Kedatangan Keluarga Mantan
Aku duduk menghadap suami istri yang duduk berdampingan. Sang suami menegakkan tubuhnya di atas sofa ruang tamuku. Matanya berkali-kali mengalihkan pandangannya denganku saat kami bertatapan tanpa sengaja. Tangan sang istri bergelayut di lengan suaminya, menegaskan dengan kuat posisinya saat ini.
Wanita itu dengan begitu jelas menampakkan wajah tak sukanya padaku. Matanya melirik dengan pandangan sinis sekaligus merendahkanku. Beberapa kali dia mengeratkan jemari lentikknya pada lengan Sang suami. Aku tertawa dalam hati melihat tingkahnya yang seperti ketakutan kehilangan laki-laki di sampingnya.
Sedangkan dua orang lagi, sepasang suami istri lanjut usia masing-masing duduk di kursi single di kanan dan kiriku. Sama dengan pasangan sebelumnya, tak ada raut ramah sama sekali dari air mukanya. Aneh, padahal merekalah yang datang sendiri kemari tanpa kuundanh. Bahkan jika aku mau, sudah kuusir kedua pasang manusia yang sudah menorehkan luka begitu dalam di dalam hatiku. Tetapi aku menahan diri, aku ingin tahu keajaiban apa yang membawa mereka datang kemari.
Kuangkat daguku, mengabaikan dentuman detak jantung dan emosi yang tertahan. Aku tak bisa membiarkan emosi membuatku lepas kendali dan kalah dengan permainan ini.
" Bagaimana kabar anak-anakmu, Vin?" tanya Pak Tanu, mantan mertuaku. Rambutnya hampir keseluruhan memutih, berbeda dengan tiga tahun lalu, saat terakhir bertemu dengannya. Suara baritonnya sama angkernya dengan bertahun yang lalu. Hanya saja mentalku sudah lain, aku tak serapuh dulu saat masih menjadi menantunya.
"Sehat, Alhamdulillah." Aku menjawab datar. Bahkan aku tak ingin memanggilnya dengan sebutan 'pak'. Kudengar dia berdehem. Mungkin dia tak suka dengan nada suaraku. Mana aku peduli! Kulihat mantan ibu mertuaku meremas tas yang dari tadi berada di pangkuannya. Entah kalimat apalagi yang akan dia lontarkan untuk mencairkan sebongkah hati yang sudah beku di dalam dadaku.
Sedangkan pria di depanku, yang tiga tahun lalu menjatuhkan talak dan mengusirku beserta tiga anaknya, hanya tertunduk saat tatapan mataku menghujam manik matanya. Tak ada kesombongan yang terlihat dari sana. Tentu kontras dengan sikapnya dulu. Aku masih ingat matanya menyala-nyala seolah ada bara api kebencian disertai kalimat kasar yang dia lontarkan padaku tanpa ampun.
"Dimana mereka sekarang?" tanya mantan mertuaku lagi.
"Adek tidur di kamar. Dua kakaknya sedang ikut les di bimbel, " jawabku lantang tak ada keraguan sama sekali.
"Kamu biarkan Zoya sendirian di kamar? Bukankah tadi waktu kami datang kamu sedang berada di dapur?" Pertanyaan Ibu mertua terdengar ingin mengulitiku. Matanya terlihat puas mempermalukanku. Seolah aku ibu yang payah, membiarkan anaknya yang berusia tiga tahun tidur sendirian di dalam kamar. Dia belum tahu serangan apa yang kusiapkan untuk menjawab kalimatnya.
"Siapa bilang sendirian? Sudah kuminta pengasuh untuk menjaganya." Sengaja kutekan kata 'pengasuh' kali ini. Kata yang hampir tak mungkin dikeluarkan saat aku masih menjadi menantunya dahulu.
Kulihat wajah-wajah tegang mereka. Entah hanya perasaanku atau memang nyatanya seperti itu, aku melihat rona wajah kecewa setelah aku menjawab demikian. Memang benar, aku meminta Mbak Yuli—pengasuh Zoya—untuk menjaga anak bungsuku itu. Tak ada kebohongan dalam kalimatku. Hanya saja mereka yang seolah tak siap dengan jawaban yang kulontarkan.
" Jam berapa Zayn dan Ziyan pulang dari les? " Laki-laki pecundang di depanku akhirnya bersuara. Kulihat sang istri meremas lengan suaminya, seolah tak setuju dengan kalimat yang dikeluarkannya. Aku hampir terkekeh melihat kecemburuan yang mudah sekali terlihat dari mata cantik wanita itu.
"Sebentar lagi. Sudah kuminta tantenya untuk menjemput, " jawabku singkat dengan menatap sekilas ke arahnya. Lagi-lagi mata itu mengalihkan pandangannya. Kali ini aku tak tahan menyunggingkan senyum sinis untuknya.
" Tiga tahun tak bertemu, sepertinya banyak perubahan pada dirimu, Vin. Belum juga berniat menikah? " Mantan Ibu mertuaku bertanya. Wanita yang dulu begitu kuhormati dan kuperlakukan selayaknya ibu kandung itu bertanya lagi. Nada suaranya seperti mengejekku yang belum juga menikah selepas bercerai dari anak kesayangannya.
" Belum. Fokusku membesarkan anak-anak dengan baik."
" Menikahlah, Vin. Anak-anak membutuhkan sosok ayah dalam kehidupan mereka. Jangan larut dengan kesedihan seperti ini. Kamu masih muda, masih banyak laki-laki …."
" Memangnya ada, laki-laki yang mau dengan janda beranak tiga?" tanyaku memancing emosi mereka. Kuingatkan kembali kalimat yang dulu pernah mereka ucapkan saat mengusir kami dari rumah.
" Bukankah semua laki-laki dan keluarganya kebanyakan mencari gadis yang memiliki karir? Lagi pula anak-anakku sudah terbiasa hidup dengan ibunya saja, bahkan jauh sebelum orangtuanya bercerai mereka sudah tak punya ayah. Ayah mereka sibuk dengan pekerjaan … dan urusan lainnya."
Kuberi tekanan lebih saat mengucapkan kalimat terakhir. Mereka semua tertunduk, kecuali wanita di depanku. Soraya menatapku penuh kebencian. Aku tak gentar, lagi pula aku tak pernah melakukan kesalahan sedikit pun padanya. Bahkan dialah wanita mengerikan yang sudah masuk dan memporak-porandakan kehidupan keluargaku.
Kenanganku dengannya berkelebat di kepalaku. Tiga tahun yang lalu aku nekat menemuinya di sekolah tempat dia bekerja. Bahkan aku menggendong Zoya yang seharusnya tertidur nyaman di kasurnya yang hangat. Saat itu aku berharap dia mengasihiku dan mau memutuskan hubungannya dengan Mas Galih—suamiku.
"Tentu saja. Mas Galih dan keluarganya mendambakan istri dan menantu sepertiku. Wanita karir lebih menjamin kehidupan rumah tangga ke depannya dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang tidak memiliki kemandirian finansial. Jangan salahkan orang lain, salahkan dirimu yang tak memiliki apapun untuk dibanggakan."
Soraya mengangkat dahunya tinggi. Bibir berwarna mirabela berpadu cantik dengan wajahnya yang putih berseri. Rambutnya digerai begitu indah yang membuatnya sangat mirip dengan model papan atas.
Perkataan Soraya membuatku tergelitik. Kutarik sudut bibirku, membuat senyuman yang tidak simetris.
" Wah … Ibu juga dulu hanya ibu rumah tangga kan, Bu? Berarti kehidupan Ibu dan Bapak dulu juga tidak terjamin? Serba kekurangan tepatnya … "
Kutatap wajah kedua mantan mertuaku bergantian. Rahang Pak Tanu mengeras, matanya nyalang menatapku. Begitu pun istrinya, kulihat jarinya bertaut satu sama lain. Sementara Soraya memandangku penuh amarah. Kalimatnya berhasil kukembalikan, hingga justru memukul wajahnya sendiri. Sang suami membelai punggung tangannya dengan lembut. Perlakukan yang dulu hanya kuterima di awal-awal pernikahan.
Suara gawaiku berbunyi. Sebuah panggilan dari Tania, adikku perempuanku satu-satunya.
"Mbak. Kembar pengin main timezone dulu, boleh nggak, nih?" tanya adikku setelah aku menjawab salam darinya. Kuyakin mereka yang duduk disana mendengar kalimat yang diucapkan Tania. Buktinya wajah mereka berubah lebih keruh.
" Boleh. Maksimal satu jam, jangan lebih. Ingatkan mereka jam lima nanti guru ngajinya datang ke rumah. Jangan sampai ustadzah menunggu," jawabku. Panggilan dimatikan oleh Tania. Kudengar lamat-lamat Zayn dan Ziyan berteriak kegirangan setelah keinginan mereka dikabulkan. Aku tersenyum membayangkan tingkah kedua anak kembarku. Pasti mereka tak menyangka aku mengizinkan mereka bermain tanpa pulang terlebih dahulu.
"Loh, kok mereka diijinkan main timezone? Padahal kami ingin mengajaknya jalan-jalan, kenapa malah tidak langsung pulang?" protes Bu Mirna, mantan mertuaku. Aku balas memandang wajahnya yang memang tak pernah menyukaiku dari awal pernikahan.
" Loh, siapa yang mengijinkan kembarku ikut kalian? Lagi pula … kalian yakin sekali mereka mau ikut orang asing." Ja
" Kami bukan orang asing! Kami keluarganya! Jangan mencoba memisahkan anak dari ayahnya!" ucap mantan suamiku setengah berteriak. Aku berusaha menetralisir debaran jantung yang berdetak makin cepat seiring emosi yang mulai naik.
Sejak kapan dia ingat bahwa dirinya adalah seorang ayah?
" Kalau kalian bukan orang asing, mengapa dengan teganya mengusir kami berempat dari tempat tinggal kami, padahal waktu itu sudah malam."Aku menjeda kalimatku dengan sekali tarikan napas. Kutatap mereka satu persatu dengan dengan emosi yang kutekan sekuat tenaga.
"Dan kau, Mas. Hal apa yang membuatmu tiba-tiba ingat dirimu adalah seorang ayah? Dan sejak kapan?"
***
Kutatap kepergian mereka satu per satu dari ruang tamu. Raut kekecewaan tergambar jelas di wajah mereka. Setelah menunggu lama Zayn dan Ziyan dari bermain timezone, nyatanya hanya kekecewaan yang mereka dapatkan.
Tak ada sambutan penuh haru biru layaknya ayah bertemu anak yang bertahun-tahun terpisah. Tak ada pelukan hangat dari Sang cucu pada kakek neneknya yang mungkin baru ingat ada darah dagingnya disini. Hanya kekecewaan karena anakku bahkan menampakkan wajah pias saat melihat tamu-tamu itu duduk rapi di sofa rumahku.
Kedua anak kembarku yang saat ini berusia delapan tahun kupaksa bersalaman dengan mereka. Tadinya mereka hanya menampakkan wajah kaget dengan orang-orang itu tanpa mau beranjak dari tempatnya berdiri.
Sedangkan Zoya, dia hanya menangis kencang saat Mas Galih berusaha menggendongnya. Aku tak bisa memaksa, karena Zoya bahkan hanya merasakan dekapan ayahnya kurang dari tiga bulan. Itu pun sangat jarang, mengingat ayahnya saat itu sibuk dengan Soraya—selingkuhannya.
"Jangan racuni anakmu untuk membenci ayahnya. Bagaimanapun Galih adalah ayah kandung mereka," ujar Bu Mirna dengan wajah kesal. Dia yang ingin menggendong Zoya bahkan tak sempat menyentuh kulit bungsuku. Saat Mas Galih tak bisa menenangkan Zoya barang sedetik pun, kuminta dengan segera Mbak Yuli mengambil alih anakku. Zoya mendekap erat tubuh pengasuhnya seolah tengah terlepas dari bahaya yang mengancamnya.
Bagus, penolakan itu sudah pasti melukai harga diri mereka hingga tak berharga sama sekali. Aku tak bisa memaksa anak-anakku untuk menerima mereka, sedangkan orang-orang dewasa itulah yang dulu sudah menolaknya mentah-mentah.
"Anakku punya ingatan, Bu. Mereka tentu tak akan lupa pernah melihat bagaimana ayah mereka memperlakukan ibunya. Bagaimana kakek neneknya bahkan tak punya perasaan sama sekali pada anak sekecil mereka. Jangan merasa menjadi pihak yang tersakiti disini, Bu. Nada suaramu terdengar kau begitu didzolimi. Justru itu lucu sekali.
Kalau Zoya, barangkali memang dia benar-benar asing dengan ayahnya. Maklum Bu, sejak lahir Zoya hanya mengenal ibunya. Mas Galih bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali dia menggendong Zoya," jawabku menohok.
Puas sekali kukuliti mereka satu per satu. Laki-laki yang pernah menyandang gelar suamiku selama hampir enam tahun itu hanya menunduk mendengar penuturanku. Tangannya mengepal rapat, kurasa perkataanku cukup membuatnya tersudut. Tetapi dia bisa menyangkalnya, karena memang kenyataannya sama dengan yang kuucapkan.
"Mohon maaf, sebentar lagi guru ngaji kembar akan datang. Aku harus mempersiapkan baju mereka. Jika ada hal penting lainnya, kalian bisa tunggu mereka disini. Mungkin saja setelah mengaji pikiran mereka jauh lebih fresh dan bisa menerima kunjungan mendadak dari keluarga ayahnya. Tidak lama, menjelang maghrib mereka selesai."
Kurasa mereka paham dengan kalimat pengusiranku kali ini. Buktinya tak lama mereka berdiri, diawali oleh mantan ayah mertuaku. Disusul Mas Galih dan dua orang lainnya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Bahkan kalimat pamitan pun tak keluar sama sekali dari mulut orang-orang berpendidikan itu.
Kuikuti mereka sampai pintu rumahku. Kututup pintu dengan gerakan cepat hingga menimbulkan bunyi cukup keras. Tak peduli lagi soal sopan santun yang selalu kukatakan pada kedua anakku. Mereka, Orang-orang tak punya hati itu harus tahu bagaimana rasanya terusir.
FlashbackTolong, Mas. Jangan lakukan ini. Kumohon. Ingat anak kita masih kecil-kecil, tolong Mas! Dan Zoya kau lihat, dia anak perempuan yang kita tunggu-tunggu kehadirannya." Berkali-kali aku hampir terjungkal saat tangan kekar Mas Galih mendorong tubuhku di depan rumah. Tak ada kelembutan sama sekali yang tersisa dari laki-laki itu. Zayn dan Ziyan memegang bajuku begitu erat. Hanya tangisan tertahan satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan. Anak kembarku ketakutan melihat ayahnya berbuat sekasar itu padaku. Selama kurang lebih enam tahun pernikahan kami, Mas Galih tidak pernah berkata kasar sedikit pun. Apalagi main tangan seperti ini. Entah iblis apa yang merasukinya hingga sekarang dia tega berbuat sekasar itu padaku. Bahkan dia lupa fisikku masih lemah setelah berhari-hari didera mastitis hebat. Beruntung tak ada tindakan pembedahan seperti kasus mastitis yang sering kudengar. " Sudah kubilang, Vinda. Kita sudah tidak cocok. Aku bosan sekali berumah tangga denganmu. Orang tua
Surat dari Pengadilan Empat bulan pasca kepulanganku ke rumah kedua orang tuaku aku menerima sebuah surat dari pengadilan. Bisa ditebak, isinya adalah surat cerai yang menjadi keinginan Mas Galih dan keluarganya. Kuremas surat bersampul coklat itu. Hatiku mendidih membayangkan betapa puasnya mantan suamiku beserta kedua orang tuanya. Rasa sakit menjalar hatiku saat kubayangkan manusia-manusia itu pasti tengah bersorak merayakan kemenangan mereka. Belum sah putusan dari pengadilan saja sudah membuat laki-laki itu abai dengan kewajibannya. Bahkan selama empat bulan ini Mas Galih tidak memberi uang sepeser pun untuk biaya hidup kami. Padahal dia sangat tahu kebutuhan apa yang rutin dikeluarkan untuk anak-anak kami. Selalu saja ada alasan saat aku terang-terangan meminta uang susu dan diapers untuk anaknya. Beruntung ayah dan ibuku mengetahui kesulitanku hingga mereka dengan senang hati membiayai seluruh kebutuhan kami berempat. Jangan tanya dimana rasa malu kusembunyikan. Aku benar-b
Penjualan RumahBohong sekali jika aku bisa langsung kuat dan tegar menghadapi perceraian ini. Kehilangan separuh jiwa tentu bukan perkara mudah. Apalagi satu-satunya kesalahanku hanya karena tak memiliki karir. Setidaknya itulah yang selama ini mereka dengung-dengungkan. Tentu saja ada alasan lain yang sengaja mereka buat demi secepatnya mendepakku dari kehidupan mereka. Yang jelas kini aku tak punya tempat untuk berbagi rasa. Entah pada siapa aku menggantungkan hidup nantinya. Apalagi setiap melihat ketiga anakku terlelap tidur aku tak mampu membendung air mataku. Aku sangat khawatir dengan kelangsungan hidup mereka selanjutnya. Bagaimana hidup kami berempat tanpa adanya penghasilan?Bahkan Mas Galih sengaja abai dengan kewajibannya. Belum juga kami resmi berpisah, Mas Galih sudah tak pernah memberi nafkah untuk anak-anaknya.Bukan tidak pernah aku mengingatkan kewajibannya baik melalui pesan whatsapp maupun mendatangi langsung rumah tempat kami pernah menjadi keluarga bahagia. Aku
Langkah Baru VindaUsahaku untuk berdamai dengan keadaan bukan tanpa halangan. Sering sekali aku merasa putus asa dan kembali menyalahkan keadaan. Berkali-kali pula kusalahkan diri sendiri yang terlalu bodoh tidak mempersiapkan kemungkinan terburuk dalam berumah tangga. Tak jarang aku merutuki diri yang terlalu sibuk mengabdikan diri pada suami, mengurus segala keperluannya, belum lagi segala urusanku dengan anak-anak yang tidak ada habisnya. Mungkin aku terlalu sibuk dengan peranku sebagai ibu rumah tangga hingga tak bisa mencegah dari awal perselingkuhan suamiku dan Soraya. Aku terlalu percaya padanya yang tak akan mungkin berhianat melihat dari sikapnya selama ini. Apalagi mengingat perjuangan kami hingga menikah sangat tak mudah. Aku terlalu santai dan berpikir terlalu polos suamiku selamanya akan menjadi milikku seorang. Tetapi kini tak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah menjadi jalan hidupku. Aku hanya menyalahkan diriku yang tak mempersiapkan finansialku dengan baik seh
Bab 6Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 6 )Memulai Perjuangan Rencanaku mendapat restu dari ibu. Tanpa banyak tanya Ibu langsung menyanggupi untuk meminjamiku modal. Aku benar-benar berniat meminjam, akan kukembalikan setelah usahaku memperoleh keuntungan. Tadinya dia bersikeras untuk memberikan cuma-cuma modal yang kuminta dan tentu saja kutolak. Tak banyak mendebat karena Ibu tahu bagaimana watak anaknya ini. "Kamu sekarang hanya punya keluarga dan anak-anak saja. Jadi mulai detik ini apapun yang kamu rasakan maka bagilah dengan kami."Kalimat ibu membuatku bungkam. Ada rasa sesal mengapa di usia senjanya justru harus kerepotan dengan masalah yang kuhadapi. Tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku benar-benar harus merepotkannya kali ini. "Maaf, Bu. Tak seharusnya Ibu direpotkan oleh urusanku lagi. Seharusnya aku membahagiakan Ibu di usia yang senja ini. Vinda janji setelah ini tak akan merepotkan Ibu lagi," ucapku dengan menunduk. Pandanganku tertuju pada tangan keriput ibuku
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier BAB 7Kuputuskan untuk mengabaikan pesan darinya. Tak ada waktu untukku mengurusi keluarga itu lagi. Kutata paper box di depanku ke dalam box plastik besar agar mudah membawanya menggunakan motorku. Aku juga memastikan semuanya aman agar bungkus maupun isi makanan yang kubawa tak akan bermasalah nantinya. Aku mencoba mengalihkan rasa kesalku dengan berpikir fokus pada pekerjaan di depanku. Tak boleh ada kesalahan atau kekurangan apalagi jika karena pengaruh wanita tak tahu diri itu. Biarlah. Aku ingin hidupku tenang dan tidak mudah terpancing dengannya. Masih ada anak-anak yang harus kuurusi. Dan tentunya itu lebih penting. Jangan sampai energiku yang pas-pasan ini justru terbuang sia-sia untuk Soraya. Ponselku berbunyi lagi. Kulirik sekilas. Sebuah inbox masuk lagi di aplikasi facebook. Masih dari Soraya. Kutarik napas perlahan. Bersiap aku membaca sesuatu yang pastinya membuatku sakit hati. [ Lihatlah. Bahkan saat kamu kesulitan memperoleh
Bab 8Diceraikan Karena Bukan wanita Karir ( 7 ) Bertemu Mantan Saat ini aku sudah tidak mau sibuk memikirkan hak atas penjualan rumah itu. Bahkan Mas Galih pun tidak bisa menunaikan keputusan pengadilan mengenai nafkah tiga juta untuk ketiga anaknya. Entah memang dilarang oleh Soraya, atau memang Mas Galih yang sudah tak peduli lagi dengan darah dagingnya. Setelah proses perceraian kami, dia hanya memberi uang lima ratus ribu. Itu pun karena adikku Tania memberikan ancaman akan memviralkan soal nafkah ini. Mas Galih terpaksa memberi uang pada Tania saat tak sengaja bertemu di restoran dekat kantor Tania. Gadis itu memang sangat pandai menekan orang lain. Apalagi Tania sudah tahu persis dengan permasalahan yang membelitku. Dia yang sangat sayang dengan ketiga keponakannya tak terima melihat ayah mereka melenggang menikmati kehidupan barunya dengan Soraya tanpa memikirkan anak-anak sama sekali. Aku bisa membayangkan bagaimana Tania mempermalukan pasangan itu di depan banyak orang.
BAB 9 Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier Bertemu Mantan (2)Aku mendorong troli dan melewati display susu di sebuah swalayan. Kuambil dua karton susu UHT untuk si kembar. Kualihkan langkah ke arah makanan bayi untuk Zoya. Beberapa dus pasta khusus untuk bayi kupindahkan ke troli di depanku. Aneka puff juga kuambil, mengingat gigi Zoya yang mulai tumbuh membuatnya sedang aktif-aktifnya menggigit sesuatu. Langkahku terhenti saat melihat sejoli mantan pasangan selingkuh itu tengah asyik bercanda sambil memilih snack ringan. Hatiku berdesir saat melihat barang belanjaan mereka yang kebanyakan bukan bahan makanan pokok. Hanya makanan-makanan ringan yang tentunya kalah penting dengan kebutuhan anak-anak. Kutegakkan tubuhku agar tak terlihat menyedihkan. Tak ada lagi duka yang harus diingat. Aku hanya butuh mental yang kuat agar tak terpancing emosi melihat ketidakadilan di sini. Aku berjalan dan pura-pura tak melihat mereka disini. "Wah… bisa belanja banyak juga ya?!" tanya Soraya d
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa