Bab 8
Diceraikan Karena Bukan wanita Karir ( 7 ) Bertemu Mantan Saat ini aku sudah tidak mau sibuk memikirkan hak atas penjualan rumah itu. Bahkan Mas Galih pun tidak bisa menunaikan keputusan pengadilan mengenai nafkah tiga juta untuk ketiga anaknya. Entah memang dilarang oleh Soraya, atau memang Mas Galih yang sudah tak peduli lagi dengan darah dagingnya. Setelah proses perceraian kami, dia hanya memberi uang lima ratus ribu. Itu pun karena adikku Tania memberikan ancaman akan memviralkan soal nafkah ini. Mas Galih terpaksa memberi uang pada Tania saat tak sengaja bertemu di restoran dekat kantor Tania. Gadis itu memang sangat pandai menekan orang lain. Apalagi Tania sudah tahu persis dengan permasalahan yang membelitku. Dia yang sangat sayang dengan ketiga keponakannya tak terima melihat ayah mereka melenggang menikmati kehidupan barunya dengan Soraya tanpa memikirkan anak-anak sama sekali. Aku bisa membayangkan bagaimana Tania mempermalukan pasangan itu di depan banyak orang. Wajah wanita yang merasa dirinya sangat terhormat itu pasti hancur tak berbentuk lagi. Tania berucap bahwa banyak orang yang mengabadikan peristiwa itu. Hanya saja memang hanya uang lima lembar ratusan yang bisa diberikan laki-laki itu. Dia beralasan bahwa tak memegang uang cash. Tania yang memang sedang diburu waktu tak punya pilihan lain. Dia menerima uang itu meski sangat tak puas. Malam setelah kejadian itu, aku mendapatkan w******p penuh ancaman dari Bu Mirna, mantan mertuaku. Aku yakin anak dan menantu kesayangannya sudah melaporkan kejadian itu padanya.[ Beri tahu adik urakanmu itu untuk tidak mempermalukan anak dan menantuku lagi. Apakah dia sama denganmu yang tak berot*k sama sekali? Beri tahu adikmu, siapa menantuku itu. Kuyakin dia akan beribu kali berpikir jika tahu siapa wanita yang dia permalukan hari ini!]Begitulah bunyi w******p seorang nenek yang berbulan-bulan tak pernah mencari tahu bagaimana kabar ketiga cucunya.[ Ibu. Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah kau makin sehat setelah berhasil mengusirku dan anak-anak? Apa yang adikku lakukan sudah sepantasnya dia lakukan. Siapa tahu Mas Galih lupa dengan kewajibannya memberi nafkah! Sayangnya hanya lima ratus ribu yang mampu dia beri. Apakah uang hasil penjualan rumah sudah habis untuk liburan kalian sekeluarga ke Bali? ]Tak ada balasan apapun dari wanita itu. Aku yakin dia tak bisa berkata apapun karena memang apa yang kusampaikan memang benar adanya. Dia tak bisa menyangkal karena aku memang mengantongi foto liburan mereka penuh dengan kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Wajah-wajah puas telah berhasil mewujudkan keinginan yang selama ini terpendam, meski ulah mereka membuat anak-anakku harus hidup tanpa ayah mereka. Uang lima ratus ribu itu adalah pertama dan terakhir kali kudapatkan dari lelaki yang pernah membersamaiku selama enam tahun itu. Setelah itu sama seperti dahulu, tak pernah ada sokongan dana untuk membesarkan anak-anak yang sangat dia sayangi. Bulan-bulan berikutnya tak pernah sekalipun Mas Galih menanyakan kabar anaknya. Aku cukup lega karena Zayn dan Ziyan tak lagi bertanya kapan ayahnya akan datang mengunjungi mereka. Sepertinya mereka sudah terbiasa tanpa sosok Ayahnya. Mengingat berapa kerasnya hati Mas Galih dan keluarganya, aku putuskan berhenti menggugat apapun pada mereka. Percuma, manusia yang tak punya hati itu justru dengan santainya posting momen jalan-jalan mereka di medsos. Tak perlu mencari tahu, karena ada saja orang yang tiba-tiba memberi informasi tersebut. Serapi apapun dia menutupi kegiatan foya-foya mereka, sepertinya Tuhan memberikan celah padaku untuk terus mengetahui tanpa susah payah. Biarkan, toh usahaku sudah cukup lumayan. Pesanan datang bertubi-tubi. Makin lama makin banyak yang tahu bagaimana cita rasa ayam bakarku. Teman-teman pun membantu mempromosikan jualanku hingga makin banyak pesanan datang. Rasa lelah karena meracik bumbu dan tubuhku yang beraroma asap tak lagi kupedulikan. Ketika susu si kembar dan diapers si kecil sudah bertumpuk-tumpuk maka disitulah aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Mereka juag bisa dengan mudah menikmati makanan yang mereka inginkan. Bahkan sesekali kuajak mereka bermain di wahana permainan sebuah swalayan. Aku tak ingin mereka kehilangan keceriaan di masa anak-anak mereka. Sebisa mungkin aku harus memberikan kenangan indah dan menghapus trauma mereka terutama kembar yang terkadang mempertanyakan apa yang terjadi pada malam itu. Malam dimana kami diusir dan keluar rumah saat cuaca sangat dingin. Terkadang aku marah pada keadaan. Mengapa di saat aku susah payah menghapus ingatan buruk mereka di malam itu dan di sisi lain ayah mereka menghabiskan hari-harinya tanpa dosa bergelung kemewahan. Aku tak akan menyerah pada nasib. Tanganku sudah kekar mengangkat belasan kilo ayam. Bahkan keluar masuk pasar di jalanan becek rela kulakukan demi mendapatkan ayam yang sehat dan segar. Karena tentu saja ayam yang berkualitas membuat cita rasa ayam bakarku makin nikmat. Pesanan demi pesanan berdatangan. Bahkan aku punya langganan kantor kecamatan dan puskesmas untuk menyediakan makan siang mereka tiga kali dalam seminggu. Terkadang mereka pun ada acara-acara mendadak yang membutuhkan konsumsi berat. Belum lagi beberapa kali aku bekerja sama dengan pemilik graha yang sering disewa untuk acara pernikahan. Mereka mendapat rekomendasi dari orang-orang yang menggunakan gedung tersebut. Aku benar-benar mengalami kebanjiran pesanan di luar ekspektasiku. Aku bersyukur dengan semua ini. Mudah-mudahan rejeki untuk anak-anakku makin mengalir lewat usaha ini. Atas rekomendasi dari ibu, aku merekrut satu orang untuk membantu menangani pesanan. Aku menerima saran tersebut karena memang aku tak mampu menjalankan semuanya sendirian."Jangan ngoyo, kalau capek jangan maksa diambil. Tubuh punya batas maksimal. Jangan sampai sakit. Anak-anak butuh kamu," ucap Ayah padaku. Aku sering mendapati ayah yang sedang menonton televisi hingga larut saat selesai dari kegiatanku di dapur. Entah kebiasaannya sejak kapan, aku sendiri terkadang heran. Seingatku dia bukan orang yang sering begadang. Aku yang sedang meracik sambal pelengkap ayam bakar menoleh sambil tersenyum. Wajah teduh itu tersenyum, meski kilat matanya tak bisa berbohong. Ada rasa sedih yang susah payah dia sembunyikan. "Siap, Pak Bos. Mumpung lagi semangat dan orderan mengalir terus, nggak boleh nolak rejeki. Lagian sudah dibantu Mbak Mi. Tenang, Vinda tahu batas kemampuan sendiri, kok." Aku kembali fokus dengan pekerjaan di depanku. Pesanan 50 box paket ayam bakar ini akan diambil oleh pelanggan jam sepuluh nanti. Sebuah acara perpisahan untuk seorang guru SMA yang purna tugas. "Ayah nggak ke pasar?" "Nggak. Hari ini Ayah mau libur dulu. Zayn dan Ziyan minta dibuatkan kolam ikan di belakang. Di pasar Ayah minta Anto yang handle," jawab Ayah sambil berlalu. Mas Anto adalah anak dari Bibik Ratri, adik kandung ayah. Dia sudah dianggap anak sendiri oleh orang tuaku karena ayahnya meninggal saat dia masih kecil. Kudengar beliau memanggil kedua anak kembarku. Zayn dan Ziyan berseru senang saat Mbah Kung mereka mengabulkan keinginan mereka. Lahan yang cukup luas di belakang rumah merupakan tempat yang nyaman untuk bermain anak-anak. Apalagi jika kolam ikan yang diinginkan mereka berdua dikabulkan oleh Mbah mereka.BAB 9 Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier Bertemu Mantan (2)Aku mendorong troli dan melewati display susu di sebuah swalayan. Kuambil dua karton susu UHT untuk si kembar. Kualihkan langkah ke arah makanan bayi untuk Zoya. Beberapa dus pasta khusus untuk bayi kupindahkan ke troli di depanku. Aneka puff juga kuambil, mengingat gigi Zoya yang mulai tumbuh membuatnya sedang aktif-aktifnya menggigit sesuatu. Langkahku terhenti saat melihat sejoli mantan pasangan selingkuh itu tengah asyik bercanda sambil memilih snack ringan. Hatiku berdesir saat melihat barang belanjaan mereka yang kebanyakan bukan bahan makanan pokok. Hanya makanan-makanan ringan yang tentunya kalah penting dengan kebutuhan anak-anak. Kutegakkan tubuhku agar tak terlihat menyedihkan. Tak ada lagi duka yang harus diingat. Aku hanya butuh mental yang kuat agar tak terpancing emosi melihat ketidakadilan di sini. Aku berjalan dan pura-pura tak melihat mereka disini. "Wah… bisa belanja banyak juga ya?!" tanya Soraya d
Bab 10Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 8 )Mantan Ibu Mertua "Bagaimana mungkin kamu berani mempermalukan menantuku?" Mantan ibu mertuaku duduk di ruang tamu dengan pongah. Kakinya disilangkan dengan dagu diangkat cukup tinggi. Pandangannya yang menghakimi sama sekali tak menyurutkan mentalku. "Silahkan diminum tehnya, Bu." Aku mengalihkan pembicaraan dengan menawari teh yang sudah dibuat Mbak Mi. Bau teh yang wangi memenuhi ruang di rongga hidungku. Seharusnya wangi teh ini membuat rileks pikiran seseorang. Tetapi sepertinya sosok di depanku terlalu angkuh hingga tak mau menyentuhnya sama sekali. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Vinda! Aku peringatkan, jangan pernah mengusik kehidupan Soraya dan Galih. Seharusnya kamu menerima keadaan ini. Jangan bertingkah bar-bar. Aku tahu kalangan seperti kalian memang tak mendapatkan pelajaran unggah-ungguh dari keluarga. Tetapi bukan berarti kau bebas melakukan apapun. Jangan sampai yang kamu lalukan merugikan anak dan menantuku. Merek
BAB 11Mantan Ibu Mertua (2)"Oh iya... ngomong-ngomong...apakah Ibu tak mau melihat mereka bertiga?" tanyaku retoris. Aku yakin dia tak ingin melihat keadaan cucunya. Jika dulu saat menjadi menantunya saja dia enggan bermain dengan anak-anakku. Apa lagi sekarang? "Sekali lagi, jangan sampai kejadian seperti tadi terulang lagi. Aku tidak mau keluarga besar Soraya malu dengan perbuatanmu!"Aku agak tersentil saat dia dengan begitu mengkhawatirkan keluarga besannya. Tentu berbanding terbalik dengan caranya memperlakukan orang tuaku yang dianggapnya tak akan pernah sebanding. "Apakah keluarga Soraya tidak malu anaknya menjadi maling suami seorang istri dan ayah tiga orang anak?" tanyaku kembali. Mata wanita itu membesar bersamaan dengan selesainya kalimatku. Kulihat Bu Mirna gelisah dengan duduknya. Tak lama, dia berdiri setelah menghujamkan pandangan matanya padaku. Tanpa kata permisi, dia berjalan keluar dan masuk ke dalam mobil yang menunggunya dari tadi. Aku mencoba menentramkan d
Bab 12Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 12 ) Rizki Tak Terduga Berkali-kali aku bersyukur saat menghitung omset yang kudapatkan hari ini. Warung makan ayam bakar yang kurintis perlahan merangkak naik. Ayam bakar yang tadinya terjual puluhan porsi kini sudah menyentuh angka seratus ke atas. Bahkan pernah hampir seribu porsi saat beberapa sekolah mengadakan acara bersamaan. Biasanya momen perpisahan sekolah atau ujian yang menjadikan pesanan paket ayam bakar membludak. Hingga beberapa kali kami harus tutup lebih awal. Aku tak mau serakah. Segalanya harus kuukur dengan kemampuanku sendiri dan para pekerjaku. Beruntung sekali memiliki tim yang begitu solid. Karyawanku kebanyakan berusia di bawahku. Sebuah tantangan tersendiri. Mereka yang tengah giat-giatnya mencari nama tentu saja sejalan dengan semangatku yang baru memulai usaha ini. Tetapi di sisi lain aku harus bersabar manakala mereka yang masih labil terkadang bergerak sesuai mood mereka. Tak masalah, sejauh ini aku bisa m
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (13)Rizki Tak Terduga 2"Rafli. Saya Rafli Aditama." Kalimatnya membuat mataku melotot tak percaya. Hampir saja aku tak menguasai diri dan bertingkah konyol. "Apakah Anda Rafli Aditama pengusaha retail yang terkenal itu?" Kepalang tanggung, daripada aku mati penasaran. Lebih baik kutanyakan saja. Laki-laki itu tersenyum. Entah maksud senyum apa yang disunggingkannya barusan. "Apakah aku begitu terkenal?" Senyumnya tak berhenti terbit dari bibirnya. Sungguh membuat bagian-bagian di wajah itu saling menyempurnakan satu sama lain. "Ya… saya sering mendengar nama Anda. Pengusaha terkenal di kota ini. Saya sangat tersanjung dengan kehadiran Anda disini, Pak. Tetapi… mengapa Anda justru memilih warung saya untuk menyediakan makanan yang Anda inginkan?" tanyaku dengan jujur. "Kebetulan panti asuhan tempat saya melakukan santunan tidak jauh dari sini. Tentu saja saya mencari restoran yang dekat dengan tempat itu, agar mempermudah prosesnya nanti. Dan
Bab 14Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 14 ) Egois Hari ini aku sengaja datang ke rumah makanku untuk mempersiapkan pesanan dari Pak Rafli. Putri juga sudah kuminta secara khusus untuk datang lebih pagi. Aku tak ingin pesanna pertama dalam jumlah banyak ini keteteran. Akhirnya sesuai kesepakatan tiga ratus box paket ayam bakar sudah kami selesaikan pukul sembilan pagi. Memang kami biasa menyelesaikan satu jam lebih cepat agar tidak terburu-buru saat mengecek. Kupastikan seluruh paket tersebut tidak ada yang tertinggal. Mumpung hari Minggu, kuajak serta ayah, ibu serta tiga anakku ke warung ayam bakarku. Mereka kuarahkan ke ruang pribadiku di belakang. Sudah kusiapkan televisi serta kasur yang cukup nyaman untuk mereka. Anak-anak sangat antusias bermain di halaman belakang yang memang masih cukup luas dengan pengawasan ibuku. Bahkan berkali-kali Zoya terjungkal saat mengejar langkah kakak-kakaknya di sana. Sementara Ayah membantuku memasukkan tumpukan box nasi ke dalam mobil y
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (15)Egois 2 "Ya sudah. Biar aku saja yang nganter makanan ke sana. Aku nggak mau Mbak Vinda dipermalukan!" jawab Putri sinis. Bahkan kedua tangannya disilangkan di dada. Aku terkekeh melihat reaksinya. Dia kira mudah menghadapi manusia-manusia itu. "Sudah. Nggak masalah, Put. Kita harus profesional. Tenang saja, masalah sepele." Aku mencoba memberikan pemahaman pada gadis itu. "Apakah nggak papa? Maksudku. Aku takut… ""Apa? Kau khawatir aku melakukan tindakan bodoh? Meracuni mereka misalnya?" tanyaku dengan gurauan. "Tapi, Mbak. Nggak bakal ada adegan jambak-jambakan kayak di sinetron-sinetron itu, kan?" Aku tersenyum gemas pada gadis yang sudah kuanggap adikku sendiri. Usia yang masih muda nampaknya membuat Putri masih berpotensi meledak-ledak. "Nggak bakal, Put. Aku sudah lulus bagaimana bertindak elegan di depan para penghianat. Kamu tenang saja. Lagi pula aku tak akan mengotori tanganku dan di tempat ini pula. No, aku tak akan menghancu
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 16) Permintaan Gila"Ada hal lain yang ingin kalian sampaikan?" tanyaku penuh selidik. Kulihat Bu Mirna membetulkan posisi duduknya. "Kami bermaksud memberikan uang hasil penjualan rumah, tetapi … ," Mas Galih menggantung kalimatnya. Kutunggu beberapa dia menyelesaikan kalimatnya. "Tetapi kami akan mengambil Zoya untuk tinggal bersama kami," lanjut Bu Mirna.Aku membelalakkan mata menatap keempat orang tak tahu malu di depanku. Kuremas ujung apron yang kukenakan saat melayani pembeli. Detak jantungku sudah tak beraturan lagi ritmenya. Kupastikan apa yang kudengar baru saja. Mereka menginginkan Zoya? Lututku terasa begitu lemas saat ini. Apakah mereka masih punya akal hingga mengucapkan permintaan segila itu padaku? "Siapa kalian hendak membawa Zoya dari ibunya?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku hampir menangis, bukan karena sedih. Tapi karena marah pada manusia terk*tuk di depanku. Mereka mengatakan sesuatu yang sangat menyakiti hatiku. K
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa