Wina benar-benar syok, tak menyangka Dewa tega mengucapkan itu. Batinnya menjerit, 'Di mana nuranimu, Wa!'Air matanya membayang mengingat ayahnya yang masih sakit. Entah, mulutnya tiba-tiba kelu untuk menanyakan apa maksud suaminya berkata seperti itu. "Sudah sana, hati-hati di jalan," pungkas Dewa tersenyum sekilas dan langsung meninggalkan kawasan terminal.Bulir air bening yang mengalir, langsung diusap. Wina tak mau orang lain melihat kesedihan di wajahnya. Tak lama lagi, ia akan bertemu ayah dan ibu. Tak elok jika raut mukanya menampakkan kesedihan. Senyum kecil tersungging demi menguatkan hati. Langkahnya ringan menuju area bus tujuan kota kelahirannya. Di perjalanan, ia melihat pemandangan dari balik jendela sambil merangkum segala peristiwa yang telah terjadi akhir-akhir ini. Protes Fahri, pernikahannya yang tanpa restu, sikap Dewa setelah menikah, penerimaan mertua, dan pemecatan dirinya. Sekarang dirinya pulang untuk bertemu ayahnya yang jatuh sakit. Harapannya hanya sat
"Tap-tapi Bu, saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris? Kemarin HRD bilang saya bekerja di bagian administrasi. Apa Ibu tidak salah?" Dewa kebingungan dengan sambutan Ratih.Ratih tersenyum penuh arti. "Bu Mona yang memberi mandat, jadi anda tinggal menjalankan. Perlahan nanti akan saya ajari. Ini mejamu dan seluruh peralatan kerja yang ada di atasnya sudah saya siapkan."Dewa terheran-heran dengan apa yang terjadi di menit ini. Dewi fortuna sungguh berpihak padanya."Bu Mona akan datang sekitar setengah jam lagi. Sekarang mari saya ajari dulu," tutur Ratih lembut.Dewa mau tak mau menurut melangkah menuju belakang meja barunya. Dengan penuh hati-hati ia duduk di kursi goyang yang sangat empuk. "Wow, luar biasa."Ratih yang melihat tingkah rekan barunya tertawa geli, lalu menjelaskan runtut agar Dewa mudah memahami. Ia sangat menguasai bidang kerjanya, sekaligus hapal betul kebiasaan atasannya. Maka dari itu ia menatar Dewa agar benar-benar paham konsep kerjanya.Dewa mendengark
Pagi ini Fahri duduk di teras rumah sambil disuapi Wulan. Sementara Wina menyapu halaman dan menata tanaman ibunya yang lama tak terurus.Fahri tak lepas menatap putri keduanya itu, seakan belum puas memeluk rindu. Wulan yang berada di sebelahnya tersenyum bahagia melihat wajah suaminya tidak pucat lagi sejak kedatangan Wina. Bahkan piring yang dipegangnya kini sudah piring kedua yang diminta oleh Fahri. Nafsu makannya melonjak drastis."Sudah mau habis, Suamiku. Mau nambah lagi nasinya?" tanya Wulan tersenyum sembari menahan geli.Fahri menengok ke piring lalu menggeleng perlahan. "Kalau aku lapar lagi, aku akan minta padamu, Bu."Wulan mengangguk sambil menyelesaikan suapan terakhir ke mulut suaminya."Win! Ibu mau masuk rumah. Kau temani ayahmu dulu," seru Wulan bangkit dari kursi.Wina menoleh lalu bergegas menaruh sapu kemudian mencuci tangan. Langkah kakinya mendekat ke kursi yang ada di sebelah Fahri. "Ayah sudah kenyang?".Fahri tersenyum, mengangguk. Sorot matanya lembut mena
Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Dewa. Yakni, kepulangan bos besarnya, setelah empat hari bersama tim riset melakukan penelitian di luar negeri. Parfum aroma maskulin disemprotkan dibeberapa titik tubuh, selagi Ratih masih di dalam ruangan bos untuk mengecek kebersihan.'Aku tak sabar menunggunya datang,' batin Dewa diliputi rasa bahagia. Penampilan istimewa hari ini sengaja ditunjukkan untuk menyambut bos Mona setelah lama tak sua.Ratih keluar dari ruangan Mona. "Kau masih hapal semua yang kuajarkan?" "Masih, Bu.""Bagus. Biasanya Nona Besar akan meminta dibuatkan laporan setelah perjalanannya dari luar negeri. Mungkin kau atau aku yang disuruh oleh beliau. Bersiaplah," tutur Ratih."Siap."Tak lama, pintu lift terbuka. Aroma parfum feminim menguar keluar. Kaki jenjang terawat melangkah penuh percaya diri. Kecantikan yang tertuang di wajah Mona tak pernah sirna. Kulit putihnya bersih menawan. Baju kerjanya sangat sesuai dengan bentuk tubuh. Siapapun yang melihat pa
Wina tercekat. Berusaha menelan apa yang diucapkan ibunya. "Bu, aku baru sebulan menikah. Apakah secepat itu bisa hamil?" bisiknya, agar tak terdengar sang ayah."Bisa saja. Itu tandanya saat kalian berhubungan suami istri, rahimmu pas subur. Lebih baik sekarang kamu istirahat dulu, jangan pikiran macam-macam," redam Wulan melihat kebingungan di wajah Wina. Ia pun menuntun putrinya menuju kamar. Tatkala menuju kamar, mereka berdua terkejut dengan Fahri yang tertatih-tatih keluar dari kamar, tangannya merambat di tembok."Ayah!" jerit Wina melihat Fahri yang sampai terbangun dari tempat tidur. Tubuh Fahri selama ini belum sehat betul. Ke teras rumah saja masih perlu dituntun."Win, kamu kenapa, Nak?" Raut muka Fahri terlihat khawatir.Air mata Wina membayang. Begitu terharu melihat ayahnya begitu khawatir padanya.Wulan menghampiri Fahri. "Suamiku, ayo di kasur saja dulu. Wina tidak apa-apa, dia cuma kecapekan."Fahri tetap ngotot melangkah ke arah Wina. "Kamu benar tak apa-apa, Nak?"
'Apa? Wina pingsan?' Kabar dari ibunya benar-benar mengejutkan Dewa. Ia tak tahu jika istrinya telah pulang ke rumah, karena tak ada kabar apapun Wina.Seakan meraba telah terjadi sesuatu lewat air muka rekan kerjanya, Ratih bertanya, "Kenapa?" lirihnya melihat wajah Dewa yang pias. Bagaimanapun, ia tak ingin mengganggu Nona Besar yang masih serius melobi klien via sambungan telepon."Oh, tidak apa-apa. Hanya kabar dari ibu ... emm, nggak masalah kok, Bu," jawab Dewa sama-sama berbisik."Oh, oke." Ratih mengangguk, melanjutkan makan.Dewa melirik Mona yang masih sibuk bercakap di telepon. Raut mukanya serius, seakan apapun yang terjadi di sekitarnya tak akan mampu mengalihkan fokusnya. Ingin rasanya ia pulang ke rumah saat ini, tapi alasan apa yang tepat agar tak membuat curiga Ratih dan Mona? Apalagi ia sudah terlanjur bilang 'tidak apa-apa' ke Ratih. Tetapi kekesalannya pada Wina membuatnya bertahan di kursi. Sudah sebulan istrinya meninggalkannya untuk mengurus Fahri yang sakit. '
Dewa terkejut. Matanya seketika membulat saat menengok sosok di belakangnya. Mona sangat menawan dengan balutan dress biru tua dengan belahan samping. Rambutnya yang digulung ke atas semakin membuat dirinya anggun dan menawan. Sapuan natural di wajah halus itu semakin membuat degup jantungnya bertalu hebat.'Cantik sekali!' batin Dewa terpana. Tanpa disuruh, ia langsung berdiri menarik kursi di depannya untuk wanita cantik yang baru tiba."Terima kasih," tatap Mona lembut.Dewa tak mampu berkata-kata. Hanya senyuman sebagai jawaban. Ia pun kembali duduk.Pelayan datang membawa makanan pembuka. Merasa belum memesan, Dewa terkejut dengan hidangan yang disajikan. Makanan yang tak biasa, minimalis, tapi sangat menggugah selera untuk segera disantap.Mona tersenyum geli melihat ekspresi Dewa. "Silakan, Dewa.""Ti-tidak, saya menunggu Ibu dulu," jawab Dewa."Oke." Mona mengawali menyantap hidangan pembuka.Dewa diam-diam mengikutinya. Memperhatikan segala cara yang dilakukan oleh Mona hingg
Dada Wina perih membaca pesan itu. Napasnya menghela berat. Bibirnya bengkak. Tubuhnya tak terasa bergetar. 'Ujian apalagi ini?' Tak mungkin pesan itu dikirim oleh seorang laki-laki. Dadanya terasa sesak. Isi pesan itu mendorong masuk semua yang tadinya hendak tumpah dari batinnya, sejak parfum tercium dari kemeja Dewa. Ia tak mengira suaminya akan bermain di belakang. Mual terasa kembali di kerongkongan.Air mata sudah mengering. Sudah tak sanggup lagi menangisi nasibnya yang sangat menyakitkan. Terlalu penat hari ini. Ujian bertubi-tubi mendera. Tangannya menggapai ujung nakas. Tubuhnya mencoba bertahan dengan berdiri tegak. Dirinya sudah berniat tak mau lemah sedari tadi. Nasihat ibu kembali terngiang.'Aku harus kuat. Tak mungkin Allah memberiku kesulitan tanpa kemudahan untuk melangkah. Aku tak boleh lemah.'Wina melangkah mengambil air wudu. Ia akan bermunajat malam ini melepas semua bebannya di atas sajadah. Mengeluarkan segala rasa dengan menghadirkan hati mendekat pada-Nya.