"Kamu dimana, Sayang?" Suara berat nan seksi menyapa telinga Hana."Aku di lobby," jawab Hana."Segeralah naik, aku menunggumu!" Lelaki itu memberi perintah seolah dia adalah Bosnya.Hana pun segera masuk ke dalam lift dan memencet angka 11. Saat tiba di lantai 11 Hana menyeret kopernya menuju ke kamar 1102. Baru saja Hana memencet bel, seorang lelaki yang hanya memakai bathrobe menyambut kedatangannya. Lelaki itu merentangkan tangannya dan memeluk Hana dengan erat."Lama sekali kamu datang, Sayang. Aku merindukanmu," bisiknya membuat Hana tersipu malu. Lelaki itu adalah Bram."Maaf jika kamu menunggu lama. Aku harus menidurkan putraku dulu." Hana pun membalas pelukan Bram tak kalah hangat. Lelaki itu pun membawa Hana masuk ke dalam. Mereka duduk di sofa. Lelaki itu menyentuh kedua tangan Hana. "Akhirnya kita berhasil, Sayang," kata Bram dengan senyum penuh kemenangan. Lelaki itu pun mengecup kening Hana penuh cinta dan menariknya ke dalam pelukan. Hana memainkan tangannya di dada
"Kenapa kamu tega meninggalkan putramu, Hana?" Lirih Arya saat panggilannya pada sang istri hanya dijawab oleh mesin suara.Meski sudah yakin Hana meninggalkannya, lelaki itu masih ingin mendengar penjelasan dari bibir sang istri secara langsung. Namun sayang, handphone sang istri dalam keadaan mati.Arya pun meminta bantuan Bibi untuk mengemasi semua barang-barangnya. Malam ini, adalah malam terakhir dia tidur di rumah ini.Pukul 2 dini hari, Arya baru saja selesai membereskan semua barangnya. Dia menitipkan beberapa kardus barang lamanya di rumah Bibi yang letaknya hanya beberapa kilo dari rumahnya. Nanti, jika dia sudah mendapatkan rumah, dia akan mengambil semua barangnya.---Keesokannya, setelah membayar gaji Bibi dan security, Arya pun menggeret koper dan juga beberapa barang milik sang Mama yang menurutnya penting untuk dia bawa.Sebelum keluar, dia pandangi setiap sudut rumah yang telah menjadi saksi kenangan manis, pahit hidupnya. "Selamat tinggal, semoga, suatu saat, aku bi
Rian mengantar Arya ke mess karyawan yang letaknya tidak jauh dari kantor. Mess itu sederhana, namun cukup nyaman untuk Arya dan Althaf. “Hanya posisi konsultan keuangan yang kosong saat ini. Kuharap, kamu bisa bekerja dengan baik supaya aku bisa merekomendasikan kamu nantinya,” ujar Rian sambil menyerahkan sebuah amplop berisi kontrak kerja. Arya mengambil amplop itu dengan ragu. “Terima kasih, Rian. Aku nggak tahu harus bagaimana membalas kebaikanmu. Tapi, aku ingin tahu—apa alasan sebenarnya kamu membantuku?” Rian menatap Arya dalam-dalam, senyumnya menghilang. “Aku membantumu karena aku tahu rasanya dihancurkan. Dan karena aku ingin memastikan kamu membayar apa yang sudah kamu lakukan ke Rina dulu.” Arya tertegun. Ternyata, Rian masih membencinya, meskipun pada akhirnya, lelaki ini membantunya. Andai ada pilihan lain, mungkin, Arya tak akan menerima bantuan dari Rian. Selain karena malu, dia juga merasa bersalah pada Rina akan perlakuannya dulu. “Terima kasih, tolong ucapka
"Jova, kemarilah!" Panggil Rian melalui interkomnya.Wanita pun itu masuk dengan raut wajah penasaran, belum menyadari apa yang akan diminta sang atasan darinya.“Duduk, Jova,” ujar Rian, menatapnya dengan ekspresi serius.Jova duduk dengan anggun. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan Rian?”Rian mengetuk-ngetukkan jari ke meja, mempertimbangkan kata-katanya sebelum berbicara. “Aku punya tugas khusus untukmu. Ini akan sedikit keluar dari job desk-mu sebagai sekretaris, tapi sangat penting untuk keberhasilan misi kita.”Jova mengerutkan dahi. “Tugas seperti apa, Tuan?”Rian mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku ingin kamu menggoda Bram. Gunakan pesonamu untuk mendekatinya, membuatnya percaya, dan mencari tahu semua informasi tentang operasional bisnisnya. Aku butuh rahasia terbesar yang bisa membuatnya jatuh.”Jova menegang. “Tuan Rian, ini... apakah Anda yakin? Bukankah itu terlalu berisiko?”Rian mengangguk tegas. “Aku yakin kamu mampu, Jova. Aku sudah melihat caramu memikat perhatian Bra
"Ingat Jova! Dekati Bram, dapatkan kepercayaannya, dan laporkan segala kelemahannya padaku," itulah perintah dari rian yang harus Jova laksanakan. Akan tetapi, setelah melewati malam panas bersama Bram, semua berubah. Dia tak pernah menyangka bahwa malam itu adalah awal mula tumbuhnya sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sejak malam itu, Bram terus mengajaknya bertemu. Awalnya, Jova berpikir ini adalah kesempatan emas untuk menjalankan rencananya. Namun, setiap percakapan, setiap tawa, membuat tugas itu terasa lebih sulit.---"Jova, kita makan malam ya! Aku tunggu di apartemenku. Sopir akan menjemputmu nanti." Begitu isi pesan dari Bram siang ini.Jova tersenyum membaca pesan dari lelaki itu. Lelaki yang seharusnya menjadi orang yang dia benci justru malah menjadi lelaki yang menjadi raja di hatinya.---Jova sudah sampai di apartemen Bram. Lelaki itu langsung membawanya ke balkon. Senyum di bibir Jova mengembang saat melihat sebuah meja kecil dengan lilin di tengahnya.“Maaf, aku ng
Bram menatap Jova dengan raut tak percaya ketika wanita itu akhirnya mengungkapkan semuanya. Mereka duduk berhadapan di ruang tamu apartemen Bram. Jova, yang biasanya terlihat tenang, tampak gelisah. Tangannya gemetar saat memegang cangkir kopi yang mulai dingin.“Aku harus jujur,” suara Jova terdengar berat. “Semua ini... awalnya hanya tugas.”Bram menyandarkan punggungnya di sofa, matanya menyipit. “Tugas? Maksudmu?”Jova menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Rian memintaku mendekatimu. Untuk mendapatkan kepercayaanmu dan melaporkan segala kelemahanmu.”Ruangan itu menjadi sunyi. Bram tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya napasnya yang terdengar berat. Tatapan tajamnya menusuk Jova, membuat wanita itu menunduk dalam rasa bersalah.“Tapi aku tidak bisa melakukannya.” Jova akhirnya mengangkat wajah, menatap Bram dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku... aku jatuh cinta padamu.”Bram tertawa kecil, pahit. “Cinta? Setelah semua kebohongan ini? Setelah kau mengakui bahwa ka
"Kemana Bram? Kenapa apartemen sepi? Apa dia pergi ke luar kota?" Gumam Hana saat wanita itu baru saja pulang berlibur.Wanita itu mencari kekasihnya di setiap sudut apartemen , tetapi tak dia lihat sosok lelaki yang telah menemaninya beberapa tahun ini. Wanita itu pun mengambil gawainya dan menghubungi sang kekasih. Namun sayang, nomor Bram tidak aktif.Hana menatap gawainya. "Kenapa nomornya tidak aktif? Apa dia masih di dalam pesawat? Tapi, kenapa dia pergi tidak bilang sama gue?" Gumam Hana.Wanita itu pun memilih masuk ke dalam kamarnya. Rasa lelah membuat Hana langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Namun, bau parfum asing membuat wanita itu langsung bangkit. Dia pun mengambil bantal yang dia pakai tadi kemudian dia cium bantal itu."Parfum siapa ini? Apa Bram membawa wanita lain ke kamar ini?"Hana pun segera membuka lemari, laci untuk mencari petunjuk lain. Siapa yang telah tidur di kamar ini?Hana tidak menemukan baju wanita disana. Hanya saja, beberapa pakaian Bram tak ada
"Bagaimana, Hana? Sakit bukan rasanya ditinggalkan? Sama sepertiku yang juga merasakan sakit hati karena kamu tinggalkan begitu saja. Apalagi, kamu meninggalkan Althaf bersamaku?" Arya setengah meledek mengucapkan hal itu. Hana masih berdiri terpaku di ruang tamu Arya. Tangannya gemetar, bukan hanya karena provokasi Arya, tetapi juga rasa terkejut yang menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Arya kembali dengan bayi kecil dalam gendongannya, Althaf, yang masih tidur nyenyak tanpa mengetahui dunia penuh kekacauan di sekitarnya.“Pergi dari sini! Dan bawa sekalian anak haram mu itu!” seru Arya dengan nada tinggi, menyerahkan Althaf kepada Hana tanpa belas kasihan. “Aku tidak sudi menghidupi anak yang bukan darah dagingku!”Hana tersentak, nyaris menjatuhkan bayi itu karena kaget. “Arya, apa maksudmu? Althaf adalah anakmu,” kata Hana, berusaha terdengar meyakinkan meski suaranya sedikit bergetar.Arya menyeringai dingin, mengambil amplop dari meja di dekatnya. “Kau masih mencoba berbohong?
Arfan terbangun, tangannya mencari sang istri yang biasanya tidur di sampingnya. Semalam, dia sedikit mabuk hingga tak peduli apapun saat pulang. "Kemana Nadin? Apa dia sudah bangun?" Arfan pun keluar kamar dan mendapati rumahnya begitu hening. "Kemana semua orang? Apa Nadin sudah pergi?" "Bibi!" panggilnya. Namun, yang datang bukan Bibi melainkan sang asisten yang datang dengan wajah panik. "Ada apa?" “Pak Arfan, maaf mengganggu, tapi… ini penting,” suara lelaki terdengar tegang. “Katakan saja!” kata Arfan santai. Lelaki itu tidak memiliki firasat apapun. Padahal, hal buruk telah terjadi. “Saya baru saja mendapat kabar dari pihak kepolisian. Istri Anda, Bu Nadin… dia mengalami kecelakaan bersama Bu Karina tadi malam. Dan… mereka tidak selamat.” Dunia Arfan seakan berhenti berputar. “Apa?” Suaranya bergetar. “Kau pasti bercanda, kan?” “Maaf, Pak… ini kenyataan.” Sendok makan yang dia pegang tiba-tiba terjatuh. Tangan dan kakinya melemas, dan dadanya terasa sesak. Dia tidak
"Mama," panggil Nadin saat melihat ibunya baru saja duduk di hadapannya. “Apa yang ingin kau bicarakan sampai memintaku bertemu di sini?” Karina bertanya sambil menyesap kopi yang telah dipesankan putrinya. Tatapannya tajam meneliti ekspresi Nadin. Nadin menarik napas panjang, menekan rasa frustasi yang sudah menumpuk sejak dirinya dan Arfan dipindahkan dari rumah utama keluarga Mahendra. “Aku butuh bantuan Mama,” katanya akhirnya. Karina menyeringai, meletakkan cangkirnya dengan perlahan. “Akhirnya, kau sadar juga kalau kamu butuh Mama.” Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja. “Keisha menghancurkan semua rencana kita. Aku sudah hampir membuat Arfan menjadi CEO, tapi dia malah menunjuk suaminya sendiri untuk menggantikannya. Lalu, dia menyingkirkanku dan Arfan dari rumah utama. Ini jelas penghinaan.” Karina tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. “Kau terlalu lambat, Nadin. Seharusnya kau sudah mengantisipasi langkahnya sejak awal. Keisha itu licik. Tapi kau masih punya kes
"Ma, Pa, menurut kalian gimana kalau Arfan dan Nadin tinggal di rumah sendiri," kata Keisha dengan suara tenang, tetapi tegas.Arfan mengernyit, jelas terkejut. "Apa maksudmu, Kak?"Keisha menyilangkan tangan di dadanya. "Aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian. Rumah yang lebih besar, lebih nyaman, disana, kalian bisa bebas karena hanya tinggal berdua."Nadin langsung menegang di samping suaminya. Matanya menyipit, mencoba membaca maksud di balik keputusan Keisha. "Kenapa tiba-tiba ingin kami pindah?" tanyanya dengan senyum manis yang dipaksakan.Keisha menatapnya dingin. "Kau hamil, Nadine. Aku ingin kau lebih fokus merawat kandunganmu tanpa terlalu banyak gangguan. Rumah ini terlalu besar untukmu. Dan lagi, kamar kamu kan ada di lantai 2. Bahaya buat ibu hamil tua naik turun tangga."Arfan menghela napas. "Keisha, kalau ini karena masalah jabatan di perusahaan, aku—""Ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan," potong Keisha cepat. "Aku hanya ingin memastikan kamu dan istri kamu
"Siapkan ruang meeting, beritahu semua petinggi perusahaan, kita akan mengadakan meeting dadakan satu jam kemudian," perintah Keisha pada aang sekretaris.Satu jam kemudian, semua sudah berkumpul di ruang meeting. Keisha baru saja masuk diikuti oleh Arfan, Rendy dan juga Nadin. Setelah memastikan semua duduk dengan tenang, Keisha pun mulai angkat bicara.“Maaf, jika saya mengadakan rapat secara mendadak. Hal ini berkaitan dengan peralihan sementara kursi kepemimpinan selama saya mengajukan cuti hamil."Arfan tersenyum tipis, sudah yakin bahwa Keisha akan mengumumkan namanya. Bahkan Nadin sudah bersiap untuk menampilkan ekspresi bangga, karena rencana mereka hampir berhasil.Namun, senyum mereka seketika memudar saat Keisha melanjutkan, “Mulai hari ini, suami saya, Rendy, yang akan menggantikan posisi saya sebagai CEO hingga saya kembali.”Ruangan langsung riuh dengan bisikan kaget. Arfan membeku di tempatnya, sementara Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja.“Apa?” bisik Nadin deng
Di ruang makan keluarga, suasana penuh kebahagiaan. Rina dan Arya duduk di kursi mereka, menanti kabar penting dari Keisha dan Rendy yang baru saja tiba. Arfan duduk di sebelahnya, sementara Nadin berada di samping suaminya, memasang wajah penasaran. Keisha mengambil napas dalam, lalu menatap semua orang dengan senyum bahagia. “Ma, Pa, aku hamil,” ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk semua mendengar. Rina langsung menutup mulutnya, matanya membesar karena terkejut. “Benarkah, sayang?” Ia segera berdiri dan memeluk putrinya erat. Arya ikut tersenyum lebar. “Ini kabar yang luar biasa, Keisha!” katanya dengan bangga. Arfan, yang duduk di samping Nadin, langsung mengalihkan pandangan ke saudara perempuannya. “Selamat, Keisha. Aku ikut bahagia untukmu dan Rendy.” Di sebelahnya, Nadin juga tersenyum. Sementara semua orang sibuk mengucapkan selamat, Nadin mencengkeram gelasnya erat. Ini dia saatnya. Aku hanya perlu sedikit memainkan peran agar semua berjalan seperti yang kuinginkan.
"Sayang, Mama dan Papa senang kalian mau tinggal disini," kata Rina sambil memeluk putrinya."Aku juga senang, Kak. Dan jika Kakak langsung hamil, aku nggak bisa bayangin, gimana repotnya aku dan Kak Rendy memenuhi ngidamnya dua ibu hamil," Arfan bicara sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang kakak.Namun, ada satu orang yang tidak peduli dengan keberadaan Keisha disini, yaitu NadineWanita itu menatap sinis kedatangan kakak iparnya beserta suaminya. Tawa mereka semakin membuat hati Nadin sakit hati. Nadin mengepalkan tangannya. Keisha sekarang berada di rumah ini, lebih dekat dengan Arfan dan keluarganya. Itu berarti rencananya bisa saja berantakan. Jika Keisha menemukan sesuatu tentangnya, maka semuanya bisa hancur.Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.---Malam itu, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Keisha duduk di sebelah Rendy, sementara Arfan duduk berhadapan dengan mereka. Nadin duduk di samping Arfan, tapi perasaannya tidak tenang sama sekali.Ary
Malam itu, di rumah Rendy"Jadi, bagaimana?" ulang Rendy sekali lagi. Namun, bukannya menjawab, Keisha justru memeluk erat Rendy seolah tak ingin berpisah. Rendy bisa merasakan detak jantung Keisha yang berdetak kencang. Senyum pun terbit di bibir Rendy. Lelaki itu pun membalas pelukan wanita yang sangat dia cintai itu.Setelah cukup lama berpelukan, Rendy melepaskan pelukannya. Lelaki itu menatap Keisha dalam, memberi ruang agar wanita itu bisa berpikir. “Aku tidak akan memaksa, Keisha. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri,” ucapnya lembut.Keisha mengangkat wajahnya, menatap mata Rendy dengan sorot ragu. “Aku takut.”Rendy tersenyum tipis. “Takut apa?”Keisha menggigit bibirnya, suaranya bergetar saat berbicara, “Takut kehilanganmu.”Rendy menghela napas, lalu meraih tangan Keisha dan menggenggamnya erat. “Kau tidak akan kehilangan aku, Keisha.”Keisha menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. “Dulu, aku pernah jatuh cinta. Entah apa alasannya, dia tiba-tiba pergi
"Kurang ajar! Rupanya, dia ingin main-main denganku. Jangan sebut aku Rendy jika tak bisa membuatku jatuh dalam pelukanku!" batin Rendy. Saat Dante meninggalkan mereka berdua, Rendy merasa, ini adalah kesempatan bagus untuknya. Dia bisa menghukum Keisha. Rendy pun menggendong tubuh Keisha layaknya karung beras. Lelaki itu kemudian mendudukkannya di mobil kemudian menguncinya. “Rendy! Apa-apaan ini? Buka pintunya!” Keisha berteriak. Memukul-mukul kaca mobil Rendy san berusaha membuka pintunya. Namun sayang, pintu itu telah terkunci. Rendy pun masuk dan duduk di sisi kemudi. Melihat Keisha yang terus memberontak membuat Rendy pun kesal. "Diam Keisha, kamu harus ikut denganku! Atau kalau tidak, jangan salahkan aku kalau mobil ini bergoyang!" "Rendy kamu nggak bis kayak gini sama aku! Buka pintunya Rendy! Buat apa kamu mengunci aku disini? Bukankah kamu sudah memiliki yang lain?" Rendy menggelengkan kepalanya. "Diana bukan kekasihku. Saat ini, aku memang sedang bekerja dengannya me
Keisha menatap nanar foto-foto kebersamaan Rendy dengan wanita yang enrah siapa namanya. Dia pun tak ingin peduli. Yang dia pedulikan hanyalah, sebegitu cepatkah Rendy melupakannya?Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja memikirkan langkah apa yang akan dia ambil. "Apa dia hanya ingin membuatku cemburu? Kalau tidak, untuk apa dia mengirimi aku foto beginian? Berani sekali dia memperlakukanku seperti ini," gumamnya geram. Tak ingin kalah, Keisha segera merencanakan langkah balasan. Jika Rendy bisa bersama wanita lain tanpa peduli padanya, maka dia juga akan melakukan hal yang sama. Wanita itu pun memikirkan cara agar bisa dalam sekejap mencari lelaki tampan, kaya, yang mau dia ajak kerja sama. "Aha! Aku tahu!"Keisha pun mengambil ponselnya kemudian menekan nomor yang dia tuju."Halo, apa tawaranmu masih berlaku?" tanya Keisha pada lelaki di seberang sana.Setelah menutup teleponnya, senyum licik pun terbit di bibir Keisha. "Lihat saja Rendy! Kamu jual, aku beli!" --- Keesokan harinya, d