Surat dari Pengadilan
Empat bulan pasca kepulanganku ke rumah kedua orang tuaku aku menerima sebuah surat dari pengadilan. Bisa ditebak, isinya adalah surat cerai yang menjadi keinginan Mas Galih dan keluarganya.
Kuremas surat bersampul coklat itu. Hatiku mendidih membayangkan betapa puasnya mantan suamiku beserta kedua orang tuanya. Rasa sakit menjalar hatiku saat kubayangkan manusia-manusia itu pasti tengah bersorak merayakan kemenangan mereka.
Belum sah putusan dari pengadilan saja sudah membuat laki-laki itu abai dengan kewajibannya. Bahkan selama empat bulan ini Mas Galih tidak memberi uang sepeser pun untuk biaya hidup kami. Padahal dia sangat tahu kebutuhan apa yang rutin dikeluarkan untuk anak-anak kami. Selalu saja ada alasan saat aku terang-terangan meminta uang susu dan diapers untuk anaknya.
Beruntung ayah dan ibuku mengetahui kesulitanku hingga mereka dengan senang hati membiayai seluruh kebutuhan kami berempat. Jangan tanya dimana rasa malu kusembunyikan. Aku benar-benar terpaksa menerima bantuan dan menggantungkan hidupku pada mereka.
Meskipun orang tuaku bukan berasal dari kalangan berada, namun kami masih bisa hidup cukup. Ayah memiliki sebuah toko kecil di pasar tak jauh dari rumah kami. Toko itulah sebagai satu-satunya sumber penghasilan ayah. Tak menjanjikan limpahan materi, hanya saja kami tak takut merasa kekurangan. Sedangkan ibu sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga biasa. Adikku Tania, dia langsung bekerja setelah lulus kuliah.
Praktis, ayah dan ibu sudah tidak memiliki tanggungan yang besar lagi. Mereka tak mempermasalahkan mencukupi kebutuhanku dan anak-anak sama sekali. Tetapi bukan berarti aku nyaman menggantungkan hidupku pada mereka. Aku sudah harus memutar otakku agar aku memiliki penghasilan. Aku tak ingin menambah beban pada orang tuakublagi. Seharusnya mereka tinggal menikmati masa tua mereka.
Sebenarnya, setelah lulus kuliah aku dulu sempat bekerja selama setahun di perusahaan asing. Aku pernah menikmati gaji belasan juta rupiah per bulan dan sangat cukup menghidupi diriku sendiri. Beruntung aku tak terbawa arus, gajiku yang cukup lumayan itu membuatku mampu membeli sepetak tanah tidak jauh dari rumahku.
Sayangnya, setelah aku menikah Mas Galih tidak mengijinkan aku bekerja. Dia beralasan masih mampu menafkahiku dengan sangat layak. Dia ingin aku fokus menjaga anak-anak. Tapi kini semuanya berakhir seperti ini. Aku terbuang setelah permintaannya kuturuti.
Mas Galih justru menceraikanku dengan alasan aku tidak berkarir sehingga tidak mampu menunjang kemapanan finansial keluarga kami.
Sebenarnya kupikir itu hanya alasannya saja. Dia sudah memiliki selingkuhan yang memiliki karir sebagai seorang guru. Dia tengah bahagia melewati kehidupannya saat ini. Dia lupa bahwa anak-anaknya masih sangat membutuhkan sosoknya. Bahkan sekadar nafkah pun tidak dia berikan. Entah dia tengah euforia karena hubungannya dengan Soraya yang nyaris tanpa penghalang atau memang benar-benar abai dengan kewajibannya. Jujur aku tak menyangka laki-laki itu bersikap seperti ini. Dia seperti orang lain yang tidak kukenali.
Soraya, yang mungkin sebentar lagi menjadi istri Mas Galih adalah seorang guru. Entah bagaimana jika kelakuan salah satu pendidik itu kulaporkan pada dinas terkait. Tentu saja tingkah amoralnya akan memberi dampak buruk bagi nama baik sekolahnya. Aku yakin sangsi yang diberikan tidak main-main. Bahkan semula aku juga ingin melaporkan Mas Galih yang juga seorang PNS karena tindakan tidak terpujinya.
Namun kuurungkan niat untuk melaporkan mereka berdua karena aku masih ingat ancaman dari pihak Mas Galih dan keluarganya yang akan mengambil paksa anak-anakku jika aku berbuat nekad. Aku teramat takut kehilangan mereka.
Dan lagi…aku masih ingin menjaga perasaan anak-anakku. Bagaimana jika kelak berita tentang keburukan ayahnya justru menjadi beban mental mereka sendiri. Aku tak ingin anakku menjadi korban akibat perceraian ini. Biarlah aku menanggung semuanya, asal tak kehilangan satu pun anakku. Aku tak akan pernah ikhlas jika mereka memisahkanku dengan mereka.
Anak-anak adalah sumber kekuatanku. Meskipun kini, aku sendiri kesulitan bahkan untuk membeli diapers anak bungsuku. Terpaksa aku tidak memakaikan diapers Zoya setelah berkali-kali meminta Mas Galih memberi uang untuk membelinya. Sekali lagi aku beruntung karena Zoya pun sangat mudah beradaptasi dengan kebiasaan barunya tanpa diapers.
***
[ Vin, ini beneran mempelai prianya suami kamu? ] Melda, teman kuliahku mengirimi pesan w******p saat aku tengah memberi ASI Zoya. Kubaca lekat-lekat tulisan pada foto undangan yang dikirimkan Melda. Aku menarik napas perlahan dan menghembuskannya.
Benar, Galih Praditya. Mas Galih bahkan menikah setelah dua hari putusan pengadilan turun. Ada rasa sesak yang sulit kulukiskan. Kupandangi wajah anak-anakku satu persatu. Wajah yang tak pernah gagal membuatku tersenyum dan kembali kuat. Bagaimna hidup mereka ke depan setelah semua ini terjadi. Jika kemarin saja ayahnya lupa dengan mereka, apalagi sekarang?
Aku takut sekali dengan psikologis mereka yang harus kehilangan ayah mereka semenjak dini. Aku takut mereka tumbuh menjadi anak introvert tanpa dukungan dari Mas Galih. Bukankah masa kanak-kanak sangat membutuhkan perhatian dari sosok ayah dalam kehidupan mereka?
[ iya, mantan suami. Dua hari yang lalu surat putusan pengadilan sudah kuterima ] Kukirimkan pesan balasan untuk Melda. Aku dan Melda cukup dekat, jadi aku tak perlu takut menceritakan masalah pribadiku dengannya. Kulihat dia mengetik balasan lanjutan untukku lagi.
[ Sabar ya, Vin. Nggak nyangka ternyata Soraya nikah sama Mas Galih. Soraya tetanggaku Vin] tulis Melda kembali.
[ Do'akan kami kuat] balasku. Belum saatnya bercerita panjang lebar dengan sahabatku itu.
[ Pasti. Sabar Vin. Kamu harus kuat demi anak-anak ] Kubalas dengan emotikon jempol untuknya.
Aku tak bisa lagi menahan air mataku agar tidak keluar. Rasa sakit yang bertubi-tubi ini membuatku sangat tersiksa. Jika kemarin-kemarin aku masih mengharap keajaiban Mas Galih akan mengubah pikirannya, kini tak lagi.
Mas Galih bahkan melewatkan kewajiban pada anak-anaknya. Sungguh Mas Galih yang kukenal sebelumnya sangat berbeda dengan Mas Galih yang sekarang. Dia kehilangan nuraninya hanya untuk menikahi gadis bernama Soraya itu.
Undangan yang sudah disebar itu tentu saja menjadi bukti bahwa rencana laki-laki itu tak main-main. Dia dan Soraya pasti sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Dia benar-benar menggantikan posisi yang selama ini kutempati dengan Soraya.
Gadis itu memang memiliki paras yang rupawan. Hampir semua definisi kecantikan terdapat pada sosoknya. Oleh karenanya aku tadinya heran, mengapa laki-laki beristri dan memiliki putra tiga yang menjadi pilihannya. Apakah tak ada laki-laki lain yang berhasil membuatnya jatuh hati?
Mengapa harus suamiku?
Mengapa harus ayah dari ketiga anakku?
***
"Kami berdua saling mencintai. Orangtua Mas Galih juga merestui. Bukankah mereka menginginkan wanita karir untuk bersanding dengan anak laki-laki mereka satu-satunya? Akulah yang selama ini mereka cari. Mbak nggak boleh egois. Mundurlah, Mas Galih dan keluarganya tidak menginginkan kalian lagi," ucap Soraya saat aku menemuinya.
Dengan tanpa beban kalimat bernada hinaan itu mengalir lancar dari bibirnya. Kecantikan yang paripurna itu seolah luruh dengan kebusukan hati yang dimiliki gadis itu. Tak ada harga diri yang tersisa, hanya ada rasa jijik pada sosoknya yang terlihat sangat bangga dengan pencapaiannya merebut suami orang.
'"Tidakkah kasihan melihat anak-anakku yang masih butuh sosok ayahnya? Paling tidak pertimbangkan hal itu. Saya yakin kamu masih punya nurani," ujarku agak pesemis. Dia memutar bola matanya dengan malas. Sungguh aku harus bersabar menghadapinya.
"Hentikan omong kosong ini. Perihal hati tidak bisa dipaksakan. Jangan egois. Pulanglah. Percuma sekali kau datang mengemis padaku. Karena keputusan kami sudah bulat, Mbak. Kami akan segera menikah setelah kalian resmi bercerai. Orang tua Mas Galih tidak pernah suka terhadapmu. Kurasa kamu paham alasannya, Mbak. Tolong mengalahlah. Jangan jadi benalu untuk kehidupan Mas Galih! Apakah harus kusodorkan kaca padamu agar kamu tahu betapa memalukannya dirimu ini?"
Tanganku refleks menampar pipi Soraya. Kulihat matanya melotot karena tak menyangka dia mendapatkan perlakuan kasar dariku. Kulihat pipi kanannya memerah setelah mendapat serangan dariku. Beberapa pengunjung melihat perbuatanku. Aku sudah tak peduli.
Aku sudah lelah menghadapinya. Seolah kalimatku yang berderet-deret itu sama sekali tak menyentuh hatinya. Kemana larinya perasaan yang dimilikinya? Bukankah dia sama-sama perempuan? Seharusnya dia tahu bagaimana rasanya jika berada di posisiku.
"Lancang kamu, Mbak. Kulaporkan kamu ke polisi biar membusuk sekalian bersama bayimu itu di penjara!" teriaknya sambil memegangi pipinya yang bercorak merah bekas tamparanku. Matanya merah menahan tangis. Bukan karena sakit, aku yakin harga dirinya terkoyak akibat perbuatanku. Apalagi hampir puluhan pasang mata melihat kami bersitegang seperti ini.
"Silahkan. Aku tak takut. Berani melaporkanku, aku akan melakukan hal yang jauh lebih kejam. Aku menyimpan bukti-bukti kebusukan kalian. Jangan kalian anggap diamku karena tak bergerak, aku punya bukti perselingkuhan kalian yang bisa menyeret kalian ke balik jeruji besi. Aku pun bisa melaporkan kalian ke instansi kalian bekerja. Tidak hanya nama baik, bahkan karir kalian kupastikan hancur," ancamku. Kupasang wajah serius agar dia tahu aku tidak main-main dengan ucapanku.
Soraya mendelik kaget. Dia mungkin tak menyangka aku punya keberanian menggertaknya. Dia diam sambil menggigit bibir bawahnya. Aku mendecih sinis melihat ekspreainya.
"Jangan bermain-main denganku!" ucapnya dengan suara tertahan.
"Apakah mataku kelihatan tengah bermain-main?" Tak ada balasan apapun darinya. Dia berlalu dari hadapanku dengan langkah cepat sambil menjinjing tasnya.
Kutengok wajah Zoya yang masih terlelap di pelukanku. Rasa iba menyelimutiku mengingat dia harus ikut kubawa berjuang untuk mempertahankan keutuhan keluarga kami. Terpaksa sekali kubawa dia bertemu dengan calon istri ayahnya itu.
Tadinya aku harap dengan melihat seorang bayi yang nasibnya terkatung-katung karena perseteruan orang tuanya membuat Soraya luluh. Membuat kebekuan hatinya meleleh melihat wajah tanpa dosa anakku yang akan menjadi korban keegoisannya dengan suamiku.
Nyatanya wanita itu tetap pada pendiriannya. Dia tidak ingin bergeser dari tempatnya sebagai seorang pelakor. Padahal harusnya dengan wajah yang rupawan serta karir cemerlang dia bisa mendapatkan laki-laki lajang di luar sana. Laki-laki yang tak bermasalah dengan siapapun hingga dia bebas melenggang hidup bahagia tanpa perlu mengukir rasa sakit pada hati perempuan lain.
Entah apa yang dikagumi dari Mas Galih, hingga dia rela menggadaikan rasa malu dan rasa kasihan pada kami.
Memang paras Mas Galih yang rupawan kuyakin banyak wanita yang menyukainya. Akan tetapi tak kusangka bahwa ada yang sampai senekat Soraya ini. Apakah dia tak takut akan diperlakukan sama sepertiku ini? Bukankah seperti itu karma yang sering dialami oleh para pelakor?
Kubayar tagihan di kasir restoran . Kulihat tadi Soraya langsung keluar dari tempat ini tanpa membayar minumannya terlebih dahulu.
Aku memesan taksi online untuk membawaku pulang. Tak mungkin jika harus menaiki ojek online dengan membawa bayi seperti ini. Beruntung aku masih punya sedikit pegangan hanya sekedar untuk pergi keluar seperti ini.
Bersamaan dengan langkahku keluar tempat itu ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Mas Galih terpampang di sana.
[ Apa yang kamu lakukan, Vinda? Tindakanmu membuatku makin jijik dan ingin segera mempercepat proses perceraian. Jangan coba-coba nekat menemui Soraya bahkan untuk mengancamnya! Kau tak akan mendapatkan apa-apa kecuali kehilangan salah satu dari anakmu!]
Ternyata Soraya langsung mengadukan insiden penamparanku terhadapnya pada suamiku. Air mataku lolos. Kemana lagi aku harus mencari perlindungan, jika suamiku sendiri sudah tak peduli lagi dengan kami?
Bahkan dia lebih mementingkan perasaan selingkuhannya dibandingkan denganku, ibu dari ketiga anaknya. Kudekap anakku kuat-kuat. Disanalah aku berharap kekuatan sekadar bertahan untuk melewati semua yang masih terasa mimpi.
Penjualan RumahBohong sekali jika aku bisa langsung kuat dan tegar menghadapi perceraian ini. Kehilangan separuh jiwa tentu bukan perkara mudah. Apalagi satu-satunya kesalahanku hanya karena tak memiliki karir. Setidaknya itulah yang selama ini mereka dengung-dengungkan. Tentu saja ada alasan lain yang sengaja mereka buat demi secepatnya mendepakku dari kehidupan mereka. Yang jelas kini aku tak punya tempat untuk berbagi rasa. Entah pada siapa aku menggantungkan hidup nantinya. Apalagi setiap melihat ketiga anakku terlelap tidur aku tak mampu membendung air mataku. Aku sangat khawatir dengan kelangsungan hidup mereka selanjutnya. Bagaimana hidup kami berempat tanpa adanya penghasilan?Bahkan Mas Galih sengaja abai dengan kewajibannya. Belum juga kami resmi berpisah, Mas Galih sudah tak pernah memberi nafkah untuk anak-anaknya.Bukan tidak pernah aku mengingatkan kewajibannya baik melalui pesan whatsapp maupun mendatangi langsung rumah tempat kami pernah menjadi keluarga bahagia. Aku
Langkah Baru VindaUsahaku untuk berdamai dengan keadaan bukan tanpa halangan. Sering sekali aku merasa putus asa dan kembali menyalahkan keadaan. Berkali-kali pula kusalahkan diri sendiri yang terlalu bodoh tidak mempersiapkan kemungkinan terburuk dalam berumah tangga. Tak jarang aku merutuki diri yang terlalu sibuk mengabdikan diri pada suami, mengurus segala keperluannya, belum lagi segala urusanku dengan anak-anak yang tidak ada habisnya. Mungkin aku terlalu sibuk dengan peranku sebagai ibu rumah tangga hingga tak bisa mencegah dari awal perselingkuhan suamiku dan Soraya. Aku terlalu percaya padanya yang tak akan mungkin berhianat melihat dari sikapnya selama ini. Apalagi mengingat perjuangan kami hingga menikah sangat tak mudah. Aku terlalu santai dan berpikir terlalu polos suamiku selamanya akan menjadi milikku seorang. Tetapi kini tak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah menjadi jalan hidupku. Aku hanya menyalahkan diriku yang tak mempersiapkan finansialku dengan baik seh
Bab 6Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 6 )Memulai Perjuangan Rencanaku mendapat restu dari ibu. Tanpa banyak tanya Ibu langsung menyanggupi untuk meminjamiku modal. Aku benar-benar berniat meminjam, akan kukembalikan setelah usahaku memperoleh keuntungan. Tadinya dia bersikeras untuk memberikan cuma-cuma modal yang kuminta dan tentu saja kutolak. Tak banyak mendebat karena Ibu tahu bagaimana watak anaknya ini. "Kamu sekarang hanya punya keluarga dan anak-anak saja. Jadi mulai detik ini apapun yang kamu rasakan maka bagilah dengan kami."Kalimat ibu membuatku bungkam. Ada rasa sesal mengapa di usia senjanya justru harus kerepotan dengan masalah yang kuhadapi. Tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku benar-benar harus merepotkannya kali ini. "Maaf, Bu. Tak seharusnya Ibu direpotkan oleh urusanku lagi. Seharusnya aku membahagiakan Ibu di usia yang senja ini. Vinda janji setelah ini tak akan merepotkan Ibu lagi," ucapku dengan menunduk. Pandanganku tertuju pada tangan keriput ibuku
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier BAB 7Kuputuskan untuk mengabaikan pesan darinya. Tak ada waktu untukku mengurusi keluarga itu lagi. Kutata paper box di depanku ke dalam box plastik besar agar mudah membawanya menggunakan motorku. Aku juga memastikan semuanya aman agar bungkus maupun isi makanan yang kubawa tak akan bermasalah nantinya. Aku mencoba mengalihkan rasa kesalku dengan berpikir fokus pada pekerjaan di depanku. Tak boleh ada kesalahan atau kekurangan apalagi jika karena pengaruh wanita tak tahu diri itu. Biarlah. Aku ingin hidupku tenang dan tidak mudah terpancing dengannya. Masih ada anak-anak yang harus kuurusi. Dan tentunya itu lebih penting. Jangan sampai energiku yang pas-pasan ini justru terbuang sia-sia untuk Soraya. Ponselku berbunyi lagi. Kulirik sekilas. Sebuah inbox masuk lagi di aplikasi facebook. Masih dari Soraya. Kutarik napas perlahan. Bersiap aku membaca sesuatu yang pastinya membuatku sakit hati. [ Lihatlah. Bahkan saat kamu kesulitan memperoleh
Bab 8Diceraikan Karena Bukan wanita Karir ( 7 ) Bertemu Mantan Saat ini aku sudah tidak mau sibuk memikirkan hak atas penjualan rumah itu. Bahkan Mas Galih pun tidak bisa menunaikan keputusan pengadilan mengenai nafkah tiga juta untuk ketiga anaknya. Entah memang dilarang oleh Soraya, atau memang Mas Galih yang sudah tak peduli lagi dengan darah dagingnya. Setelah proses perceraian kami, dia hanya memberi uang lima ratus ribu. Itu pun karena adikku Tania memberikan ancaman akan memviralkan soal nafkah ini. Mas Galih terpaksa memberi uang pada Tania saat tak sengaja bertemu di restoran dekat kantor Tania. Gadis itu memang sangat pandai menekan orang lain. Apalagi Tania sudah tahu persis dengan permasalahan yang membelitku. Dia yang sangat sayang dengan ketiga keponakannya tak terima melihat ayah mereka melenggang menikmati kehidupan barunya dengan Soraya tanpa memikirkan anak-anak sama sekali. Aku bisa membayangkan bagaimana Tania mempermalukan pasangan itu di depan banyak orang.
BAB 9 Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier Bertemu Mantan (2)Aku mendorong troli dan melewati display susu di sebuah swalayan. Kuambil dua karton susu UHT untuk si kembar. Kualihkan langkah ke arah makanan bayi untuk Zoya. Beberapa dus pasta khusus untuk bayi kupindahkan ke troli di depanku. Aneka puff juga kuambil, mengingat gigi Zoya yang mulai tumbuh membuatnya sedang aktif-aktifnya menggigit sesuatu. Langkahku terhenti saat melihat sejoli mantan pasangan selingkuh itu tengah asyik bercanda sambil memilih snack ringan. Hatiku berdesir saat melihat barang belanjaan mereka yang kebanyakan bukan bahan makanan pokok. Hanya makanan-makanan ringan yang tentunya kalah penting dengan kebutuhan anak-anak. Kutegakkan tubuhku agar tak terlihat menyedihkan. Tak ada lagi duka yang harus diingat. Aku hanya butuh mental yang kuat agar tak terpancing emosi melihat ketidakadilan di sini. Aku berjalan dan pura-pura tak melihat mereka disini. "Wah… bisa belanja banyak juga ya?!" tanya Soraya d
Bab 10Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 8 )Mantan Ibu Mertua "Bagaimana mungkin kamu berani mempermalukan menantuku?" Mantan ibu mertuaku duduk di ruang tamu dengan pongah. Kakinya disilangkan dengan dagu diangkat cukup tinggi. Pandangannya yang menghakimi sama sekali tak menyurutkan mentalku. "Silahkan diminum tehnya, Bu." Aku mengalihkan pembicaraan dengan menawari teh yang sudah dibuat Mbak Mi. Bau teh yang wangi memenuhi ruang di rongga hidungku. Seharusnya wangi teh ini membuat rileks pikiran seseorang. Tetapi sepertinya sosok di depanku terlalu angkuh hingga tak mau menyentuhnya sama sekali. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Vinda! Aku peringatkan, jangan pernah mengusik kehidupan Soraya dan Galih. Seharusnya kamu menerima keadaan ini. Jangan bertingkah bar-bar. Aku tahu kalangan seperti kalian memang tak mendapatkan pelajaran unggah-ungguh dari keluarga. Tetapi bukan berarti kau bebas melakukan apapun. Jangan sampai yang kamu lalukan merugikan anak dan menantuku. Merek
BAB 11Mantan Ibu Mertua (2)"Oh iya... ngomong-ngomong...apakah Ibu tak mau melihat mereka bertiga?" tanyaku retoris. Aku yakin dia tak ingin melihat keadaan cucunya. Jika dulu saat menjadi menantunya saja dia enggan bermain dengan anak-anakku. Apa lagi sekarang? "Sekali lagi, jangan sampai kejadian seperti tadi terulang lagi. Aku tidak mau keluarga besar Soraya malu dengan perbuatanmu!"Aku agak tersentil saat dia dengan begitu mengkhawatirkan keluarga besannya. Tentu berbanding terbalik dengan caranya memperlakukan orang tuaku yang dianggapnya tak akan pernah sebanding. "Apakah keluarga Soraya tidak malu anaknya menjadi maling suami seorang istri dan ayah tiga orang anak?" tanyaku kembali. Mata wanita itu membesar bersamaan dengan selesainya kalimatku. Kulihat Bu Mirna gelisah dengan duduknya. Tak lama, dia berdiri setelah menghujamkan pandangan matanya padaku. Tanpa kata permisi, dia berjalan keluar dan masuk ke dalam mobil yang menunggunya dari tadi. Aku mencoba menentramkan d
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa