Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (17)Permintaan Gila (2)"Sudahlah, Vin. Kami datang untuk mengurangi bebanmu. Kami kasihan padamu yang harus banting tulang membiayai ketiga anakmu. Bahkan kami akan memberikan separuh uang penjualan rumah itu padamu. Jangan dibuat ribet!" Bu Mirna kembali mengucapkan kalimat yang membuatku makin panas. Kulihat Satrio, bagian logistik rumah makanku berdiri siaga di depan pintu ruang masak. Sepertinya dia jaga-jaga apabila ada sesuatu di luar kendali. "Tutup mulut kalian! Tak akan kubiarkan Zoya berada di tangan kalian. Bahkan aku tak sudi kau yang seharusnya dipanggil nenek, untuk menyentuh kulitnya! Perlukah kuingatkan kembali bagaimana kalian mengusir kami di malam itu? Bahkan aku memohon padamu, Bu. Tak lihatkah anakku yang masih merah itu pergi saat udara sedang dingin-dinginnya? Dan anak yang kalian usir waktu itu sekarang mau kalian ambil? Otak dan hati kalian kemana?" teriakku makin kalap. Kurasakan bahuku terguncang hebat karena beban ya
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 18 ) Permintaan Gila Mantan Suamiku Parahnya mereka meminta Zoya tinggal bersama mereka. Bahkan aku masih ingat bagaimana khawatirnya malam itu saat aku membawa tubuh mungilnya dari rumah kami. Selimut yang tebal rasanya masih kurang aman dan nyaman melindungi tubuhnya dari terpaan hawa dingin angin malam. Tanpa belas kasih, mereka mengusir kami dari rumah yang selama ini kami tempati. Dan sekarang mereka menginginkan Zoya? Dengan mengimingiku uang hasil penjualan rumah? Yang benar saja. Bahkan aku lebih memilih kehilangan apapun di dunia ini, tapi tidak dengan ketiga anakku. Tidak akan kubiarkan mereka mengambil salah satunya dariku. Aku pulang dari warung makan menggunakan motor maticku. Pikiranku masih tersita pada peristiwa siang tadi. Aku tak habis pikir mereka masih punya muka terang-terangan meminta Zoya, setelah apa yang mereka lakukan. Dan Soraya? Mengapa dia terlihat pasrah ketika Mas Galih dan keluarganya meminta Zoya untuk tingg
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (19)Permintaan Gila Mantan Suamiku (2)Aku tersentak. Dadaku bergemuruh. Bila kuikuti egoku, aku ingin segera meraih benda itu dan kulempar ke tong sampah. Nyatanya aku tak tega, melihat bagaimana kedua anakku terlihat menyukai mainan barunya. Tanpa menunggu lama, segera kudekati ibu yang duduk tak jauh dari kami. Matanya menatapku penuh tanya. "Bu, Mas Galih tadi ke mari?" tanyaku sambil menjatuhkan bobot di sampingnya. Ibu menoleh dan mengangguk. Aku menarik napas cukup dalam, berharap sesak di dalam sana lekas terurai. "Sendiri?" lanjutku. "Iya," jawab ibu. Awalnya aku ragu, menyampaikan atau tidak maksud kedatangan keluarga Mas Galih ke tempat usahaku tadi siang. Tetapi kupertimbangkan dengan cepat, aku menceritakan detail kejadian tadi siang. Aku tidak ingin Mas Galih mendapatkan peluang untuk mengambil anak-anakku. Kurasa aku membutuhkan bantuan ibu, mengingat Mas Galih pasti akan sering ke mari saat aku sedang mengawasi warung makank
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 20 ) Pak Rafli[ Kudengar Soraya bertengkar hebat di rumah orang tuanya. Bahkan suaranya terdengar cukup jelas, kurasa ada hal buruk menimpa keluarga itu] Aku menarik sudut bibir, tertawa sinis dan miris dalam waktu bersamaan. Meski tak mengamini kalimat Melda, nyatanya ada kelegaan tersendiri mendengar keburukan menimpa keluarga para pecundang itu. Akhirnya kuputuskan meminta tolong Melda untuk menyelidiki apa yang terjadi dengan Soraya. Bukan ingin mengetahui urusan orang lain, hanya saja ini menyangkut anak-anakku.Kuceritakan pula tentang keinginan Mas Galih yang ingin mengambil Zoya dari pengasuhanku. Menurut Melda, hal itu tidak bisa dilakukan mengingat Zoya masih berusia di bawah dua belas tahun. Anak korban perceraian yang masih di bawah umur akan diasuh ibunya. Kecuali, didapati kenyataan bahwa sang ibu tidak dapat memenuhi hak-hak anak atau bahkan melakukan tindakan amoral yang bisa memberikan dampak buruk bagi perkembangan anak. M
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (21)Pak Rafli (2)"Mbak. Pagi-pagi sudah ada yang ngapel. Edaaann emak-emak satu ini!" ledek Putri saat aku memarkirkan motorku di parkiran karyawan. Aku yang masih menggunakan mantel menatapnya bingung. Anak itu berlalu sambil cengengesan. "Mbak Vinda." Aku celingukan mencari arah sumber suara. Kupastikan mataku tak salah melihat. Pak Rafli duduk di meja yang letaknya di ujung dekat wastafel. Dia melambaikan tangan ke arahku membuatku cepat mendekat. "Saya tunggu dari tadi, Mbak." Kalimatnya membuatku tersenyum sungkan. "Lho, Pak Rafli. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku pada laki-laki itu. Aku menarik kursi di depannya. Senyum laki-laki itu mengembang. "Saya hanya mampir kebetulan lewat sini. Sambil memastikan Anda baik-baik saja setelah kejadian semalam, Mbak," ucap laki-laki di depanku. Entah apa yang terjadi, aku agak canggung dengan perlakuannya. Bukankah tadi malam sudah kujelaskan bahwa tak ada masalah apa pun? "Saya baik-baik saja,
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 22 ) Fakta Mencengangkan Hari ini aku berjanji bertemu Melda melalui pesan di aplikasi hijau. Beberapa kali kami gagal bertemu karena kesibukan masing-masing. Aku tak sabar bertemu dengan anak itu. Selama ini kami hanya berhubungan melalui dunia maya. Saat aku berada di balik meja kasir, seseorang kuhapal suaranya memanggil namaku. Aku segera menemui dan memeluk Melda dengan sangat erat. Sahabatku semasa kuliah itu terlihat makin berseri. Rambutnya yang dicat fresco itu nampak sangat sesuai di wajahnya. Terakhir bertemu dengannya beberapa bulan sebelum aku berpisah dengan Mas Galih. Kalau tidak salah kami bertemu di pernikahan Siska, teman kuliah kami juga. Kulihat Melda memindai tubuhku dari atas sampai bawah. Matanya menyipit tajam melihat penampilanku kali ini. Siap-siap kudengar dia mengoceh mengomentari penampilanku. Mulutnya memang sangat tajam, meski kutahu itu karena bentuk kepeduliannya. "Memang kalau sudah jadi ibu benar-benar ngga
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (23)Fakta Mencengangkan (2)Sebelumnya, aku tak pernah ingin tahu bahkan mengulik urusan pribadi orang lain. Tapi kini, aku benar-benar penasaran mengapa orang seperti Mas Galih dan keluarganya tidak mengetahui bagaimana wajah asli wanita pilihan mereka itu. Dari cerita Melda, aku akhirnya tahu bahwa Soraya adalah 'gadis rusak' dari semenjak sekolah menengah atas. Beberapa kali dia pindah sekolah karena orang tuanya yang tak kuat menanggung malu akibat tingkah liar putri mereka. Orang tua Soraya adalah orang terpandang yang ayahnya menjabat staf pemerintah kabupaten tempatku tinggal. Ibunya menuruni bisnis hotel keluarga milik kakek dan nenek Soraya. Memang jika dibandingkan denganku yang hanya anak pemilik toko kecil di sudut pasar, tentu tidak berarti apa-apa. Tapi kini, aku tak akan membiarkan wanita itu menginjak-injak harga diriku. Fakta bahwa moralnya tak lebih baik dariku membuatku yakin bahwa Mas Galih dan keluarganya akan kehilangan m
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 24 ) Perdebatan (1)[ Vinda, Bapak akan ke rumahmu sore nanti. Sebaiknya kita bicarakan masalah ini bersama, dengan kepala dingin ] Kembali pesan masuk ke gawaiku melalui aplikasi hijau. Kali ini bukan dari Mas Galih, melainkan dari Pak Tanu, mantan bapak mertuaku. Baiklah. Mulutku sudah gatal untuk mengoyak sifat sombongmu yang sangat kuat, Pak. ***Kulipat mukena setelah selesai sholat ashar di mushola kecil di sudut restoranku. Aku sudah berkata pada Putri akan pulang lebih awal hari ini. Putri yang sudah tahu mengenai urusan runyamku dengan keluarga mantan suami langsung sigap kutugasi menghandle urusan restoran hingga tutup jam sembilan malam nanti. Aku sudah memberitahu perihal kedatangan mantan bapak mertuaku pada ayah dan ibu. Sudah kujelaskan pula keinginan pihak Mas Galih mengenai Zoya. Kulihat ayah yang biasa mampu meredam emosi, tadi pagi terlihat sangat marah. Gurat-gurat di wajahnya bahkan terlihat sangat jelas. Kutepikan moto
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa