Kalea tengah menunggu seseorang, mereka sudah mengirim pesan jika akan datang kerumahnya. Dengan cekatan membuatkan beberapa cemilan, karena akan ada anak kecil diantara tamunya. Saat tengah menyelesaikan pekerjaannya, bel pintu rumahnya berbunyi. Dia segera bangkit dan menghampiri pintu untuk mengetahui siapa yang datang dari layar monitornya, ternyata mereka adalah orang yang tengah di tunggu sedari tadi.
"Selamat datang, masuklah," ucap Kalea saat membuka pintu, untuk menyambut kedatangan mereka dengan senyuman. Ketiga orang itu langsung masuk karena sudah di persilahkan oleh pemiliknya, mereka adalah Leo beserta anaknya. Teman Kalea tersebut menepati janjinya ingin datang kerumah, karena lama sekali mereka tak saling bersua. "Apakah kau sendiri? Dimana suamimu?" tanya Clara istri dari Leo, bukan orang lain juga karena Clara sahabat dekat Kalea seperti Leo. "Duduk saja dulu, hei tampan. Apa kau merindukanku?" tanya Kalea pada jagoan kecil temannya. "Tentu." "Hem, bisakah kau bermain sebentar. Di meja itu ada gambar dan pensil warna, kau boleh mewarnainya. Dan ini camilan untukmu." Memberikannya pada anak itu, sedangkan Leo dan Clara hanya tersenyum melihat interaksi keduanya. Anak kecil itu lalu berjalan menuju meja yang di tunjuk oleh Kalea setelah menerima camilannya, setelah memastikan anak itu duduk untuk mewarnai, segera Kalea mengajak dua temannya itu bicara. "Aku ingin memberitahu kalian sesuatu." Dengan nada sendu, wajahnya pun tak terlihat baik-baik saja. "Katakanlah, jangan ada yang kamu tutupi lagi pada kami," ujar Clara. "Aku sudah resmi bercerai satu bulan lalu." Tegas Kalea memberitahu pada dua temannya itu. "A-apa! Cerai!" Keduanya kaget dan saling menatap satu sama lainnya. "Bagaimana kalian bisa bercerai, kalian saling mencintai dan kay. Aku merasa tak percaya dengan semua ini," ujar Clara, yang masih tak mempercayai ucapan temannya. "Tapi itu kenyataannya." Tegas Kalea. "Siapa yang mengkhianati dalam ikatan rumah tangga kalian? Apa ada orang ketiga, atau hal lainnya?" Tanya Leo. "Kay, Kay selingkuh sudah sejak dua tahun lalu. Aku selalu mendapatkan tekanan karena belum memiliki keturunan, dari Kay ataupun orangtua bahkan semua keluarganya. Bahkan Ibunya Kay sering melampiaskan kemarahannya padaku dengan menampar atau melempar barang-barang padaku, dan aku pun sudah lama pisah ranjang dengan Kay beberapa bulan sebelum kami resmi bercerai," jelas Kalea pada dua temannya. Clara langsung berpindah posisi duduk di sebelah Kalea, dia merasa temannya itu butuh pelukan karena semua yang sudah di lewatinya begitu berat tanpa sandaran juga tempat bercerita. "Kenapa kamu diam, kenapa kau tak menceritakan semuanya kepada kami? Setidaknya kau merasa lega saat membagi masalahmu pada kami, kami temanmu yang selalu ada untukmu kapanpun itu," ucap Clara sembari memeluk Kalea dari samping. "Tak apa, aku sanggup menghadapi semua ini. Yang aku bingungkan hanya saat Ayah sadar nanti, apa yang harus aku jawab jika beliau bertanya tentang Kay," kata Kalea mengungkapkan kebingungannya nanti. "Pasti beliau akan sedih karena putrinya mengalami hal buruk dalam pernikahannya." Imbuhnya. "Tak apa, perlahan saja memberitahunya. Tapi bukankah kamu dulu sudah memeriksa kan diri dan hasilnya baik, apa itu tak cukup sebagai bukti jika kamu bukan wanita mandul?" tanya Clara yang mengetahui pemeriksaan yang di lakukan oleh Kalea. "Mereka tetap bersikeras jika aku mandul dan tak mampu memiliki anak, jadi aku benar pun dimata mereka tetap saja salah." Dengan nada sendu. Leo sangat menahan amarahnya, karena melihat temannya itu di sia-siakan oleh lelaki yang berjanji akan menjaganya dalam keadaan apapun. Tapi kenyataannya, hanya pahit yang di telan oleh Kalea hingga akhir pernikahan mereka pun sang wanita yang di per salahkan. "Akan aku hajar jika aku bertemu pria brengsek itu!" Mengepalkan tangannya. "Jangan membuat masalah dengannya, aku tak apa. Aku lega sudah lepas dari pria itu, dan aku menyadari kenapa Ibu dulu tak setuju dengan kami. Ternyata firasatnya benar tentang putrinya ini, hem ... tapi aku tak boleh menyesalinya karena aku tahu Tuhan sudah merakit semua jalan hidupku dengan benar." Senyum Kalea yang mencoba tegar untuk menghadapi semuanya. Clara dan Leo menatap Kalea penuh dengan rasa iba, sungguh wanita yang dulunya di kenal manja kini menjadi sangat dewasa setelah apa yang telah di lewatinya dalam pernikahan. Bahkan tak menceritakan segala permasalahan yang menimpanya, sungguh kuat dirinya demi menjaga nama baik suaminya. "Lalu apa rencanamu? Jangan sampai menyia-nyiakan pendidikan tinggi mu itu," ujar Leo. "Benar apa yang dia katakan, kamu harus mampu membuktikan jika dirimu baik-baik saja tanpa mereka." Menyemangati temannya. "Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan, dan akan datang kesana besok untuk menyerahkan proyek yang sedang aku kerjakan. Mungkin ada rapat untuk besok, tapi aku tak selalu datang ke kantor," jelas Kalea. "Syukurlah kau memiliki pekerjaan yang baik, semoga setelah apa yang terjadi kamu mendapatkan kebahagiaan kedepannya. Kini kamu harus fokus pada kebahagiaan mu." Clara memeluk Kalea, dan di jawab dengan anggukan oleh Kalea. "Bolehkan aku ikut berpelukan?" tanya Leo sembari menatap dua wanita yang ada di depan matanya. "Tidak!" Teriak keduanya secara bersamaan. Leo memasang wajah sedih dan membuat Kalea dan Clara tertawa, mereka menghabiskan waktu cukup lama karena sudah lama sekali untuk berbagi cerita yang seru-seru. Setidaknya kehadiran mereka bisa menghibur Kalea, agar tak memikirkan rasa sakitnya dan lukanya kembali. Disisi lainnya ... Rigel tengah dalam perjalanan menuju kediaman orang tuanya, karena di undang untuk acara makan siang bersama. Tentu dia tak bisa menolak jika yang menginginkan kehadirannya adalah sang Ayah, tapi jika itu ibunya tentu saja dia akan menolak dengan seribu alasan. Karena sudah pasti sang Ibu akan mendatangkan wanita yang akan di jodohkan dengannya, itu membuat Rigel tak nyaman. "Tuan, apa ada maslaah?" Tanya Kelvin. "Tidak, hanya saja jika Ayah sudah mengundangku untuk bertemu bukankah itu ada suatu pertanda," ujar Rigel. "Maksudnya pertanda apa?" tanya kelvin yang masih bingung dengan maksud dari Tuannya. Rigel membuang nafas beratnya sembari menatap kearah luar jendela mobilnya, "Bukankah terkahir kali bertemu beliau menyerahkan proyek yang bermasalah, dan kita yang di minta untuk menyelesaikannya. Lalu apa lagi sekarang, apa beliau akan melakukan hal yang sama lagi untuk melihat kemampuan perusahaan kita." Menjelaskan dengan wajah datarnya. "Ah iya, Anda benar. Aku ingat itu, kita hampir kewalahan saat itu, tapi semuanya berhasil dengan baik atas kerja keras Anda yang mampu membalikkan keadaan. Dan mungkin hal ini yang membuat Tuan Besar semakin mempercayai Anda," ujar Kelvin. "Itu menurutmu, tapi tidak menurutku." Singkatnya. Kelvin hanya tersenyum tipis menanggapi Tuannya, mereka akhirnya sampai di kediaman Ayahnya Tuan Yama. Pintu gerbang yang tinggi dan kokoh terbuka secara otomatis, mobil mewah Rigel memasuki area rumah orang tuanya. Rigel turun dari mobilnya, beberapa pelayan dan bodyguard menyambutnya serta memberikan hormat kepadanya. Rigel memasuki kediaman orang tuanya, sementara Kelvin asistennya menunggu di luar bersama asisten lainnya. Terdengar suara orang tengah berbincang diruang keluarga, langkah kaki Rigel segera menuju keruangan itu untuk menemui semua keluarga yang jelas tengah berkumpul disana. Kedatangan Rigel di sambut dengan pelukan dari keponakannya yang berusia tiga tahun, pria itu langsung langsung mendekap dan menggendong keponakannya. "Paman, kenapa baru datang?" tanya bocah bernama Tama, dengan nada lembut. "Paman baru menyelesaikan pekerjaan, dan di jalan tadi cukup macet. Maaf ya," kata Rigel sembari meminta maaf kepada keponakannya. "Harusnya Paman membawakan sesuatu jika melakukan kesalahan padaku, tapi Paman tak membawa apapun." Keluhnya, dengan memasang wajah yang menggemaskan. "Maafkan Pamanmu Nak," ujar Daru, Kakak dari Rigel. "Paman akan mengrimkan mainan untukmu sebagai tanda maaf, bagaimana?" Tawar rigel pada keponakannya. "Baiklah, hadiahnya harus besar." Sembari mempraktekan dengan tangan mungilnya, Rigel menjawab dengan mengangguk dan melakukan tos, jika mereka deal dengan kesepakatannya. Lalu Tama turun dari gendongannya dan berlari senang, karena akan mendapatkan hadiah dari sang paman. "Apa kabar kalian?" tanya Rigel. "Kami baik, bagaimana dirimu?" tanya Daru dan istrinya. "Baik juga." Lalu mengarah ke Ayah dan Ibunya, setelah menyapa keluarganya dia lalu duduk di salah satu sofa dan menyandarkan kepalanya. "Apa kau sangat lelah?" tanya Tuan Yama. "Tentu saja, aku bahkan jarang libur kerja walaupun aku bosnya." Mengeluh pada Ayahnya. "Jika begitu menikahlah, maka semuanya akan merubah hidupmu. Kau bisa mengambil libur sesukamu jika sudah memiliki pasangan, kau sibuk hanya untuk sebuah pengalihan saja," ujar Tuan Yama. Rigel langsung mengubah posisinya, dia kini duduk tegak setelah mendengarkan kata yang Ayahnya ucapkan. Ini kali pertama sang Ayah membahas tentang hal ini, karena biasanya beliau tak membahas yang menyangkut kehidupan putranya. "Dengarkan itu, apa yang di katakan Ayah itu benar. Sampai kapan kau akan melajang, usiamu makin bertambah. Apa kau akan menikah saat sudah menjadi kakek-kakek," ledek Daru sang Kakak, yang tentu saja membuat Rigel sedikit kesal. "Ibu sudah banyak menjodohkan dengan beberapa gadis, tapi ada saja alasannya." Kesal Ibu. "Atau jangan-jangan kau ini gay?" tanya kakak iparnya, sembari tangannya menutup mulutnya. Sontak semua mata tertuju pada Aurelia istri dari Daru, "Ma-maaf, aku hanya asal menebaknya saja." Membela dirinya. "Kamu ini, jaga ucapanmu." Bisik Daru pada sang istri. Kedua orang tua Rigel menatap tajam ke arah Rigel, sementara orang yang di tatap membuang nafas kasarnya karena pertanyaan dari kakak iparnya. "Kenapa kalian menatapku seperti itu, aku masih normal. Dan aku menyukai wanita, tapi tipeku agak berbeda. Jadi mengertilah dan tunggu saja waktunya, aku masih sibuk dengan pekerjaanku," ujar Rigel, ia memilih mencari aman daripada orang tuanya berfikir yang tidak-tidak pada dirinya. Tapi dia memang pria normal, bukan seperti tebakan Kakak iparnya. "Berapa lama kami bersabar? Apa menunggu kami mati. Ingat, kami tak memandang latar wanita yang akan kamu pilih. Yang terpenting adalah dia wanita yang baik hati, jujur, menghormati orang tua, penyayang, dan tentunya setia pada pasangannya." Tuan Yama memberikan syarat untuk seseorang yang akan menjadi menantunya. "Tentu bukan begitu maksudku Ayah." Terkejut dengan ucapan sang Ayah, dari beberapa kata tadi. Sebenarnya syaratnya begitu mudah karena orang tua Rigel tak memandang latar dan pendidikan dari calon menantunya, karena yang terpenting adalah kebahagiaan putra mereka. Harta dan kekuasaan bisa di capai, tapi untuk seorang pasangan yang setia pada zaman ini sangatlah sulit. "Ayah akan memberikan waktu enam bulan, dalam waktu itu kamu harus berusaha mendapatkan wanitamu. Jika tidak, akan Ayah jodohkan dengan anak rekan Ayah. Jika kamu berhasil mendapatkan pasanganmu dalam waktu itu, Ayah akan merestui mu." Tuan Yama memberikan syarat pada Rigel untuk mencari calon istri. Pria yang sedari tadi diam dan kadang mengusap wajah atau memijat pelipisnya pun menampilkan wajah yang seolah tak percaya dengan ucapan sang Ayah, "A-apa Ayah serius, enam bulan?" tanya Rigel dengan tatapan syoknya. "Apa Ayah pernah berbohong?" tanya Tuan Yama. Rigel menggeleng, karena dia juga tahu jika Ayahnya tak pernah bohong dengan kata-katanya. Atau bahkan menarik ucapannya, beliau begitu kekeh dalam sebuah pendirian dan prinsipnya. Ini alasan Tuan Yama memanggil putra bungsunya datang kerumah, karena ingin membuat Rigel memikirkan jodohnya bukan sibuk dengan pekerjaan terus menerus. "Astaga." Keluhnya, dengan kepala di sandarkan pada bagian sandaran kursi. "Semangat!" Kedua Kakaknya memberikan semangat, namun bagi Rigel mereka seolah sedang meledeknya.Pagi itu seperti biasa Kalea membuat sarapan untuk dirinya dan suaminya yang akan berangkat kerja ke kantor, ia sudah menyajikan menu favorit suaminya seperti biasanya. Key datang dengan wajah datar, seakan ia bosan dengan suasana rumahnya. "Apa kamu akan pulang terlambat lagi?" tanya Kalea dengan nada lembutnya. "Hem." Singkatnya.Kalea tak heran dengan sikap suaminya yang cuek dan berubah padanya, tapi Kalea sungguh menghindari perdebatannya karena tak mau rumah tangganya hancur atas sikap keegoisannya. Saat akan memulai sarapan tiba-tiba bell rumah mereka berbunyi, segera tanpa menunggu Kalea menuju ke pintu untuk membukakan pintu rumahnya. Plaaaaak! Baru saja membuka pintu rumah sebuah tamparan melayang ke wajahnya, wanita itu menatap Kalea dengan penuh kemarahan. Bukan pemandangan baru bagi Kalea, ia sudah terbiasa di perlakukan oleh Ibu mertuanya seperti ini. "Aku sudah sangat muak memiliki menantu sepertimu! Sudah empat tahun menikah kenapa belum memiliki anak, atau kamu
Kalea sudah turun dari apartemen tempat dia tinggal bersama suaminya, saat ini tengah mengunggu taxi yang sudah di pesan secara online. Masih pukul delapan pagi dimana jalanan sibuk dan ramai orang akan melakukan aktifitasnya, seperti bekerja, sekolah, dan lain-lain. Tak lama ada sebuah mobil berhenti di komplek apartemen, dan ternyata itu taxi yang Kalea pesan. Segera berjalan menuju ke arah mobil itu, supir turun membantu memasukkan koper kedalam bagasi. Setelah selesai segera Kalea naik kedalam mobil di ikuti sang supir, mereka segera meninggalkan area apartemen tersebut, namun tatapan Kalea menuju kesebuah lantai dimana rumah yang sudah dia tinggali selama empat tahun bersama Kay. 'Selamat tinggal, dan terimakasih atas segala kenangan buruk. Hidup yang buruk, aku kira bisa menua bersama. Tapi kenyataannya kau tak seperti janjimu, itu hanya pemanis. Andai dulu aku mendengarkan Ibu, pasti tak akan terluka dan pahit seperti ini,' batin Kalea, hingga gedung apartemen itu tak lagi
Tak terasa sudah satu bulan berlalu, Kalea sudah resmi bercerai dari Kay yang kemarin berstatus menjadi suaminya. Kini dia harus bisa bangkit dari rasa sakitnya, karena masih ada orang yang harus dia perjuangkan yaitu Ayahnya yang masih terbaring di rumah sakit. "Astaga, aku lupa belum belanja. Lebih baik aku ke swalayan di depan sana." Menutup pintu kulkasnya yang hanya berisikan buah dan air mineral saja. Kalea segera memakai hodie nya, walaupun dia memakai baju tidur lengan panjang tapi cuaca di luar sedang begitu dingin karena angin. Setelah mengambil dompetnya, segera keluar dari rumah menuju swalayan yang tak jauh dari apartemennya. Dengan berjalan kaki akhirnya sampai di swalayan, segera dia memilih bahan sayuran dan daging. Namun tiba-tiba matanya menuju ke arah mie instant, lalu dia melihat jam tangan ternyata sudah waktunya makan malam. "Lebih baik aku memakan ini saja, masaknya besok pagi saja. Lebih cepat dan praktis." Mengambil beberapa mie instant berbagai jenis dan
Kalea tengah menunggu seseorang, mereka sudah mengirim pesan jika akan datang kerumahnya. Dengan cekatan membuatkan beberapa cemilan, karena akan ada anak kecil diantara tamunya. Saat tengah menyelesaikan pekerjaannya, bel pintu rumahnya berbunyi. Dia segera bangkit dan menghampiri pintu untuk mengetahui siapa yang datang dari layar monitornya, ternyata mereka adalah orang yang tengah di tunggu sedari tadi. "Selamat datang, masuklah," ucap Kalea saat membuka pintu, untuk menyambut kedatangan mereka dengan senyuman. Ketiga orang itu langsung masuk karena sudah di persilahkan oleh pemiliknya, mereka adalah Leo beserta anaknya. Teman Kalea tersebut menepati janjinya ingin datang kerumah, karena lama sekali mereka tak saling bersua. "Apakah kau sendiri? Dimana suamimu?" tanya Clara istri dari Leo, bukan orang lain juga karena Clara sahabat dekat Kalea seperti Leo. "Duduk saja dulu, hei tampan. Apa kau merindukanku?" tanya Kalea pada jagoan kecil temannya. "Tentu." "Hem, bisakah kau
Tak terasa sudah satu bulan berlalu, Kalea sudah resmi bercerai dari Kay yang kemarin berstatus menjadi suaminya. Kini dia harus bisa bangkit dari rasa sakitnya, karena masih ada orang yang harus dia perjuangkan yaitu Ayahnya yang masih terbaring di rumah sakit. "Astaga, aku lupa belum belanja. Lebih baik aku ke swalayan di depan sana." Menutup pintu kulkasnya yang hanya berisikan buah dan air mineral saja. Kalea segera memakai hodie nya, walaupun dia memakai baju tidur lengan panjang tapi cuaca di luar sedang begitu dingin karena angin. Setelah mengambil dompetnya, segera keluar dari rumah menuju swalayan yang tak jauh dari apartemennya. Dengan berjalan kaki akhirnya sampai di swalayan, segera dia memilih bahan sayuran dan daging. Namun tiba-tiba matanya menuju ke arah mie instant, lalu dia melihat jam tangan ternyata sudah waktunya makan malam. "Lebih baik aku memakan ini saja, masaknya besok pagi saja. Lebih cepat dan praktis." Mengambil beberapa mie instant berbagai jenis dan
Kalea sudah turun dari apartemen tempat dia tinggal bersama suaminya, saat ini tengah mengunggu taxi yang sudah di pesan secara online. Masih pukul delapan pagi dimana jalanan sibuk dan ramai orang akan melakukan aktifitasnya, seperti bekerja, sekolah, dan lain-lain. Tak lama ada sebuah mobil berhenti di komplek apartemen, dan ternyata itu taxi yang Kalea pesan. Segera berjalan menuju ke arah mobil itu, supir turun membantu memasukkan koper kedalam bagasi. Setelah selesai segera Kalea naik kedalam mobil di ikuti sang supir, mereka segera meninggalkan area apartemen tersebut, namun tatapan Kalea menuju kesebuah lantai dimana rumah yang sudah dia tinggali selama empat tahun bersama Kay. 'Selamat tinggal, dan terimakasih atas segala kenangan buruk. Hidup yang buruk, aku kira bisa menua bersama. Tapi kenyataannya kau tak seperti janjimu, itu hanya pemanis. Andai dulu aku mendengarkan Ibu, pasti tak akan terluka dan pahit seperti ini,' batin Kalea, hingga gedung apartemen itu tak lagi
Pagi itu seperti biasa Kalea membuat sarapan untuk dirinya dan suaminya yang akan berangkat kerja ke kantor, ia sudah menyajikan menu favorit suaminya seperti biasanya. Key datang dengan wajah datar, seakan ia bosan dengan suasana rumahnya. "Apa kamu akan pulang terlambat lagi?" tanya Kalea dengan nada lembutnya. "Hem." Singkatnya.Kalea tak heran dengan sikap suaminya yang cuek dan berubah padanya, tapi Kalea sungguh menghindari perdebatannya karena tak mau rumah tangganya hancur atas sikap keegoisannya. Saat akan memulai sarapan tiba-tiba bell rumah mereka berbunyi, segera tanpa menunggu Kalea menuju ke pintu untuk membukakan pintu rumahnya. Plaaaaak! Baru saja membuka pintu rumah sebuah tamparan melayang ke wajahnya, wanita itu menatap Kalea dengan penuh kemarahan. Bukan pemandangan baru bagi Kalea, ia sudah terbiasa di perlakukan oleh Ibu mertuanya seperti ini. "Aku sudah sangat muak memiliki menantu sepertimu! Sudah empat tahun menikah kenapa belum memiliki anak, atau kamu