“Mas, apa yang kaulakukan malam-malam?”Mita melongokan kepalanya di bibir pintu kamar tidur utama menuju balkon. Ia mengintip suaminya yang sedang terdiam di balkon dengan menatap kosong langit malam yang kelam tanpa bintang. Ke dua tangannya terentang dan berlabuh di lengan kursi sedangkan kepalanya bersandar pada kepala kursi sembari menengadah. Jika ditatap dari kejauhan, Danar mirip seorang pemuda yang tengah patah hati atau gelandangan.Penampilannya kisuh misuh. Piyama yang dikenakannya semrawut dengan beberapa kancing bagian atasnya terbuka. Wajahnya tampak muram durja lengkap dengan rambut yang megar seperti sarang burung walet. Pria itu benar-benar sedang frustrasi.Ditambah dramatis dengan suasana hening di malam yang kelam. Benar-benar suasana yang menggambarkan perasaan Danar saat ini. Pikirannya benar-benar kalut hingga menyebabkan kepalanya berdenyut seakan-akan ada ribuan jarum yang menusuk bagian cerebrum di kepalanya tanpa ampun. Bahkan untuk bernafas saja ia merasa
Menepis segala pikiran buruk yang berseliweran di kepalanya, Mita kembali mengemukakan pendapatnya tanpa diminta sekalipun. “Mas, satu-satunya solusi yaitu jalan damai! Mas, kita serahkan Sagara pada ibunya. Mas tidak usah khawatir soal aku tidak punya anak darimu. Kita bisa mencoba lagi program. Kalau perlu aku berobat lagi ke dokter obgyn di luar negeri. Aku akan berusaha lagi. Atau … jika masih tidak berhasil mendapat momongan, kita adopsi saja,”“Big no! Sagara putraku! Aku tidak akan mengijinkan wanita itu mengambilnya,” ucap Danar dengan serius.“Mas, kau tak mau ‘kan perusahaan collapse?” sergah Mita terdengar logis.Danar terdiam sesaat. “Kita lihat saja nanti!”Kemudian Danar menoleh pada Mita. Ia tertegun saat melihat Mita tampak cantik dalam gaun malam. Sedari tadi ia memang bicara tanpa melihatnya. Dersik angin yang berembus menggelitik tubuh Mita hingga membuatnya memeluk tubuhnya dengan ke dua tangannya. Mita kedinginan namun semakin seksi dalam pandangan Danar. Gaun be
Di sebuah apartemen penthouse saat ini sebuah keluarga kecil tengah berkumpul menikmati sarapan sebelum melakukan aktifitas akhir pekan. Suasana terasa hening manakala mereka menyantap hidangan yang dimasak khusus oleh sang ibu tercinta.Usai sarapan, mereka pindah ke ruang keluarga dan mulai mengobrol ringan tentang hal apapun.“Gala, hari ini kegiatanmu apa?” Sang ibu bertanya dengan penuh perhatian. Ia tahu jika putranya sangat sibuk mengurus perusahaan yang didirikannya secara mandiri. Ia telah membangun puluhan hotel dengan menghasilkan omset ratusan juta per bulannya.Pertanyaan yang terlontar hanyalah sekedar basa-basi yang pada intinya sang ibu mempertanyakan kegiatan putranya selain bekerja dan bekerja. Masalahnya Manggala sudah cukup umur untuk mencari calon istri. Manggala terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan ibunya. Tanpa ibunya menjelaskan langsung pun ia paham ke mana arah tujuan pertanyaannya.“Mama, Gala setiap hari ke kantor. Tapi … terkadang Gala mengecek hot
