"Apa? Menikah?" lirih Wina. Tak menyangka Dewa akan membulatkan tekadnya.
"Iya. Kenapa? Kau tak siap?" tanya Dewa.
"Bukannya aku tak siap, tapi ... aku tetap butuh restu orang tuaku," jawab Wina pelan.
"Restu? Nyatanya ayahmu tidak setuju dengan hubungan kita, mau bagaimana lagi? Yang terpenting kita saling cinta, kan?" harap Dewa.
Dewa tak mau wanita ini dalam rengkuhan orang tuanya terus menerus. Dirinya yakin bisa memberikan kebahagiaan pada Wina. Toh, pikirnya apalagi yang diharapkan oleh dua orang yang memadu kasih kalau bukan bersatu dalam ranjang dan saling mengerti. Ia tak mau membuat sulit hubungan ini. Apalagi masalah restu. Jauh dari pemikirannya.
Berbeda dengan Wina. Ia sangat takut akan pernikahan tanpa restu orang tua. Tak pernah terbayang dalam benaknya selama ini jika ia harus menjalani sesuatu yang menakutkan, yang selalu ia anggap tabu. Menikah tanpa restu!
"Kamu tidak usah khawatir. Jika kita sudah menikah nanti dan anak kita lahir. Ayahmu pasti akan luluh melihat cucunya nanti. Percaya sama aku," rayu Dewa.
Wina menatap mata Dewa. Ia mencari kesungguhan dan kenyamanan di sana.
"Apalagi yang kau ragukan, Win? Aku mencintaimu. Dan aku akan mencari pekerjaan hingga kita bisa hidup layak," lanjut Dewa.
Bulir air mata Wina tak kunjung mereda. Ia memang bahagia dengan janji Dewa. Tapi terasa ada yang kurang di hati.
"Aku akan segera bilang ke orang tuaku. Tak bisa lagi kutunda pernikahan kita," ucap Dewa meyakinkan.
"Kau yakin kita bisa melalui bersama?" tanya Wina.
"Yakin. Kau percayalah padaku. Kau tinggal duduk tenang, aku yang akan mengurus segalanya. Bukankah berkali-kali kau bilang sudah bosan pacaran?" sindir Dewa.
Wina mendongakkan kepala. Dewa tersenyum kecil dan mencium keningnya.
"Akan kuwujudkan impianmu," ucap Dewa lembut.
***
Beberapa hari kemudian, saat itu tiba. Wina terbalut gaun pengantin sederhana dengan riasan natural, membuat wajahnya semakin menawan.
Tita ada disampingnya, menguatkan hati sahabatnya. Ia tahu permasalahan Wina. Berkali pula ujung jarinya menghapus air mata yang mengalir tak henti dari mata indah sahabatnya.
"Sudah dong, Win. Berapa kali perias kamu bolak-balik membetulkan riasanmu. Kasihan, dong," goda Tita.
Wina tersenyum kecil. Akhirnya, ia dapat menyunggingkan senyum. "Ta, kamu lihat kakakku datang, nggak?"
Dua hari lalu, Wina hanya sanggup memberi kabar pada Ria dan ibunya jika dirinya akan menikah. Mereka sangat terkejut. Ibunya tak henti menangis. Ia juga memperoleh informasi dari Ria, jika ayahnya masih belum memaafkan dirinya dan sekarang lebih sering menyendiri.
"Sepertinya belum datang. Eh, tahu tidak, bos kita uring-uringan karena kau mengajukan cuti mendadak," terang Tita sambil memanyunkan mulutnya.
"Aku sudah tak peduli, Ta. Hidupku saja sudah tak berarti begini," tandas Wina menunduk.
"Ish, kamu. Semangat, dong! Mau jadi nyonya Dewa sebentar lagi. Ingat apa yang menjadi tujuan kalian? Mau menghadiahkan cucu buat ayahmu, kan?" redam Tita.
Wina terdiam. Ia sudah bercerita pada Tita, segala janji Dewa. Dari mencari pekerjaan, membahagiakan dirinya dan hadirnya anak.
'Semoga anakku nanti sanggup meluluhkan hati ayah,' harap batin Wina.
Sayup-sayup dari dalam kamar, Wina mendengar Dewa mengucapkan ijab kabul dengan wali hakim. Ia tak menyangka jika detik ini statusnya sudah berubah. Segala tanggung jawab ayahnya sudah berganti di pundak Dewa. Air matanya mengalir tak terbendung.
Tita memeluknya dan mengucapkan selamat. Setelah itu, ia menuntun Wina keluar kamar dan menyandingkan di sebelah Dewa.
"Kau cantik sekali," ucap Dewa melihat istrinya.
Wina tersenyum kecil. Entah kenapa hatinya tidak tenang. Ia mencuri-curi pandang mencari sosok kakaknya diantara undangan yang hadir. Nihil!
Acara berjalan dengan lancar. Para tamu undangan menyalami dan memberi selamat pada mereka berdua. Wina harus tersenyum penuh kebohongan pada mereka semua. Sungguh tak nyaman dengan keadaan.
"Wina."
Mendengar suaranya dipanggil oleh seseorang yang akrab ditelinganya, Wina menoleh. "Kakak," lirihnya.
Ria datang. Ia mendekat dan memeluk adiknya. Dalam benaknya, tak menyangka Wina akhirnya nekat menikah dengan Dewa. Seketika bayangan ayahnya yang terdiam di kamar bergelayut di pikiran. Ia tak kuat berlama-lama di acara pernikahan ini.
"Aku cuma berdoa semoga kau bahagia," ucap Ria lirih.
Wina mengangguk sambil terisak. Ia sudah tak sanggup lagi bicara. Ria melepaskan pelukan dan melihat ke arah Dewa.
"Terima kasih Kak, sudah datang," ucap Dewa.
"Sama-sama. Semoga kalian bahagia," ucap Ria.
Dewa mengaminkan.
"Aku tak lama karena meninggalkan Asya sama papanya di rumah," pamit Ria.
"Kakak tidak menemani aku dulu?" harap Wina.
Ria tersenyum sambil mengulurkan sesuatu di genggaman tangan Wina.
"Apa ini, Kak?" kejut Wina.
"Sudah. Terimalah sedikit dari kami. Papanya Asya dan ibu titip salam buat kalian berdua. Aku pamit ya," pungkas Ria mencium pipi Wina dan berlalu keluar.
Wina mengusap air matanya. Walaupun sebentar, kedatangan kakaknya sanggup menguatkan dirinya. Ia bertekad akan menjaga tubuhnya agar segera hamil dan dapat membahagiakan ayahnya.
***
"Berapa yang kau dapat dari kakakmu?" tanya Dewa begitu Wina selesai berganti baju rumah.
Wina menoleh heran ke arah suaminya. "Kenapa, Wa?"
"Semua yang kau dapat, berarti aku boleh tahu," celetuk Dewa sambil mengambil kasar amplop pemberian Ria yang ada di atas meja.
Wina tercekat. Seumur hidupnya ia tak pernah melihat sikap ayahnya seperti ini pada ibu. Beliau benar-benar sosok yang menghargai istrinya. Seringkali uang gaji yang dibawa ayah dari kantor masih utuh dalam amplop tertutup dan diserahkan ke ibu. Beliau percaya ibu mengatur keuangan rumah tangga. Jika ada sisa uang, seringkali ibu mengajak sekeluarga makan-makan di luar.
"Lumayan, dua juta. Jangan lupa kau berikan pada ibuku separuh," ucap Dewa meletakkan kembali amplop di atas meja dan berlalu dari kamar.
"Tap-tapi, Wa? Dewaa!" Percuma Wina berteriak. Dewa sudah turun ke lantai bawah.
Rumah orang tua Dewa berlantai dua. Khusus kamar Dewa dan kamar tamu ada di lantai atas. Sementara kamar orang tuanya dan Diani, adik Dewa, ada di bawah.
Wina mengembuskan napas panjang. Ia merasa persoalan baru sudah menghadangnya. Terdiam lama di kamar pun ia tak enak hati pada anggota keluarga di sini. Uang dalam amplop, ia ambil sesuai permintaan Dewa dan perlahan turun ke bawah.
Mertuanya serta Dewa dan Diani sedang makan bersama. Ia menoleh ke arah Dewa yang cuek padanya.
"Selamat malam semua, maaf saya baru hadir," sapa Wina tersenyum ke semua yang ada di ruang itu.
Lestari, ibu mertuanya, tersenyum sinis. Krisna Mahajana, ayah mertua, dan Diani hanya melirik sekilas. Dewa sama sekali tak menoleh. Wina benar-benar merasa asing di rumah ini.
"Ibu, ini ada sedikit rezeki untuk ibu," ucap Wina mengulurkan amplop.
Lestari langsung terbelalak dan bangkit dari kursi. "Waahh, terima kasih menantuku! Ayo-ayo, kita makan bersama. Sana duduk di sebelah suamimu."
"Berapa tuh, Bu?" tanya Diani tiba-tiba.
Wina yang baru saja duduk, terkejut dengan respon Diani. Tak menyangka sikap gadis yang dulu dikenalnya pendiam ternyata bermulut pedas.
Lestari langsung membuka amplop dan menghitungnya.
"Tunggu! Hanya segini?!" seru Lestari melotot ke arah Wina.
"Kau kira uang ini cukup untuk beli lauk satu bulan?!" sengit Lestari. Tangannya mengacungkan lembaran uang sembari membelalakkan mata, alisnya terangkat, menyiratkan rasa tak suka pada anggota baru di rumahnya.Melihat amarah Lestari, Wina tak berkutik. Ia menggapai tangan Dewa meminta perlindungan."Nanti Dewa tambahin, Bu. Tenang aja," redam Dewa melirik sekilas ke arah Wina."Nah, gitu dong," sahut Lestari, intonasinya melunak.Selera makan Wina tiba-tiba hilang. Dirinya tak menyangka ibunda Dewa bersikap seperti itu. Rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dada membuatnya segera pamit meninggalkan ruangan itu. "Permisi, saya ke kamar dulu."Mereka yang ada di meja makan tidak menyahut sedikit pun. Wina bergegas menuju kamar. Tak ada gunanya berlama-lama di ruang itu."Dewa, jangan lupa nasihati istrimu untuk melakukan pekerjaan dapur juga. Jangan hanya di kamar," tegur Krisna."Iya, Pa. Mungkin dia lelah karena acara tadi," jawab Dewa.Semua terdiam. Dewa beranjak meninggalkan ruang
Tulang Wina serasa mau lepas. Tak menyangka pagi ini akan mengalami kejadian beruntun yang menyesakkan jiwa.Bos beranjak pergi dengan sorot mata garang dari hadapan Wina yang tercekat tak tahu harus bicara apa.Tita langsung menghambur memeluk sahabatnya. "Kenapa kamu datang hari ini sih, Win?" ucapnya menyesalkan kedatangan Wina.Wina tak menjawab. Masih berusaha memahami kejadian bertubi yang menimpanya. Selain rumah mertua bagai neraka, kini pekerjaan satu-satunya sebagai tumpuan hidup, tak memberinya harapan. Air mata sampai-sampai tak bisa keluar, seakan sudah terkuras habis. Akhirnya, ditemani Tita, ia menuju ruang HRD, menerima surat pemecatan serta gaji terakhirnya."Win, apapun yang terjadi, kita harus sering komunikasi ya," harap Tita.Wina hanya mengangguk. Tubuhnya masih lemas. Tita memeluknya erat dan mengantar hingga depan kantor."Sudah, Ta. Kembali ke ruangan aja. Jangan sampai kamu dimarahi bos juga," ucap Wina.Tita mengangguk. Namun, rasa tak tega membuat air matan
Wina tersentak kaget. Tak mengira Dewa akan bersikap seperti itu. Alih-alih merasa senang jika istrinya mengunjungi rumah kakaknya, ini malah langsung disuruh pulang.Ria kebetulan melongok ke dalam kamar. Wina memberi kode pada kakaknya jika Dewa sedang menelepon. Ria mengangguk dan melangkah menjauh.“Kalau memang menyuruhku pulang, kenapa kau tak menjemputku?” tanya Wina pelan agar tak terdengar Ria.“Kau sendiri yang ke sana, kenapa aku yang disuruh jemput. Bisa mikir nggak, sih?”“Aku di rumah kakakku, Wa.” Wina menekankan sekali lagi, menahan rasa kesal."Aku tak peduli. Pokoknya sekarang kau pulang naik ojek online atau taksi. Aku sedang sibuk." Telepon Dewa langsung terputus.Wina menghela napas panjang. 'Pria ini sungguh egois. Percuma aja berdebat di telepon. Yang ada hanyalah alasan dan alasan.'Ia melangkah keluar dan melihat bang Ramon baru tiba di rumah dan menggendong Asya."Hai, Win. Apa kabar?" sapa Ramon begitu melihat adik iparnya."Baik, Bang. Abang sehat?""Sepert
"Aku harus dapat kerja hari ini! Jika pekerjaan itu kudapat, pasti Wina akan sangat bergantung padaku dan mudah takluk!" tekad Dewa kala berjalan menyusuri trotoar sambil mendekap erat map berkas data diri. Masih tersisa di ingatannya kejadian kemarin. Maka siasat demi siasat disusun demi merebut hati Wina kembali. Debu bergulung menyapu jalanan. Ia berkali-kali harus merapikan rambutnya yang terkena empasan angin.Sudah tiga perusahaan Dewa datangi hari ini. Tak satu pun memberi kesempatan padanya untuk sekedar wawancara. Rasa gundah mulai melanda. Ia melihat benda melingkar di tangan. 'Sudah jam setengah sepuluh, aku harus bergegas. Semoga usahaku sekali lagi memberiku peluang,' harapnya.Di hadapannya kini berdiri sebuah gedung megah dengan arsitektur modern. Tak ingin menunda-nunda, dengan rasa percaya diri, ia melangkah masuk ke halaman kantor tersebut. Setelah bertanya lowongan pekerjaan pada satpam, ia diarahkan ke bagian resepsionis. Dengan menggenggam asa, penuh semangat ia
Wina benar-benar syok, tak menyangka Dewa tega mengucapkan itu. Batinnya menjerit, 'Di mana nuranimu, Wa!'Air matanya membayang mengingat ayahnya yang masih sakit. Entah, mulutnya tiba-tiba kelu untuk menanyakan apa maksud suaminya berkata seperti itu. "Sudah sana, hati-hati di jalan," pungkas Dewa tersenyum sekilas dan langsung meninggalkan kawasan terminal.Bulir air bening yang mengalir, langsung diusap. Wina tak mau orang lain melihat kesedihan di wajahnya. Tak lama lagi, ia akan bertemu ayah dan ibu. Tak elok jika raut mukanya menampakkan kesedihan. Senyum kecil tersungging demi menguatkan hati. Langkahnya ringan menuju area bus tujuan kota kelahirannya. Di perjalanan, ia melihat pemandangan dari balik jendela sambil merangkum segala peristiwa yang telah terjadi akhir-akhir ini. Protes Fahri, pernikahannya yang tanpa restu, sikap Dewa setelah menikah, penerimaan mertua, dan pemecatan dirinya. Sekarang dirinya pulang untuk bertemu ayahnya yang jatuh sakit. Harapannya hanya sat
"Tap-tapi Bu, saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris? Kemarin HRD bilang saya bekerja di bagian administrasi. Apa Ibu tidak salah?" Dewa kebingungan dengan sambutan Ratih.Ratih tersenyum penuh arti. "Bu Mona yang memberi mandat, jadi anda tinggal menjalankan. Perlahan nanti akan saya ajari. Ini mejamu dan seluruh peralatan kerja yang ada di atasnya sudah saya siapkan."Dewa terheran-heran dengan apa yang terjadi di menit ini. Dewi fortuna sungguh berpihak padanya."Bu Mona akan datang sekitar setengah jam lagi. Sekarang mari saya ajari dulu," tutur Ratih lembut.Dewa mau tak mau menurut melangkah menuju belakang meja barunya. Dengan penuh hati-hati ia duduk di kursi goyang yang sangat empuk. "Wow, luar biasa."Ratih yang melihat tingkah rekan barunya tertawa geli, lalu menjelaskan runtut agar Dewa mudah memahami. Ia sangat menguasai bidang kerjanya, sekaligus hapal betul kebiasaan atasannya. Maka dari itu ia menatar Dewa agar benar-benar paham konsep kerjanya.Dewa mendengark
Pagi ini Fahri duduk di teras rumah sambil disuapi Wulan. Sementara Wina menyapu halaman dan menata tanaman ibunya yang lama tak terurus.Fahri tak lepas menatap putri keduanya itu, seakan belum puas memeluk rindu. Wulan yang berada di sebelahnya tersenyum bahagia melihat wajah suaminya tidak pucat lagi sejak kedatangan Wina. Bahkan piring yang dipegangnya kini sudah piring kedua yang diminta oleh Fahri. Nafsu makannya melonjak drastis."Sudah mau habis, Suamiku. Mau nambah lagi nasinya?" tanya Wulan tersenyum sembari menahan geli.Fahri menengok ke piring lalu menggeleng perlahan. "Kalau aku lapar lagi, aku akan minta padamu, Bu."Wulan mengangguk sambil menyelesaikan suapan terakhir ke mulut suaminya."Win! Ibu mau masuk rumah. Kau temani ayahmu dulu," seru Wulan bangkit dari kursi.Wina menoleh lalu bergegas menaruh sapu kemudian mencuci tangan. Langkah kakinya mendekat ke kursi yang ada di sebelah Fahri. "Ayah sudah kenyang?".Fahri tersenyum, mengangguk. Sorot matanya lembut mena
Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Dewa. Yakni, kepulangan bos besarnya, setelah empat hari bersama tim riset melakukan penelitian di luar negeri. Parfum aroma maskulin disemprotkan dibeberapa titik tubuh, selagi Ratih masih di dalam ruangan bos untuk mengecek kebersihan.'Aku tak sabar menunggunya datang,' batin Dewa diliputi rasa bahagia. Penampilan istimewa hari ini sengaja ditunjukkan untuk menyambut bos Mona setelah lama tak sua.Ratih keluar dari ruangan Mona. "Kau masih hapal semua yang kuajarkan?" "Masih, Bu.""Bagus. Biasanya Nona Besar akan meminta dibuatkan laporan setelah perjalanannya dari luar negeri. Mungkin kau atau aku yang disuruh oleh beliau. Bersiaplah," tutur Ratih."Siap."Tak lama, pintu lift terbuka. Aroma parfum feminim menguar keluar. Kaki jenjang terawat melangkah penuh percaya diri. Kecantikan yang tertuang di wajah Mona tak pernah sirna. Kulit putihnya bersih menawan. Baju kerjanya sangat sesuai dengan bentuk tubuh. Siapapun yang melihat pa