lillia. Awalnya, suasana hatinya terasa kacau. Namun, melihat Lillia menyiapkan pakaian untuknya, suasana hatinya berangsur-angsur membaik. Ternyata masih ada tempat baginya di rumah Lillia ini.Lillia mengira Claude sedang mengatakan hal lain, sehingga dia merasa makin malu dan ingin langsung bersembunyi. Dia memandang Claude dengan wajah yang memerah. "Kamu mau pakai atau nggak?""Kamu bisa menyentuhnya lebih lama agar lebih berkesan, biar nanti kamu bisa membeli lebih banyak p
Setelah memeriksa nadi Lillia, Dokter Mawardi itu memandang Priya sambil tersenyum dan berkata, "Sepertinya tubuhnya baik-baik saja, sudah periksa di rumah sakit?"Priya menganggukkan kepala sebagai isyarat menyuruh Lillia yang berbicara. Lillia yang tidak fokus baru menjawab dengan nada lembut setelah lengannya disenggol Priya, "Sudah periksa dan disuntik juga, tapi nggak ada efeknya.""Kita coba akupunktur, lalu aku beri kamu beberapa obat," kata dokter itu dengan ekspresi lembut."Begitu saja?" Priya juga merasa dokter ini terlihat tidak bisa diandalkan.Dokter itu berkata dengan nada lembut, "Aku sudah melihat riwayat penyakitmu, tubuhnya harusnya baik-baik saja. Bagaimana kalau bawa cucumu ke sini juga?"Mendengar perkataan itu, ekspresi Priya langsung muram. "Cucuku pasti baik-baik saja! Sejak kecil hingga dewasa, dia selalu memeriksa tubuhnya dan hasilnya kita juga tahu. Nggak mungkin ada masalah!"Dokter itu hanya tersenyum."Pergi akupunktur saja, setiap setengah bulan sekali
Priya hanya bisa berkata dengan tak berdaya, "Baiklah. Aku hanya tahu marganya Mawardi saja, nggak tahu namanya. Nomor kontaknya seharusnya ada ditulis di bungkusan obat yang dibawa Lillia, coba kamu lihat saja.""Bahkan namanya saja Nenek nggak tahu, tapi Nenek membawanya untuk akupunktur?" Amarah Claude meledak. Setelah mengatakan itu, dia menutup teleponnya, lalu kembali ke dalam kamar tamu hotel dan mencari tas Lillia. Selain tablet, KTP, dan kunci, sama sekali tidak ada obat yang dikatakan Priya di dalam tasnya. Ekspresinya menjadi sangat dingin. Dia kembali duduk di samping Lillia dan menelepon Priya.Setelah Priya menerima teleponnya, Claude bertanya dengan sabar, "Apa nama kliniknya?""Yah Klinik Setia. Bagaimana dengannya? Padahal dia hanya menjalani akupunktur, sungguh lemah," gumam Priya dengan nada yang tidak puas terhadap Lillia.Claude mendengus dan menutup teleponnya lagi. Dia menggenggam tangan Lillia dan menyadari pergelangan tangannya dingin. Para dokter itu memeriksa
Keduanya berselisih. Claude menatap bekas gigitan di pergelangan tangannya sambil mengernyit.Lillia merasa sangat kesal, tetapi tidak bisa mencurahkan unek-uneknya ataupun menyalahkan orang. Sebelum menikah dengan Claude, dia tidak menduga pernikahannya akan seperti ini. Tidak ada cinta yang diharapkan, yang ada hanya kegetiran.Beberapa menit kemudian, Claude dan Lillia sama-sama terdiam. Claude ingin memeluk Lillia, tetapi malah ditendang oleh wanita itu. Claude yang kesal pun berbalik badan dan membentak, "Jangan naik ke ranjangku lagi lain kali!""Memangnya ini ranjang siapa? Kamu kira aku ingin tidur denganmu?" sahut Lillia dengan dingin. Dia juga ingin kembali ke kamarnya dan tidak akan melakukan hubungan intim dengan Claude lagi. Kalau tidak, pria ini terus berpikiran dirinya ingin melahirkan anak untuk mereka.Setelah sering berinteraksi selama beberapa waktu ini, Claude baru tahu bahwa Lillia juga bisa marah.Malam makin larut. Lillia yang lelah seharian akhirnya tidak tahan
Begitu panggilan tersambung, Lillia langsung mendengar omelan Priya. "Apa-apaan kamu ini? Aku susah payah mencarikanmu dokter pengobatan tradisional, tapi kamu malah membuat masalah. Aku sampai ditegur Claude!"Lillia membalas, "Nenek, Claude melihat jelas bagaimana situasiku kemarin. Kalau kamu merasa aku hanya berpura-pura, tanya saja dia. Suruh dia panggil dokter untuk menjelaskannya kepadamu.""Nggak perlu bicara omong kosong. Pokoknya yang kutahu adalah kamu telah menyia-nyiakan semua usahaku. Kalau nggak bisa hamil, kamu minta cerai saja dari Claude." Seusai berbicara, Priya langsung mengakhiri panggilan.Lillia meletakkan ponselnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Sementara itu, Moonela sontak murka hingga wajah dan lehernya memerah. Dia memaki, "Apa-apaan wanita tua itu! Dia menyalahkanmu karena nggak dapat cucu sampai sekarang? Dia kira Claude begitu hebat, sampai-sampai kamu ingin mengandung anaknya? Dasar gila!""Aku saja nggak marah, kenapa malah kamu yang begitu emosional?