Share

Emosi

"Ti-tidak bisa begitu, Wa." Wina keberatan. Tak mungkin ia meninggalkan orang tua yang sangat berjasa dalam kehidupannya.

"Kau bisa tinggal dirumah orangtuaku atau mungkin nanti kita kos bersama," cetus Dewa.

Wina membayangkan apa yang diusulkan oleh kekasihnya itu. Tapi hidup bersama dengan mertua, masih jauh dari bayangan. Ia masih bisa memaklumi usul Dewa yang kedua, tinggal bersama di kos sebagai awal kehidupan mereka pasca menikah. Terbayang keuangannya saat ini. Walaupun sekarang gaji yang didapat cukup untuk dirinya, bukan berarti itu akan cukup untuk hidup berdua, terlebih setelah punya anak nanti.

"Aku belum punya bayangan," jawab Wina.

"Lalu?" tanya Dewa menatapnya dingin.

"Ah. Sudahlah. Masalah ini bisa kita selesaikan besok. Aku sudah terlambat untuk meeting. Kamu hati-hati kalau pulang," pungkas Wina sambil beranjak meninggalkan Dewa yang masih mematung di bangku warung.

"Huuuhhh." Dewa menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

Jam sudah menunjukkan lewat sepuluh menit dari jadwal meeting. Wina buru-buru naik ke lantai tiga. Ia sudah membayangkan wajah bosnya yang garang saat dia masuk ruangan.

"Astaga!" Pintu ruang meeting sudah ditutup.

Dengan mengumpulkan keberanian, ia mengetuk perlahan. Tak ada jawaban. Pelan Wina menempelkan telinga di daun pintu. Ternyata suara masih cukup ramai di dalam. Ia bergegas membuka pintu. Di depan mata, semua rekannya terlihat baru saja duduk. Ia bergegas masuk dan duduk di sebelah Tita.

"Hampir saja kamu," seloroh Tita.

"Deg-degan nih. Kukira pak bos sudah masuk."

"Tadi sudah masuk. Sepertinya ada yang tertinggal, dia balik ruangannya lagi," jelas Tita.

"Syukurlah." Kali ini Wina merasa dewi fortuna berpihak padanya. Untung saja ia memotong pembicaraan Dewa. Kalau tidak?

Meeting berlangsung sampai sore. Badan Wina benar-benar lemas karena sedari siang belum makan. Sarapan pagi pun hanya gorengan dua biji. 

Begitu keluar ruang meeting, Wina setengah berlari menuju ruang kerja. Kotak makanan yang dibawakan Tita, masih utuh di atas meja. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung membuka dan menyantapnya.

Matanya langsung terang saat makanan habis tuntas. Dengan menghela napas lega, Wina bersandar pada kursi. Ingin rasanya merilekskan pikiran. Tubuhnya bahkan baru merasakan panas dingin.

'Aku benar-benar ingin istirahat malam ini ... tidur panjaaang! Esok libur, aku akan pulang ke rumah dan menyelesaikan masalah dengan ayah' batin Wina sambil menerawang melihat langit-langit ruang kubikelnya.

***

"Kak Wina, mau pulang rumah?" tanya anak kos yang ada di lantai bawah.

"Iya, Dek. Mungkin besok pagi baru balik ke sini," jawab Wina sambil memakai tas ransel.

"Sendirian, Kak?"

Wina tahu siapa yang dimaksud oleh teman kosnya ini. Pasti Dewa! Kekasihnya itu biasa menjemput di kos jika ia mau pulang rumah dan diantarkan ke tempat pemberhentian bus. 

"Iya, sendirian aja. Soalnya masih pagi banget. Kasihan yang ngantar," alasan Wina. 

"Owh, iya juga. Hati-hati dan jangan lupa oleh-olehnya ya, Kak!"

"Insya Allah."

Kos Wina berada tak jauh dari jalan raya. Ia tak kesulitan mencari angkutan umum untuk sampai ke tempat pemberhentian bus luar kota. Ia benar-benar menikmati perjalanan ini, walau hati gundah gulana. Memandang pemandangan dari jendela bus, terbayang wajah ayah yang akan ditemuinya. Sungguh, baru kali ini kepulangannya menyesakkan hati.

Setelah dua jam perjalanan, akhirnya sampai di depan rumah.

"Terima kasih, Pak," ucap Wina memberikan ongkos becak pada lelaki tua yang sudah mengantarnya.

Tampak latar rumah bersih dan tanaman tertata rapi. Siapa lagi kalau bukan ketelatenan Wulan Rahayu, ibunda Wina. 

"Hai, Win. Kok tumben pulang cepet?" sambut Ria, kakak perempuan Wina.

"Iya, Kak. Hari ini libur," sahut Wina mencium tangan kakaknya.

"Ssttt, kamu ada masalah apa sama ayah? Mukanya ditekuk terus tuh," celetuk Ria di telinga Wina.

Perkataan kakaknya membuat hati Wina bertambah ragu untuk masuk. Ia seperti aneh masuk rumah sendiri. 

"Tapi tenang aja, ayah kalau marah 'kan tidak lama," redam Ria.

Tapi kali ini Wina merasakan kemarahan ayah tak biasa. Ia tak tahu harus melangkah masuk sekarang atau menunggu dulu di teras. 

"Owh, kamu sudah pulang, Nduk. Kenapa di situ saja?" sapa Wulan saat melihat putrinya nomor dua masih berdiri di depan teras.

Wina langsung mendekati ibu dan mencium tangan.

"Aku yang ngajak Wina cerita dulu, Bu," ujar Ria nyengir melihat ibunya heran.

Ibu cuma menggelengkan kepala. Ia menggandeng Wina masuk ke dalam rumah.

Dari kejauhan Wina melihat Fahri sedang menonton televisi di ruang belakang yang juga dijadikan sebagai ruang santai.

Ibu memberi kode lewat mata pada putrinya, agar menyapa ayahnya terlebih dahulu.

Wina menarik napas pelan. Ia merasa aneh dihadapkan pada situasi ini. Tak biasanya mereka sekaku ini.

"Hai, Ayah," sapa Wina mendekati ayahnya.

Fahri menengok sekilas ke arah Wina dengan tatapan datar lalu melengos melanjutkan menonton televisi lagi.

"Oh ya ini Wina bawakan oleh-oleh kesukaan Ayah." Wina mengeluarkan cemilan favorit Fahri yang dibelinya sebelum naik bus tadi. 

Ayahnya hanya melirik sekilas dan tak menggubris uluran tangan Wina yang menyodorkan jajanan itu.

"Baiklah, kutaruh di meja. Wina pamit mau istirahat dulu, Yah." Wina melenggang pergi dari hadapan Fahri. Ia rasa percuma bicara jika ayahnya masih ngambek 

"Win," panggil Fahri tiba-tiba.

Langkah Wina terhenti. Ia tak mengira ayah akan memanggilnya. Perlahan, ia membalikkan badan.

"Duduk sini," perintah Fahri sambil menunjuk kursi di seberangnya.

Wina menurut. Wulan yang sedari tadi ada di balik tembok menguping pembicaraan mereka, akhirnya ikut duduk di sebelah Fahri.

"Bagaimana tanggapan Dewa?" tanya Fahri langsung.

Wina tercekat tak menyangka ayahnya langsung mencecarnya dengan masalah itu.

"Eemm, Dewa ... Dewa tetap dengan pendiriannya, Yah."

"Sudah kutebak. Anak itu keras kepala dan tak sadar diri. Pekerjaan menggiurkan ada di depan mata, masih bertingkah mau berdiri di kaki sendiri. Mengurus kuliahnya saja dia keteteran. Ada dia paham jika nanti berkeluarga membutuhkan dana lebih dari yang ia perkirakan?" ketus Fahri.

"Maksud ayahmu baik, Nduk. Ini semua demi kamu. Bukannya merendahkan Dewa seakan tidak punya pilihan hidup. Tapi kita harus  berpikir secara logika dan melihat kenyataan. Sekarang ini susah lho cari kerja," tambah ibu.

"Ini saja sudah untung kuupayakan agar bisa kerja. Melihat nilai IPK Dewa saja mungkin temanku memandang remeh," sarkas Fahri.

"Wina tahu, Ayah, Ibu. Bahkan sangat berterima kasih sudah dipikirkan sampai sejauh ini. Tapi Dewa ingin membahagiakan saya dengan caranya sendiri--"

"Kau itu bisa dikasih pengertian tidak? Bahagia karena cinta sebelum pernikahan itu berbeda dengan setelahnya. Jangan mau dibodohi lelaki itu!" potong Fahri dengan wajah memerah.

"Ayah jangan emosi. Ingat kesehatan," redam Wulan.

Tubuh Wina lemas melihat ayahnya begitu murka. Ia merasa sudah tak mendapat restu. Air matanya menetes perlahan. 

"Jika kau mau meneruskan hubunganmu dengan Dewa, terserah! Tapi bila nanti ada apa-apa dalam rumah tanggamu, ingat apa yang sudah ayah peringatkan ini. Agama mengharuskan anak berbakti pada orang tua, bukan? Bila kau tetap membela Dewa, silakan!" Fahri bangkit dari sofa menuju kamar.

Wulan mendekat ke arah Wina. Ia memeluk anaknya yang sudah banjir air mata. 

"Ibu, kenapa sih ayah tidak mau mendengarkan penjelasanku dulu? Aku tak bisa bicara jika ayah masih marah begitu. Sekarang aku benar-benar bingung," papar Wina sambil terisak.

"Ayahmu kalau emosi 'kan begitu. Kamu yang sabar dulu. Ibu akan bantu meredam emosi ayahmu," ucap ibu pelan.

Wina mengangguk. Wulan mengelus kepala putrinya sebelum pergi meninggalkannya.

Bayangan Dewa hadir di pelupuk mata. Pembicaraan mereka kemarin belum usai. Wina membayangkan bagaimana menyampaikan sikap ayahnya pada kekasihnya itu. Pikirannya benar-benar ganar.

Tak lama, terdengar cekcok di kamar orang tuanya. Penasaran, Wina melangkah mendekat. Tatkala sampai di balik pintu, ia mendengar ibu membelanya untuk memberikan Dewa kesempatan mencari kerja dulu. Sedangkan ayahnya benar- benar menolak usul itu.

"Jika Wina masih membela laki-laki itu, jangan pulang lagi ke rumah ini!" seru Fahri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status