Ponsel bergetar sedari tadi di laci kerja. Awalnya Wina mengacuhkan karena disangkanya getar alarm. Tapi, sudah berapa kali getar itu tak juga berhenti.
Sudah peraturan di kantor, jika semua ponsel harus dalam mode getar atau silent. Kalau tidak, pasti wajah bosnya berubah jadi monster yang siap melumat siapa saja bawahannya yang tidak mengikuti aturan.
Karena kesal, Wina meletakkan pulpen di meja. Mengesampingkan data manual yang harus ia selesaikan siang ini. Dalam hati penasaran kenapa ponselnya tak henti bergetar? Ditariknya laci putih itu.
Terjawab sudah. Nama 'Ayah' terpampang di layar ponsel. Wina tak berkedip beberapa saat.
'Aneh. Ayah jarang menghubungiku bahkan hampir tidak pernah. Sejauh ini, beliau hanya nimbrung berbicara jika ibu meneleponku.'
Wina melihat suasana sekitar. Tampak lengang. Tita disebelahnya masih sibuk menginput data di laptop.
“Ta, aku ke kamar mandi sebentar,” kata Wina.
Tita menoleh dan melihat Wina menunjuk ponselnya tanda ia mau mengangkat telepon. Tita langsung mengangguk paham.
Begitu di depan wastafel kamar mandi, panggilan ayahnya telah berakhir. Wina langsung menelepon balik. Tak lama kemudian, terdengar suara berat dari seberang.
"Kamu masih sibuk, Nak?"
Wina hapal jika ayahnya akan membicarakan sesuatu yang penting pasti awalnya sudah menanyakan kesibukannya. "Tidak, Yah. Maafkan jika ayah menunggu lama, karena di kantor ponsel harus disetel dalam mode getar."
"Oh iya, ayah lupa. Maafkan jika tak bisa menunggu kau pulang kerja untuk membicarakan ini."
Wina tercenung. Entah kenapa jantungnya bertalu hebat. Ia tepis segala kemungkinan buruk yang muncul.
“Tapi, aku harap kamu benar-benar memahami jika apa Ayah sampaikan ini demi masa depan kamu,” sambung Fahri, ayah Wina.
Wina tetap terdiam. Ia sudah pasrah mendengar apa yang disampaikan ayahnya.
"Ayah minta mulai detik ini, putuskan hubunganmu dengan Dewa."
'Apa?' Kalimat itu terasa tamparan keras buat Wina. Ini aneh! Bukankah, hubunganku dan Dewa selama ini baik-baik saja? Dan ayah tahu itu!
“Ke-kenapa, Ayah?” Wina tak bisa menguasai bulir air yang tiba-tiba jatuh dari mata indahnya. Sungguh, kalimat Fahri membuatnya terbawa emosi tanpa sadar.
"Dewa tidak mencintaimu!"
Wina semakin tidak mengerti dengan alasan yang dikemukakan ayah. "Bagaimana ayah bisa menuduh Dewa seperti itu? Empat tahun aku menjalin kasih dengannya dan ayah juga sudah mengenal Dewa. Kenapa?" isaknya.
"Kamu tidak usah menangisi lelaki macam dia. Kau tahu kenapa ayah bisa mengatakan hal ini? Dewa tidak memikirkan masa depanmu. Yang dia pikirkan hanya dunianya saja. Laki-laki egois seperti itu hanya akan menyiksamu nanti, Win!"
"Masa depan apa? Aku tak mengerti maksud ayah?"
"Dia tak mau menerima tawaran untuk bekerja di perusahaan terbaik yang ayah usulkan. Malah penjelasannya semakin meyakinkan dia bukan yang terbaik untukmu!"
'Apa? Pekerjaan?!' kaget batin Wina. Kini dia tahu alasan ayahnya.
Tapi, bukankah biar Dewa saja yang mempertimbangkan hal itu? Tapi, sisi hatinya berkata lain. Ayah sedang memikirkan masa depan!
"Lalu, apa jawaban Dewa, Yah?"
"Anak tak tahu diri itu berkata, 'saya mau mencari kerja dengan kaki saya sendiri'. Memangnya dia bisa apa? Kuliah saja belum selesai! Harusnya dia malu padamu yang sudah bekerja."
“Biarlah dia buktikan kalau dia mampu, Yah?”
"Mampu? … oke! Sampai kapan kau mau bertahan menunggunya mampu?"
Tenggorokan Wina tercekat. Tak mampu menjawab pertanyaan berat itu.
“Kalau kau bertanya, kenapa baru sekarang aku memperingatkanmu? Karena selama empat tahun kau menjalin kasih dengannya tidak sekalipun kulihat sosok Dewa itu tanggap dengan keadaan sekitar, hanya bermalas-malasan. Bertandang ke rumah saat aku sibuk, dia hanya ongkang-ongkang duduk. Apa dia tidak malu sebagai calon menantu berbuat seperti itu. Aku sebagai orang tuamu mengamati hal kecil seperti itu, Win! Itu bukan hal sepele. Jelas itulah karakter dia."
Dalam hati Wina membenarkan apa yang menjadi alasan Fahri sampai marah di telepon saat ini. Beberapa kali pula, saat Wina main ke rumah Dewa, lelaki itu malah rebahan di pangkuan ibunya. Batinnya merasakan sesuatu yang janggal, tidak seharusnya lelaki dewasa berdiam diri seperti itu saat ada orang lain bertamu. Tapi, lagi-lagi ditepiskan prasangka buruknya itu. Ia sangat sayang pada Dewa.
“Nanti Wina akan peringatkan dia, Ayah,” jawab Wina berharap ayahnya menurunkan emosi.
"Baiklah. Tapi, ingat! Kalau kau bisa mengubahnya pun sudah hilang simpati ayah padanya. Aku sudah memperingatkanmu, Win."
Telepon langsung terputus. Wina menghela napas panjang. Ia tak pernah membayangkan ada kejadian seperti ini. Syok!
Dengan mengusap air mata, ia kembali ke ruang kerja. Kertas-kertas yang masih bertebaran di meja, benar-benar menambah stres kali ini.
Tita yang melihat sahabatnya tampak lemas, langsung menghentikan kesibukannya. "Kamu kenapa, Win? Sakit?"
Wina hanya menggeleng pelan.
“Ditelepon siapa?” Tita tambah penasaran.
"Ayah."
"Bagus, dong. Kamu lama tak pulang ke rumah. Kenapa malah lemas begitu?"
Wina saat ini bekerja di suatu perusahaan bonafide di kota besar. Rumahnya berada jauh di kota kecil, sejauh dua jam perjalanan. Tentunya, sekarang ia harus ngekos dekat kantor untuk memangkas ongkos perjalanan. Dan hanya bisa pulang rumah paling sering seminggu sekali.
“Kenapa ya, Ta, orang tua selalu ikut campur pilihan anaknya?” tanya Wina, menatap kertas di depannya.
Alis Tita berkerut. "Campur tangan hubunganmu dengan Dewa?"
Wina mengangguk. Tubuhnya terasa lemas setelah menerima telepon dari Fahri.
Tita tertegun. Kini ia paham alasan Wina. Perlahan ia menggeser kursi kerjanya. "Boleh tidak aku memberi masukan?" tanya ia pelan.
Wina menoleh ke sahabat yang dikenalnya sejak pertama kali masuk di perusahaan ini. Ia mengangguk menjawab pertanyaan Tita.
"Aku punya cerita. Ini kakakku yang mengalaminya. Dia itu dulu tergolong sangat menjaga hati dari pria manapun. Prinsipnya, cintanya akan diberikan pada lelaki yang suatu saat ia cintai. Karena umur semakin bertambah, dia belum punya pilihan, akhirnya papa mamaku menjodohkan kakakku dengan seseorang. Wah, saat itu benar-benar titik terendah kakakku. Ia menangis tak henti-hentinya di kamar. Kakakku bilang kalau hatinya yang selama ini ia jaga, kenapa diberikan pada lelaki yang belum pernah dikenalnya sama sekali. Aku sudah protes ke papa mama, tapi beliau tak menggubris. Beliau mengatakan pernikahan harus dilaksanakan," urai Tita dengan mengedikkan bahu.
"Lalu?" Wina benar-benar penasaran dengan kelanjutan cerita Tita.
"Akhirnya kakakku tetap menikah dengan lelaki itu, Win. Tapi, kau tahu apa yang terjadi setelah itu?"
Wina menggeleng. Tetapi matanya menyiratkan antusias menunggu kelanjutan cerita mengalir dari mulut sahabatnya.
"Kakakku ternyata bahagia pada akhirnya!"
"Kok bisa?" Wina tak mengerti kenapa perjodohan bisa berakhir menjadi kebahagiaan.
"Pilihan orangtuaku tepat untuknya, Win. Memang kadang kita benci setengah mati saat orang tua bilang tidak boleh ini, tidak boleh itu. Tapi percayalah, ada sesuatu yang kita belum tahu apa maksudnya. Mereka sudah makan asam garam kehidupan."
Wina tercenung. Ia sekarang mengalami dilema besar. Harus memilih antara ayahnya atau Dewa.
Belum selesai melamun, notif pesannya berbunyi. Wina langsung meraih ponsel dan menggeser layar.
Dewa: Aku harus bertemu denganmu saat istirahat kantor.
Wina menggumam tanpa sadar, "Dewa."
"Kenapa dengan Dewa?" tanya Tita mendengar Wina menggumam nama itu."Dia mau ngajak aku ketemuan nanti istirahat, Ta.""Hah, tumben. Lihat kerjaanmu masih numpuk, Win. Apa siang ini bisa selesai?" kata Tita mengingatkan."Huh, bagaimana dong. Aku takut jika Dewa marah?""Marah? Bukannya Dewa itu orang yang ramah?" heran Tita. Selama ini dia tidak pernah melihat Dewa bermuka jutek pada siapapun.Wina tersenyum simpul menjawab keraguan Tita. Ia memaklumi apa yang dilihat oleh sahabatnya itu. Dewa tipikal orang yang ramah jika bertemu teman dan orang lain. Sangat berbanding terbalik, jika bersama dirinya, Dewa menjadi orang arogan dan semaunya sendiri.Apalagi di saat ada masalah seperti ini, Wina sangat tidak nyaman bertemu dengan Dewa. Ia sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi.Tapi tumpukan kertas didepannya lebih membutuhkan atensinya saat ini. Bos pasti akan menanyakan sebelum meeting siang ini. 'Aku harus segera menyelesaikan ini,' tekad Wina langsung berkutat dengan lemba
"Ti-tidak bisa begitu, Wa." Wina keberatan. Tak mungkin ia meninggalkan orang tua yang sangat berjasa dalam kehidupannya."Kau bisa tinggal dirumah orangtuaku atau mungkin nanti kita kos bersama," cetus Dewa.Wina membayangkan apa yang diusulkan oleh kekasihnya itu. Tapi hidup bersama dengan mertua, masih jauh dari bayangan. Ia masih bisa memaklumi usul Dewa yang kedua, tinggal bersama di kos sebagai awal kehidupan mereka pasca menikah. Terbayang keuangannya saat ini. Walaupun sekarang gaji yang didapat cukup untuk dirinya, bukan berarti itu akan cukup untuk hidup berdua, terlebih setelah punya anak nanti."Aku belum punya bayangan," jawab Wina."Lalu?" tanya Dewa menatapnya dingin."Ah. Sudahlah. Masalah ini bisa kita selesaikan besok. Aku sudah terlambat untuk meeting. Kamu hati-hati kalau pulang," pungkas Wina sambil beranjak meninggalkan Dewa yang masih mematung di bangku warung."Huuuhhh." Dewa menggaruk rambutnya yang tidak gatal.Jam sudah menunjukkan lewat sepuluh menit dari j
Wina terkejut mendengar perkataan ayahnya. Air mata seakan tak pernah habis menguras emosinya sedari tadi. Seketika rumah ini menjadi tempat yang asing. Ia langsung mengambil tas tanpa sepengetahuan orang tuanya. Di depan rumah, ia bertemu dengan Ria yang masih bermain bersama anaknya, Asya, di taman."Mau ke mana, Win?" tanya Ria mendekat, langsung terburu menggendong Asya."Aku balik kos, Kak." Wina langsung mencium pipi Asya. Sebenarnya ia masih kangen dengan keponakannya ini, tapi sikap ayahnya benar-benar di luar harapan. Melihat tantenya akan pulang, anak kecil berumur tiga tahun itu langsung memeluknya."Balik kos? Hei, cerita ada apa?" Ria benar-benar kaget dengan jawaban adiknya. Ia menduga pasti ada sesuatu yang pelik. Ada masalah antara Wina dan ayah."Sudah, Kak. Aku tak sanggup menghadapi ayah. Lebih baik aku yang mengalah." Wina mencium Asya sekali lagi dan bergegas menjauh."Win, tunggu, Win!" panggil Ria.Terlambat, Wina melangkah cepat dan langsung mencegat ojek onl
"Apa? Menikah?" lirih Wina. Tak menyangka Dewa akan membulatkan tekadnya."Iya. Kenapa? Kau tak siap?" tanya Dewa."Bukannya aku tak siap, tapi ... aku tetap butuh restu orang tuaku," jawab Wina pelan."Restu? Nyatanya ayahmu tidak setuju dengan hubungan kita, mau bagaimana lagi? Yang terpenting kita saling cinta, kan?" harap Dewa.Dewa tak mau wanita ini dalam rengkuhan orang tuanya terus menerus. Dirinya yakin bisa memberikan kebahagiaan pada Wina. Toh, pikirnya apalagi yang diharapkan oleh dua orang yang memadu kasih kalau bukan bersatu dalam ranjang dan saling mengerti. Ia tak mau membuat sulit hubungan ini. Apalagi masalah restu. Jauh dari pemikirannya.Berbeda dengan Wina. Ia sangat takut akan pernikahan tanpa restu orang tua. Tak pernah terbayang dalam benaknya selama ini jika ia harus menjalani sesuatu yang menakutkan, yang selalu ia anggap tabu. Menikah tanpa restu!"Kamu tidak usah khawatir. Jika kita sudah menikah nanti dan anak kita lahir. Ayahmu pasti akan luluh melihat c
"Kau kira uang ini cukup untuk beli lauk satu bulan?!" sengit Lestari. Tangannya mengacungkan lembaran uang sembari membelalakkan mata, alisnya terangkat, menyiratkan rasa tak suka pada anggota baru di rumahnya.Melihat amarah Lestari, Wina tak berkutik. Ia menggapai tangan Dewa meminta perlindungan."Nanti Dewa tambahin, Bu. Tenang aja," redam Dewa melirik sekilas ke arah Wina."Nah, gitu dong," sahut Lestari, intonasinya melunak.Selera makan Wina tiba-tiba hilang. Dirinya tak menyangka ibunda Dewa bersikap seperti itu. Rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dada membuatnya segera pamit meninggalkan ruangan itu. "Permisi, saya ke kamar dulu."Mereka yang ada di meja makan tidak menyahut sedikit pun. Wina bergegas menuju kamar. Tak ada gunanya berlama-lama di ruang itu."Dewa, jangan lupa nasihati istrimu untuk melakukan pekerjaan dapur juga. Jangan hanya di kamar," tegur Krisna."Iya, Pa. Mungkin dia lelah karena acara tadi," jawab Dewa.Semua terdiam. Dewa beranjak meninggalkan ruang
Tulang Wina serasa mau lepas. Tak menyangka pagi ini akan mengalami kejadian beruntun yang menyesakkan jiwa.Bos beranjak pergi dengan sorot mata garang dari hadapan Wina yang tercekat tak tahu harus bicara apa.Tita langsung menghambur memeluk sahabatnya. "Kenapa kamu datang hari ini sih, Win?" ucapnya menyesalkan kedatangan Wina.Wina tak menjawab. Masih berusaha memahami kejadian bertubi yang menimpanya. Selain rumah mertua bagai neraka, kini pekerjaan satu-satunya sebagai tumpuan hidup, tak memberinya harapan. Air mata sampai-sampai tak bisa keluar, seakan sudah terkuras habis. Akhirnya, ditemani Tita, ia menuju ruang HRD, menerima surat pemecatan serta gaji terakhirnya."Win, apapun yang terjadi, kita harus sering komunikasi ya," harap Tita.Wina hanya mengangguk. Tubuhnya masih lemas. Tita memeluknya erat dan mengantar hingga depan kantor."Sudah, Ta. Kembali ke ruangan aja. Jangan sampai kamu dimarahi bos juga," ucap Wina.Tita mengangguk. Namun, rasa tak tega membuat air matan
Wina tersentak kaget. Tak mengira Dewa akan bersikap seperti itu. Alih-alih merasa senang jika istrinya mengunjungi rumah kakaknya, ini malah langsung disuruh pulang.Ria kebetulan melongok ke dalam kamar. Wina memberi kode pada kakaknya jika Dewa sedang menelepon. Ria mengangguk dan melangkah menjauh.“Kalau memang menyuruhku pulang, kenapa kau tak menjemputku?” tanya Wina pelan agar tak terdengar Ria.“Kau sendiri yang ke sana, kenapa aku yang disuruh jemput. Bisa mikir nggak, sih?”“Aku di rumah kakakku, Wa.” Wina menekankan sekali lagi, menahan rasa kesal."Aku tak peduli. Pokoknya sekarang kau pulang naik ojek online atau taksi. Aku sedang sibuk." Telepon Dewa langsung terputus.Wina menghela napas panjang. 'Pria ini sungguh egois. Percuma aja berdebat di telepon. Yang ada hanyalah alasan dan alasan.'Ia melangkah keluar dan melihat bang Ramon baru tiba di rumah dan menggendong Asya."Hai, Win. Apa kabar?" sapa Ramon begitu melihat adik iparnya."Baik, Bang. Abang sehat?""Sepert
"Aku harus dapat kerja hari ini! Jika pekerjaan itu kudapat, pasti Wina akan sangat bergantung padaku dan mudah takluk!" tekad Dewa kala berjalan menyusuri trotoar sambil mendekap erat map berkas data diri. Masih tersisa di ingatannya kejadian kemarin. Maka siasat demi siasat disusun demi merebut hati Wina kembali. Debu bergulung menyapu jalanan. Ia berkali-kali harus merapikan rambutnya yang terkena empasan angin.Sudah tiga perusahaan Dewa datangi hari ini. Tak satu pun memberi kesempatan padanya untuk sekedar wawancara. Rasa gundah mulai melanda. Ia melihat benda melingkar di tangan. 'Sudah jam setengah sepuluh, aku harus bergegas. Semoga usahaku sekali lagi memberiku peluang,' harapnya.Di hadapannya kini berdiri sebuah gedung megah dengan arsitektur modern. Tak ingin menunda-nunda, dengan rasa percaya diri, ia melangkah masuk ke halaman kantor tersebut. Setelah bertanya lowongan pekerjaan pada satpam, ia diarahkan ke bagian resepsionis. Dengan menggenggam asa, penuh semangat ia