Bab 12Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 12 ) Rizki Tak Terduga Berkali-kali aku bersyukur saat menghitung omset yang kudapatkan hari ini. Warung makan ayam bakar yang kurintis perlahan merangkak naik. Ayam bakar yang tadinya terjual puluhan porsi kini sudah menyentuh angka seratus ke atas. Bahkan pernah hampir seribu porsi saat beberapa sekolah mengadakan acara bersamaan. Biasanya momen perpisahan sekolah atau ujian yang menjadikan pesanan paket ayam bakar membludak. Hingga beberapa kali kami harus tutup lebih awal. Aku tak mau serakah. Segalanya harus kuukur dengan kemampuanku sendiri dan para pekerjaku. Beruntung sekali memiliki tim yang begitu solid. Karyawanku kebanyakan berusia di bawahku. Sebuah tantangan tersendiri. Mereka yang tengah giat-giatnya mencari nama tentu saja sejalan dengan semangatku yang baru memulai usaha ini. Tetapi di sisi lain aku harus bersabar manakala mereka yang masih labil terkadang bergerak sesuai mood mereka. Tak masalah, sejauh ini aku bisa m
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (13)Rizki Tak Terduga 2"Rafli. Saya Rafli Aditama." Kalimatnya membuat mataku melotot tak percaya. Hampir saja aku tak menguasai diri dan bertingkah konyol. "Apakah Anda Rafli Aditama pengusaha retail yang terkenal itu?" Kepalang tanggung, daripada aku mati penasaran. Lebih baik kutanyakan saja. Laki-laki itu tersenyum. Entah maksud senyum apa yang disunggingkannya barusan. "Apakah aku begitu terkenal?" Senyumnya tak berhenti terbit dari bibirnya. Sungguh membuat bagian-bagian di wajah itu saling menyempurnakan satu sama lain. "Ya… saya sering mendengar nama Anda. Pengusaha terkenal di kota ini. Saya sangat tersanjung dengan kehadiran Anda disini, Pak. Tetapi… mengapa Anda justru memilih warung saya untuk menyediakan makanan yang Anda inginkan?" tanyaku dengan jujur. "Kebetulan panti asuhan tempat saya melakukan santunan tidak jauh dari sini. Tentu saja saya mencari restoran yang dekat dengan tempat itu, agar mempermudah prosesnya nanti. Dan
Bab 14Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 14 ) Egois Hari ini aku sengaja datang ke rumah makanku untuk mempersiapkan pesanan dari Pak Rafli. Putri juga sudah kuminta secara khusus untuk datang lebih pagi. Aku tak ingin pesanna pertama dalam jumlah banyak ini keteteran. Akhirnya sesuai kesepakatan tiga ratus box paket ayam bakar sudah kami selesaikan pukul sembilan pagi. Memang kami biasa menyelesaikan satu jam lebih cepat agar tidak terburu-buru saat mengecek. Kupastikan seluruh paket tersebut tidak ada yang tertinggal. Mumpung hari Minggu, kuajak serta ayah, ibu serta tiga anakku ke warung ayam bakarku. Mereka kuarahkan ke ruang pribadiku di belakang. Sudah kusiapkan televisi serta kasur yang cukup nyaman untuk mereka. Anak-anak sangat antusias bermain di halaman belakang yang memang masih cukup luas dengan pengawasan ibuku. Bahkan berkali-kali Zoya terjungkal saat mengejar langkah kakak-kakaknya di sana. Sementara Ayah membantuku memasukkan tumpukan box nasi ke dalam mobil y
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (15)Egois 2 "Ya sudah. Biar aku saja yang nganter makanan ke sana. Aku nggak mau Mbak Vinda dipermalukan!" jawab Putri sinis. Bahkan kedua tangannya disilangkan di dada. Aku terkekeh melihat reaksinya. Dia kira mudah menghadapi manusia-manusia itu. "Sudah. Nggak masalah, Put. Kita harus profesional. Tenang saja, masalah sepele." Aku mencoba memberikan pemahaman pada gadis itu. "Apakah nggak papa? Maksudku. Aku takut… ""Apa? Kau khawatir aku melakukan tindakan bodoh? Meracuni mereka misalnya?" tanyaku dengan gurauan. "Tapi, Mbak. Nggak bakal ada adegan jambak-jambakan kayak di sinetron-sinetron itu, kan?" Aku tersenyum gemas pada gadis yang sudah kuanggap adikku sendiri. Usia yang masih muda nampaknya membuat Putri masih berpotensi meledak-ledak. "Nggak bakal, Put. Aku sudah lulus bagaimana bertindak elegan di depan para penghianat. Kamu tenang saja. Lagi pula aku tak akan mengotori tanganku dan di tempat ini pula. No, aku tak akan menghancu
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 16) Permintaan Gila"Ada hal lain yang ingin kalian sampaikan?" tanyaku penuh selidik. Kulihat Bu Mirna membetulkan posisi duduknya. "Kami bermaksud memberikan uang hasil penjualan rumah, tetapi … ," Mas Galih menggantung kalimatnya. Kutunggu beberapa dia menyelesaikan kalimatnya. "Tetapi kami akan mengambil Zoya untuk tinggal bersama kami," lanjut Bu Mirna.Aku membelalakkan mata menatap keempat orang tak tahu malu di depanku. Kuremas ujung apron yang kukenakan saat melayani pembeli. Detak jantungku sudah tak beraturan lagi ritmenya. Kupastikan apa yang kudengar baru saja. Mereka menginginkan Zoya? Lututku terasa begitu lemas saat ini. Apakah mereka masih punya akal hingga mengucapkan permintaan segila itu padaku? "Siapa kalian hendak membawa Zoya dari ibunya?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku hampir menangis, bukan karena sedih. Tapi karena marah pada manusia terk*tuk di depanku. Mereka mengatakan sesuatu yang sangat menyakiti hatiku. K
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (17)Permintaan Gila (2)"Sudahlah, Vin. Kami datang untuk mengurangi bebanmu. Kami kasihan padamu yang harus banting tulang membiayai ketiga anakmu. Bahkan kami akan memberikan separuh uang penjualan rumah itu padamu. Jangan dibuat ribet!" Bu Mirna kembali mengucapkan kalimat yang membuatku makin panas. Kulihat Satrio, bagian logistik rumah makanku berdiri siaga di depan pintu ruang masak. Sepertinya dia jaga-jaga apabila ada sesuatu di luar kendali. "Tutup mulut kalian! Tak akan kubiarkan Zoya berada di tangan kalian. Bahkan aku tak sudi kau yang seharusnya dipanggil nenek, untuk menyentuh kulitnya! Perlukah kuingatkan kembali bagaimana kalian mengusir kami di malam itu? Bahkan aku memohon padamu, Bu. Tak lihatkah anakku yang masih merah itu pergi saat udara sedang dingin-dinginnya? Dan anak yang kalian usir waktu itu sekarang mau kalian ambil? Otak dan hati kalian kemana?" teriakku makin kalap. Kurasakan bahuku terguncang hebat karena beban ya
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 18 ) Permintaan Gila Mantan Suamiku Parahnya mereka meminta Zoya tinggal bersama mereka. Bahkan aku masih ingat bagaimana khawatirnya malam itu saat aku membawa tubuh mungilnya dari rumah kami. Selimut yang tebal rasanya masih kurang aman dan nyaman melindungi tubuhnya dari terpaan hawa dingin angin malam. Tanpa belas kasih, mereka mengusir kami dari rumah yang selama ini kami tempati. Dan sekarang mereka menginginkan Zoya? Dengan mengimingiku uang hasil penjualan rumah? Yang benar saja. Bahkan aku lebih memilih kehilangan apapun di dunia ini, tapi tidak dengan ketiga anakku. Tidak akan kubiarkan mereka mengambil salah satunya dariku. Aku pulang dari warung makan menggunakan motor maticku. Pikiranku masih tersita pada peristiwa siang tadi. Aku tak habis pikir mereka masih punya muka terang-terangan meminta Zoya, setelah apa yang mereka lakukan. Dan Soraya? Mengapa dia terlihat pasrah ketika Mas Galih dan keluarganya meminta Zoya untuk tingg
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (19)Permintaan Gila Mantan Suamiku (2)Aku tersentak. Dadaku bergemuruh. Bila kuikuti egoku, aku ingin segera meraih benda itu dan kulempar ke tong sampah. Nyatanya aku tak tega, melihat bagaimana kedua anakku terlihat menyukai mainan barunya. Tanpa menunggu lama, segera kudekati ibu yang duduk tak jauh dari kami. Matanya menatapku penuh tanya. "Bu, Mas Galih tadi ke mari?" tanyaku sambil menjatuhkan bobot di sampingnya. Ibu menoleh dan mengangguk. Aku menarik napas cukup dalam, berharap sesak di dalam sana lekas terurai. "Sendiri?" lanjutku. "Iya," jawab ibu. Awalnya aku ragu, menyampaikan atau tidak maksud kedatangan keluarga Mas Galih ke tempat usahaku tadi siang. Tetapi kupertimbangkan dengan cepat, aku menceritakan detail kejadian tadi siang. Aku tidak ingin Mas Galih mendapatkan peluang untuk mengambil anak-anakku. Kurasa aku membutuhkan bantuan ibu, mengingat Mas Galih pasti akan sering ke mari saat aku sedang mengawasi warung makank
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa