"Kenapa dengan Dewa?" tanya Tita mendengar Wina menggumam nama itu.
"Dia mau ngajak aku ketemuan nanti istirahat, Ta."
"Hah, tumben. Lihat kerjaanmu masih numpuk, Win. Apa siang ini bisa selesai?" kata Tita mengingatkan.
"Huh, bagaimana dong. Aku takut jika Dewa marah?"
"Marah? Bukannya Dewa itu orang yang ramah?" heran Tita. Selama ini dia tidak pernah melihat Dewa bermuka jutek pada siapapun.
Wina tersenyum simpul menjawab keraguan Tita. Ia memaklumi apa yang dilihat oleh sahabatnya itu. Dewa tipikal orang yang ramah jika bertemu teman dan orang lain. Sangat berbanding terbalik, jika bersama dirinya, Dewa menjadi orang arogan dan semaunya sendiri.
Apalagi di saat ada masalah seperti ini, Wina sangat tidak nyaman bertemu dengan Dewa. Ia sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi.
Tapi tumpukan kertas didepannya lebih membutuhkan atensinya saat ini. Bos pasti akan menanyakan sebelum meeting siang ini.
'Aku harus segera menyelesaikan ini,' tekad Wina langsung berkutat dengan lembaran kertas. Melupakan menjawab pesan Dewa.
Persis saat jam makan siang, Wina masih menyelesaikan dua pertiga kerjaannya. Tak lupa, ia titip pesan makanan pada Tita karena tanggung untuk keluar.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Wina melihat layar. Panggilan dari Dewa!
Ia menepuk dahi. Dirinya benar-benar lupa membalas pesan. Dengan hati bimbang, akhirnya ponsel itu diangkat. "Assalamualaikum, Wa? Maaf, aku dari tadi sibuk."
"Waalaikumsalam. Aku sudah sampai di depan kantormu. Malam nanti aku tidak bisa ketemuan denganmu, ada yang harus dikerjakan."
Wina terperanjat kaget. Ia tak mengira Dewa sudah sampai di depan kantor. Tapi pekerjaan di depannya menuntut harus segera diselesaikan. "Tolong beri aku waktu tiga puluh menit lagi. Aku sedang merampungkan pekerjaan."
"Pikirkan terus pekerjaanmu!" sewot Dewa.
Telepon terputus.
Detik itu juga, Wina tak bisa berpikir, otaknya buntu. Dengan menghela napas kasar, ia bergegas menyelesaikan tugasnya. Alarm ia setting untuk setengah jam ke depan.
Tita masuk membawa makanan tepat saat pekerjaan Wina rampung. Alarm berbunyi dan langsung dimatikan.
"Ini Win makananmu. Eh, itu Dewa udah di depan kantor aja?" celetuk Tita.
Wina tak menjawab. Ia langsung bangkit dari kursi sambil menerima kotak makanan dari Tita. "Kembaliannya buatmu aja, Ta. Oh ya, aku nitip data ini, serahkan ke pak Bos. Dewa sudah nunggu."
"Oke-oke."
Wina bergegas setengah berlari keluar kantor. Ia tak mau melihat wajah jutek Dewa semakin menjadi.
"Hai, Wa. Maaf, baru saja selesai," sapa Wina saat bertemu di tempat parkir.
"Kau diberi waktu istirahat berapa menit?" sahut Dewa ketus tanpa menghiraukan permintaan maaf dari kekasihnya.
Wina melongok jam tangannya. "Kurang dari tiga puluh menit lagi."
Dewa menaruh helmnya kasar di spion motor. Ia turun dan berjalan keluar kantor. Wina hanya bisa mengurut dada dan mengikutinya.
Hari ini salah satu hari tersedih menurut Wina. Pagi-pagi ayahnya sudah mengultimatum dirinya, pekerjaan menumpuk dan Dewa juga marah-marah. Andaikan waktu bisa dihentikan, ingin rasanya ia pulang ke kos, rebahan di kasur menenangkan batinnya.
"Soto satu, Bang," pesan Dewa begitu masuk warung soto tanpa mempedulikan Wina di sampingnya.
"Iya, Mas." Penjual soto itu menengok ke arah Wina. Ia membatin aneh, jika pengunjung datang berdua tapi yang pesan makan cuma satu. Apalagi ia hapal dengan Wina yang sering datang bersama Tita ke warung.
Wina tersenyum kaku ke arah penjual soto. Ia jengah dipandang aneh oleh abang soto.
"Dua es teh ya, Bang. Tadi aku sudah dibelikan makanan sama Tita," sambung Wina.
"Oh, iya, Mbak." Penjual soto itu pun tersenyum mengangguk.
Begitu soto disajikan, Dewa makan dengan lahapnya. Tak menawari Wina sama sekali.
Ingin rasanya Wina lari dari warung soto, kembali ke kubikel ruang kerjanya. Ia sudah tak tahan menghadapi sikap Dewa yang berulang kali seperti ini jika marah. Selama ini dirinya sangat menjaga perasaan Dewa. Sedangkan perasaannya selalu ia korbankan untuk orang lain. Matanya sudah membayang. Segera dihapus air matanya.
Usai Dewa makan, Wina langsung menanyakan tujuannya datang di saat siang begini. Walau dirinya sudah bisa menebak apa itu. Waktu semakin berjalan. Meeting akan dimulai sebentar lagi.
"Aku ditelepon ayahmu tadi," kata Dewa.
Wina berusaha diam. Dirinya ingin mendengar apa yang disampaikan oleh lelaki yang ia cintai ini.
"Rupanya ayahmu tipe pemaksa. Sudah jelas aku belum lulus kuliah, sudah mempermasalahkan soal kerjaan. Apa aku tidak punya kaki untuk mengatur hidupku sendiri. Rasanya juga aneh beliau mengaturku. Secara aku bukan anaknya," sambung Dewa.
"Bukan begitu. Beliau memikirkan masa depanku. Makanya sampai menawarimu pekerjaan," sahut Wina.
"Bukan menawari. Tapi memaksa!" sinis Dewa.
Wina tak tahu lagi menghadapi 'harimau' satu ini. Terbersit dalam hati, membenarkan apa yang dikatakan ayahnya. Sudah berkali, ia ingin menyerah dengan sifat Dewa.
"Aku ingin membahagiakan kamu dengan caraku sendiri, Win," ucap Dewa.
Seketika hati Wina luluh. Ia paling tidak bisa jika Dewa sudah bicara tentang hubungan mereka.
"Kau jawab apa tadi waktu ditelepon ayah?" tanya Wina penasaran.
"Aku bilang akan mencari pekerjaan setelah lulus kuliah nanti. Apa itu salah?"
Wina terdiam. Sungguh ia terjebak diantara dua pria yang menyayanginya. Maksud ayahnya baik. Dan ia juga tak menyalahkan pendirian Dewa.
"Aku puas, Win, jika bisa mendapatkan apa yang kuinginkan dengan kakiku sendiri. Mungkin ayahmu khawatir jika anak gadisnya tak bisa makan, jika hidup bersamaku," sambung Dewa.
"Masalahnya bukan itu saja, Dewa Mahajana. Ayahku sudah terlanjur sakit hati dengan jawabanmu tadi," terang Wina.
"Apa? Jadi ... ayahmu sudah tidak simpatik denganku lagi gara-gara masalah kerjaan?"
Wina mengangguk.
"Owh. Aku jadi semakin tahu seperti apa ayahmu--"
"Cukup, Wa. Aku juga tidak mau ayahku dicap buruk oleh kamu," potong Wina cepat.
"Jadi menurutmu, lebih baik aku yang dicap buruk oleh ayahmu," jawab Dewa sarkas.
"Wa ... kenapa kau jadi salah sangka begitu. Aku sampai bingung harus bicara apa sama kamu. Sudah cukup!"
