Terima kasih sudah singgah dan supportnya untuk novel Pie yang baru. Moga rezeki kalian melimpah Amin. Selamat datang my new lovely good readers.
Danar murka setelah mendengar nasehat dari advokat perusahaan. Saking marah, pria dingin itu meninju tembok dengan kepalan tangannya hingga berdenyut sakit.Danar hanya ingin melampiaskan amarahnya pada apapun. Awal kemarahan pria itu bermuasal dari bentuk kekecewaan dirinya pada Embun–yang sudah menolak permintaannya untuk rujuk. Sebelumnya, ia memang terlalu percaya diri jika mantan istrinya itu akan bersedia kembali padanya.Bayangan mengasuh anak bersama melintas di kepalanya. Ternyata, itu semua hanyalah imajinasi.Naasnya, jauh panggang dari api, ternyata di luar ekspektasinya, Embun Ganita menolak permintaannya mentah-mentah. Bahkan wanita bermanik almond itu tidak merasa terintimidasi saat ia mengancamnya takkan pernah memberikan hak asuh Sagara padanya. Embun menjelma menjadi wanita yang berbeda, tidak selugu yang dikira.“Argh!!”Masih belum puas meninju tembok, Danar kini bersiap-siap akan menendang meja. Namun segera ia mengurungkan niatnya karena Gilang masuk ke ruanganny
Diajeng hanya mendelik sebentar pada wanita cantik dalam balutan eksekutif itu--yang tak lain Paramita Rosalina Cahyadi, menantunya. Sungguh, Diajeng malas meladeninya. Namun Mita menahan kepergiannya.“Ibu, kau tak memelukku? Apakah kau tidak merindukanku?”Seolah tidak terjadi apa-apa, Mita mendekati Diajeng yang berwajah ketus. Mita ingin mencoba berdamai dengan ibu mertuanya. Ia masih ingin bersama suaminya adalah salah satu alasannya. “Kau bilang rindu? Beberapa hari yang lalu kau datang ke sini? Kau tidak mengatakan itu? Kau hanya meminta jatah bulananmu. Katanya CEO di perusahaan sendiri. Tapi uang nafkah tidak seberapa masih diminta? Cih!”Diajeng berkata dengan nada ketus. Sungguh, di luar kebiasaannya. Padahal dulu, ia begitu bersikap manis pada Mita. Namun setelah tahu boroknya Mita, sikapnya pun perlahan berubah.“Ibu, sudahlah! Mita memang masih istriku. Dia masih tanggung jawabku. Well, kami sekarang akan berusaha merawat Sagara bersama. Betulan ‘kan Mita?” Danar menc
“Mas, apa yang kaulakukan malam-malam?”Mita melongokan kepalanya di bibir pintu kamar tidur utama menuju balkon. Ia mengintip suaminya yang sedang terdiam di balkon dengan menatap kosong langit malam yang kelam tanpa bintang. Ke dua tangannya terentang dan berlabuh di lengan kursi sedangkan kepalanya bersandar pada kepala kursi sembari menengadah. Jika ditatap dari kejauhan, Danar mirip seorang pemuda yang tengah patah hati atau gelandangan.Penampilannya kisuh misuh. Piyama yang dikenakannya semrawut dengan beberapa kancing bagian atasnya terbuka. Wajahnya tampak muram durja lengkap dengan rambut yang megar seperti sarang burung walet. Pria itu benar-benar sedang frustrasi.Ditambah dramatis dengan suasana hening di malam yang kelam. Benar-benar suasana yang menggambarkan perasaan Danar saat ini. Pikirannya benar-benar kalut hingga menyebabkan kepalanya berdenyut seakan-akan ada ribuan jarum yang menusuk bagian cerebrum di kepalanya tanpa ampun. Bahkan untuk bernafas saja ia merasa
Menepis segala pikiran buruk yang berseliweran di kepalanya, Mita kembali mengemukakan pendapatnya tanpa diminta sekalipun. “Mas, satu-satunya solusi yaitu jalan damai! Mas, kita serahkan Sagara pada ibunya. Mas tidak usah khawatir soal aku tidak punya anak darimu. Kita bisa mencoba lagi program. Kalau perlu aku berobat lagi ke dokter obgyn di luar negeri. Aku akan berusaha lagi. Atau … jika masih tidak berhasil mendapat momongan, kita adopsi saja,”“Big no! Sagara putraku! Aku tidak akan mengijinkan wanita itu mengambilnya,” ucap Danar dengan serius.“Mas, kau tak mau ‘kan perusahaan collapse?” sergah Mita terdengar logis.Danar terdiam sesaat. “Kita lihat saja nanti!”Kemudian Danar menoleh pada Mita. Ia tertegun saat melihat Mita tampak cantik dalam gaun malam. Sedari tadi ia memang bicara tanpa melihatnya. Dersik angin yang berembus menggelitik tubuh Mita hingga membuatnya memeluk tubuhnya dengan ke dua tangannya. Mita kedinginan namun semakin seksi dalam pandangan Danar. Gaun be
Di sebuah apartemen penthouse saat ini sebuah keluarga kecil tengah berkumpul menikmati sarapan sebelum melakukan aktifitas akhir pekan. Suasana terasa hening manakala mereka menyantap hidangan yang dimasak khusus oleh sang ibu tercinta.Usai sarapan, mereka pindah ke ruang keluarga dan mulai mengobrol ringan tentang hal apapun.“Gala, hari ini kegiatanmu apa?” Sang ibu bertanya dengan penuh perhatian. Ia tahu jika putranya sangat sibuk mengurus perusahaan yang didirikannya secara mandiri. Ia telah membangun puluhan hotel dengan menghasilkan omset ratusan juta per bulannya.Pertanyaan yang terlontar hanyalah sekedar basa-basi yang pada intinya sang ibu mempertanyakan kegiatan putranya selain bekerja dan bekerja. Masalahnya Manggala sudah cukup umur untuk mencari calon istri. Manggala terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan ibunya. Tanpa ibunya menjelaskan langsung pun ia paham ke mana arah tujuan pertanyaannya.“Mama, Gala setiap hari ke kantor. Tapi … terkadang Gala mengecek hot
Embun mencoba mengenali wanita cantik yang berdiri bersama seorang pria tampan–yang baru saja keluar dari sebuah unit apartemen mewah. Ia yakin mereka adalah ke dua orang tuanya Manggala. Oleh karena itu Embun langsung saja menyapa mereka dengan penuh percaya diri.“Aku mau ketemu, Tante. Tante Mamanya Mas Gala ‘kan?” tanya Embun hanya sekedar mengkonfirmasi. Embun menatap wanita bermata sipit lalu menatap ke arah pria yang bertubuh tinggi besar di sebelahnya. Seketika ia meringis pelan melihat sosok Aldino. Pantas saja, Manggala bertubuh tinggi besar. Ternyata postur tubuhnya menurun dari ayahnya. Ibunya justru terlihat sangat muda selain bertubuh mungil.“Om, pasti Papanya Mas Gala ya. Salam kenal,” ujar Embun–yang kini terlihat lebih percaya diri di depan setiap orang yang ditemuinya.Aldino tersenyum amat tipis dan mengangguk pelan. Kesan pertama melihat wanita itu ialah mengingatkannya pada wajah seseorang. Dari cara ia tersenyum dan berbicara.Sisi lain, Malati menjadi merasa ta
“Makasih, Tante,” imbuh Embun dengan senyum yang manis. Ia merasa tersanjung mendapat pujian dari wanita bermata sipit itu—yang tak lain ibundanya Manggala.Malati mengamati diam-diam wanita muda di depannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Jujur, ia tidak percaya jika wanita yang dipanggil Embun oleh putranya ternyata anaknya seorang Ana!!!“Kau ke sini dengan Pasha?” ucap Manggala berbasa-basi. Tak mungkin wanita muda itu pergi ke sana sendirian. Ia juga tidak pernah memberitahu alamat penthouse miliknya. Jujur, ia senang dengan kejutan itu. “Iya, aku diantar Pasha. Pasha masih di bawah,” jawab Embun sesekali tersenyum menatap ibunya Gala yang terlihat keibuan. Pasha meminta Embun datang lebih dulu karena ternyata ia menunggu Beryl dan Alby tiba di sana. Ke tiga pemuda tampan itu sudah merencanakan pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang. Hanya saja, Embun belum tahu soal rencana mereka. Embun hanya ikut saudara kembarnya saja.Semalam ia hanya mendengar dari Pasha, kalau i
Di sebuah rumah mewah berlantai tiga, telah terjadi keributan kembali di antara menantu dan mertuanya. “Ibu, dari kemarin aku sudah libur bekerja demi mengurus Sagara. Sekarang giliran aku ingin me time. Seharusnya bagian Ibu mengasuh Sagara.”Mita memprotes mertuanya. Ia merasa perlakuan mertuanya tidak adil. Mentang-mentang Danar membelanya.Danar memang meminta Mita untuk mengasuh anak mereka sesekali kendati sebetulnya ada babysitter yang menjaganya. Namun seperti kesepakatan sebelumnya, Mita bisa kembali bersamanya jika ia juga ikut andil dalam mengasuh Sagara. Mita mengikuti keinginan Danar.Namun jika seharian saja di rumah akhir pekan, rasanya ia juga letih dan jenuh. Saat Danar ditemani Gilang bisa bermain golf bersama kolega perusahaan. Mita juga ingin melakukan me time. Kebetulan ibunya sakit dan memintanya untuk mewakili dirinya menghadiri acara arisan sosialita. Selain itu, Mita juga ingin pergi ke salon melakukan treatment kecantikan dan shopping.Naasnya, Diajeng malah
Udara daerah puncak terasa sejuk. Semua orang menikmati healing sekaligus refreshing di alam. Mereka menikmati makanan yang sudah dibekal dari rumah.Sulis melahap bekal makanan yang dibawa oleh Embun. Embun yang suka masak, sudah mempersiapkan bekal makanan sejak pagi dibantu oleh koki rumah.“Sepertinya Tante akan gemuk kalau makan makanan bikinanmu Jeen,” komentar Sulis seraya menatap Embun yang terlihat antusias menikmati udara segar di hutan pinus. Tatapannya terpacak pada sebuah ayunan. Namun saat Sulis mengajaknya mengobrol, ia pun menoleh pada Sulis seraya menyematkan senyum tipis. “Tentu Tante. Aku akan memasak setiap hari untuk Tante.”Embun berkomentar dengan kekehan kecil. Obrolan teralihkan saat melihat ke dua sepupunya saling kejar mengejar. “Tan, mereka lagi rebutin apa sih?”Sulis mengedikkan pundaknya dan mendecak pelan. “Biasanya, Beryl suka jahil sama Alby. Jadi, Alby membalasnya,”“Oalah, Beryl memang beda ya Tante. Dia jahil dan sedikit–”“Menyebalkan,” potong Su
Hari itu Embun sangat antusias diajak piknik oleh Pasha. Mereka akan pergi ke tempat outbound sekaligus tempat piknik dengan pemandangan hutan pinus yang sangat indah. Karena lokasinya jauh, terpaksa Embun tidak mengajak Sagara. Selain itu juga, Ana melarang Embun membawa Sagara. Bahkan Ana jauh lebih protektif pada cucunya.Oleh karena itu, Embun pun memompa ASI nya dan menaruhnya dalam botol untuk stok Sagara saat merasa haus. Sebetulnya, Ana ingin Embun menikmati masa mudanya yang habis dulu digunakan sepanjang hari di rumah.“Kita jalan sama Tante Sulis juga ‘kan?” tanya Embun pada Pasha yang sedang asik menyemprot parfum ke beberapa titik tubuhnya.“Iya. Tante Sulis ikut.”Pasha menjawab setelah menaruh kembali parfum miliknya ke atas meja nakas.“Mami gak ikut?” Embun menoleh ke arah ibunya yang tengah rebahan dengan Sagara yang berada di sampingnya, memainkan robot.“Gak, ah! Buat anak muda! Mami gak mau,” tolak Ana sembari menahan tawa saat melihat Sagara sedang membongkar rob
Seorang gadis berlari tergesa-gesa saat melihat dua orang pria berpakaian hitam membuntutinya sejak ia turun dari kereta api jurusan Surabaya. Nafasnya tersengal-sengal. Meskipun ia berlari cukup cepat nyatanya ia merasa letih. Grep,“Lepas!” Gadis itu memekik saat seseorang dari arah belakang menangkap tubuhnya. Dalam hitungan beberapa detik ia sudah tak sadarkan diri. Salah satu pria berbaju hitam membiusnya.Gadis itu terbangun di sebuah kamar hotel presidential suit. Tiga jam lamanya, akhirnya gadis itu membelakan matanya. Kepalanya terasa berat seperti dihantam benda solid. Pandangannya juga buram.“Aku di mana?” lirihnya dengan perasaan frustrasi. Namun sedikit kemudian ia menangis. “Ayah! Ayah! Aku di mana?” Hiks, hiks, hiks,“Sudah bangun rupanya,”Suara bariton terdengar menggelegar. Gadis itu mengangkat mata untuk melihat siapa orang yang berbicara padanya. Seketika ia terkejut hingga membuat tubuhnya mundur dan menabrak headboard ranjang.“Kau!” pekik Yasmin dengan nafas y
Di atas kursi kebesarannya, Danar memijat pelipisnya dengan kencang. Rasanya, kepalanya ingin meledak. Bukan tanpa alasan, secarik kertas yang berada di atas meja adalah penyebab pria itu langsung terserang sakit kepala yang hebat.Kondisi keuangan perusahaan yang carut marut. Ibunya yang sedang sakit serius. Tambah lagi, sebuah surat gugatan cerai tergolek di atas meja di kantornya. Siang itu, seorang pengacara datang ke perusahaan dan memberikan surat gugatan cerai dari istrinya. Ia dilanda bingung dengan sikap istrinya yang menurutnya labil.Bukankah wanita itu sudah berjanji akan selalu ada mendampingi dirinya saat suka dan duka? Kendati, Danar mengakui, jika dirinya sangat egois dan sekarang sudah mulai mengabaikan keberadaan Mita di sisinya.Brakkk,Danar memukul meja dengan kepalan tangannya. Ia merutuki nasibnya. Mungkin, Mita mengajukan surat gugatan cerai karena kini perusahaan keluarganya nyaris brankut. Jika demikian, Mita tak ubahnya wanita matre seperti wanita yang lain.
Embun mengajak ngobrol malaikat kecilnya. Saat ini mereka sedang berada di kamar mandi. Wanita satu anak itu tengah memandikan anak lelaki tampannya dengan telaten. Ia sangat bahagia bisa mengurus anaknya dengan ke dua tangannya.“Ini siapa?”Embun bertanya sembari menyentuh dadanya menggunakan tangan mungil Sagara. Sagara tertawa melihat ibunya yang berusaha tengah menggodanya. “Mama!” jawab anak itu sembari memperlihatkan gigi bagian depannya yang sudah mulai tumbuh. Tangannya yang lain mencipratkan air pada wajah ibunya hingga membuat Embun ikut terkekeh melihat tingkah lucunya. Sagara senang mandi sembari bermain air dan boneka bebek terbuat dari karet. Asalkan ada mainan di dalam bathtub, ia akan antusias berendam di dalamnya. Embun memanyunkan bibirnya seraya menjawab. “Good! Mama siapa?”Sagara menatap ibunya dengan mengerutkan keningnya. “Mama Gara!”“Pintarnya anak Mama!” tukas Embun dengan mencubit lembut pipi anak itu yang bulat mirip kue bakpao.“Mama, mandi?” ucap Saga
Pulang dari gym, Manggala kembali mengantar pulang Pasha. Karena sewaktu pergi ke tempat gym, Manggala menjemput Pasha dengan mobilnya. Selama perjalanan mereka mengobrol banyak hal.Setelah percakapan di tempat gym, Manggala setidaknya merasa sedikit lebih lega, mengetahui alasan yang membuat Embun marah padanya. Karena sudah mengetahui sumber permasalahannya, maka ia berencana akan bicara empat mata dengannya. Hanya saja, Manggala sedikit butuh waktu untuk mempersiapkan pertemuan dengannya. Mungkin ia akan mengajak personel The Great Duke lainnya untuk jalan bersama.Karena Manggala tahu, tak mungkin Embun bersedia diajak ngobrol benar-benar ‘berdua’. “Well, kita akan pergi hiking bagaimana? Atau, piknik ke hutan pinus? Di sana kita bisa melihat pemandangan alam,” ungkap Manggala saat tiba-tiba saja sebuah ide melintas di kepalanya. Ide tersebut muncul saat ia melihat pohon palem yang berjejer di taman. Mungkin, ia akan menyatakan cintanya saat mereka pergi ke tempat itu.Saat ini
“Ibu, cepat sembuh! Kalau Ibu sudah sembuh, kita akan pergi jalan-jalan ke Selandia Baru. Bukankah Ibu ingin pergi ke sana? Ibu bisa pergi ke Wai Ariki Hot Spring and Spa.”Danar merengkuh tangan keriput ibunya yang masih terbaring lemah di atàs ranjang rumah sakit. Kemudian ia mengecup punggung tangannya dengan penuh kasih sayang. Pria itu duduk di atas sebuah kursi yang berada di samping ranjang. Setiap hari ia selalu datang membesuk ibunya. Tak peduli ia sibuk, ia selalu menyempatkan dirinya untuk datang, memastikan kondisi ibunya. Ia teramat senang sekali saat melihat kondisi kesehatan ibunya sudah mengalami kemajuan saat ini. Dua minggu sudah terhitung ibunya masih terbaring di rumah sakit. Ia harus menjalani perawatan akibat lukanya yang serius. Beberapa kali, Diajeng menjalani operasi pada bagian kakinya. Kakinya mengalami patah tulang sehingga harus dioperasi dan dipasang pen.Diajeng hanya mendesah pelan sembari melirik ke arah putranya yang terlihat begitu berbakti padanya.
Manggala dan ibunya duduk dan bicara empat mata. Pemuda tampan itu tidak ingin ibunya berspekulasi yang tidak-tidak tentang dirinya. Ia pun menceritakan apa yang terjadi saat mereka berada di cafe, saat pertama kali ia menemukan Serina hingga membawanya pulang ke apartemen.“Mama, dengarkan Gala! Malam, Gala menginap di hotel. Gala juga gak enak kalau tinggal berdua dengan gadis itu.”Manggala berusaha memberikan pengertian pada ibunya. Ia tidak ingin ibunya kecewa padanya.Malati menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. “Gala, apa kau tidak menaruh curiga pada gadis itu? Bisa-bisanya kau meninggalkan gadis itu di apartemen sendirian? Kau hanya baru mengenalnya beberapa jam?”Manggala mengerti arah pembicaraan ibunya. Jika ibunya orang biasa mungkin cara berpikirnya sederhana. Namun masalahnya ibunya seorang mantan agen detektif di mana ia selalu bersikap hati-hati dan waspada terhadap kemungkinan apapun yang terjadi.Manggala tidak berpikir panjang meninggalkan gadis itu
Malam itu langit tampak gulita tanpa gemintang yang menghiasnya. Ditambah gemerosok angin menyapu dahan-dahan pohon hingga membuatnya bergoyang dan seperti sosok monster yang menakutkan. Namun pemandangan yang sedikit anker itu sama sekali tidak mengurungkan niat seorang gadis cantik untuk berjalan di jalan setapak. Gadis cantik dengan tas ransel yang tercangklong di punggungnya tampak berjalan cepat untuk mencari kendaraan yang akan membawanya keluar kota. Ia merasa sudah tidak aman jika ia kembali ke ibukota atau berada tinggal bersama ke dua orang tuanya di Bandung. Untuk sementara waktu ia akan pergi keluar kota.Peluh sudah membanjiri tubuhnya. Sungguh, ia merasa letih. Namun ia harus segera pergi demi keselamatannya. Gadis itu duduk di halte bus yang sepi. Hanya ada empat orang yang tengah duduk di sana, menunggu bus datang.Drt, drt, drt, Suara ponsel yang gemetar menginterupsi lamunannya. Gadis itu segera mengangkatnya namun sebelumnya ia mencari tempat sepi. Ia tidak mau per