"Mas, perutku sakit, sepertinya, aku akan melahirkan," kata Hana sambil memegangi perutnya. Arya yang kala itu tengah sibuk berbalas pesan langsung menaruh handphone-nya. "Kamu kenapa, Hana? Mana yang sakit?" Arya bertanya sambil mengusap-usap perutnya. "Mas, aku ini mau melahirkan, bukan sakit perut, kenapa malah dielus-elus," geram Hana melihat tingkah suaminya. Arya pun akhirnya membawa Hana ke rumah sakit, Farida menemani Hana di belakang. Sementara Arya fokus menyetidr. Begitu mereka tiba di rumah sakit, dokter kandungan sudah menunggunya. Hana langsung dibawa ke ruang operasi. Karena Hana menginginkan melahirkan secara cesar. Suara tangis bayi pun terdengar, Arya dan Farida saling pandang, tak percaya bayinya telah lahir. Kelahiran bayi itu membawa kebahagiaan besar bagi Arya, dan juga Farida. "Ma, anakku sudah lahir, Ma. Suaranya kencang sekali sampai terdengar dari sini," pekik Arya girang. "Iya, Arya, kamu sudah menjadi seorang Ayah," sahut Farida sambil menepuk pun
Entah dosa apa yang dimiliki Rina sehingga Farida begitu membencinya. Wanita paruh baya itu seolah tak rela melihat Rina bahagia.Dia pun mengirimkan pesan pada Rina. "Wanita mana yang kamu minta donor sel telur untuk menampung benih dari suamimu?"Tak lama, muncul pesan balasan dari Rina. "Nyonya Frida, saya harap, mulai saat ini, Anda jangan pernah lagi mencampuri urusan saya, bukankah keinginan Anda sudah terpenuhi, lalu, untuk apa lagi, Nyonya mengurusi hidup saya?"Farida mengepalkan tangannya. Dia yakin kalau apa yang dia pikirkan itu benar.Ia segera mengambil surat hasil pemeriksaan dokter Rina dari masa lalu yang masih tersimpan di rumahnya. Surat itu menjadi senjata Farida untuk membongkar kebohongan Rina di hadapan suaminya. Ia yakin, dengan bukti ini, ia bisa menunjukkan pada Rina bahwa kebohongan tidak akan pernah bertahan lama."Tunggu saja Rina, setelah ini, suamimu yang ganteng itu akan pergi meninggalkanmu. Lebih baik lelaki tampan dan kaya itu aku berikan pada Serly,
Ponsel Farida bergetar saat dia akan masuk ke dalam ruangan dokter kandungan tempat dia memeriksakan Rina kemarin."Siapa sih," gerutunya.Farida pun membuka pesan dari aplikasi berwarna hijau itu.Seketika, matanya membola saat melihat isi pesan itu. Berbagai foto Hana dan juga seorang lelaki yang tengah bercengkerama di sebuah rumah sakit. Yang paling membuat dia kesal adalah saat melihat foto lelaki itu tengah mengelus perut Hana yang tengah membuncit.Tak lama, muncul lagi pesan. "Ibu harus tahu, kalau ternyata, menantu ibu tidak sebaik yang Ibu kira. Foto ini hanya salah satu bukti. Ada lagi, kalau Ibu ingin tahu lebih banyak." Farida menggenggam ponselnya dengan erat. Ia merasa ini adalah bukti bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Hana, menantunya. Tanpa pikir panjang, ia membalas pesan itu. "Siapa Anda? Kenapa Anda mengirimkan foto-foto itu? Apa yang Anda inginkan?" Tak lama kemudian, balasan datang. "Saya hanya ingin membantu. Kalau Ibu ingin tahu lebih banyak,
BruugghhHana membekap mulutnya, terkejut melihat Farida terkapar di lantai. Darah mengalir dari pelipis Farida, dan tubuhnya tak bergerak. "Bibi! Bibi!" Hana berteriak panik, memanggil pembantu rumah tangga. Bibi berlari masuk ke kamar dan tertegun melihat Farida terbaring di lantai. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi?" "Ibu... Ibu jatuh terpeleset... Saya tidak tahu pastimya!" Hana berusaha mencari alasan, matanya seolah memancarkan rasa bersalah dan takut. "Kita harus membawanya ke dokter, cepat!" Bibi dibantu oleh Mang Diman membopong Farida ke mobil. Setalah mengambil bayinya, Farida pun langsung melajukan mobilnya ke rumah sakit. Dalam hati, Hana berharap Farida tetap tertidur selamanya Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung memeriksa kondisi Farida. Salah satu dokter mendekati Hana dengan wajah serius. "Ibu Farida mengalami pecahnya pembuluh darah akibat benturan di kepala. Kami harus segera melakukan operasi untuk menghentikan perdarahan. Tolong tanda tangani perset
"Kenapa dia tidak mengirim pesan lagi? Apa maksud dia kirim pesan kayak gitu?" Arya kembali memandangi layar ponselnya. Pesan dari nomor tak dikenal itu terus menghantui pikirannya. ---Pagi itu, Arya kembali ke rumah setelah semalaman di rumah sakit. Ia melihat Hana sedang menyusui Althaf sambil tersenyum lembut.“Mas, gimana kondisi Mama?” tanya Hana tanpa menoleh, suaranya terdengar datar.“Masih kritis. Dokter bilang semuanya tergantung pada tubuh Mama. Kita cuma bisa berdoa,” jawab Arya, duduk di sofa sambil memijat pelipisnya.Hana menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap Arya penuh perhatian. “Mas harus istirahat. Jangan sampai jatuh sakit. Kalau Mas sakit, siapa yang bakal mengurus Mama di rumah sakit?”Arya mengangguk, tapi pikirannya melayang. Ia harus menemukan jawaban. “Oh iya, CCTV rumah kita masih aktif, kan?” tanyanya tiba-tiba.Tubuh Hana pun menegang, tetapi, dia berusaha menyembunyikannya. “Seharusnya sih aktif, Mas. Memangnya kenapa?”“Aku mau cek rekaman CCTV di
Arya duduk di ruang kerjanya, menatap layar ponsel dengan ekspresi campuran antara marah dan bingung. "Kenapa ibu masuk ke kamarku dengan ekspresi marah? Terus ibu bawa apa itu?" Gumam Arya saat melihat screenshot dari CCTV yang tiba-tiba muncul di galeri foto ponselnya.Degup jantungnya berdetak kencang. Apalagi ada beberapa screenshoot lain yang seharusnya, bisa menjadi jawaban semua masalahnya. Namun, dia tetap harus bertanya pada sang istri. “Ini nggak masuk akal. CCTV kan mati, lalu, kenapa dia bisa dapatkan foto ini?” gumam Arya sambil meremas ponsel di tangannya. Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan. Rasa marahnya semakin memuncak. Hanya ada satu orang yang mungkin tahu sesuatu, dan orang itu adalah Hana. --- Di ruang tamu, Hana sedang duduk sambil menggoyang-goyangkan Althaf di pangkuannya. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Saat Arya muncul di hadapannya, Hana terkejut melihat ekspresi serius di wajah s
“Ada apa, Arya? Wajah lo kusut banget,” tanya Rizal sambil menuangkan teh hangat kala ayah muda itu baru saja datang di rumahnya. Arya menghela napas berat. “Masalah di rumah, Zal. Mama masih kritis di rumah sakit, CCTV rusak, dan Hana…” Arya menggantungkan kalimatnya, tak mampu melanjutkan. Rizal menatapnya dengan penuh perhatian. “Hana kenapa? Ada masalah sama dia?” Arya mengangguk perlahan. “Gue curiga ada yang dia sembunyikan, Zal. Dari screenshot cctv yang gue tunjukkan ke elo, Mama masuk ke kamar sebelum dia terjatuh. Bukan gue nuduh, cuma, gue curiga, Mama sama Hana bertengkar sebelum Mama jatuh. Tapi gue nggak punya bukti kuat. Sekarang gue cuma bisa berharap Mama sadar dan kasih tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Rizal menghela napas panjang. “Lo jangan terlalu keras sama Hana. Bisa jadi, Mamamu memang terjatuh karena terpeleset. Jangan menuduh sembarangan. Karena banyak kasus mertua menantu yang memang sering berselisih paham. Seandainya Mama kamu sudah sadar, dan mengat
"Selamat jalan, Ma. Semoga Mama tenang disana. Arya akan cari sampai dapat siapa yang berusaha mencelakai Mama." Arya tergugu di samping nisan sang Mama. Dia cium batu nisan bertuliskan nama Farida itu. Setelah puas, Arya pun berdiri hendak meninggalkan pemakaman. Saat akan keluar dari gerbang pemakaman, Arya bertemu dengan Rina. "Arya, aku turut berduka atas kematian Mama. Aku sudah mendengar kasus Mama, jika kamu butuh bantuan, Rian bisa membantu," kata Rina sambil mengusap air matanya. Tanpa kata, Arya menarik tubuh Rina ke dalam pelukannya. Lelaki itu menangis tersedu di bahu Rina. "Maafkan Mama, Rin. Mama banyak salah sama kamu dulu." Rina melirik sang suami. Setelah lelaki tampan itu menganggukkan kepalanya, barulah Rina mengusap punggung lelaki itu. "Aku sudah memaafkan Mama, Arya. Mama sudah aku anggap seperti ibuku sendiri." Arya pun melepaskan pelukannya. Sungguh, jauh di dalam lubuk hatinya, Arya sangat menyesal telah mengkhianatinya Rina dulu. Andai waktu bisa dip
Arfan terbangun, tangannya mencari sang istri yang biasanya tidur di sampingnya. Semalam, dia sedikit mabuk hingga tak peduli apapun saat pulang. "Kemana Nadin? Apa dia sudah bangun?" Arfan pun keluar kamar dan mendapati rumahnya begitu hening. "Kemana semua orang? Apa Nadin sudah pergi?" "Bibi!" panggilnya. Namun, yang datang bukan Bibi melainkan sang asisten yang datang dengan wajah panik. "Ada apa?" “Pak Arfan, maaf mengganggu, tapi… ini penting,” suara lelaki terdengar tegang. “Katakan saja!” kata Arfan santai. Lelaki itu tidak memiliki firasat apapun. Padahal, hal buruk telah terjadi. “Saya baru saja mendapat kabar dari pihak kepolisian. Istri Anda, Bu Nadin… dia mengalami kecelakaan bersama Bu Karina tadi malam. Dan… mereka tidak selamat.” Dunia Arfan seakan berhenti berputar. “Apa?” Suaranya bergetar. “Kau pasti bercanda, kan?” “Maaf, Pak… ini kenyataan.” Sendok makan yang dia pegang tiba-tiba terjatuh. Tangan dan kakinya melemas, dan dadanya terasa sesak. Dia tidak
"Mama," panggil Nadin saat melihat ibunya baru saja duduk di hadapannya. “Apa yang ingin kau bicarakan sampai memintaku bertemu di sini?” Karina bertanya sambil menyesap kopi yang telah dipesankan putrinya. Tatapannya tajam meneliti ekspresi Nadin. Nadin menarik napas panjang, menekan rasa frustasi yang sudah menumpuk sejak dirinya dan Arfan dipindahkan dari rumah utama keluarga Mahendra. “Aku butuh bantuan Mama,” katanya akhirnya. Karina menyeringai, meletakkan cangkirnya dengan perlahan. “Akhirnya, kau sadar juga kalau kamu butuh Mama.” Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja. “Keisha menghancurkan semua rencana kita. Aku sudah hampir membuat Arfan menjadi CEO, tapi dia malah menunjuk suaminya sendiri untuk menggantikannya. Lalu, dia menyingkirkanku dan Arfan dari rumah utama. Ini jelas penghinaan.” Karina tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. “Kau terlalu lambat, Nadin. Seharusnya kau sudah mengantisipasi langkahnya sejak awal. Keisha itu licik. Tapi kau masih punya kes
"Ma, Pa, menurut kalian gimana kalau Arfan dan Nadin tinggal di rumah sendiri," kata Keisha dengan suara tenang, tetapi tegas.Arfan mengernyit, jelas terkejut. "Apa maksudmu, Kak?"Keisha menyilangkan tangan di dadanya. "Aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian. Rumah yang lebih besar, lebih nyaman, disana, kalian bisa bebas karena hanya tinggal berdua."Nadin langsung menegang di samping suaminya. Matanya menyipit, mencoba membaca maksud di balik keputusan Keisha. "Kenapa tiba-tiba ingin kami pindah?" tanyanya dengan senyum manis yang dipaksakan.Keisha menatapnya dingin. "Kau hamil, Nadine. Aku ingin kau lebih fokus merawat kandunganmu tanpa terlalu banyak gangguan. Rumah ini terlalu besar untukmu. Dan lagi, kamar kamu kan ada di lantai 2. Bahaya buat ibu hamil tua naik turun tangga."Arfan menghela napas. "Keisha, kalau ini karena masalah jabatan di perusahaan, aku—""Ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan," potong Keisha cepat. "Aku hanya ingin memastikan kamu dan istri kamu
"Siapkan ruang meeting, beritahu semua petinggi perusahaan, kita akan mengadakan meeting dadakan satu jam kemudian," perintah Keisha pada aang sekretaris.Satu jam kemudian, semua sudah berkumpul di ruang meeting. Keisha baru saja masuk diikuti oleh Arfan, Rendy dan juga Nadin. Setelah memastikan semua duduk dengan tenang, Keisha pun mulai angkat bicara.“Maaf, jika saya mengadakan rapat secara mendadak. Hal ini berkaitan dengan peralihan sementara kursi kepemimpinan selama saya mengajukan cuti hamil."Arfan tersenyum tipis, sudah yakin bahwa Keisha akan mengumumkan namanya. Bahkan Nadin sudah bersiap untuk menampilkan ekspresi bangga, karena rencana mereka hampir berhasil.Namun, senyum mereka seketika memudar saat Keisha melanjutkan, “Mulai hari ini, suami saya, Rendy, yang akan menggantikan posisi saya sebagai CEO hingga saya kembali.”Ruangan langsung riuh dengan bisikan kaget. Arfan membeku di tempatnya, sementara Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja.“Apa?” bisik Nadin deng
Di ruang makan keluarga, suasana penuh kebahagiaan. Rina dan Arya duduk di kursi mereka, menanti kabar penting dari Keisha dan Rendy yang baru saja tiba. Arfan duduk di sebelahnya, sementara Nadin berada di samping suaminya, memasang wajah penasaran. Keisha mengambil napas dalam, lalu menatap semua orang dengan senyum bahagia. “Ma, Pa, aku hamil,” ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk semua mendengar. Rina langsung menutup mulutnya, matanya membesar karena terkejut. “Benarkah, sayang?” Ia segera berdiri dan memeluk putrinya erat. Arya ikut tersenyum lebar. “Ini kabar yang luar biasa, Keisha!” katanya dengan bangga. Arfan, yang duduk di samping Nadin, langsung mengalihkan pandangan ke saudara perempuannya. “Selamat, Keisha. Aku ikut bahagia untukmu dan Rendy.” Di sebelahnya, Nadin juga tersenyum. Sementara semua orang sibuk mengucapkan selamat, Nadin mencengkeram gelasnya erat. Ini dia saatnya. Aku hanya perlu sedikit memainkan peran agar semua berjalan seperti yang kuinginkan.
"Sayang, Mama dan Papa senang kalian mau tinggal disini," kata Rina sambil memeluk putrinya."Aku juga senang, Kak. Dan jika Kakak langsung hamil, aku nggak bisa bayangin, gimana repotnya aku dan Kak Rendy memenuhi ngidamnya dua ibu hamil," Arfan bicara sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang kakak.Namun, ada satu orang yang tidak peduli dengan keberadaan Keisha disini, yaitu NadineWanita itu menatap sinis kedatangan kakak iparnya beserta suaminya. Tawa mereka semakin membuat hati Nadin sakit hati. Nadin mengepalkan tangannya. Keisha sekarang berada di rumah ini, lebih dekat dengan Arfan dan keluarganya. Itu berarti rencananya bisa saja berantakan. Jika Keisha menemukan sesuatu tentangnya, maka semuanya bisa hancur.Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.---Malam itu, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Keisha duduk di sebelah Rendy, sementara Arfan duduk berhadapan dengan mereka. Nadin duduk di samping Arfan, tapi perasaannya tidak tenang sama sekali.Ary
Malam itu, di rumah Rendy"Jadi, bagaimana?" ulang Rendy sekali lagi. Namun, bukannya menjawab, Keisha justru memeluk erat Rendy seolah tak ingin berpisah. Rendy bisa merasakan detak jantung Keisha yang berdetak kencang. Senyum pun terbit di bibir Rendy. Lelaki itu pun membalas pelukan wanita yang sangat dia cintai itu.Setelah cukup lama berpelukan, Rendy melepaskan pelukannya. Lelaki itu menatap Keisha dalam, memberi ruang agar wanita itu bisa berpikir. “Aku tidak akan memaksa, Keisha. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri,” ucapnya lembut.Keisha mengangkat wajahnya, menatap mata Rendy dengan sorot ragu. “Aku takut.”Rendy tersenyum tipis. “Takut apa?”Keisha menggigit bibirnya, suaranya bergetar saat berbicara, “Takut kehilanganmu.”Rendy menghela napas, lalu meraih tangan Keisha dan menggenggamnya erat. “Kau tidak akan kehilangan aku, Keisha.”Keisha menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. “Dulu, aku pernah jatuh cinta. Entah apa alasannya, dia tiba-tiba pergi
"Kurang ajar! Rupanya, dia ingin main-main denganku. Jangan sebut aku Rendy jika tak bisa membuatku jatuh dalam pelukanku!" batin Rendy. Saat Dante meninggalkan mereka berdua, Rendy merasa, ini adalah kesempatan bagus untuknya. Dia bisa menghukum Keisha. Rendy pun menggendong tubuh Keisha layaknya karung beras. Lelaki itu kemudian mendudukkannya di mobil kemudian menguncinya. “Rendy! Apa-apaan ini? Buka pintunya!” Keisha berteriak. Memukul-mukul kaca mobil Rendy san berusaha membuka pintunya. Namun sayang, pintu itu telah terkunci. Rendy pun masuk dan duduk di sisi kemudi. Melihat Keisha yang terus memberontak membuat Rendy pun kesal. "Diam Keisha, kamu harus ikut denganku! Atau kalau tidak, jangan salahkan aku kalau mobil ini bergoyang!" "Rendy kamu nggak bis kayak gini sama aku! Buka pintunya Rendy! Buat apa kamu mengunci aku disini? Bukankah kamu sudah memiliki yang lain?" Rendy menggelengkan kepalanya. "Diana bukan kekasihku. Saat ini, aku memang sedang bekerja dengannya me
Keisha menatap nanar foto-foto kebersamaan Rendy dengan wanita yang enrah siapa namanya. Dia pun tak ingin peduli. Yang dia pedulikan hanyalah, sebegitu cepatkah Rendy melupakannya?Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja memikirkan langkah apa yang akan dia ambil. "Apa dia hanya ingin membuatku cemburu? Kalau tidak, untuk apa dia mengirimi aku foto beginian? Berani sekali dia memperlakukanku seperti ini," gumamnya geram. Tak ingin kalah, Keisha segera merencanakan langkah balasan. Jika Rendy bisa bersama wanita lain tanpa peduli padanya, maka dia juga akan melakukan hal yang sama. Wanita itu pun memikirkan cara agar bisa dalam sekejap mencari lelaki tampan, kaya, yang mau dia ajak kerja sama. "Aha! Aku tahu!"Keisha pun mengambil ponselnya kemudian menekan nomor yang dia tuju."Halo, apa tawaranmu masih berlaku?" tanya Keisha pada lelaki di seberang sana.Setelah menutup teleponnya, senyum licik pun terbit di bibir Keisha. "Lihat saja Rendy! Kamu jual, aku beli!" --- Keesokan harinya, d