Wina tercekat. Berusaha menelan apa yang diucapkan ibunya. "Bu, aku baru sebulan menikah. Apakah secepat itu bisa hamil?" bisiknya, agar tak terdengar sang ayah."Bisa saja. Itu tandanya saat kalian berhubungan suami istri, rahimmu pas subur. Lebih baik sekarang kamu istirahat dulu, jangan pikiran macam-macam," redam Wulan melihat kebingungan di wajah Wina. Ia pun menuntun putrinya menuju kamar. Tatkala menuju kamar, mereka berdua terkejut dengan Fahri yang tertatih-tatih keluar dari kamar, tangannya merambat di tembok."Ayah!" jerit Wina melihat Fahri yang sampai terbangun dari tempat tidur. Tubuh Fahri selama ini belum sehat betul. Ke teras rumah saja masih perlu dituntun."Win, kamu kenapa, Nak?" Raut muka Fahri terlihat khawatir.Air mata Wina membayang. Begitu terharu melihat ayahnya begitu khawatir padanya.Wulan menghampiri Fahri. "Suamiku, ayo di kasur saja dulu. Wina tidak apa-apa, dia cuma kecapekan."Fahri tetap ngotot melangkah ke arah Wina. "Kamu benar tak apa-apa, Nak?"
'Apa? Wina pingsan?' Kabar dari ibunya benar-benar mengejutkan Dewa. Ia tak tahu jika istrinya telah pulang ke rumah, karena tak ada kabar apapun Wina.Seakan meraba telah terjadi sesuatu lewat air muka rekan kerjanya, Ratih bertanya, "Kenapa?" lirihnya melihat wajah Dewa yang pias. Bagaimanapun, ia tak ingin mengganggu Nona Besar yang masih serius melobi klien via sambungan telepon."Oh, tidak apa-apa. Hanya kabar dari ibu ... emm, nggak masalah kok, Bu," jawab Dewa sama-sama berbisik."Oh, oke." Ratih mengangguk, melanjutkan makan.Dewa melirik Mona yang masih sibuk bercakap di telepon. Raut mukanya serius, seakan apapun yang terjadi di sekitarnya tak akan mampu mengalihkan fokusnya. Ingin rasanya ia pulang ke rumah saat ini, tapi alasan apa yang tepat agar tak membuat curiga Ratih dan Mona? Apalagi ia sudah terlanjur bilang 'tidak apa-apa' ke Ratih. Tetapi kekesalannya pada Wina membuatnya bertahan di kursi. Sudah sebulan istrinya meninggalkannya untuk mengurus Fahri yang sakit. '
Dewa terkejut. Matanya seketika membulat saat menengok sosok di belakangnya. Mona sangat menawan dengan balutan dress biru tua dengan belahan samping. Rambutnya yang digulung ke atas semakin membuat dirinya anggun dan menawan. Sapuan natural di wajah halus itu semakin membuat degup jantungnya bertalu hebat.'Cantik sekali!' batin Dewa terpana. Tanpa disuruh, ia langsung berdiri menarik kursi di depannya untuk wanita cantik yang baru tiba."Terima kasih," tatap Mona lembut.Dewa tak mampu berkata-kata. Hanya senyuman sebagai jawaban. Ia pun kembali duduk.Pelayan datang membawa makanan pembuka. Merasa belum memesan, Dewa terkejut dengan hidangan yang disajikan. Makanan yang tak biasa, minimalis, tapi sangat menggugah selera untuk segera disantap.Mona tersenyum geli melihat ekspresi Dewa. "Silakan, Dewa.""Ti-tidak, saya menunggu Ibu dulu," jawab Dewa."Oke." Mona mengawali menyantap hidangan pembuka.Dewa diam-diam mengikutinya. Memperhatikan segala cara yang dilakukan oleh Mona hingg
Dada Wina perih membaca pesan itu. Napasnya menghela berat. Bibirnya bengkak. Tubuhnya tak terasa bergetar. 'Ujian apalagi ini?' Tak mungkin pesan itu dikirim oleh seorang laki-laki. Dadanya terasa sesak. Isi pesan itu mendorong masuk semua yang tadinya hendak tumpah dari batinnya, sejak parfum tercium dari kemeja Dewa. Ia tak mengira suaminya akan bermain di belakang. Mual terasa kembali di kerongkongan.Air mata sudah mengering. Sudah tak sanggup lagi menangisi nasibnya yang sangat menyakitkan. Terlalu penat hari ini. Ujian bertubi-tubi mendera. Tangannya menggapai ujung nakas. Tubuhnya mencoba bertahan dengan berdiri tegak. Dirinya sudah berniat tak mau lemah sedari tadi. Nasihat ibu kembali terngiang.'Aku harus kuat. Tak mungkin Allah memberiku kesulitan tanpa kemudahan untuk melangkah. Aku tak boleh lemah.'Wina melangkah mengambil air wudu. Ia akan bermunajat malam ini melepas semua bebannya di atas sajadah. Mengeluarkan segala rasa dengan menghadirkan hati mendekat pada-Nya.
"Apa maksud anda?" Dewa kali ini tidak tinggal diam. Matanya menyorot penuh kemarahan tertuju pada sosok paruh baya yang menantang di depannya.Orang-orang sekitar yang melihat situasi tidak kondusif, langsung melerai mereka berdua. "Mulut anda yang harus dijaga, Lelaki Tua! Kalau sudah jadi orang kepercayaan, jangan ember pada orang lain," sarkas Dewa.Dada Bobby panas tersiram kata-kata yang menyakitkan hatinya. Jelas sudah, kalimat yang baru saja terlontar, menjelaskan bahwa Dewa-lah yang telah 'membakar' bos besar di perusahaan ini."Memang kurang ajar, kau!" Lelaki tua itu langsung mencengkeram kerah kemeja Dewa.Orang-orang di sekitar spontan memegangi Dewa dan Bobby untuk memisahkan mereka."Rupanya benar kau orang yang sudah membuat posisiku jatuh di perusahaan ini," lanjut Bobby, sambil terus meronta dalam pegangan erat beberapa pegawai laki-laki."Kalau anda memang sudah tidak layak di perusahaan ini jangan mencari kambing hitam!" teriak Dewa dihalau oleh beberapa lelaki."
Tercetus sesuatu di kepala Lestari. Ia menduga menantunya pasti melakukan sesuatu yang memalukan, yang bisa membuat rumah tangga anaknya runyam. Hatinya senang jika Wina sering ribut dengan Dewa. Sebuah senyuman mengembang di bibir. Tak sabar rasanya menunggu anak laki-lakinya pulang sore nanti dan melaporkan tentang kelakuan istrinya.***Wina berjalan terus sambil melihat ke sana kemari. Daerah perumahan ini memang belum ia hapal benar. Kebanyakan beberapa toko kelontong yang ia datangi, tidak menjual pulsa. Setelah menikah, Dewa tak pernah mengajaknya berputar di kawasan perumahan yang luas ini, meski hanya sekedar jalan-jalan. Alasannya selalu malas dan capek. Namun, rasa cintanya terlalu besar untuk seorang Dewa. Hingga segala alasan suaminya, ia maklumi.Tak terasa, ia sudah berjalan sangat jauh. Jalanan yang ada di hadapan ramai kendaraan. Ternyata, ia sudah ada di depan gerbang masuk perumahan. Sambil berjalan menepi, indranya melayangkan pandang ke toko-toko yang berjajar di
Melihat amarah Dewa yang menakutkan, Wina menyurutkan langkah. Kepalanya menunduk ketakutan."Dari mana kau tadi siang?" tanya Dewa mendekat ke wajah istrinya.Wina langsung menengadah. Tak mengira Dewa tahu kegiatannya tadi siang. "Kamu tahu dari siapa?" polosnya."Kau tak perlu tahu dari siapa aku tahu informasi itu. Jawab dulu pertanyaanku?!" tekan Dewa gusar."Aku-aku beli pulsa, Wa." Tubuh Wina bergetar. "Bohong!" gelegar Dewa. Tangan kokohnya memegang kedua pundak Wina. "Kau tahu akibatnya jika tak jujur padaku?"Dada Wina berdegup kencang. Wajahnya pias. Mulutnya kelu tak tahu harus menjawab apa, karena kejujuran sudah ia ungkapkan. "A-aku tidak bohong, Wa.""Haahh!" Dewa mendorong kasar pundak Wina ke arah tempat tidur.Wina sontak kaget dan terpekik. Tubuhnya tersuruk di atas kasur. Bulir bening mulai mengalir. Batinnya perih, tak mengira akan mendapat perlakuan tak semestinya dari suaminya."Kalau kamu ketahuan selingkuh, awas aja!" ancam Dewa.Wina mengusap air matanya. Uc
"Ssshh, aw-auw." Rasa perih menjalar dari pipi kiri hingga ke sudut bibir. Wina mengompres pelan pipinya yang bengkak sebelah, sementara sudut bibirnya yang luka diolesi salep.Rasa perih ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka batin yang ditorehkan Dewa. Lelaki yang pernah ia percaya, saat ini telah membuat luka luar dalam. Tapi bagaimanapun, Wina tak ingin berlarut-larut mengingat kejadian kemarin sore. Satu yang ia percaya, rasa cintanya suatu saat akan mengubah watak kasar suaminya. Ia percaya kesabarannya akan berbuah manis.Terdengar suara notif pesan ponsel yang terletak di atas nakas panjang. Ia pun membukanya."Apa?!" Matanya membulat. Mulut bengkak ternganga, menyiratkan kebahagiaan! Ternyata, pesanan membanjir di chatnya. Wina bahkan tak menyangka ada beberapa nomor tak dikenal, meminta model baju yang sedang tren saat ini. Mereka bilang, dikasih informasi oleh teman-teman Wina.Tak dapat diungkapkan kegembiraan hatinya. Ujung jarinya segera membalas chat mereka s