"Oke. Sekarang silakan pilih aku atau ayahmu?" tanya Dewa tak mau kalah.
Wina terperanjat. Ia tak menyangka jika Dewa mampu membuat pilihan yang sulit untuk dirinya. "Maksudmu apa? Kau jangan menghadapkan aku pada pilihan yang sulit," pintanya dengan air mata hampir tumpah.
"Aku tak akan memenuhi permintaan ayahmu, Win. Dan pastinya ayahmu sudah tidak mau melihatku lagi. Apalah aku yang masih kuliah, tidak lulus-lulus. Pekerjaan belum ada. Pastilah ayahmu kepikiran dengan kehidupanmu selanjutnya. Kau bisa memikirkan ini tidak?" cecar Dewa.
Dewa Mahajana adalah kakak tingkat Wina Santika di kampus yang sama di kota ini. Mereka beda jurusan. Wina berhasil merampungkan kuliah selama empat tahun. Sedangkan Dewa saat ini sedang menyelesaikan tugas akhirnya. Keberuntungan berada di pihak Wina, saat lulus kuliah dia langsung diterima kerja.
"Lalu aku harus bagaimana," sahut Wina pelan. Ia sudah tak tahu jalan keluar apa lagi untuk masalah ini.
"Kau bilang mencintai aku, bukan?" tanya Dewa pelan pada akhirnya.
Wina menghela napas panjang. Ia paling tidak kuat diberi pertanyaan seperti ini. Seakan mengingatkan akan janji mereka berdua saat pertama kali berikrar saling mencinta selamanya.
"Ya," sahut Wina pelan.
"Baiklah. Kalau memang kau mencintai aku, kita menikah segera ... tanpa restu orangtuamu," pinta Dewa dengan tatapan meyakinkan.
Wina terperanjat!
"Ti-tidak bisa begitu, Wa." Wina keberatan. Tak mungkin ia meninggalkan orang tua yang sangat berjasa dalam kehidupannya."Kau bisa tinggal dirumah orangtuaku atau mungkin nanti kita kos bersama," cetus Dewa.Wina membayangkan apa yang diusulkan oleh kekasihnya itu. Tapi hidup bersama dengan mertua, masih jauh dari bayangan. Ia masih bisa memaklumi usul Dewa yang kedua, tinggal bersama di kos sebagai awal kehidupan mereka pasca menikah. Terbayang keuangannya saat ini. Walaupun sekarang gaji yang didapat cukup untuk dirinya, bukan berarti itu akan cukup untuk hidup berdua, terlebih setelah punya anak nanti."Aku belum punya bayangan," jawab Wina."Lalu?" tanya Dewa menatapnya dingin."Ah. Sudahlah. Masalah ini bisa kita selesaikan besok. Aku sudah terlambat untuk meeting. Kamu hati-hati kalau pulang," pungkas Wina sambil beranjak meninggalkan Dewa yang masih mematung di bangku warung."Huuuhhh." Dewa menggaruk rambutnya yang tidak gatal.Jam sudah menunjukkan lewat sepuluh menit dari j
Wina terkejut mendengar perkataan ayahnya. Air mata seakan tak pernah habis menguras emosinya sedari tadi. Seketika rumah ini menjadi tempat yang asing. Ia langsung mengambil tas tanpa sepengetahuan orang tuanya. Di depan rumah, ia bertemu dengan Ria yang masih bermain bersama anaknya, Asya, di taman."Mau ke mana, Win?" tanya Ria mendekat, langsung terburu menggendong Asya."Aku balik kos, Kak." Wina langsung mencium pipi Asya. Sebenarnya ia masih kangen dengan keponakannya ini, tapi sikap ayahnya benar-benar di luar harapan. Melihat tantenya akan pulang, anak kecil berumur tiga tahun itu langsung memeluknya."Balik kos? Hei, cerita ada apa?" Ria benar-benar kaget dengan jawaban adiknya. Ia menduga pasti ada sesuatu yang pelik. Ada masalah antara Wina dan ayah."Sudah, Kak. Aku tak sanggup menghadapi ayah. Lebih baik aku yang mengalah." Wina mencium Asya sekali lagi dan bergegas menjauh."Win, tunggu, Win!" panggil Ria.Terlambat, Wina melangkah cepat dan langsung mencegat ojek onl
"Apa? Menikah?" lirih Wina. Tak menyangka Dewa akan membulatkan tekadnya."Iya. Kenapa? Kau tak siap?" tanya Dewa."Bukannya aku tak siap, tapi ... aku tetap butuh restu orang tuaku," jawab Wina pelan."Restu? Nyatanya ayahmu tidak setuju dengan hubungan kita, mau bagaimana lagi? Yang terpenting kita saling cinta, kan?" harap Dewa.Dewa tak mau wanita ini dalam rengkuhan orang tuanya terus menerus. Dirinya yakin bisa memberikan kebahagiaan pada Wina. Toh, pikirnya apalagi yang diharapkan oleh dua orang yang memadu kasih kalau bukan bersatu dalam ranjang dan saling mengerti. Ia tak mau membuat sulit hubungan ini. Apalagi masalah restu. Jauh dari pemikirannya.Berbeda dengan Wina. Ia sangat takut akan pernikahan tanpa restu orang tua. Tak pernah terbayang dalam benaknya selama ini jika ia harus menjalani sesuatu yang menakutkan, yang selalu ia anggap tabu. Menikah tanpa restu!"Kamu tidak usah khawatir. Jika kita sudah menikah nanti dan anak kita lahir. Ayahmu pasti akan luluh melihat c
"Kau kira uang ini cukup untuk beli lauk satu bulan?!" sengit Lestari. Tangannya mengacungkan lembaran uang sembari membelalakkan mata, alisnya terangkat, menyiratkan rasa tak suka pada anggota baru di rumahnya.Melihat amarah Lestari, Wina tak berkutik. Ia menggapai tangan Dewa meminta perlindungan."Nanti Dewa tambahin, Bu. Tenang aja," redam Dewa melirik sekilas ke arah Wina."Nah, gitu dong," sahut Lestari, intonasinya melunak.Selera makan Wina tiba-tiba hilang. Dirinya tak menyangka ibunda Dewa bersikap seperti itu. Rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dada membuatnya segera pamit meninggalkan ruangan itu. "Permisi, saya ke kamar dulu."Mereka yang ada di meja makan tidak menyahut sedikit pun. Wina bergegas menuju kamar. Tak ada gunanya berlama-lama di ruang itu."Dewa, jangan lupa nasihati istrimu untuk melakukan pekerjaan dapur juga. Jangan hanya di kamar," tegur Krisna."Iya, Pa. Mungkin dia lelah karena acara tadi," jawab Dewa.Semua terdiam. Dewa beranjak meninggalkan ruang
Tulang Wina serasa mau lepas. Tak menyangka pagi ini akan mengalami kejadian beruntun yang menyesakkan jiwa.Bos beranjak pergi dengan sorot mata garang dari hadapan Wina yang tercekat tak tahu harus bicara apa.Tita langsung menghambur memeluk sahabatnya. "Kenapa kamu datang hari ini sih, Win?" ucapnya menyesalkan kedatangan Wina.Wina tak menjawab. Masih berusaha memahami kejadian bertubi yang menimpanya. Selain rumah mertua bagai neraka, kini pekerjaan satu-satunya sebagai tumpuan hidup, tak memberinya harapan. Air mata sampai-sampai tak bisa keluar, seakan sudah terkuras habis. Akhirnya, ditemani Tita, ia menuju ruang HRD, menerima surat pemecatan serta gaji terakhirnya."Win, apapun yang terjadi, kita harus sering komunikasi ya," harap Tita.Wina hanya mengangguk. Tubuhnya masih lemas. Tita memeluknya erat dan mengantar hingga depan kantor."Sudah, Ta. Kembali ke ruangan aja. Jangan sampai kamu dimarahi bos juga," ucap Wina.Tita mengangguk. Namun, rasa tak tega membuat air matan
