Share

Air Mata

Wina terkejut mendengar perkataan ayahnya. Air mata seakan tak pernah habis menguras emosinya sedari tadi. Seketika rumah ini menjadi tempat yang asing. Ia langsung mengambil tas tanpa sepengetahuan orang tuanya. 

Di depan rumah, ia bertemu dengan Ria yang masih bermain bersama anaknya, Asya, di taman.

"Mau ke mana, Win?" tanya Ria mendekat, langsung terburu menggendong Asya.

"Aku balik kos, Kak." Wina langsung mencium pipi Asya. Sebenarnya ia masih kangen dengan keponakannya ini, tapi sikap ayahnya benar-benar di luar harapan. 

Melihat tantenya akan pulang, anak kecil berumur tiga tahun itu langsung memeluknya.

"Balik kos? Hei, cerita ada apa?" Ria benar-benar kaget dengan jawaban adiknya. Ia menduga pasti ada sesuatu yang pelik. Ada masalah antara Wina dan ayah.

"Sudah, Kak. Aku tak sanggup menghadapi ayah. Lebih baik aku yang mengalah." Wina mencium Asya sekali lagi dan bergegas menjauh.

"Win, tunggu, Win!" panggil Ria.

Terlambat, Wina melangkah cepat dan langsung mencegat ojek online yang lewat. Rasa sakit atas perkataan ayahnya sudah menjalar di hati.

Asya menangis di gendongan Ria. Wulan tergopoh-gopoh dari dalam mendengar tangisan cucunya.

"Kenapa Asya? Lho, Wina mana?"

"Justru aku yang harus tanya sama Ibu. Wina kenapa pergi lagi?" protes Ria. 

"Ealah Nduk, Nduuk! Kenapa tidak kau cegah adikmu?" 

"Dia langsung naik ojek yang lewat, Bu!" Ria semakin yakin ada yang tidak beres dengan masalah Wina.

Wulan hanya bisa mengelus dada. Ia tak menyangka Fahri sedemikian marahnya pada putri mereka. Ia paham, Wina adalah anak yang diharapkan mampu menjunjung nama keluarga. Suaminya ingin putri keduanya mendapat suami yang tepat. 

Sebenarnya sudah lama Fahri mengeluh tentang sikap Dewa. Tapi itu sebatas perbincangan dengan dirinya. Setelah semakin lama, dirasa Dewa belum berubah dan belum lulus kuliah, maka Fahri ingin menawari pekerjaan agar calon suami Wina itu termotivasi segera lulus dan nantinya bisa tenang dalam berumah tangga. Wulan tak sepenuhnya menyalahkan niat Fahri, tapi penerimaan Dewa sekaligus posisi Wina saat ini, menunjang semua menjadi salah paham.

"Nduk, bantu ibu nanti atau besok merayu ayahmu. Nanti ibu akan cerita padamu."

Wulan langsung mengambil alih menggendong Asya yang masih menangis. 

Ria hanya sanggup menggeleng-gelengkan kepala, tak percaya akan kejadian hari ini.

***

Wina tak henti menangis di dalam bus. Saputangan ia tutupkan ke wajah, agar tak satupun orang di dalam bus tahu kesedihannya. Ucapan Fahri masih terngiang jelas di telinga. Menghela napas panjang, ia merasa hidupnya kini tak lagi sesederhana dulu. 

Kini dirinya harus menghadapi persoalan baru yang pelik. Restu orang tua, persoalan cinta, pekerjaan, benar-benar menggerus hatinya. Begitu turun dari bus, ia menyempatkan membeli beberapa cemilan di toko. Rencana, sesampainya di kos akan langsung tidur, agar sejenak melupakan persoalan yang ada.

Sesampainya di kos, ia harus menarik napas panjang sebelum memasukkan anak kunci. Sekarang hanya tempat berukuran tiga kali tiga meter ini menjadi rumah ternyaman baginya.

"Kak! Sudah pulang? Kok cepat?" tanya anak kos yang tadi pagi menyapanya, mendekat.

"Iya, Dek. Ini buat kamu," sahut Wina sambil mengulurkan satu kantong cemilan. Sementara cemilan untuknya sendiri tergantung di tangan satunya.

"Wah, banyak sekali?"

"Kamu bagilah ke teman-teman yang lain," ucap Wina.

"Siaappp!" Ia langsung berlari ke kamar penghuni kos yang lain.

Wina tersenyum singkat dan langsung membuka pintu kamar. Wangi parfum saat meninggalkan kamar tadi pagi, masih samar tercium.

Setelah meletakkan tas, ia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ingin rasanya kesegaran air bisa menghilangkan kesedihannya, tapi ... nihil. Tangisnya malah semakin menjadi. Kini ia bisa bebas menangis sepuasnya, tak tersekat oleh penglihatan dan pendengaran orang lain.

Wina benar-benar ingin tenggelam di pulau kapuk dan melupakan semua yang terjadi. Sehelai kain rumahan dipakainya untuk menemani tidur sembari memeluk guling kesayangan. Tak lama, ia terlelap dalam kelelahan.

***

Suara ketukan pintu terdengar. Wina terkejut bangun. Ketukan itu momennya bersamaan dengan mimpi buruk yang ia alami. Sambil mengusap keringat yang mengalir di kening, ia melihat jam di dinding. Sudah pukul setengah lima sore.

'Hampir tiga jam aku tidur! Siapa pula yang mengetuk pintu?'

Wina bangun perlahan. Rambutnya masih kusut masai. Ia melihat mukanya sekilas di cermin. Masih terlihat sembap. Bergegas membuka pintu. Ternyata, anak kos sebelah kamarnya. Suaranya serak menyapa, "Iya, Rin?"

"Win, ada Dewa tuh di bawah. Kamu tidur ya?"

Wina mengucek-ucek lagi matanya. Ia bertingkah seolah matanya benar-benar mengantuk, untuk menutupi sembapnya. Ia juga memastikan apa yang didengarnya tidak salah. Sepintas ia teringat janjinya pada Dewa, bahwa akan menyelesaikan masalah yang terjadi. Ia harus segera membuat keputusan dengan Dewa.

"Oke, Rin, makasih. Iya baru bangun nih. Aku akan salat dulu," jawab Wina.

"Oke."

Dewa menunggu di bangku panjang yang ada di teras. Hatinya cemas. Ia benar-benar membutuhkan komunikasi mengenai persoalan kemarin. Dirinya merasa Wina acuh pada masalah mereka. Ia tak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut. 

"Hai, Wa," sapa Wina begitu muncul dari pintu dan langsung duduk di sebelah Dewa.

Dewa menoleh menatap wajah Wina. Matanya sembap. Ia tahu, kekasihnya habis menangis. Mata Wina tak bisa menipunya. Ia yang semula ingin marah, jadi menahan itu semua.

"Kau menangisi masalah kemarin?" tanya Dewa pelan.

"Apalagi." Jawaban singkat Wina sudah cukup bagi Dewa. Dugaannya, pasti ayah Wina sudah bicara sesuatu dengan anak kesayangannya ini.

"Ayahmu bilang apa?" Rasa penasaran menguasai Dewa.

"Jangan tanya ayahku. Justru kedatanganmu ke sini ada apa?" tanya Wina balik sambil mengulurkan cemilan yang ia bawa dari kamar.

"Kau tadi dari luar?" heran Dewa melihat isi cemilan yang biasanya dibeli dari toko oleh-oleh langganan mereka.

"Pulang tepatnya," sahut Wina pelan.

Dewa langsung memegang lengan Wina. Ia merasa ada yang tidak beres dengan mata kekasihnya itu. "Kau pulang? Katakan ada apa?" cecarnya.

Wina memejamkan mata. Air matanya langsung jatuh luruh. Sekarang ia merasakan dilema yang sangat besar sekaligus merasa jadi anak yang terbuang.

"Wa? Kamu ada pilihan wanita lain selain aku tidak?"

Dewa benar-benar terkejut. "Kau kenapa 'sih, Win?"

"Kalau ada wanita selain aku saat ini. Silakan kau jalan dengan dia dan tinggalkan aku," isak Wina.

"Kamu ngelantur. Apakah ayahmu tak menyetujui hubungan kita?" tuntut Dewa meminta penjelasan.

Wina mengangguk perlahan. 

"Sudah kutebak! Andaikan kamu kemarin mengabariku mau pulang, kita bisa menghadap beliau bersama," ucap Dewa.

Wina langsung menggigit bibirnya.

"Kalau begini, aku jadi jelas bagaimana keputusan ayahmu. Lalu kenapa kau ingin kita putus?" sambung Dewa. Ia menggapai telapak tangan Wina.

Melihat tangannya ada di genggaman Dewa, air mata Wina seketika tambah deras. Ia benar-benar bingung saat ini. Jujur ia masih mencintai lelaki ini.

"Aku ... aku tak kuat, Wa."

Dewa mencium punggung tangan Wina. "Aku yang akan selalu menguatkan kamu, Win. Tolong jangan katakan putus lagi," harapnya, mengusap air mata Wina.

"Jangan tinggalkan aku. Kalau kau ingin bahagia, aku akan mengabulkannya. Kita akan segera menikah," lanjut Dewa mantap.

Wina menoleh terkejut!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status