Share

Dicampakkan Suami Dicintai CEO
Dicampakkan Suami Dicintai CEO
Penulis: Dwimarta

Peringatan

Ponsel bergetar sedari tadi di laci kerja. Awalnya Wina mengacuhkan karena disangkanya getar alarm. Tapi, sudah berapa kali getar itu tak juga berhenti. 

Sudah peraturan di kantor, jika semua ponsel harus dalam mode getar atau silent. Kalau tidak, pasti wajah bosnya berubah jadi monster yang siap melumat siapa saja bawahannya yang tidak mengikuti aturan.

Karena kesal, Wina meletakkan pulpen di meja. Mengesampingkan data manual yang harus ia selesaikan siang ini. Dalam hati penasaran kenapa ponselnya tak henti bergetar? Ditariknya laci putih itu. 

Terjawab sudah. Nama 'Ayah' terpampang di layar ponsel. Wina tak berkedip beberapa saat.

'Aneh. Ayah jarang menghubungiku bahkan hampir tidak pernah. Sejauh ini, beliau hanya nimbrung berbicara jika ibu meneleponku.'

Wina melihat suasana sekitar. Tampak lengang. Tita disebelahnya masih sibuk menginput data di laptop. 

“Ta, aku ke kamar mandi sebentar,” kata Wina. 

Tita menoleh dan melihat Wina menunjuk ponselnya tanda ia mau mengangkat telepon. Tita langsung mengangguk paham.

Begitu di depan wastafel kamar mandi, panggilan ayahnya telah berakhir. Wina langsung menelepon balik. Tak lama kemudian, terdengar suara berat dari seberang.

"Kamu masih sibuk, Nak?"

Wina hapal jika ayahnya akan membicarakan sesuatu yang penting pasti awalnya sudah menanyakan kesibukannya. "Tidak, Yah. Maafkan jika ayah menunggu lama, karena di kantor ponsel harus disetel dalam mode getar."

"Oh iya, ayah lupa. Maafkan jika tak bisa menunggu kau pulang kerja untuk membicarakan ini."

Wina tercenung. Entah kenapa jantungnya bertalu hebat. Ia tepis segala kemungkinan buruk yang muncul. 

“Tapi, aku harap kamu benar-benar memahami jika apa Ayah sampaikan ini demi masa depan kamu,” sambung Fahri, ayah Wina.

Wina tetap terdiam. Ia sudah pasrah mendengar apa yang disampaikan ayahnya.

"Ayah minta mulai detik ini, putuskan hubunganmu dengan Dewa."

'Apa?' Kalimat itu terasa tamparan keras buat Wina. Ini aneh! Bukankah, hubunganku dan Dewa selama ini baik-baik saja? Dan ayah tahu itu!

“Ke-kenapa, Ayah?” Wina tak bisa menguasai bulir air yang tiba-tiba jatuh dari mata indahnya. Sungguh, kalimat Fahri membuatnya terbawa emosi tanpa sadar.

"Dewa tidak mencintaimu!"

Wina semakin tidak mengerti dengan alasan yang dikemukakan ayah. "Bagaimana ayah bisa menuduh Dewa seperti itu? Empat tahun aku menjalin kasih dengannya dan ayah juga sudah mengenal Dewa. Kenapa?" isaknya.

"Kamu tidak usah menangisi lelaki macam dia. Kau tahu kenapa ayah bisa mengatakan hal ini? Dewa tidak memikirkan masa depanmu. Yang dia pikirkan hanya dunianya saja. Laki-laki egois seperti itu hanya akan menyiksamu nanti, Win!"

"Masa depan apa? Aku tak mengerti maksud ayah?"

"Dia tak mau menerima tawaran untuk bekerja di perusahaan terbaik yang ayah usulkan. Malah penjelasannya semakin meyakinkan dia bukan yang terbaik untukmu!"

'Apa? Pekerjaan?!' kaget batin Wina. Kini dia tahu alasan ayahnya.

Tapi, bukankah biar Dewa saja yang mempertimbangkan hal itu? Tapi, sisi hatinya berkata lain. Ayah sedang memikirkan masa depan!

"Lalu, apa jawaban Dewa, Yah?"  

"Anak tak tahu diri itu berkata, 'saya mau mencari kerja dengan kaki saya sendiri'. Memangnya dia bisa apa? Kuliah saja belum selesai! Harusnya dia malu padamu yang sudah bekerja."

“Biarlah dia buktikan kalau dia mampu, Yah?”

"Mampu? … oke! Sampai kapan kau mau bertahan menunggunya mampu?"

Tenggorokan Wina tercekat. Tak mampu menjawab pertanyaan berat itu. 

“Kalau kau bertanya, kenapa baru sekarang aku memperingatkanmu? Karena selama empat tahun kau menjalin kasih dengannya tidak sekalipun kulihat sosok Dewa itu tanggap dengan keadaan sekitar, hanya bermalas-malasan. Bertandang ke rumah saat aku sibuk, dia hanya ongkang-ongkang duduk. Apa dia tidak malu sebagai calon menantu berbuat seperti itu. Aku sebagai orang tuamu mengamati hal kecil seperti itu, Win! Itu bukan hal sepele. Jelas itulah karakter dia."

Dalam hati Wina membenarkan apa yang menjadi alasan Fahri sampai marah di telepon saat ini. Beberapa kali pula, saat Wina main ke rumah Dewa, lelaki itu malah rebahan di pangkuan ibunya. Batinnya merasakan sesuatu yang janggal, tidak seharusnya lelaki dewasa berdiam diri seperti itu saat ada orang lain bertamu. Tapi, lagi-lagi ditepiskan prasangka buruknya itu. Ia sangat sayang pada Dewa.

“Nanti Wina akan peringatkan dia, Ayah,” jawab Wina berharap ayahnya menurunkan emosi.

"Baiklah. Tapi, ingat! Kalau kau bisa mengubahnya pun sudah hilang simpati ayah padanya. Aku sudah memperingatkanmu, Win."

Telepon langsung terputus. Wina menghela napas panjang. Ia tak pernah membayangkan ada kejadian seperti ini. Syok!

Dengan mengusap air mata, ia kembali ke ruang kerja. Kertas-kertas yang masih bertebaran di meja, benar-benar menambah stres kali ini.

Tita yang melihat sahabatnya tampak lemas, langsung menghentikan kesibukannya. "Kamu kenapa, Win? Sakit?"

Wina hanya menggeleng pelan.

“Ditelepon siapa?” Tita tambah penasaran.

"Ayah."

"Bagus, dong. Kamu lama tak pulang ke rumah. Kenapa malah lemas begitu?" 

Wina saat ini bekerja di suatu perusahaan bonafide di kota besar. Rumahnya berada jauh di kota kecil, sejauh dua jam perjalanan. Tentunya, sekarang ia harus ngekos dekat kantor untuk memangkas ongkos perjalanan. Dan hanya bisa pulang rumah paling sering seminggu sekali.

“Kenapa ya, Ta, orang tua selalu ikut campur pilihan anaknya?” tanya Wina, menatap kertas di depannya.

Alis Tita berkerut. "Campur tangan hubunganmu dengan Dewa?"

Wina mengangguk. Tubuhnya terasa lemas setelah menerima telepon dari Fahri.

Tita tertegun. Kini ia paham alasan Wina. Perlahan ia menggeser kursi kerjanya. "Boleh tidak aku memberi masukan?" tanya ia pelan.

Wina menoleh ke sahabat yang dikenalnya sejak pertama kali masuk di perusahaan ini. Ia mengangguk menjawab pertanyaan Tita.

"Aku punya cerita. Ini kakakku yang mengalaminya. Dia itu dulu tergolong sangat menjaga hati dari pria manapun. Prinsipnya, cintanya akan diberikan pada lelaki yang suatu saat ia cintai. Karena umur semakin bertambah, dia belum punya pilihan, akhirnya papa mamaku menjodohkan kakakku dengan seseorang. Wah, saat itu benar-benar titik terendah kakakku. Ia menangis tak henti-hentinya di kamar. Kakakku bilang kalau hatinya yang selama ini ia jaga, kenapa diberikan pada lelaki yang belum pernah dikenalnya sama sekali. Aku sudah protes ke papa mama, tapi beliau tak menggubris. Beliau mengatakan pernikahan harus dilaksanakan," urai Tita dengan mengedikkan bahu.

"Lalu?" Wina benar-benar penasaran dengan kelanjutan cerita Tita.

"Akhirnya kakakku tetap menikah dengan lelaki itu, Win. Tapi, kau tahu apa yang terjadi setelah itu?"

Wina menggeleng. Tetapi matanya menyiratkan antusias menunggu kelanjutan cerita mengalir dari mulut sahabatnya.

"Kakakku ternyata bahagia pada akhirnya!"

"Kok bisa?" Wina tak mengerti kenapa perjodohan bisa berakhir menjadi kebahagiaan.

"Pilihan orangtuaku tepat untuknya, Win. Memang kadang kita benci setengah mati saat orang tua bilang tidak boleh ini, tidak boleh itu. Tapi percayalah, ada sesuatu yang kita belum tahu apa maksudnya. Mereka sudah makan asam garam kehidupan."

Wina tercenung. Ia sekarang mengalami dilema besar. Harus memilih antara ayahnya atau Dewa.

Belum selesai melamun, notif pesannya berbunyi. Wina langsung meraih ponsel dan menggeser layar.

Dewa: Aku harus bertemu denganmu saat istirahat kantor.

Wina menggumam tanpa sadar, "Dewa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status