Embun mencoba mengenali wanita cantik yang berdiri bersama seorang pria tampan–yang baru saja keluar dari sebuah unit apartemen mewah. Ia yakin mereka adalah ke dua orang tuanya Manggala. Oleh karena itu Embun langsung saja menyapa mereka dengan penuh percaya diri.“Aku mau ketemu, Tante. Tante Mamanya Mas Gala ‘kan?” tanya Embun hanya sekedar mengkonfirmasi. Embun menatap wanita bermata sipit lalu menatap ke arah pria yang bertubuh tinggi besar di sebelahnya. Seketika ia meringis pelan melihat sosok Aldino. Pantas saja, Manggala bertubuh tinggi besar. Ternyata postur tubuhnya menurun dari ayahnya. Ibunya justru terlihat sangat muda selain bertubuh mungil.“Om, pasti Papanya Mas Gala ya. Salam kenal,” ujar Embun–yang kini terlihat lebih percaya diri di depan setiap orang yang ditemuinya.Aldino tersenyum amat tipis dan mengangguk pelan. Kesan pertama melihat wanita itu ialah mengingatkannya pada wajah seseorang. Dari cara ia tersenyum dan berbicara.Sisi lain, Malati menjadi merasa ta
“Makasih, Tante,” imbuh Embun dengan senyum yang manis. Ia merasa tersanjung mendapat pujian dari wanita bermata sipit itu—yang tak lain ibundanya Manggala.Malati mengamati diam-diam wanita muda di depannya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Jujur, ia tidak percaya jika wanita yang dipanggil Embun oleh putranya ternyata anaknya seorang Ana!!!“Kau ke sini dengan Pasha?” ucap Manggala berbasa-basi. Tak mungkin wanita muda itu pergi ke sana sendirian. Ia juga tidak pernah memberitahu alamat penthouse miliknya. Jujur, ia senang dengan kejutan itu. “Iya, aku diantar Pasha. Pasha masih di bawah,” jawab Embun sesekali tersenyum menatap ibunya Gala yang terlihat keibuan. Pasha meminta Embun datang lebih dulu karena ternyata ia menunggu Beryl dan Alby tiba di sana. Ke tiga pemuda tampan itu sudah merencanakan pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang. Hanya saja, Embun belum tahu soal rencana mereka. Embun hanya ikut saudara kembarnya saja.Semalam ia hanya mendengar dari Pasha, kalau i
Di sebuah rumah mewah berlantai tiga, telah terjadi keributan kembali di antara menantu dan mertuanya. “Ibu, dari kemarin aku sudah libur bekerja demi mengurus Sagara. Sekarang giliran aku ingin me time. Seharusnya bagian Ibu mengasuh Sagara.”Mita memprotes mertuanya. Ia merasa perlakuan mertuanya tidak adil. Mentang-mentang Danar membelanya.Danar memang meminta Mita untuk mengasuh anak mereka sesekali kendati sebetulnya ada babysitter yang menjaganya. Namun seperti kesepakatan sebelumnya, Mita bisa kembali bersamanya jika ia juga ikut andil dalam mengasuh Sagara. Mita mengikuti keinginan Danar.Namun jika seharian saja di rumah akhir pekan, rasanya ia juga letih dan jenuh. Saat Danar ditemani Gilang bisa bermain golf bersama kolega perusahaan. Mita juga ingin melakukan me time. Kebetulan ibunya sakit dan memintanya untuk mewakili dirinya menghadiri acara arisan sosialita. Selain itu, Mita juga ingin pergi ke salon melakukan treatment kecantikan dan shopping.Naasnya, Diajeng malah
Akhirnya Embun dan the Great Duke memutuskan pergi ke pantai. Mereka menaiki mobil jeep Rubicon milik Manggala. Sebuah mobil offroad yang mengingatkan Embun pada mobil mantan suaminya meskipun berbeda merk.Sebelum tiba di pantai, mereka mampir dulu di minimarket untuk beli stock makanan dan minuman untuk bekal selama perjalanan. Karena mereka pergi dengan rencana dadakan sehingga tanpa persiapan sama sekali. Apalagi Pasha, ia membeli banyak makanan untuk adiknya. Ia tidak mau jika Embun kelaparan. Pasha menjaga Embun dengan sangat baik. Bahkan ia membelikan sunscreen untuknya agar kulit putihnya tidak gosong.“Ini, olesi wajah dan tanganmu. Jangan sampai gosong!”Pasha menyerahkan botol sunscreen pada Embun. Hingga membuat Embun tersenyum. Ia bersyukur mendapat perhatian kecil dari Pasha. Mungkin buah kesabaran selama ini. Akhirnya, ia bisa memperoleh kebahagiaan sekarang. Keluarganya teramat perhatian padanya. Embun masih merasa jika apa yang terjadi dalam hidupnya adalah mimpi pal
“Nyonya Ana, jangan menggendongnya! Nanti pakaian Anda kotor. Maaf, lihatlah pakaian anak itu kotor. Celemeknya penuh noda,”Rosa memperingati Ana untuk tidak memangku Sagara sebab pakaian yang dipakainya penuh dengan noda. Rosa sangat memperhatikan apapun yang melekat pada tubuh atasannya. Apalagi outfit yang dikenakannya bukan sembarang outfit. Harga outfitnya mahal karena dirancang oleh seorang desainer Paris. Cara mencucinya pun tidak sembarangan. Apalagi cardigan rajut harus dicuci dengan tangan dan menggunakan deterjen khusus. Rosa sudah memikirkan hingga sejauh itu. Ana menoleh ke arah Rosa dengan mendelik tajam. Seketika Rosa menundukan wajahnya karena merasa takut jika atasannya marah. Tadi, ia hanya memperingati atasannya secara spontan. Ana pun mengurungkan niatnya menggendong Sagara. Benar sekali apa yang dikatakan oleh Rosa, nanti pakaiannya bisa terkena noda jika menggendong anak lelaki tampan itu. Padahal acara belum selesai. Dan, satu hal lagi, ia tidak boleh menu
Malam itu, restoran mewah di ibu kota dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan, memberikan suasana romantis yang sempurna. Alby menatap Nadia dengan mata berbinar, tangannya sedikit gemetar saat akhirnya ia berhasil mengungkapkan perasaannya.“Nadia… aku mencintaimu,” katanya dengan suara lembut namun penuh ketegasan. Akhirnya waktu yang telah lama dinantikan tiba. Alby bisa mengungkapkan perasaannya pada Nadia. Nadia terdiam sesaat, lalu tersenyum manis. Pipinya merona. “Alby… aku juga menyukaimu.”Jawaban itu membuat hati Alby melompat girang. Ia nyaris lupa dengan semua kegugupan yang tadi melandanya. Akhirnya cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.“Jadi … maukah kau menjadi kekasihku?” tanya Alby menatap Nadia dengan penuh haru.Nadia mengangguk mantap dengan wajah yang merona seperti kepiting rebus.Di tengah kebahagiaan sebagai sepasang kekasih baru, mereka pun melanjutkan makan malam romantis dengan obrolan ringan dan tawa bahagia.Namun, ketika Alby menoleh sekilas ke s
Ruang tamu keluarga Basalamah terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun AC yang menyala hanya pada suhu normal. Ana duduk dengan punggung tegak, matanya tajam menatap Dasha, sepupunya yang kini datang dengan ekspresi penuh kemarahan.Dasha membanting tasnya ke meja, membuat cangkir teh yang disiapkan Jeena sedikit bergetar. “Kamu pikir kamu siapa, Ana? Berani-beraninya mempermainkan putriku begitu saja!” suaranya menggema di ruangan.Ana tetap tenang, meskipun kedua tangannya saling bertaut di pangkuannya. “Aku tidak mempermainkan siapa pun, Dasha,” jawabnya dingin. “Pasha sendiri yang memutuskan ini. Dia tidak bisa menikahi Selina.”Dasha mencibir, matanya menyipit. “Oh, begitu? Jadi menurutmu, ini semua keputusan Pasha sendiri? Bukan karena kamu dan keluargamu yang ikut campur?”Ana menghela napas panjang. Ia tahu ini akan terjadi. “Dasha,” katanya dengan nada yang lebih terkendali, “Pasha adalah pria dewasa. Dia membuat kesalahan, dan dia memilih untuk bertanggung jawab.”Dasha t
Sulis datang diikuti oleh ke dua anak kembar identiknya, Beryl dan Alby. “Kenapa gak nunggu Omnya sih? Omnya juga pengen ngasih nama,” imbuh Beryl sembari menggamit tangan mungil istrinya.“Bayinya kembar identik juga ya,” Laila berkomentar dengan tersenyum manis menatap Rosa.Rosa menangguk. “Mereka kembar identik. Tapi … yang satu ada tanda lahir di dadanya. Yang satu enggak,”“Nah, ada juga bedanya,” gumam Ana hampir kebingungan. Dulu ia juga tidak bisa membedakan mana Alby atau Beryl.“Kalau masih bayi agak sulit emang. Kecuali udah gede,” tukas Sulis memandang ke dua putranya bergantian dengan mata yang memicing penuh arti.“Apa Mi?” Baik Beryl maupun Alby mendengus pelan.“Kalau udah gede, sikapnya kan beda. Jadi gak bakalan bingung,” imbuh Laila berkomentar. Pasha seketika terkekeh pelan. “Laila, sikap Beryl masih nyebelin gak udah nikah? Dia kan rada-rada sin—”“Sa, kenapa kamu jadi kasar begitu?” tegur dr Zain mengerutkan keningnya. “Tanya aja sama istri gue.”Beryl menj
Senja itu, langit terlihat indah dan cerah seakan menambah nuansa bahagia sepasang kekasih yang baru saja memulai hidup baru. Mobil yang dikendarai Pasha melaju pelan memasuki halaman kediaman sang ibu yang luas dan megah. Namun, di dalam mobil, dada Rosa terasa sesak. Jari-jarinya menggenggam erat selimut bayi yang membungkus salah satu anak kembarnya. Ia menoleh ke kursi bayi di sampingnya, tempat bayinya tertidur pulas.Pasha, yang duduk di sebelahnya, menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan hal yang mudah bagi Rosa. Wanita itu telah mengalami banyak hal, termasuk penolakan dari keluarganya sendiri. Kini, ia akan menghadapi keluarga besar.Situasinya berbeda. Jika dulu ia datang ke sana sebagai asisten pribadi Ana sekaligus pengawal Jeena. Sekarang, ia datang sebagai wanita yang telah melahirkan dua cucu sekaligus untuk keluarga Basalamah. “Rosa,” suara Pasha terdengar lembut, namun tegas. “Ini rumah kita sekarang. Kau tidak perlu takut.”Rosa menelan ludah, mencoba menenangkan
Pasha mengangguk dengan mantap. “Ya, mereka anak-anakku.”Alby merasa dunianya jungkir balik. “Kapan ini terjadi?! Kenapa aku nggak tahu?!“Sulis menepuk bahunya. “Mungkin karena kamu terlalu sibuk cari gara-gara sama Levina?”Alby masih tidak percaya. Ia berjalan mendekat dan mengintip bayi yang sedang berada di pelukan Pasha. Wajah mungil itu begitu polos, matanya tertutup rapat dengan pipi bulat menggemaskan.Alby memijat pelipisnya. “Oke. Ini kejutan besar. Aku perlu duduk.”Pasha tersenyum kecil. “Kamu bisa duduk di lantai kalau perlu.”Sulis hanya bisa menghela nafas lagi. “Sepertinya aku akan sering pusing mulai sekarang.”Tak lama kemudian Rosa keluar dari kamar mandi. Tatapannya bertemu dengan Alby.Alby menatap Rosa dengan tatapan bingung. Namun ia tidak ingin menghakimi siapapun di sana. “Sorry banget, aku kaget,”Pantas saja ibunya memintanya untuk menjenguk Rosa. Mungkin maksud ibunya ialah membesuk ke dua keponakannya. Ia tidak tahu ternyata hubungan Pasha dengan mantan
Jeena menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Rekaman CCTV yang baru saja diputar memperlihatkan sesuatu yang menggetarkan hatinya—Rosa yang kesakitan, merintih di lantai, sementara Selina hanya berdiri, menatapnya dengan ekspresi kosong sebelum akhirnya berbalik dan pergi begitu saja.Sulis yang duduk di samping Jeena terkesiap. Jari-jarinya yang sudah mulai berkerut mencengkeram lengan kursinya. Napasnya memburu, dan ekspresi terkejutnya segera berubah menjadi kemarahan yang mendidih.“Astaga, Jeena,” Sulis menggelengkan kepalanya tak percaya. “Anak itu benar-benar tega. Aku tahu dia punya dendam, tapi membiarkan seorang ibu dan bayinya dalam bahaya? Ini sudah kelewatan.”Jeena mengepalkan tangannya di atas pahanya. Matanya menyala, penuh dengan amarah. “Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja, Tante. Aku akan melaporkannya ke polisi sekarang juga! Bayangkan saja, bukankah dia seorang dokter? Namun membiarkan wanita hamil yang ingin melahirkan begitu saja, sungguh pe
“Sa, udah cukup. Aku udah kenyang.”Rosa menahan tangan Pasha untuk terus menyuapinya.Pasha pun menurut lalu menyerahkan sebotol air minum untuk Rosa, lengkap dengan sedotannya. Tanpa ragu, Rosa menerima air minum itu lalu meneguknya perlahan. Dengan telaten, Pasha pun menaruh nampan bekas makan Rosa di atas nakas. Lalu ia langsung memanggil perawat yang tiba di sana untuk membereskan bekas makan Rosa. Ia tidak bisa melihat ada barang kotor di sana.Setelah memastikan Rosa makan dengan benar, Pasha tak langsung beranjak dari sana. Ia kembali duduk di sisi Rosa, membetulkan bantal yang menjadi sandaran Rosa meskipun ia terlihat letih.“Sa,” imbuh Rosa menatap Pasha yang mengabaikan dirinya sendiri. Wajah pria tampan itu terlihat letih dengan penampilannya yang berantakan.“Apa?” tanya Pasha dengan suara serak—yang letih.“Kamu pulang aja,” Rosa menatap iba pemuda itu. “Kamu bisa istirahat di rumah. Di sini ada perawat kok,”Pasha menatap Rosa dengan tatapan penuh arti. Tangannya memb
“Siapa Na?” Sulis bertanya saat Ana tak kunjung mengangkat teleponnya.Ana melirik ke arah Sulis setelah mengatur ponsel itu menjadi silent. Untuk saat ini ia tidak ingin mendengar tentang Selina ataupun keluarganya. Ia hanya ingin fokus pada kebahagiaan Pasha dan wanita pilihannya. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Pasha sudah memilih Rosa. Bahkan kini mereka sudah punya anak.Mungkin ia akan segera menangani soal pertunangan Pasha dengan Selina yang akan batal untuk ke dua kalinya. Ana belum tahu apa yang ditemukan oleh Jeena di apartemen Pasha. Andai Ana tahu apa yang terjadi pasti ia akan murka. Seolah memahami isyarat yang diberikan oleh Ana, Sulis pun memilih mendekat. Ke dua wanita yang sudah tidak muda itu lalu memilih keluar ruangan. “Dasha telepon,” imbuh Ana sembari merangkul lengan Sulis. Sulis menatap Ana dengan tatapan serius. “Kamu harus segera bertemu dengan Dasha. Kalau kamu takut, aku temani,”Ana meraih oksigen rakus lalu mengembuskannya dengan berat, menja
Rosa terdiam mendengar permintàan maaf mantan bosnya itu. Bukankah itu pertanda jika ia merestui hubungannya dengan putra kesayangannya?Dengan napas tersengal, Rosa mencoba menggerakkan tubuhnya, berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan wanita yang dulu menolak keberadaannya.Pasha yang duduk di kursi samping tempat tidur, langsung menggenggam tangan Rosa, seakan tahu bahwa Rosa sedang ketakutan. “Tenang, aku di sini,” bisiknya pelan.Ana memperhatikan interaksi mereka. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Mungkin itu penyesalan, mungkin itu rasa bersalah.“Nyonya … aku …” imbuh Rosa menggantung sebab Ana sudah lebih dulu memotongnya.“Jangan banyak bicara. Kau masih belum pulih,” ucap Ana dengan nada simpatik.Rosa menunduk, menatap selimutnya dengan pandangan kosong. Ia masih takut. Ia ingat dengan jelas bagaimana Ana dulu mengatakan bahwa ia tidak pantas untuk Pasha, dan permintaannya agar bisa menjauh dari Pasha.Tapi kini, Ana ada