Wina tersentak kaget. Tak mengira Dewa akan bersikap seperti itu. Alih-alih merasa senang jika istrinya mengunjungi rumah kakaknya, ini malah langsung disuruh pulang.Ria kebetulan melongok ke dalam kamar. Wina memberi kode pada kakaknya jika Dewa sedang menelepon. Ria mengangguk dan melangkah menjauh.“Kalau memang menyuruhku pulang, kenapa kau tak menjemputku?” tanya Wina pelan agar tak terdengar Ria.“Kau sendiri yang ke sana, kenapa aku yang disuruh jemput. Bisa mikir nggak, sih?”“Aku di rumah kakakku, Wa.” Wina menekankan sekali lagi, menahan rasa kesal."Aku tak peduli. Pokoknya sekarang kau pulang naik ojek online atau taksi. Aku sedang sibuk." Telepon Dewa langsung terputus.Wina menghela napas panjang. 'Pria ini sungguh egois. Percuma aja berdebat di telepon. Yang ada hanyalah alasan dan alasan.'Ia melangkah keluar dan melihat bang Ramon baru tiba di rumah dan menggendong Asya."Hai, Win. Apa kabar?" sapa Ramon begitu melihat adik iparnya."Baik, Bang. Abang sehat?""Sepert
"Aku harus dapat kerja hari ini! Jika pekerjaan itu kudapat, pasti Wina akan sangat bergantung padaku dan mudah takluk!" tekad Dewa kala berjalan menyusuri trotoar sambil mendekap erat map berkas data diri. Masih tersisa di ingatannya kejadian kemarin. Maka siasat demi siasat disusun demi merebut hati Wina kembali. Debu bergulung menyapu jalanan. Ia berkali-kali harus merapikan rambutnya yang terkena empasan angin.Sudah tiga perusahaan Dewa datangi hari ini. Tak satu pun memberi kesempatan padanya untuk sekedar wawancara. Rasa gundah mulai melanda. Ia melihat benda melingkar di tangan. 'Sudah jam setengah sepuluh, aku harus bergegas. Semoga usahaku sekali lagi memberiku peluang,' harapnya.Di hadapannya kini berdiri sebuah gedung megah dengan arsitektur modern. Tak ingin menunda-nunda, dengan rasa percaya diri, ia melangkah masuk ke halaman kantor tersebut. Setelah bertanya lowongan pekerjaan pada satpam, ia diarahkan ke bagian resepsionis. Dengan menggenggam asa, penuh semangat ia
Wina benar-benar syok, tak menyangka Dewa tega mengucapkan itu. Batinnya menjerit, 'Di mana nuranimu, Wa!'Air matanya membayang mengingat ayahnya yang masih sakit. Entah, mulutnya tiba-tiba kelu untuk menanyakan apa maksud suaminya berkata seperti itu. "Sudah sana, hati-hati di jalan," pungkas Dewa tersenyum sekilas dan langsung meninggalkan kawasan terminal.Bulir air bening yang mengalir, langsung diusap. Wina tak mau orang lain melihat kesedihan di wajahnya. Tak lama lagi, ia akan bertemu ayah dan ibu. Tak elok jika raut mukanya menampakkan kesedihan. Senyum kecil tersungging demi menguatkan hati. Langkahnya ringan menuju area bus tujuan kota kelahirannya. Di perjalanan, ia melihat pemandangan dari balik jendela sambil merangkum segala peristiwa yang telah terjadi akhir-akhir ini. Protes Fahri, pernikahannya yang tanpa restu, sikap Dewa setelah menikah, penerimaan mertua, dan pemecatan dirinya. Sekarang dirinya pulang untuk bertemu ayahnya yang jatuh sakit. Harapannya hanya sat