Flashback
Tolong, Mas. Jangan lakukan ini. Kumohon. Ingat anak kita masih kecil-kecil, tolong Mas! Dan Zoya kau lihat, dia anak perempuan yang kita tunggu-tunggu kehadirannya." Berkali-kali aku hampir terjungkal saat tangan kekar Mas Galih mendorong tubuhku di depan rumah. Tak ada kelembutan sama sekali yang tersisa dari laki-laki itu. Zayn dan Ziyan memegang bajuku begitu erat. Hanya tangisan tertahan satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan. Anak kembarku ketakutan melihat ayahnya berbuat sekasar itu padaku.
Selama kurang lebih enam tahun pernikahan kami, Mas Galih tidak pernah berkata kasar sedikit pun. Apalagi main tangan seperti ini. Entah iblis apa yang merasukinya hingga sekarang dia tega berbuat sekasar itu padaku. Bahkan dia lupa fisikku masih lemah setelah berhari-hari didera mastitis hebat. Beruntung tak ada tindakan pembedahan seperti kasus mastitis yang sering kudengar.
" Sudah kubilang, Vinda. Kita sudah tidak cocok. Aku bosan sekali berumah tangga denganmu. Orang tuaku pun sudah berkali-kali memintaku untuk menceraikanmu. Pergilah. Pulanglah ke rumah orang tuamu!" Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Mas Galih membuatku memekik kaget. Lututku seolah tak bertenaga untuk menopang bobot tubuhku.
Tak kusangka laki-laki itu mengucapkan kalimat bernada talak padaku. Aku beristighfar di antara tangisku. Tak ada belas kasihan sama sekali darinya.
Kudekap Zoya—anak bungsuku yang baru berusia tiga bulan. Bahkan selimut yang biasa melindunginya masih tertinggal di dalam kamar. Sedangkan beberapa baju kami sudah dimasukkan ke dalam koper berukuran besar. Mas Galih seolah sudah mempersiapkan semua ini begitu rapi.
"Istighfar, Mas. Tak adakah sedikit pun rasa kasihan pada kami, Mas? Bahkan Zoya baru berusia tiga bulan!" Lagi-lagi aku memohon dia memikirkan kembali keinginannya. Bahkan aku hampir berlutut padanya.
" Maaf, Vinda. Kalau kamu memaksa untukku tetap bersamamu justru akan membuatmu makin sakit. Sudah tidak ada cinta untukmu." Laki-laki itu memalingkan wajahnya seolah jijik melihat rupaku. Dia lupa bahwa dialah yang dulu begitu menggilaiku, bahkan ketika orangtuanya dengan tegas menolak hubungan kami.
"Baiklah. Jika untukku sudah tak ada rasa, maka pertimbangkan anak-anak. Mereka membutuhkan sosok ayahnya," pintaku. Aku mendekat ke arah Mas Galih dengan penuh harap. Tetapi lagi-lagi penolakan yang dia tunjukkan. Dia kembali mendorong tubuhku menjauhi tubuhnya.
"Pergilah! Aku sudah muak melihatmu. Sudah kupesankan kalian taksi online untuk mengantar kalian. Pergilah. Surat cerai akan segera kukirimkan ke alamat rumah orang tuamu." Ucapan Mas Galih makin membuatku sakit. Keputusan laki-laki itu tak bisa digoyahkan lagi. Aku pasrah.
Kulihat kedua mertuaku hadir di sini. Kudekati mereka. Berharap ada pertolongan untuk menantu dan cucu-cucunya. Aku yakin mereka masih punya hati dan mau menasihati putra mereka akan keputusan yang sudah diambilnya secara sepihak.
" Pergilah, Vinda. Jangan paksa Galih untuk tetap tinggal bersamamu." Kalimat bapak mertuaku bagai menyiram air garam di atas luka. Perih sekali. Laki-laki itu dengan raut kesombongan tak mau menoleh padaku sama sekali.
Bahkan ibu mertua masuk ke rumah hanya untuk mengambilkan selimut bayi Zoya yang tertinggal di dalam kamar. Setelah itu dia memberikannya padaku dengan gerakan kasar.
" Pulanglah. Jangan buat Galih bimbang. Kamu tidak boleh egois. Rumah tangga macam apa yang sudah tak ada rasa sama sekali. Anakku akan tersiksa menjalaninya. Kami tak mau hal itu terjadi. Galih akan jauh lebih baik saat dia menikah dengan orang pilihan kami," ucap Ibu mertuaku tanpa ragu.
Aku bergeming. Telingaku berdengung sesaat. Rasa pusing di kepalaku berdenyut hebat. Tak kusangka perlakuan seperti ini kudapatkan dari ketiga orang ini. Aku tahu meski kedua mertuaku tak menyukaiku sama sekali, tak kusangka mereka akan bertindak seburuk ini. Bahkan tak ada kasihan pada anakku yang beberapa kali menggeliat di dalam pelukanku.
" Terbuat dari apa hati kalian, Pak, Bu? Bahkan anak yang kugendong ini masih merah. Tega sekali kalian mengusirnya dari rumah ini! " Aku berteriak karena tak tahan pada mereka. Sungguh, aku tak menyangka ada manusia sejahat ini.
" Jangan jadikan anakmu sebagai alasan untuk tetap bersama Galih. Kami tak akan menahan anak-anak. Kami berbaik hati membiarkan mereka ikut denganmu. Mulailah hidup baru tanpa Galih. Jangan usik kembali dan mengemis masuk ke dalam hidupnya lagi. Dia cukup susah menghabiskan waktu denganmu selama ini. Anakku sudah memilih wanita lain yang lebih baik darimu! Dan yang pasti, dia sangat sesuai dengan selera kami!"jawab Bu Mirna tak kalah keras.
" Wanita baik-baik tidak akan merebut laki-laki beristri, Bu! Wanita baik-baik akan memilih berhubungan dengan laki-laki lajang yang tak punya ikatan pernikahan dengan siapapun! Wanita baik-baik tak akan pernah memutuskan hubungan anak-anak dengan ayah mereka. Wanita baik-baik tak akan pernah merusak rumah tangga yang susah payah dibangun oleh orang lain! Jangan tutupi kebusukan kalian dengan alibi murahan semacam ini!" Aku berteriak lantang di depan mertuaku. Keduanya terlihat marah mendengar kalimatku. Mungkin mereka tak menyangka aku akan bertindak sejauh ini.
" Beginilah wanita yang tidak berpendidikan berucap. Tak ada kesopanan sama sekali berbicara pada orang tua. Benar sekali keputusan Galih untuk menceraikanmu. Rasanya tak sabar sebentar lagi wajahku yang selama ini tertutup rasa malu akibat punya menantu tak berpendidikan akan segera terobati. Wajahku akan kembali tegak karena anakku bersanding dengan wanita terhormat yang bahkan jika kau dibandingkan dengannya tak akan sebanding dengan ujung kukunya sekalipun. Pergilah, Vinda. Taksi sudah menunggu kalian!"
Ibu mertuaku masuk ke dalam rumah. Disusul bapak mertuaku yang menutup pintu dengan keras. Bunyi pintu yang berdebum keras beriringan dengan tubuhku yang seolah berserak hancur. Aku mengusap air mata dengan ujung kain gendong Zoya.
Memang dari awal mereka tidak menyukaiku. Alasannya klasik, mereka menginginkan wanita karir dari keluarga terhormat yang menjadi istri anaknya. Akan tetapi Mas Galih yang merupakan anak tunggal bersikeras dengan pilihannya. Dengan begitu sabar laki-laki itu meluluhkan hati orang tuanya.
Bukan tidak pernah aku ingin menyerah karena tidak kunjung mendapat restu dari orang tua Mas Galih. Tentu sebagai wanita normal aku ingin memiliki mertua yang menyayangiku seperti orang tuaku sendiri. Aku tak ingin menghabiskan kesia-siaan hidupku dengan mengemis restu yang tak kunjung datang. Tetapi di saat aku hampir di titik menyerah, kabar baik itu datang layaknya sebuah keajaiban. Entah apa yang dilakukan suamiku, hingga suatu saat restu itu akhirnya hadir.
Pernikahan kami pun digelar dengan sederhana dan hanya dilakukan di rumahku. Aku tak bermasalah dengan hal itu. Asal sah secara agama dan pemerintah aku tak mempersoalkan hal lain. Yang sedikit membuatku bertanya-tanya adalah tamu dari keluarga suamiku. Keluarga Mas Galih yang datang hanya keluarga inti dan beberapa keluarga dekat lainnya.
Agak heran awalnya, ketika tahu latar belakang Mas Galih yang termasuk orang terpandang hanya mengundang beberapa kerabat saja untuk hadir di pernikahan kami. Bahkan mereka langsung pulang saat akad baru saja selesai. Aku masih ingat wajah kedua orang tuaku saat itu. Tetapi demi melihatku bahagia mereka pura-pura tak bermasalah dengan kepergian satu per satu keluarga Mas Galih.
Mungkin sebabnya karena mereka malu memiliki menantu sepertiku. Aku berusaha abai dengan kenyataan itu. Fokusku melayani suami dengan baik setelah pernikahan. Kedua orang tua Mas Galih pun sangat kuhormati. Meski tak jarang aku mendapati perlakuan buruk dari mereka.
Sekali lagi aku berusaha abai. Tak lupa selalu kuselipkan doa untuk kedua mertuaku agar dilembutkan hatinya yang beku. Nyatanya mereka memang tak menyediakan ruang khusus di hatinya untukku dan anak-anakku. Tetaplah kebencian yang selalu bersarang di otak mereka.
Aku berbalik dan menuntun anak-anak masuk ke dalam taksi. Kulihat Bu Ari mendekat. Selama ini dia adalah tetangga yang baik. Sudah kuanggap beliau seperti ibuku sendiri. Dia sangat mengerti bagaimana perlakuan kedua mertuaku selama ini. Tetapi pengusiran yang mereka lakukan nampak membuatnya ikut merasakan terluka. Apalagi dengan anak-anak yang masih sangat kecil ini. Aku yakin jiwa keibuannya ikut terkoyak. Matanya menatapku cukup lama sebelum akhirnya bibirnya mampu berucap.
"Ya Allah Vinda… yang sabar. Ibu tahu kamu kuat. Kamu tak boleh lemah. Ada anak-anak yang membutuhkanmu. Jahat sekali suami dan kedua mertuamu. Semoga mereka terkena karma yang lebih pedih, " ucap Bu Ari sambil memelukku. Dia menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah dan beberapa bungkus roti untukku.
"Terimalah. Kamu pasti akan membutuhkannya. Anggap itu hutang, kamu akan membayarnya saat kamu sudah sukses dan punya banyak uang," lanjutnya lagi. Setelah itu bergantian dia menciumi kepala anak-anakku.
Dia mengatakan hal itu karena paham sekali dengan sikapku yang tidak suka sekali merepotkan orang lain.
" Tolong… kabari Ibu kalau kalian sudah sampai di tempat mbahnya anak-anak." Aku mengangguk di sela-sela tangisanku. Bu Ari membantuku memasukkan anak-anak ke mobil. Aku memeluknya cukup lama. Tangisan kami selayaknya dia orang yang tidak akan bertemu lagi.
***
Taksi online yang Mas Galih pesankan membawaku ke rumah orang tuaku. Jarak yang ditempuh hanya kurang dari satu jam. Hanya sebentar. Biasanya aku datang mengunjungi mereka dengan perasaan senang luar biasa.
Apalagi anak-anak. Mereka sangat antusias dengan perjalanan mereka ke rumah mbah mereka. Tetapi kenyataannya kali ini kami datang kesana tanpa Mas Galih. Dengan keadaan yang begitu menyedihkan pula.
Entah bagaimana tanggapan kedua orang tuaku nanti. Aku takut sekali mereka akan bersedih memikirkan nasibku. Tetapi menyembunyikannya pun bukan pilihan bijak. Aku pun butuh tempat perlindungan setelah pengusiranku dari rumah.
"Terima kasih, Pak. " Aku mengucap terima kasih pada sopir taksi online yang membawa kami. Dengan cekatan laki-laki yang kutaksir seumuran dengan ayahku membawakan barang-barang kami ke teras rumah. Dari raut mukanya aku bisa melihat keprihatinan yang dia rasakan saat melihatku. Aku yakin keributan yang tadi disaksikannya cukup membuat emosinya ikut teraduk.
Lampu rumah orang tuaku terlihat sudah padam. Kulirik jam di tangan kiriku. Pukul sebelas malam. Pantas saja suasana sudah sepi sekali. Ada ragu saat aku melangkahkan kaki ke arah pintu. Bayangan wajah kedua malaikatku akan sangat terpukul melihatku dan cucu-cucunya sekarang.
" Bun… kita pulang ke mbah uti dan mbah kung?" tanya Zayn. Kusunggingkan senyum yang kupaksakan terbentuk bibirku. Kuusap kepala anak itu dengan lembut.
" Iya. Kita liburan lama di rumahnya Uti dan Kakung," jawabku berbohong. Sebutir kristal bening lolos keluar dari mataku. Entah berapa banyak kebohongan yang akan tercipta ke depannya.
" Liburan kok nangis. Lagian kalau liburan harusnya ayah ikut. Tadi ayah malah marah-marah." Celotehan Ziyan membuat dadaku makin sesak. Aku menahan air mata agar tak keluar. Aku tak boleh rapuh di depan anak-anak.
"Kalian harus pintar. Anak laki-laki Bunda harus kuat. Jaga Bunda dan Adik Zoya, ya?" Kedua anak itu mengangguk bersamaan.
Sesaat sebelum kuketuk rumah bercat kuning gading itu, kudengar ponselku berbunyi tanda pesan w******p masuk. Gegas aku membukanya, berharap ada keajaiban dari laki-laki itu.
[Bajumu dan anak-anak yang tertinggal akan kupaketkan ke alamat orang tuamu. Tidak perlu beralasan kemari untuk mengambil pakaian dan barang-barang] Mas Galih mengirimkan pesan itu untukku. Aku mengusap dadaku yang kembali nyeri.
Sebegitu hinakah aku di matamu, Mas?
Surat dari Pengadilan Empat bulan pasca kepulanganku ke rumah kedua orang tuaku aku menerima sebuah surat dari pengadilan. Bisa ditebak, isinya adalah surat cerai yang menjadi keinginan Mas Galih dan keluarganya. Kuremas surat bersampul coklat itu. Hatiku mendidih membayangkan betapa puasnya mantan suamiku beserta kedua orang tuanya. Rasa sakit menjalar hatiku saat kubayangkan manusia-manusia itu pasti tengah bersorak merayakan kemenangan mereka. Belum sah putusan dari pengadilan saja sudah membuat laki-laki itu abai dengan kewajibannya. Bahkan selama empat bulan ini Mas Galih tidak memberi uang sepeser pun untuk biaya hidup kami. Padahal dia sangat tahu kebutuhan apa yang rutin dikeluarkan untuk anak-anak kami. Selalu saja ada alasan saat aku terang-terangan meminta uang susu dan diapers untuk anaknya. Beruntung ayah dan ibuku mengetahui kesulitanku hingga mereka dengan senang hati membiayai seluruh kebutuhan kami berempat. Jangan tanya dimana rasa malu kusembunyikan. Aku benar-b
Penjualan RumahBohong sekali jika aku bisa langsung kuat dan tegar menghadapi perceraian ini. Kehilangan separuh jiwa tentu bukan perkara mudah. Apalagi satu-satunya kesalahanku hanya karena tak memiliki karir. Setidaknya itulah yang selama ini mereka dengung-dengungkan. Tentu saja ada alasan lain yang sengaja mereka buat demi secepatnya mendepakku dari kehidupan mereka. Yang jelas kini aku tak punya tempat untuk berbagi rasa. Entah pada siapa aku menggantungkan hidup nantinya. Apalagi setiap melihat ketiga anakku terlelap tidur aku tak mampu membendung air mataku. Aku sangat khawatir dengan kelangsungan hidup mereka selanjutnya. Bagaimana hidup kami berempat tanpa adanya penghasilan?Bahkan Mas Galih sengaja abai dengan kewajibannya. Belum juga kami resmi berpisah, Mas Galih sudah tak pernah memberi nafkah untuk anak-anaknya.Bukan tidak pernah aku mengingatkan kewajibannya baik melalui pesan whatsapp maupun mendatangi langsung rumah tempat kami pernah menjadi keluarga bahagia. Aku
Langkah Baru VindaUsahaku untuk berdamai dengan keadaan bukan tanpa halangan. Sering sekali aku merasa putus asa dan kembali menyalahkan keadaan. Berkali-kali pula kusalahkan diri sendiri yang terlalu bodoh tidak mempersiapkan kemungkinan terburuk dalam berumah tangga. Tak jarang aku merutuki diri yang terlalu sibuk mengabdikan diri pada suami, mengurus segala keperluannya, belum lagi segala urusanku dengan anak-anak yang tidak ada habisnya. Mungkin aku terlalu sibuk dengan peranku sebagai ibu rumah tangga hingga tak bisa mencegah dari awal perselingkuhan suamiku dan Soraya. Aku terlalu percaya padanya yang tak akan mungkin berhianat melihat dari sikapnya selama ini. Apalagi mengingat perjuangan kami hingga menikah sangat tak mudah. Aku terlalu santai dan berpikir terlalu polos suamiku selamanya akan menjadi milikku seorang. Tetapi kini tak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah menjadi jalan hidupku. Aku hanya menyalahkan diriku yang tak mempersiapkan finansialku dengan baik seh
Bab 6Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 6 )Memulai Perjuangan Rencanaku mendapat restu dari ibu. Tanpa banyak tanya Ibu langsung menyanggupi untuk meminjamiku modal. Aku benar-benar berniat meminjam, akan kukembalikan setelah usahaku memperoleh keuntungan. Tadinya dia bersikeras untuk memberikan cuma-cuma modal yang kuminta dan tentu saja kutolak. Tak banyak mendebat karena Ibu tahu bagaimana watak anaknya ini. "Kamu sekarang hanya punya keluarga dan anak-anak saja. Jadi mulai detik ini apapun yang kamu rasakan maka bagilah dengan kami."Kalimat ibu membuatku bungkam. Ada rasa sesal mengapa di usia senjanya justru harus kerepotan dengan masalah yang kuhadapi. Tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku benar-benar harus merepotkannya kali ini. "Maaf, Bu. Tak seharusnya Ibu direpotkan oleh urusanku lagi. Seharusnya aku membahagiakan Ibu di usia yang senja ini. Vinda janji setelah ini tak akan merepotkan Ibu lagi," ucapku dengan menunduk. Pandanganku tertuju pada tangan keriput ibuku
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier BAB 7Kuputuskan untuk mengabaikan pesan darinya. Tak ada waktu untukku mengurusi keluarga itu lagi. Kutata paper box di depanku ke dalam box plastik besar agar mudah membawanya menggunakan motorku. Aku juga memastikan semuanya aman agar bungkus maupun isi makanan yang kubawa tak akan bermasalah nantinya. Aku mencoba mengalihkan rasa kesalku dengan berpikir fokus pada pekerjaan di depanku. Tak boleh ada kesalahan atau kekurangan apalagi jika karena pengaruh wanita tak tahu diri itu. Biarlah. Aku ingin hidupku tenang dan tidak mudah terpancing dengannya. Masih ada anak-anak yang harus kuurusi. Dan tentunya itu lebih penting. Jangan sampai energiku yang pas-pasan ini justru terbuang sia-sia untuk Soraya. Ponselku berbunyi lagi. Kulirik sekilas. Sebuah inbox masuk lagi di aplikasi facebook. Masih dari Soraya. Kutarik napas perlahan. Bersiap aku membaca sesuatu yang pastinya membuatku sakit hati. [ Lihatlah. Bahkan saat kamu kesulitan memperoleh
Bab 8Diceraikan Karena Bukan wanita Karir ( 7 ) Bertemu Mantan Saat ini aku sudah tidak mau sibuk memikirkan hak atas penjualan rumah itu. Bahkan Mas Galih pun tidak bisa menunaikan keputusan pengadilan mengenai nafkah tiga juta untuk ketiga anaknya. Entah memang dilarang oleh Soraya, atau memang Mas Galih yang sudah tak peduli lagi dengan darah dagingnya. Setelah proses perceraian kami, dia hanya memberi uang lima ratus ribu. Itu pun karena adikku Tania memberikan ancaman akan memviralkan soal nafkah ini. Mas Galih terpaksa memberi uang pada Tania saat tak sengaja bertemu di restoran dekat kantor Tania. Gadis itu memang sangat pandai menekan orang lain. Apalagi Tania sudah tahu persis dengan permasalahan yang membelitku. Dia yang sangat sayang dengan ketiga keponakannya tak terima melihat ayah mereka melenggang menikmati kehidupan barunya dengan Soraya tanpa memikirkan anak-anak sama sekali. Aku bisa membayangkan bagaimana Tania mempermalukan pasangan itu di depan banyak orang.
BAB 9 Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier Bertemu Mantan (2)Aku mendorong troli dan melewati display susu di sebuah swalayan. Kuambil dua karton susu UHT untuk si kembar. Kualihkan langkah ke arah makanan bayi untuk Zoya. Beberapa dus pasta khusus untuk bayi kupindahkan ke troli di depanku. Aneka puff juga kuambil, mengingat gigi Zoya yang mulai tumbuh membuatnya sedang aktif-aktifnya menggigit sesuatu. Langkahku terhenti saat melihat sejoli mantan pasangan selingkuh itu tengah asyik bercanda sambil memilih snack ringan. Hatiku berdesir saat melihat barang belanjaan mereka yang kebanyakan bukan bahan makanan pokok. Hanya makanan-makanan ringan yang tentunya kalah penting dengan kebutuhan anak-anak. Kutegakkan tubuhku agar tak terlihat menyedihkan. Tak ada lagi duka yang harus diingat. Aku hanya butuh mental yang kuat agar tak terpancing emosi melihat ketidakadilan di sini. Aku berjalan dan pura-pura tak melihat mereka disini. "Wah… bisa belanja banyak juga ya?!" tanya Soraya d
Bab 10Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 8 )Mantan Ibu Mertua "Bagaimana mungkin kamu berani mempermalukan menantuku?" Mantan ibu mertuaku duduk di ruang tamu dengan pongah. Kakinya disilangkan dengan dagu diangkat cukup tinggi. Pandangannya yang menghakimi sama sekali tak menyurutkan mentalku. "Silahkan diminum tehnya, Bu." Aku mengalihkan pembicaraan dengan menawari teh yang sudah dibuat Mbak Mi. Bau teh yang wangi memenuhi ruang di rongga hidungku. Seharusnya wangi teh ini membuat rileks pikiran seseorang. Tetapi sepertinya sosok di depanku terlalu angkuh hingga tak mau menyentuhnya sama sekali. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Vinda! Aku peringatkan, jangan pernah mengusik kehidupan Soraya dan Galih. Seharusnya kamu menerima keadaan ini. Jangan bertingkah bar-bar. Aku tahu kalangan seperti kalian memang tak mendapatkan pelajaran unggah-ungguh dari keluarga. Tetapi bukan berarti kau bebas melakukan apapun. Jangan sampai yang kamu lalukan merugikan anak dan menantuku. Merek
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa