Makasih sudah singgah.
Sepulang kuliah, Yasmin buru-buru pulang ke apartemennya. Ia merasa senang karena ke dua orang tuanya mengunjunginya. “Mama bawa ayam kecap kesukaanku ‘kan?”Yasmin langsung menggelayut mesra pada lengan ibunya. Ia menyambut kedatangan ibunya dengan penuh sukacita.Indira menatap putrinya sesaat lalu menjawab. “Enggak! Ibu capek, Yasmin. Ibu harus bantuin Ayah lembur nulis laporan hasil penjualan kebun kopi kita.”Indira sengaja berpura-pura. Ia dan suaminya saling melempar pandang, menunggu reaksi putrinya yang manja akan marah.Benar saja, dugaan mereka. Yasmin langsung melepas rangkulan tangannya pada ibunya. Ia berjalan meninggalkan mereka dan duduk di sofa untuk kemudian menyalakan layar televisi 21 Inchi. Ia duduk dengan wajah yang kecut.“Tad da!”Indira memperlihatkan satu box kontainer dari dalam goody bag yang dibawanya. Sontak, mata Yasmin langsung tertuju pada kotak itu kemudian memalingkan wajahnya kembali pada layar televisi.“Hei, yakin gak mau makan siang ayam kecap b
Sore itu Danar dan Embun pergi ke dokter anak langganan keluarga Danar. Ia datang ke sana karena rekomendasi dari tante dari ibunya yang tinggal di Jakarta. Suasana menjadi terasa canggung di dalam mobil itu. Pasalnya, Danar hanya mengajak Embun dan Sagara, tanpa ke dua babysitternya. Ia juga mengemudikan kendaraannya sendiri. Sepintas orang akan menganggap mereka sepasang suami istri yang harmonis. Keluarga kecil yang sedang menikmati sebagai orang tua baru. Namun, sebaliknya, Embun begitu khawatir. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Embun berinisiatif mengenakan masker agar tidak bisa dikenali siapapun terutama Mita yang mungkin saja bisa bertemu di luar.Sepanjang perjalanan menuju klinik dokter anak, tidak ada percakapan yang berarti. Sagara juga begitu mudah tertidur dalam pangkuan ibunya. Empat puluh menit kemudian, akhirnya mereka tiba di depan sebuah klinik. Danar segera memarkirkan mobilnya lalu membukakan pintu untuk Embun. Mereka pun berjalan bersisian layaknya
Pukul sepuluh malam Danar menghabiskan waktunya di depan kamarnya. Ia duduk di atas kursi rotan di balkon kamar sembari menghisap gulungan tembakau. Ketika ia sedang stress dan banyak pikiran, ia akan melampiaskannya dengan benda yang membuatnya merasakan ekstasi sesaat itu.Dersik angin malam terasa dingin menusuk-nusuk tubuh. Namun ia tidak beranjak sedikitpun dari sana. Pria dingin itu sedang menunggu kepulangan istrinya. Tak berselang lama, sebuah mobil Mercedes Benz berwarna merah tampak bergerak memasuki halaman rumah. Suara deru mesin yang halus sama sekali tidak mengusik penghuni rumah yang sudah berbaring istirahat malam itu. Security rumah langsung menyambut kedatangan Nyonya rumah. Dari atas balkon kamarnya, Danar bisa melihat wanitanya turun dari mobilnya lalu masuk rumah dengan jalan berlenggak lenggok. Pria dingin itu kemudian masuk dan memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Bahkan lampu utama sudah dimatikan. Yang tersisa hanyalah temaram lampu tidur.“Malam, S
Pagi itu cuaca teramat cerah. Awan putih bergerombol dan berarak di langit yang biru. Sungguh, lukisan alam yang begitu indah alami. Pun, suara burung-burung yang bernyanyi, menambah riuh suasana pagi itu. Mereka meloncat dari satu dahan ke dahan lain dengan penuh semangat–menggoyangkan dedaunan hijau yang asri.Di balkon kamar lantai dua, tampaklah sepasang suami istri yang baru saja bangun dan menikmati suasana pagi.“Halo, Sayang!” sapa Mita pada suaminya yang kini tengah menyesap secangkir kopi dengan nikmat. Hari itu hari minggu. Oleh karena itu sepasang suami istri itu tidak pergi ke kantor. Mereka menghabiskan waktu istirahat di rumah saja.Danar hanya bergumam menanggapi istrinya. Ia masih merasa kesal atas sikapnya yang seolah tidak bersalah. Sebagai bentuk kekesalan dan kemarahannya, ia hanya mengabaikannya.“Kenapa gak dijawab?” serunya lagi, mengenyahkan bokongnya di atas kursi rotan di sampingnya. Ia memandang suaminya dari samping. Di usia tiga puluh lima tahun, suaminya
Embun buru-buru berlari dari depan kamar Sagara. Ia lupa jika hari itu hari minggu di mana Mita ada di rumah. Wanita bermanik almond itu menyusuri lorong menuju anak tangga agar segera turun ke lantai bawah.Namun karena ia tergesa-gesa, tubuhnya mendadak oleng dan menabrak sosok pemuda yang berjalan berlawanan arah dengannya.Ke duanya terkejut hingga mereka jatuh bersamaan, dengan posisi saat itu Embun menindih tubuh pemuda tampan di depannya. Dalam beberapa detik, kepala Embun menindih dada pemuda itu. Panik, Embun buru-buru bangun dari posisi yang tidak nyaman itu. Nafasnya mendadak memburu.“M-maaf, Mas Gilang,” ucap Embun dengan wajah yang sudah seperti kepiting rebus. Rasanya, ia ingin bersembunyi di suatu tempat. Mereka pun bangun dengan suasana yang agak canggung. Embun merasa sangat malu. Namun Gilang merasa insiden baru saja boleh lah terulang kembali. Senyum buaya darat tersungging di bibir tipisnya. Untuk pertama kalinya, Embun memeluknya meski karena ketidaksengajaan.“
Siang itu ke tiga orang wanita muda, Embun, Maya dan Linda tengah menyantap satu kotak donat madu yang diberikan oleh Gilang. Awalnya, Embun menolak setiap pemberiaan pemuda berpotongan rambut ala Korea itu. Ia memang tidak suka mendapat perhatian lebih—yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Namun Gilang tipikal pria pemaksa. Ia selalu membuat sejuta alasan agar Embun menerima makanan itu. Wanita menyusui harus banyak makan yang manis, katanya.Andai Gilang tahu, jenis makanan yang diberikan oleh Bu Neli padanya. Sebagai ibu susu Tuan muda, ia makan begitu banyak makanan yang bergizi demi menghasilkan ASI yang melimpah untuk Sagara baik dari yang rasa manis hingga asin. Tentu saja, Embun melakukan itu dengan penuh kerelaan sebab ia sangat menyayangi putranya. Entahlah, menjadi sebuah kebiasaan Gilang setiap kali datang ke rumah Danar, ia membawa satu kantong makanan untuk wanita yang ditaksirnya. Embun pun menerimanya dan menikmatinya bersama dengan teman yang lain. Karena Maya sudah l
“Kenapa Mbak Nuri?”Embun bertanya pada Mbak Nuri yang menatapnya dengan tatapan penuh telisik. Ia merasa tidak nyaman saja. Tadi Maya dan Linda menatapnya dengan tatapan aneh. Memang ada yang salahkah dengan penampilannya.“Sepertinya Den Gara anaknya Neng Embun,” lanjut Mbak Nuri yang membuat Embun terkesiap mendengarnya. Ia merasa tidak menceritakan tentang kebenaran itu pada siapapun di sana. Hal tersebut merupakan bagian dari kesepakatannya dengan mantan suaminya.Jika ia melanggarnya maka ia akan mendapatkan hukuman yang merugikan hidupnya. Ia begitu takut berhubungan dengan orang seperti Danar yang memang berkuasa. Oleh karena itu, ia tidak mau mengambil resiko. Ia harus bermain aman.Embun hanya terdiam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdenyut gelisah.“Setelah Mbak lihat-lihat, Den Sagara jadi mirip Neng lama kelamaan. Kalau Neng bilang pada orang yang tidak dikenali sekalipun, Den Gara anak Neng pasti mereka percaya. Hum, kadang anak yang diadopsi jadi mirip ibu
Gilang menahan diri untuk tidak memprotes ucapan atasannya. Cukuplah, ia mengikuti permainannya. Ia hanya tersenyum tipis mendengar rencananya. Ternyata atasannya orang yang emosional dan sedikit over reacted.“Tuan Danar, ini agenda pertemuan yang sudah dibuat oleh Pak Adit.”Gilang lantas menunjukan berkas lain berisi agenda pertemuan yang akan diikuti oleh Danar dengan kliennya.Danar melirik sekilas selembar kertas itu lalu memalingkan wajahnya pada ponsel yang berada di atas meja. Ia pun mengambil ponselnya hendak menelpon istrinya. Namun segera diurungkannya. “Besok, pukul 13.00 WIB, Anda diundang di acara grand opening hotel Pak Manggala. Barangkali ini sebuah kesempatan emas bagi Anda agar bisa bekerja sama dengannya. Beliau salah satu pengusaha hospitality yang sudah masuk majalah Forbes dari tanah air tahun ini. Jam terbang di dunia perhotelan sudah tinggi. Meskipun dia masih muda namun dia dikenal salah satu pengusaha dengan IQ di atas rata-rata. Beliau juga ..” jelas Gilan
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang