"Apa? Menikah?" lirih Wina. Tak menyangka Dewa akan membulatkan tekadnya.
"Iya. Kenapa? Kau tak siap?" tanya Dewa.
"Bukannya aku tak siap, tapi ... aku tetap butuh restu orang tuaku," jawab Wina pelan.
"Restu? Nyatanya ayahmu tidak setuju dengan hubungan kita, mau bagaimana lagi? Yang terpenting kita saling cinta, kan?" harap Dewa.
Dewa tak mau wanita ini dalam rengkuhan orang tuanya terus menerus. Dirinya yakin bisa memberikan kebahagiaan pada Wina. Toh, pikirnya apalagi yang diharapkan oleh dua orang yang memadu kasih kalau bukan bersatu dalam ranjang dan saling mengerti. Ia tak mau membuat sulit hubungan ini. Apalagi masalah restu. Jauh dari pemikirannya.
Berbeda dengan Wina. Ia sangat takut akan pernikahan tanpa restu orang tua. Tak pernah terbayang dalam benaknya selama ini jika ia harus menjalani sesuatu yang menakutkan, yang selalu ia anggap tabu. Menikah tanpa restu!
"Kamu tidak usah khawatir. Jika kita sudah menikah nanti dan anak kita lahir. Ayahmu pasti akan luluh melihat cucunya nanti. Percaya sama aku," rayu Dewa.
Wina menatap mata Dewa. Ia mencari kesungguhan dan kenyamanan di sana.
"Apalagi yang kau ragukan, Win? Aku mencintaimu. Dan aku akan mencari pekerjaan hingga kita bisa hidup layak," lanjut Dewa.
Bulir air mata Wina tak kunjung mereda. Ia memang bahagia dengan janji Dewa. Tapi terasa ada yang kurang di hati.
"Aku akan segera bilang ke orang tuaku. Tak bisa lagi kutunda pernikahan kita," ucap Dewa meyakinkan.
"Kau yakin kita bisa melalui bersama?" tanya Wina.
"Yakin. Kau percayalah padaku. Kau tinggal duduk tenang, aku yang akan mengurus segalanya. Bukankah berkali-kali kau bilang sudah bosan pacaran?" sindir Dewa.
Wina mendongakkan kepala. Dewa tersenyum kecil dan mencium keningnya.
"Akan kuwujudkan impianmu," ucap Dewa lembut.
***
Beberapa hari kemudian, saat itu tiba. Wina terbalut gaun pengantin sederhana dengan riasan natural, membuat wajahnya semakin menawan.
Tita ada disampingnya, menguatkan hati sahabatnya. Ia tahu permasalahan Wina. Berkali pula ujung jarinya menghapus air mata yang mengalir tak henti dari mata indah sahabatnya.
"Sudah dong, Win. Berapa kali perias kamu bolak-balik membetulkan riasanmu. Kasihan, dong," goda Tita.
Wina tersenyum kecil. Akhirnya, ia dapat menyunggingkan senyum. "Ta, kamu lihat kakakku datang, nggak?"
Dua hari lalu, Wina hanya sanggup memberi kabar pada Ria dan ibunya jika dirinya akan menikah. Mereka sangat terkejut. Ibunya tak henti menangis. Ia juga memperoleh informasi dari Ria, jika ayahnya masih belum memaafkan dirinya dan sekarang lebih sering menyendiri.
"Sepertinya belum datang. Eh, tahu tidak, bos kita uring-uringan karena kau mengajukan cuti mendadak," terang Tita sambil memanyunkan mulutnya.
"Aku sudah tak peduli, Ta. Hidupku saja sudah tak berarti begini," tandas Wina menunduk.
"Ish, kamu. Semangat, dong! Mau jadi nyonya Dewa sebentar lagi. Ingat apa yang menjadi tujuan kalian? Mau menghadiahkan cucu buat ayahmu, kan?" redam Tita.
Wina terdiam. Ia sudah bercerita pada Tita, segala janji Dewa. Dari mencari pekerjaan, membahagiakan dirinya dan hadirnya anak.
'Semoga anakku nanti sanggup meluluhkan hati ayah,' harap batin Wina.
Sayup-sayup dari dalam kamar, Wina mendengar Dewa mengucapkan ijab kabul dengan wali hakim. Ia tak menyangka jika detik ini statusnya sudah berubah. Segala tanggung jawab ayahnya sudah berganti di pundak Dewa. Air matanya mengalir tak terbendung.
Tita memeluknya dan mengucapkan selamat. Setelah itu, ia menuntun Wina keluar kamar dan menyandingkan di sebelah Dewa.
"Kau cantik sekali," ucap Dewa melihat istrinya.
Wina tersenyum kecil. Entah kenapa hatinya tidak tenang. Ia mencuri-curi pandang mencari sosok kakaknya diantara undangan yang hadir. Nihil!
Acara berjalan dengan lancar. Para tamu undangan menyalami dan memberi selamat pada mereka berdua. Wina harus tersenyum penuh kebohongan pada mereka semua. Sungguh tak nyaman dengan keadaan.
"Wina."
Mendengar suaranya dipanggil oleh seseorang yang akrab ditelinganya, Wina menoleh. "Kakak," lirihnya.
Ria datang. Ia mendekat dan memeluk adiknya. Dalam benaknya, tak menyangka Wina akhirnya nekat menikah dengan Dewa. Seketika bayangan ayahnya yang terdiam di kamar bergelayut di pikiran. Ia tak kuat berlama-lama di acara pernikahan ini.
"Aku cuma berdoa semoga kau bahagia," ucap Ria lirih.
Wina mengangguk sambil terisak. Ia sudah tak sanggup lagi bicara. Ria melepaskan pelukan dan melihat ke arah Dewa.
"Terima kasih Kak, sudah datang," ucap Dewa.
"Sama-sama. Semoga kalian bahagia," ucap Ria.
Dewa mengaminkan.
"Aku tak lama karena meninggalkan Asya sama papanya di rumah," pamit Ria.
"Kakak tidak menemani aku dulu?" harap Wina.
Ria tersenyum sambil mengulurkan sesuatu di genggaman tangan Wina.
"Apa ini, Kak?" kejut Wina.
"Sudah. Terimalah sedikit dari kami. Papanya Asya dan ibu titip salam buat kalian berdua. Aku pamit ya," pungkas Ria mencium pipi Wina dan berlalu keluar.
Wina mengusap air matanya. Walaupun sebentar, kedatangan kakaknya sanggup menguatkan dirinya. Ia bertekad akan menjaga tubuhnya agar segera hamil dan dapat membahagiakan ayahnya.
***
"Berapa yang kau dapat dari kakakmu?" tanya Dewa begitu Wina selesai berganti baju rumah.
Wina menoleh heran ke arah suaminya. "Kenapa, Wa?"
"Semua yang kau dapat, berarti aku boleh tahu," celetuk Dewa sambil mengambil kasar amplop pemberian Ria yang ada di atas meja.
Wina tercekat. Seumur hidupnya ia tak pernah melihat sikap ayahnya seperti ini pada ibu. Beliau benar-benar sosok yang menghargai istrinya. Seringkali uang gaji yang dibawa ayah dari kantor masih utuh dalam amplop tertutup dan diserahkan ke ibu. Beliau percaya ibu mengatur keuangan rumah tangga. Jika ada sisa uang, seringkali ibu mengajak sekeluarga makan-makan di luar.
"Lumayan, dua juta. Jangan lupa kau berikan pada ibuku separuh," ucap Dewa meletakkan kembali amplop di atas meja dan berlalu dari kamar.
"Tap-tapi, Wa? Dewaa!" Percuma Wina berteriak. Dewa sudah turun ke lantai bawah.
Rumah orang tua Dewa berlantai dua. Khusus kamar Dewa dan kamar tamu ada di lantai atas. Sementara kamar orang tuanya dan Diani, adik Dewa, ada di bawah.
Wina mengembuskan napas panjang. Ia merasa persoalan baru sudah menghadangnya. Terdiam lama di kamar pun ia tak enak hati pada anggota keluarga di sini. Uang dalam amplop, ia ambil sesuai permintaan Dewa dan perlahan turun ke bawah.
Mertuanya serta Dewa dan Diani sedang makan bersama. Ia menoleh ke arah Dewa yang cuek padanya.
"Selamat malam semua, maaf saya baru hadir," sapa Wina tersenyum ke semua yang ada di ruang itu.
Lestari, ibu mertuanya, tersenyum sinis. Krisna Mahajana, ayah mertua, dan Diani hanya melirik sekilas. Dewa sama sekali tak menoleh. Wina benar-benar merasa asing di rumah ini.
"Ibu, ini ada sedikit rezeki untuk ibu," ucap Wina mengulurkan amplop.
Lestari langsung terbelalak dan bangkit dari kursi. "Waahh, terima kasih menantuku! Ayo-ayo, kita makan bersama. Sana duduk di sebelah suamimu."
"Berapa tuh, Bu?" tanya Diani tiba-tiba.
Wina yang baru saja duduk, terkejut dengan respon Diani. Tak menyangka sikap gadis yang dulu dikenalnya pendiam ternyata bermulut pedas.
Lestari langsung membuka amplop dan menghitungnya.
"Tunggu! Hanya segini?!" seru Lestari melotot ke arah Wina.
"Kau kira uang ini cukup untuk beli lauk satu bulan?!" sengit Lestari. Tangannya mengacungkan lembaran uang sembari membelalakkan mata, alisnya terangkat, menyiratkan rasa tak suka pada anggota baru di rumahnya.Melihat amarah Lestari, Wina tak berkutik. Ia menggapai tangan Dewa meminta perlindungan."Nanti Dewa tambahin, Bu. Tenang aja," redam Dewa melirik sekilas ke arah Wina."Nah, gitu dong," sahut Lestari, intonasinya melunak.Selera makan Wina tiba-tiba hilang. Dirinya tak menyangka ibunda Dewa bersikap seperti itu. Rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dada membuatnya segera pamit meninggalkan ruangan itu. "Permisi, saya ke kamar dulu."Mereka yang ada di meja makan tidak menyahut sedikit pun. Wina bergegas menuju kamar. Tak ada gunanya berlama-lama di ruang itu."Dewa, jangan lupa nasihati istrimu untuk melakukan pekerjaan dapur juga. Jangan hanya di kamar," tegur Krisna."Iya, Pa. Mungkin dia lelah karena acara tadi," jawab Dewa.Semua terdiam. Dewa beranjak meninggalkan ruang
Tulang Wina serasa mau lepas. Tak menyangka pagi ini akan mengalami kejadian beruntun yang menyesakkan jiwa.Bos beranjak pergi dengan sorot mata garang dari hadapan Wina yang tercekat tak tahu harus bicara apa.Tita langsung menghambur memeluk sahabatnya. "Kenapa kamu datang hari ini sih, Win?" ucapnya menyesalkan kedatangan Wina.Wina tak menjawab. Masih berusaha memahami kejadian bertubi yang menimpanya. Selain rumah mertua bagai neraka, kini pekerjaan satu-satunya sebagai tumpuan hidup, tak memberinya harapan. Air mata sampai-sampai tak bisa keluar, seakan sudah terkuras habis. Akhirnya, ditemani Tita, ia menuju ruang HRD, menerima surat pemecatan serta gaji terakhirnya."Win, apapun yang terjadi, kita harus sering komunikasi ya," harap Tita.Wina hanya mengangguk. Tubuhnya masih lemas. Tita memeluknya erat dan mengantar hingga depan kantor."Sudah, Ta. Kembali ke ruangan aja. Jangan sampai kamu dimarahi bos juga," ucap Wina.Tita mengangguk. Namun, rasa tak tega membuat air matan
Wina tersentak kaget. Tak mengira Dewa akan bersikap seperti itu. Alih-alih merasa senang jika istrinya mengunjungi rumah kakaknya, ini malah langsung disuruh pulang.Ria kebetulan melongok ke dalam kamar. Wina memberi kode pada kakaknya jika Dewa sedang menelepon. Ria mengangguk dan melangkah menjauh.“Kalau memang menyuruhku pulang, kenapa kau tak menjemputku?” tanya Wina pelan agar tak terdengar Ria.“Kau sendiri yang ke sana, kenapa aku yang disuruh jemput. Bisa mikir nggak, sih?”“Aku di rumah kakakku, Wa.” Wina menekankan sekali lagi, menahan rasa kesal."Aku tak peduli. Pokoknya sekarang kau pulang naik ojek online atau taksi. Aku sedang sibuk." Telepon Dewa langsung terputus.Wina menghela napas panjang. 'Pria ini sungguh egois. Percuma aja berdebat di telepon. Yang ada hanyalah alasan dan alasan.'Ia melangkah keluar dan melihat bang Ramon baru tiba di rumah dan menggendong Asya."Hai, Win. Apa kabar?" sapa Ramon begitu melihat adik iparnya."Baik, Bang. Abang sehat?""Sepert
"Aku harus dapat kerja hari ini! Jika pekerjaan itu kudapat, pasti Wina akan sangat bergantung padaku dan mudah takluk!" tekad Dewa kala berjalan menyusuri trotoar sambil mendekap erat map berkas data diri. Masih tersisa di ingatannya kejadian kemarin. Maka siasat demi siasat disusun demi merebut hati Wina kembali. Debu bergulung menyapu jalanan. Ia berkali-kali harus merapikan rambutnya yang terkena empasan angin.Sudah tiga perusahaan Dewa datangi hari ini. Tak satu pun memberi kesempatan padanya untuk sekedar wawancara. Rasa gundah mulai melanda. Ia melihat benda melingkar di tangan. 'Sudah jam setengah sepuluh, aku harus bergegas. Semoga usahaku sekali lagi memberiku peluang,' harapnya.Di hadapannya kini berdiri sebuah gedung megah dengan arsitektur modern. Tak ingin menunda-nunda, dengan rasa percaya diri, ia melangkah masuk ke halaman kantor tersebut. Setelah bertanya lowongan pekerjaan pada satpam, ia diarahkan ke bagian resepsionis. Dengan menggenggam asa, penuh semangat ia
Wina benar-benar syok, tak menyangka Dewa tega mengucapkan itu. Batinnya menjerit, 'Di mana nuranimu, Wa!'Air matanya membayang mengingat ayahnya yang masih sakit. Entah, mulutnya tiba-tiba kelu untuk menanyakan apa maksud suaminya berkata seperti itu. "Sudah sana, hati-hati di jalan," pungkas Dewa tersenyum sekilas dan langsung meninggalkan kawasan terminal.Bulir air bening yang mengalir, langsung diusap. Wina tak mau orang lain melihat kesedihan di wajahnya. Tak lama lagi, ia akan bertemu ayah dan ibu. Tak elok jika raut mukanya menampakkan kesedihan. Senyum kecil tersungging demi menguatkan hati. Langkahnya ringan menuju area bus tujuan kota kelahirannya. Di perjalanan, ia melihat pemandangan dari balik jendela sambil merangkum segala peristiwa yang telah terjadi akhir-akhir ini. Protes Fahri, pernikahannya yang tanpa restu, sikap Dewa setelah menikah, penerimaan mertua, dan pemecatan dirinya. Sekarang dirinya pulang untuk bertemu ayahnya yang jatuh sakit. Harapannya hanya sat
"Tap-tapi Bu, saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris? Kemarin HRD bilang saya bekerja di bagian administrasi. Apa Ibu tidak salah?" Dewa kebingungan dengan sambutan Ratih.Ratih tersenyum penuh arti. "Bu Mona yang memberi mandat, jadi anda tinggal menjalankan. Perlahan nanti akan saya ajari. Ini mejamu dan seluruh peralatan kerja yang ada di atasnya sudah saya siapkan."Dewa terheran-heran dengan apa yang terjadi di menit ini. Dewi fortuna sungguh berpihak padanya."Bu Mona akan datang sekitar setengah jam lagi. Sekarang mari saya ajari dulu," tutur Ratih lembut.Dewa mau tak mau menurut melangkah menuju belakang meja barunya. Dengan penuh hati-hati ia duduk di kursi goyang yang sangat empuk. "Wow, luar biasa."Ratih yang melihat tingkah rekan barunya tertawa geli, lalu menjelaskan runtut agar Dewa mudah memahami. Ia sangat menguasai bidang kerjanya, sekaligus hapal betul kebiasaan atasannya. Maka dari itu ia menatar Dewa agar benar-benar paham konsep kerjanya.Dewa mendengark
Pagi ini Fahri duduk di teras rumah sambil disuapi Wulan. Sementara Wina menyapu halaman dan menata tanaman ibunya yang lama tak terurus.Fahri tak lepas menatap putri keduanya itu, seakan belum puas memeluk rindu. Wulan yang berada di sebelahnya tersenyum bahagia melihat wajah suaminya tidak pucat lagi sejak kedatangan Wina. Bahkan piring yang dipegangnya kini sudah piring kedua yang diminta oleh Fahri. Nafsu makannya melonjak drastis."Sudah mau habis, Suamiku. Mau nambah lagi nasinya?" tanya Wulan tersenyum sembari menahan geli.Fahri menengok ke piring lalu menggeleng perlahan. "Kalau aku lapar lagi, aku akan minta padamu, Bu."Wulan mengangguk sambil menyelesaikan suapan terakhir ke mulut suaminya."Win! Ibu mau masuk rumah. Kau temani ayahmu dulu," seru Wulan bangkit dari kursi.Wina menoleh lalu bergegas menaruh sapu kemudian mencuci tangan. Langkah kakinya mendekat ke kursi yang ada di sebelah Fahri. "Ayah sudah kenyang?".Fahri tersenyum, mengangguk. Sorot matanya lembut mena
Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Dewa. Yakni, kepulangan bos besarnya, setelah empat hari bersama tim riset melakukan penelitian di luar negeri. Parfum aroma maskulin disemprotkan dibeberapa titik tubuh, selagi Ratih masih di dalam ruangan bos untuk mengecek kebersihan.'Aku tak sabar menunggunya datang,' batin Dewa diliputi rasa bahagia. Penampilan istimewa hari ini sengaja ditunjukkan untuk menyambut bos Mona setelah lama tak sua.Ratih keluar dari ruangan Mona. "Kau masih hapal semua yang kuajarkan?" "Masih, Bu.""Bagus. Biasanya Nona Besar akan meminta dibuatkan laporan setelah perjalanannya dari luar negeri. Mungkin kau atau aku yang disuruh oleh beliau. Bersiaplah," tutur Ratih."Siap."Tak lama, pintu lift terbuka. Aroma parfum feminim menguar keluar. Kaki jenjang terawat melangkah penuh percaya diri. Kecantikan yang tertuang di wajah Mona tak pernah sirna. Kulit putihnya bersih menawan. Baju kerjanya sangat sesuai dengan bentuk tubuh. Siapapun yang melihat pa
"Bagaimana kabarmu, Wina Santika?" Sapaan itu tanpa sadar membuat Wina perlahan bangun dari hamparan rumput. Matanya terpana melihat sosok yang lama tak dijumpainya. Di sudut matanya mulai terbit titik air. Bibirnya mengembang seraya bergetar. "Baik." Wina membalas canggung sapaan itu. "Kamu?""Seperti yang kau lihat. Aku sehat.""Bundaa, ayo kita pulang. Katanya kalau ada tamu, harus duduk di ruang tamu," ucap Kirei dengan cadelnya.Celotehan itu membuat dua insan yang mendengar tersenyum. Bagai mendapat perintah, Wina melangkah lebih dulu, lalu menengok sekilas ke belakang, meminta sosok pria itu untuk mengikutinya."Silakan duduk di dalam," tawar Wina mempersilakan tamu spesialnya begitu sampai di depan teras rumah."Pemandangan di sini sangat indah. Bolehkan aku duduk di bangku teras ini saja?" Sofa empuk di teras menghadap ke halaman yang penuh dengan berbagai macam tanaman bunga dan juga kolam ikan koi. Memberi kesejukan mata bagi siapapun yang memandangnya.Wina hanya bisa
Lima tahun kemudian.“Saya tidak dapat menjalankan rencana ini tanpa persetujuan Nona Besar, Tuan. Menunggu beliau pulang dari Kanada adalah solusi terbaik.” Ratih menghela napas panjang. Sudah berapa kali ia menolak permintaan yang dirasa tak patut dijalankan. Karena ia tahu siapa tuannya sebelum menikahi Nona Besar.“Jadi kamu mau membangkang lagi?!”“Bukan, Tuan. Tapi Nona Besar sudah berpesan berulang kali kalau segala sesuatu harus melalui izin beliau. Saya tak bisa membantahnya.”“Kauuu!” Dewa menutup percakapan di telepon dengan kasar.Sudah berbagai upaya dilakukan agar Ratih menurut padanya, tapi tak sedikit pun celah berpihak padanya. Sejak menikahi atasannya lima tahun lalu, Dewa merasa dirinya berada dalam aturan yang tak pernah sejalan dengan pemikirannya. Momen di mana Mona sering melewatkan waktu di luar negeri untuk menjalankan usaha, sebenarnya merupakan waktu yang apik baginya untuk ikut mengatur cabang lain demi mendapatkan benefit untuk dirinya sendiri. Tapi bagaik
Duduk di tepi pantai di dalam saung bambu beratapkan daun rumbia, menjadi pilihan Sagara makan siang bersama Wina. Menu ikan bakar, udang saus manis, cumi tepung krispi, dan dua buah kelapa muda, menerbitkan selera Wina tanpa bisa dicegah. Sagara sampai tak berkedip melihat kalapnya perempuan yang ngidam itu hampir menghabiskan porsi yang ada."Ga, ayo makan. Keburu abis," ajak Wina sambil terus mengunyah. Sama sekali tak terusik walau jarinya sudah belepotan sambal. Keringat mengalir pelan di keningnya. "Aku sudah kenyang lihat kamu makan," celetuk Sagara memilih minum kelapa muda. Tangannya mengambil tisu dan mengusap lembut kening Wina."Aku pesankan lagi ya menunya?" timpal Wina dengan raut muka bersalah karena sudah begitu kalapnya menghabiskan semua menu.Sagara tertawa renyah. "Nggak usah. Kamu tahu nggak, apa yang membuatku bahagia saat ini?" "Apa?""Anakmu ternyata satu selera sama aku," jawab Sagara, tersenyum lebar.Pipi Wina bersemu merah. Kepalanya menunduk demi mengal
"Apakah tak dipikirkan lagi keputusanmu, Nak?" tanya Fahri untuk kedua kalinya, saat putrinya sedang berkemas di dalam kamar.Wina yang sedang mengemasi baju ke dalam koper, berbalik dan tersenyum ke arah ayahnya. "Seperti yang kuutarakan kemarin, Yah. Aku tak mau nantinya jadi bahan gosip tetangga, yang akhirnya sampai ke telinga Ayah dan Ibu. Kehamilanku sudah masuk trimester dua, aku tak mau mereka menuduhku hamil di luar nikah. Atau bahkan, mengataiku wanita yang dicampakkan suaminya." Dengan berusaha tersenyum, kelihatan sekali bibir Wina menahan untuk tidak menangis. "Selain itu, aku takut omongan mereka nanti berimbas pada perkembangan anakku."Fahri hanya bisa tercenung, tak punya daya untuk mempertahankan putrinya di rumah ini. Apalagi kemarin Wina juga beralasan ingin mengembangkan usaha online-nya dengan mendirikan toko di kota asal mbak Siti, asisten toko Ria yang sudah menjadi anak buah Wina selama ini. Siti bahkan sudah pulang kampung lebih dulu demi mencarikan tempat k
Fahri dan Wulan meraba bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Lelaki yang sudah berani menikahi putrinya, ternyata meninggalkan begitu saja demi wanita lain? Sagara sebenarnya sungkan menjelaskan, tapi berusaha keras demi Wina. "Dewa telah menjalin cinta dengan atasannya. Dan Wina telah diusir dari rumah mertuanya.""Astaghfirullah." Tubuh Wulan menghempas ke sandaran kursi. Tak dapat membayangkan kesakitan yang dialami putrinya. Ia lalu memeluk Wina dengan penuh kasih sayang."Keluarga tak tahu diri!" geram Fahri bangkit dari kursinya.Sagara segera bangkit dan memegang pundak Fahri. "Sabar, Paman. Yang lebih penting sekarang adalah menyelamatkan kondisi Wina yang rapuh."Ucapan Sagara berhasil mengendurkan kemarahan Fahri. Tangis pun kini tumpah di wajahnya, merasa tak berdaya sebagai seorang ayah yang harusnya bisa melindungi putrinya. Perlahan ia berjalan ke arah Wina.Melihat ayahnya mendekat, Wina segera menyambut memeluknya. "Maafkan Wina, Ayah!"Fahri mengangguk dan mendekap
Air muka Wina terlihat memohon pada Sagara. Usai mengucapkannya, rasa lara dan kehilangan sosok suami seperti menguap entah ke mana. Masa krisis tersakiti dalam hubungan rumah tangga, seolah perlahan mulai ia lewati.Sagara serius menatap Wina. "Kenapa kau tiba-tiba--""Ga, aku tak mungkin bersedih terus-menerus." Wajah Wina menunduk, lalu ia melanjutkan berkata, "Sebenarnya sudah lama aku tersakiti akan tingkah Dewa. Harusnya aku tersadar sejak awal. Janji dia tidak bisa dipercaya."Kejujuran yang menyakitkan telinga Sagara, membuatnya semakin paham akan derita Wina yang dipendam selama ini. Hatinya tambah menyumpahi lelaki itu. Benar kata Ali. Tak seharusnya ia berusaha mengakurkan hubungan Wina dan Dewa. Tidak ada gunanya. Bahkan akan semakin menyakiti perempuan di hadapannya."Bagaimana dengan rasa cintamu?" Sagara bertanya lagi, meski dalam hati ia merasa bodoh menanyakan hal itu. Tapi setidaknya dia bisa mengantongi perasaan Wina terhadap Dewa."Seharusnya sejak bau parfum wanit
Hangat sinar surya pada dedaunan menerbitkan rasa nyaman mata yang memandangnya. Tetesan embun semakin menipis seiring langit berubah membiru. Kicauan burung di luar jendela kamar memecah keheningan di kamar yang berisi hanya dua orang sejak kemarin.Bibir Sagara melengkung ke atas melihat gerakan beberapa burung yang bertengger di atas dahan di luar jendela. Setidaknya makhluk kecil itu mampu menghibur hati dan pikirannya yang cemas sejak kemarin sore. Di sebelahnya, tubuh Wina masih belum sadarkan diri di atas tempat tidur. Untunglah kemarin ia berhasil menangkap tubuh ringkih itu sebelum jatuh ke lantai. Sejak kejadian itu, Wina beberapa kali mengigau tak jelas diiringi air mata yang mengalir. Karena kondisi itu, matanya tak bisa terpejam sedetik pun dari semalam. Jika kompres di dahi Wina mengering, ia dengan telaten menggantinya.Menurut dokter pribadi yang dipanggil Sagara ke rumah, keadaan Wina masih bisa teratasi. Beban pikiran yang ditanggungnya membuat raga wanita ini tidak
Perkataan Dewa masih terngiang, sangat menyakitkan menghujam jantung. Bahkan Wina berkali meyakinkan dirinya di bawah guyuran hujan, bahwa kejadian barusan bukanlah mimpi. Namun, semakin melangkah menjauh dari rumah, semakin percaya bahwa apa yang dialaminya benar-benar nyata. Ia telah diusir dari rumah itu. Tangisnya luruh bersama air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Kedua tangannya memeluk erat tas yang dibawa, mencari kehangatan di derasnya air langit yang menghujam tubuh. Sambil terus berjalan dan terisak, ia tak menduga harus tersisih dari sisi suaminya karena kehadiran seorang wanita yang jauh lebih segalanya darinya. Hatinya masih tak percaya jika ego suaminya telah tega mengalahkan buah hati mereka demi wanita yang baru dikenal. Langkah kakinya tak terasa semakin menjauh dari perumahan tempat tinggal lelaki yang tega menepikannya. Wina belum tahu akan melangkah ke mana. Hanya nama kakaknya yang sanggup diingat. Jika datang ke rumah Ria pun ia harus kuat menanggung malu
"Wina, ambil jemuran! Hujan bentar lagi turun!" teriak Lestari dari lantai bawah.Wina yang masih merapikan tempat tidur langsung menjawab seruan itu, agar ibu mertuanya tidak berteriak kesekian kali. Pandangannya beralih ke jendela. Rupanya di luar, mendung sudah menggantung di langit. Dengan cekatan ia segera merampungkan pekerjaannya dan bergegas turun. Sesampainya di lantai bawah, ia melihat Lestari masih asyik menonton acara televisi, sama sekali tak mempedulikan pekerjaan rumah. Namun, ia tak ambil pusing dan berjalan cepat ke halaman mengambil jemuran seprai serta selimut kepunyaan Lestari dan Diani. Tak lupa, pakaian satu rumah yang tadi dicucinya juga turut diambil dari tali jemuran. Benar saja, begitu jemuran terakhir diangkat, gerimis mulai turun.Wina meletakkan seluruh cucian kering itu di ruang setrika yang ada di sebelah dapur. Tatkala masih melipat seprai, ia mendengar mesin mobil berhenti di luar rumah. Indra pendengarannya yakin bahwa itu bukan suara mobil ayah mertu