"Selamat jalan, Ma. Semoga Mama tenang disana. Arya akan cari sampai dapat siapa yang berusaha mencelakai Mama." Arya tergugu di samping nisan sang Mama. Dia cium batu nisan bertuliskan nama Farida itu. Setelah puas, Arya pun berdiri hendak meninggalkan pemakaman. Saat akan keluar dari gerbang pemakaman, Arya bertemu dengan Rina. "Arya, aku turut berduka atas kematian Mama. Aku sudah mendengar kasus Mama, jika kamu butuh bantuan, Rian bisa membantu," kata Rina sambil mengusap air matanya. Tanpa kata, Arya menarik tubuh Rina ke dalam pelukannya. Lelaki itu menangis tersedu di bahu Rina. "Maafkan Mama, Rin. Mama banyak salah sama kamu dulu." Rina melirik sang suami. Setelah lelaki tampan itu menganggukkan kepalanya, barulah Rina mengusap punggung lelaki itu. "Aku sudah memaafkan Mama, Arya. Mama sudah aku anggap seperti ibuku sendiri." Arya pun melepaskan pelukannya. Sungguh, jauh di dalam lubuk hatinya, Arya sangat menyesal telah mengkhianatinya Rina dulu. Andai waktu bisa dip
Arya duduk termenung di ruang kerjanya. Setelah tadi pagi mendapat laporan dari Seno kalau Adi ditemukan tewas gantung diri di dalam selnya, membuat Arya bingung harus kemana lagi mencari petunjuk untuk mencari tahu siapa dalang dibalik kematian ibunya. Ponselnya berdering. Seno menelepon. "Arya, kami baru saja dapat laporan dari tim forensik," suara Seno terdengar serius. "Apa hasilnya, Seno? Ini benar-benar bunuh diri?" tanya Arya penuh harap. Seno menghela napas. "Tidak. Ada bekas suntikan kecil di lengan Adi. Dia disuntik zat mematikan sebelum digantung. Ini pembunuhan." Arya menggertakkan giginya. "Sial! Ini pasti dilakukan oleh orang yang ingin menutupi jejaknya. Pelakunya jelas tidak ingin kita mengetahui lebih jauh." "Kami sedang melacak riwayat orang yang menghubungi Adi. Sebelum meninggal Adi menemui tamu dipenjara, kami tidak tahu itu siapa tapi kami akan menyelidikinya," ujar Seno. Arya menarik napas panjang. "Baiklah, beri tahu aku jika ada perkembangan." --- Ha
"Frederick yang membeli saham perusahaanmu itu sebenarnya adalah Bram. Dia menyamar," ungkap Seno. Arya terkejut. "Sial! Bagaimana aku bisa terjebak?" Seno menambahkan, "Kami sudah menginterogasi Bram, tapi dia sangat cerdik. Alasan dia menemui Adi sama sekali tidak ada hubungannya dengan kasus ini. Jadi, kami tidak bisa menahannya. Kami akan mencari bukti lain." --- Beberapa hari kemudian, profesionalitas Arya mulai dipertanyakan. Pasalnya, banyak proyek baru gagal diambil oleh Arya. Disamping itu, banyak karyawan mengeluh karena seringnya Arya tidak hadir dalam rapat rutin kantor. "Pak Arya sangat tidak profesional. Dia sering membatalkan meeting secara mendadak, dengan alasan mengurusi kasus kematian ibunya. Padahal seharusnya, sikap seorang pemimpin tidak begitu." Salah satu direktur memberikan keterangannya terkait rumor yang beredar. "Buktinya, perusahaan ini mengalami kerugian akhir-akhir ini." Kabar itu tersebar luas, memengaruhi reputasi Arya di dunia bisnis. Banyak k
"Kamu dimana, Sayang?" Suara berat nan seksi menyapa telinga Hana."Aku di lobby," jawab Hana."Segeralah naik, aku menunggumu!" Lelaki itu memberi perintah seolah dia adalah Bosnya.Hana pun segera masuk ke dalam lift dan memencet angka 11. Saat tiba di lantai 11 Hana menyeret kopernya menuju ke kamar 1102. Baru saja Hana memencet bel, seorang lelaki yang hanya memakai bathrobe menyambut kedatangannya. Lelaki itu merentangkan tangannya dan memeluk Hana dengan erat."Lama sekali kamu datang, Sayang. Aku merindukanmu," bisiknya membuat Hana tersipu malu. Lelaki itu adalah Bram."Maaf jika kamu menunggu lama. Aku harus menidurkan putraku dulu." Hana pun membalas pelukan Bram tak kalah hangat. Lelaki itu pun membawa Hana masuk ke dalam. Mereka duduk di sofa. Lelaki itu menyentuh kedua tangan Hana. "Akhirnya kita berhasil, Sayang," kata Bram dengan senyum penuh kemenangan. Lelaki itu pun mengecup kening Hana penuh cinta dan menariknya ke dalam pelukan. Hana memainkan tangannya di dada
"Kenapa kamu tega meninggalkan putramu, Hana?" Lirih Arya saat panggilannya pada sang istri hanya dijawab oleh mesin suara.Meski sudah yakin Hana meninggalkannya, lelaki itu masih ingin mendengar penjelasan dari bibir sang istri secara langsung. Namun sayang, handphone sang istri dalam keadaan mati.Arya pun meminta bantuan Bibi untuk mengemasi semua barang-barangnya. Malam ini, adalah malam terakhir dia tidur di rumah ini.Pukul 2 dini hari, Arya baru saja selesai membereskan semua barangnya. Dia menitipkan beberapa kardus barang lamanya di rumah Bibi yang letaknya hanya beberapa kilo dari rumahnya. Nanti, jika dia sudah mendapatkan rumah, dia akan mengambil semua barangnya.---Keesokannya, setelah membayar gaji Bibi dan security, Arya pun menggeret koper dan juga beberapa barang milik sang Mama yang menurutnya penting untuk dia bawa.Sebelum keluar, dia pandangi setiap sudut rumah yang telah menjadi saksi kenangan manis, pahit hidupnya. "Selamat tinggal, semoga, suatu saat, aku bi
Rian mengantar Arya ke mess karyawan yang letaknya tidak jauh dari kantor. Mess itu sederhana, namun cukup nyaman untuk Arya dan Althaf. “Hanya posisi konsultan keuangan yang kosong saat ini. Kuharap, kamu bisa bekerja dengan baik supaya aku bisa merekomendasikan kamu nantinya,” ujar Rian sambil menyerahkan sebuah amplop berisi kontrak kerja. Arya mengambil amplop itu dengan ragu. “Terima kasih, Rian. Aku nggak tahu harus bagaimana membalas kebaikanmu. Tapi, aku ingin tahu—apa alasan sebenarnya kamu membantuku?” Rian menatap Arya dalam-dalam, senyumnya menghilang. “Aku membantumu karena aku tahu rasanya dihancurkan. Dan karena aku ingin memastikan kamu membayar apa yang sudah kamu lakukan ke Rina dulu.” Arya tertegun. Ternyata, Rian masih membencinya, meskipun pada akhirnya, lelaki ini membantunya. Andai ada pilihan lain, mungkin, Arya tak akan menerima bantuan dari Rian. Selain karena malu, dia juga merasa bersalah pada Rina akan perlakuannya dulu. “Terima kasih, tolong ucapka
"Jova, kemarilah!" Panggil Rian melalui interkomnya.Wanita pun itu masuk dengan raut wajah penasaran, belum menyadari apa yang akan diminta sang atasan darinya.“Duduk, Jova,” ujar Rian, menatapnya dengan ekspresi serius.Jova duduk dengan anggun. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan Rian?”Rian mengetuk-ngetukkan jari ke meja, mempertimbangkan kata-katanya sebelum berbicara. “Aku punya tugas khusus untukmu. Ini akan sedikit keluar dari job desk-mu sebagai sekretaris, tapi sangat penting untuk keberhasilan misi kita.”Jova mengerutkan dahi. “Tugas seperti apa, Tuan?”Rian mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku ingin kamu menggoda Bram. Gunakan pesonamu untuk mendekatinya, membuatnya percaya, dan mencari tahu semua informasi tentang operasional bisnisnya. Aku butuh rahasia terbesar yang bisa membuatnya jatuh.”Jova menegang. “Tuan Rian, ini... apakah Anda yakin? Bukankah itu terlalu berisiko?”Rian mengangguk tegas. “Aku yakin kamu mampu, Jova. Aku sudah melihat caramu memikat perhatian Bra
"Ingat Jova! Dekati Bram, dapatkan kepercayaannya, dan laporkan segala kelemahannya padaku," itulah perintah dari rian yang harus Jova laksanakan. Akan tetapi, setelah melewati malam panas bersama Bram, semua berubah. Dia tak pernah menyangka bahwa malam itu adalah awal mula tumbuhnya sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sejak malam itu, Bram terus mengajaknya bertemu. Awalnya, Jova berpikir ini adalah kesempatan emas untuk menjalankan rencananya. Namun, setiap percakapan, setiap tawa, membuat tugas itu terasa lebih sulit.---"Jova, kita makan malam ya! Aku tunggu di apartemenku. Sopir akan menjemputmu nanti." Begitu isi pesan dari Bram siang ini.Jova tersenyum membaca pesan dari lelaki itu. Lelaki yang seharusnya menjadi orang yang dia benci justru malah menjadi lelaki yang menjadi raja di hatinya.---Jova sudah sampai di apartemen Bram. Lelaki itu langsung membawanya ke balkon. Senyum di bibir Jova mengembang saat melihat sebuah meja kecil dengan lilin di tengahnya.“Maaf, aku ng
"Rina, kenapa kamu masih menerima aku di sini sekarang Padahal, katamu, dulu aku samhat kejam padam?"tanya Arya saat mereka duduk santai di ruang tamu.Rina tersenyum lembut. "Karena aku tahu, di dalam hatiku, aku masih peduli padamu. Apalagi ada Keisha. Dia membutuhkan ayahnya, Arya."Arya merasa ada kehangatan di hatinya mendengar jawaban itu. Ia menoleh ke arah Rina lagi, dan untuk pertama kalinya ia merasa yakin tentang sesuatu."Rina, aku ingin mengatakan sesuatu."Rina menatapnya dengan penasaran. "Apa itu, Arya?"Arya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Rina dengan lembut. "Aku tahu aku belum sepenuhnya mengingat masa lalu kita. Tapi aku tahu satu hal dengan pasti—aku merasa hidupku lebih berarti sejak aku di sini bersamamu dan Keisha."Rina tertegun. Ia bisa merasakan ketulusan dalam suara Arya."Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, atau bahkan terlalu cepat," lanjut Arya, "tapi aku ingin memperbaiki semua kesalahan di masa lalu. Aku ingin memulai kembali. Jadi, Rina... mau
"Ahh... kepalaku...!" desahnya, suaranya hampir seperti rintihan.Rina yang sedang di dapur langsung berlari ke ruang tamu. "Arya, ada apa? Kamu sakit?" tanyanya panik.Arya menggeleng lemah sambil terus memegangi kepalanya. "Entah kenapa... kepalaku tiba-tiba sakit sekali, Rina."Rina meraih lengan Arya, membantunya duduk lebih nyaman. "Tunggu di sini, aku ambilkan air putih," katanya, lalu berlari ke dapur.Setelah Arya minum, rasa sakitnya sedikit mereda. Namun, matanya masih menunjukkan kebingungan. "Rina... aku tadi melihat sesuatu," katanya pelan."Apa yang kamu lihat?" tanya Rina, duduk di sampingnya."Sebuah... tempat. Ada taman, dan aku sedang bermain dengan seorang anak kecil. Aku rasa itu Keisha... tapi aku tidak yakin. Rasanya begitu nyata," jawab Arya sambil memijit pelipisnya.Mendengar itu, hati Rina tergetar. "Arya, mungkin itu bagian dari ingatanmu yang kembali," katanya dengan suara lembut."Tapi kenapa ini terasa sangat menyakitkan? Aku seperti sedang dipaksa mengin
“Ini foto-foto kita dulu,” kata Rina dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Rina membawa album foto lama. Ia menaruhnya di meja. Arya yang sedang duduk d ruang tamu sambil menonton televisi pun mengalihkan perhatiannya.Arya menatap album itu dengan ekspresi campur aduk. Ia membuka halaman pertama dan melihat gambar pernikahan mereka. Rina terlihat cantik dengan gaun putihnya, sementara ia—Arya—memegang tangan wanita itu dengan wajah datar.Arya menatap Rina, matanya penuh pertanyaan. “Jadi, kamu istriku?"Rina menggeleng, membuat Arya mengerutkan keningnya. "Dulu, kita memang pernah menikah selama 3 tahun. Namun setelah itu, kita bercerai," terang Rina.Arya menatap Rina. "Kenapa aku bisa menceraikan wanita sebaik kamu?”Rina terdiam. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang menggenang di matanya. “Itu cerita yang panjang, Arya. Dan mungkin bukan saatnya kita membahasnya sekarang,” jawabnya pelan.Arya tidak memaksa. Melihat wajah sendu Rina saat dia bertanya tadi, memb
"Aku harus membantu Arya keluar, Karina tidak bisa seenaknya pada Arya hanya karena Arya tidak mengingat siapa dirinya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya sendiri, Karina tidak akan melepaskan Arya jika aku kesana sendirian."Rina menggenggam surat yang ditulis Arya erat-erat. Dengan langkah mantap, ia memasuki kantor polisi, matanya penuh tekad.Seorang petugas yang sedang duduk di meja depan mengangkat wajahnya. "Selamat sore, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"Rina meletakkan surat itu di atas meja. "Saya ingin melaporkan seseorang yang ditahan secara paksa. Ini surat dari korban yang berhasil menyuruh seseorang untuk membantunya keluar dari rumah tempat itu."Petugas membaca surat itu dengan seksama. Wajahnya berubah serius. "Siapa yang Anda maksud? Dan di mana lokasi penahanannya?""Namanya Arya. Dia ditahan di rumah seseorang bernama Karina. Dia adalah dokter yang merawat Arya, dan dari apa yang saya tahu, Arya dipaksa tinggal di sana tanpa keinginannya," jelas Rina dengan suara berg
Di rumah Rina, Keisha tampak sedang menggambar di ruang tamu ketika ia mendengar pembantunya, Mbak Ani, berbicara di dapur."Kasihan Mbak Rina ya, Mas Arya kayaknya nggak datang lagi. Padahal Keisha senang banget waktu dia mampir," ujar Mbak Ani sambil mencuci piring.Keisha yang penasaran segera menghampiri. "Mbak Ani, Om Arya nggak datang lagi ya?" tanyanya polos.Mbak Ani terkejut, lalu tersenyum kecil. "Keisha, mungkin Om Arya lagi sibuk. Nanti juga dia datang lagi, kok."Tapi Keisha tidak puas dengan jawaban itu. Ia tahu sesuatu sedang terjadi, tapi ia tidak tahu apa."Keisha harus cari Om Arya," gumamnya sambil kembali ke ruang tamu.---Di rumah Karina, Mbok Darmi membaca surat Arya dengan hati yang pilu. "Ya Allah, Den. Maafkan si Mbok jika belum bisa membantu Aden saat ini," ucapnya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya.Ia tahu membantu Arya berarti melanggar perintah Karina, tapi hatinya tidak tega melihat lelaki itu terus menderita.Malam itu, ketika Karina suda
"Mama! Mama!" teriak Keisha saat Rina baru saja memarkir mobilnya. Gadis itu berlari keluar dengan wajah penuh semangat. "Mama, Om Arya tadi ke sini!" Seru Keisha sambil melompat-lompat.Rina terhenti sejenak, hatinya berdegup kencang. "Apa? Om Arya? Keisha, kamu jangan bercanda, ya," katanya dengan suara gemetar."Tapi beneran, Ma! Tadi Om Arya ke sini. Dia main sama Keisha. Om Arya juga nanya banyak hal!" seru gadis kecil itu.Rina memandang putrinya dengan mata berkaca-kaca. Ia tak ingin terlalu berharap, tapi ada getaran dalam hatinya mendengar nama Arya. "Keisha, Om Arya bilang apa saja?"Keisha mengerutkan alis, mencoba mengingat. "Hmm... Om Arya tanya soal Mama, soal rumah ini. Terus dia juga nanya apa Keisha ingat Om Arya dulu sering main sama Keisha."Rina tak bisa menahan senyumnya. Ia ingin percaya bahwa Arya mulai mengingat sesuatu. Tapi ia harus memastikan semuanya terlebih dahulu."Keisha," kata Rina sambil memegang pundak putrinya, "lain kali kalau Om Arya datang lagi,
"Mbok, Karina sudah pergi?" Tanya Arya pada Mbok Ratmi, ART di rumah Karina."Sudah, Den. Tadi Nona bilang, kalau Den butuh apa-apa. Biar Mbok aja yang belikan. Aden nggak boleh pergi sendiri," jawab Mbok Ratmi.Arya tersenyum. Wanita itu masih saja mengekangnya. Padahal, kemarin dia sudah berjanji tidak akan mengurungnya lagi."Tapi, Mbok. Kemarin aku bertemu temen, katanya aku ini sudah punya anak dan istri. Aku harus mencari tahu Mbok, apa benar yang dikatakan oleh temanku kemarin. Apa Mbok nggak kasihan dengan anak istriku kalau seandainya apa yang dikatakan oleh temanku itu benar?" Mbok Ratmi terdiam. Benar juga apa yang dikatakan oleh Arya. Kasihan anak dan istrinya kalau memang itu benar.Arya memegang lengan Mbok Ratmi. "Mbok, boleh ya? Izinkan saya keluar. Nanti saya akan kembali sebelum Nona pulang. Please?" Pinta Arya sambil mengatupkan tangan di dada.Setelah wanita paruh baya itu mengangguk. Arya pun pergi meninggalkan rumah Karina. Dia harus mencari tahu, siapa Rina dan
Setahun Kemudian"Mama, kenapa Om Arya nggak sembuh-sembuh sakitnya? Keisha kangen, pengen main sama Om Arya," rengek gadis kecil berkuncir kuda itu.Rina tersenyum lembut, lalu duduk di samping putrinya. "Keisha kan tahu, kalau Om Arya sedang sakit dan nggak ingat kita. Kita tunggu saja, ya. Mama juga nggak tahu sekarang Om Arya tinggal di mana," ujar Rina sabar.Gadis kecil itu memberengut, kemudian masuk ke kamarnya. Rina menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia ingin mencari tahu keberadaan Arya. Tapi, untuk apa? Arya tidak mengingatnya sama sekali. Ia juga takut kehadirannya justru membuat Arya tak nyaman."Bagaimana kabarmu sekarang, Arya?" bisik Rina pada dirinya sendiri.---Di Tempat LainArya melirik ke arah pintu dengan gelisah. Ia sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini, terkurung di rumah Karina. "Karin, aku mau beli sabun. Sabunku habis," katanya sambil mengambil jaket."Sabun apa? Biar Bibi yang beli. Kamu di rumah aja!" Karina mengawasi Arya tajam. "Kamu kan sering n
“Kenapa Rina tak pernah muncul lagi?” Arya bertanya suatu malam pada Karina, yang duduk di kursi di sudut kamar.Sudah dua minggu sejak Rina dan Keisha berhenti datang ke rumah sakit. Arya mulai menyadari ada yang hilang di hatinya. Meski dia tak ingat tentang hubungannya dengan Rina, tetapi keberadaan mereka membuat hatinya terasa nyaman. Karina menatapnya dengan senyum samar, tapi matanya menyiratkan emosi yang tertahan. “Mungkin dia merasa kamu tidak membutuhkannya lagi. Kadang, orang memilih pergi daripada melihat seseorang yang mereka sayangi menderita.”Arya mengernyit. “Tapi... aku merasa berbeda. Seolah aku membutuhkan mereka.”Karina segera menyela, menggenggam tangannya dengan lembut. “Arya, jangan paksa dirimu untuk mengingat jika itu membuat kepalamu sakit. Biarkan semua berjalan dengan perlahan. Lama-kelamaan, kamu juga ingat nanti." Karina memaksakan senyumnya. Meski dalam hati, dia merasa takut jika Arya mengingat masa lalunya. ---Beberapa hari kemudian, dokter sudah