Makasih sudah singgah & support novelnya. Info terupdate novel bisa dilihat di saluran Whatsapp (Piemar The Author) jangan lupa follow ya. Thanks a bunch.
Brak!Prang!!Suara benda-benda tumpul jatuh dan terguling ke lantai. Pun, suara meja kaca yang pecah semakin membuat pemandangan ruang tamu sebuah hunian bergaya rustic itu hancur berantakan.“Stop!!” Indira berteriak menyaksikan detik demi detik dua orang debt collector bertubuh tinggi besar merusak furniture rumah. Mereka adalah utusan dari salah satu lintah darat yang meminjamkan Bagas uang.“Tolong! Jangan rusak barang kami! Kami janji akan melunasi hutang kami segera,” ujar Bagas sampai memohon-mohon pada ke dua pria itu. Namun mereka tidak peduli. Sudah tugas mereka menagih hutang atas suruhan atasannya meskipun dengan cara frontal dan brutal.“Dengar! Kalian hanya butuh waktu dua hari untuk melunasi hutang kalian atau kalian kemasi barang kalian!” ujar salah satu debt collector tadi.Baik Bagas maupun Indira syok mendengar ancaman mereka. Tak segan mereka mengancam dengan cara kekerasan.Bagas bahkan sampai terlihat menyedihkan. Selain rumah dan properti rumah dirusak, ia juga
Sekuat tenaga Embun berusaha memberontak agar bisa lepas dari kungkungan tubuh Danar yang sangat kokoh dan liat. Namun Danar sama sekali tidak mengindahkannya. Pria itu memang sedang berada di bawah pengaruh alkohol—yang dikonsumsinya tadi saat pergi ke pub. Hawa panas menjalari tubuhnya sehingga ia ingin melampiaskannya pada sesuatu. Ia menjadi bergairah. Ia mengira jika wanita yang berada di bawahnya ialah istrinya. Semakin Embun bergerak, keinginan Danar untuk menidurinya semakin menjadi.Setelah pertengkaran dengan istrinya–Mita, Danar melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya dengan mengunjungi pub. Di sana pria dingin itu memesan beberapa sloki vodca—yang menyebabkannya mabuk. Namun ia masih bisa pulang sendiri malam itu. “Tuan! Lepas!” geram Embun berusaha melepaskan diri dari cengkraman mantan suaminya yang begitu kuat, menekan pergelangan tangannya. Ia merasa kesakitan. Nafasnya juga mulai memburu. Wajah Embun sudah bergerak ke sana kemari, menghindari Danar yang kini menco
“M-maaf, semalam saya mabuk,” ucap Danar dengan suara yang dingin dan raut wajah yang minim ekspresi. Embun tergemap mendengar permintàan maaf dari pria angkuh itu. Biasanya kata-kata yang keluar dari bibirnya kata-kata pedas yang seringkali mengiris hatinya. Namun kali ini, ia meminta maaf. Sebuah niat yang baik. Setidaknya, ia merasa menyesal telah berbuat khilaf. Kendati kecewa dan kesal atas sikap pria itu semalam, mendengar permintaan maafnya, membuat Embun terenyuh mendengarnya. Ia hargai usahanya. “Aku tidak mungkin menyentuhmu saat aku sàdar!” lanjut Danar, masih dengan suara yang datar.Embun hanya menelan salivanya yang terasa kerontang tatkala mendengar kalimat terakhir darinya. Apa maksud dirinya—mengatakan tidak akan mungkin menyentuhnya saat ia sadar. Oh, mungkin karena mereka bukan suami istri lagi.Danar menatap Embun yang hanya diam dengan menundukan kepalanya. Pria itu hanya mendesah pelan melihat respon Embun. Tapi sudahlah, ia tidak peduli jika wanita di sampingn
“Sayang, ayo mandi!” Danar memanggil istrinya yang saat ini tengah diam dengan tatapan yang kosong. Pria itu bahkan baru saja keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk sepinggang—yang menampilkan otot-otot perutnya yang padat. Sungguh, pemandangan yang luar biasa seksi untuk seorang pria.Rambutnya yang basàh menetes, jatuh menimpa dadanya yang liat kemudian turun melewati perutnya yang abs. Mita menelan salivanya melihat pemandangan indah suaminya. Apalagi mengingat kegiatan panas barusan. Wanita cantik itu begitu menikmati setiap gerakan suaminya yang berada di atas tubuhnya. Apalagi ia suka sekali menatap wajah suaminya yang dipenuhi gelora gairah. Mita buru-buru menghentikan kegiatannya—menatap suaminya yang menggoda. Penampilan suaminya seperti sebuah ajakan untuk bercinta lagi dan lagi. Mita berupaya menahan diri saat ini. Ada yang mengganjal dalam hatinya. Ia masih disibukkan oleh penemuan kalung di lantai tadi. Ia menyimpan kalung itu di dalam dompetnya. Pertanyaan
Eh hem, Beberapa kali Danar berdehem untuk menyadarkan istrinya—yang mengagumi sosok pemuda di hadapannya. Sial, Danar sebagai seorang pria mengakui wajah paripurna di hadapannya namun ia tak rela jika istrinya sampai menikmati fitur wajah itu.Mita pun menjadi salah tingkah saat mendapati tatapan tajam dari suaminya. Jangan salahkan dirinya mengagumi sosok Manggala. Salahkan saja pemuda itu yang punya wajah kelewat tampan. Mita merasa tidak bersalah. Semua terjadi secara spontan saja. Ia pun melirik dan melihat wanita di sekelilingnya. Mereka juga menatap sosok pemuda tampan itu dengan penuh kekaguman. Bukan dirinya saja.“Silahkan nikmati hidangan pesta,” ujar Manggala dengan suara baritonnya yang khas. Pemuda itu lantas pergi menyapa tamu yang lainnya. Ia bisa merasakan aura tak sedap di sekelilingnya.Sementara itu, suasana hati Danar sudah memburuk karena tingkah istrinya yang terang-terangan mengagumi makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indahnya.“Ayo, kita pulang!” ucap Danar men
Sekonyong-konyong Danar kembali ke teras rumah dan menghampiri Gilang dan Embun yang tengah duduk berdua di sana. Menyadari kedatangan Danar, Gilang dan Embun lantas berdiri menyambutnya.“Pagi, Tuan!” sapa Gilang dengan penuh keramahtamahan. Denyut jantung Gilang tidak beraturan saat melihat ekspresi wajah Danar yang kecut. Bukankah sudah sesuai perintahnya, ia datang ke sana untuk langsung berbicara dengan Embun. Tapi, ia merasa jika bosnya itu tidak suka melihat kedekatan mereka. Memang serba salah berurusan dengan pria dingin itu.Danar melirik sekilas ke arah Gilang kemudian menatap ke arah Embun—yang menatapnya. “Sudah perjanjian, kau tidak bisa pulang. Apapun alasannya! Kau sudah menandatangani surat kontrak menjadi ibu susu Sagara! Jika kau melanggar ketentuan, kau harus bayar denda!”Duar,Perkataan Danar mirip seperti sebuah ultimatum bagi Embun. Wajah Embun langsung pias saat mendengar perintahnya. Cairan bening sudah menggenang di pelupuk matanya, nyaris tumpah.Embun menga
Saat Embun pergi membesuk ayahnya, Danar tidak ingin membuang waktu. Diam-diam ia menyusul mantan istrinya itu karena dilanda penasaran. Rupanya, apa yang ia temukan ialah sesuatu yang mencengangkan. Danar pun menyaksikan drama antara ibu dan anak dengan perasaan yang tak sedap. Kesimpulannya, ibunya Embun memperlakukan Embun dengan tidak menyenangkan, bahkan semena-mena. Meskipun ia tidak langsung mendengar percakapan mereka. Namun melihat Embun diseret hingga ditampar sudah cukup mewakili apa yang terjadi di antara mereka. Danar pergi kembali ke mobilnya dan sejenak melupakan apa yang dilihatnya. Jangan sampai Embun melihatnya, menguntitnya. Ia bisa melihat Embun berjalan ke arahnya dengan teramat cepat. Wanita berjilbab itu membuka pintu mobil dan duduk di sampingnya.“Maaf, menunggu lama. Aku terlambat tiga menit karena pergi ke toilet,” lirih Embun bahkan tidak berani menatap Danar. Ia hanya melihat arloji di pergelangan tangannya.Danar melirik sekilat ke arah wajah mantan istr
“Kemana Tuan Danar?” tanya Mita saat pria yang datang menyerahkan berkas penting milik perusahaan ialah Gilang—bukan suaminya. Ia memindai Gilang dari atas hingga ke bawah. Gilang jadi salah tingkah ditatap seperti itu oleh atasannya. Apalagi tatapan yang dilayangkan Mita terkesan intimidatif. Aura wanita mandiri dan berkarakter memang beda.“Nyonya Mita, Tuan Danar langsung pergi ke kantor. Beliau hanya menitipkan berkas ini.”Gilang menjawab dengan tenang. Sebetulnya ia keberatan jika harus berdusta namun bagaimana lagi, Danar memintanya untuk merahasiakan soal Embun Ganita. Mita pasti marah besar jika tahu suaminya pergi mengantar ibu susu Sagara pulang. Sepasang suami istri itu memang pencemburu.Mita hanya mengerutkan alisnya kemudian menurunkan pandangannya pada berkas yang berada di atas meja. Mengabaikan Gilang, ia langsung memeriksa berkas itu dengan sorot mata yang tajam. Mita sosok yang perfeksionis. Ia tidak akan membiarkan secuil pun kesalahan terlewat.“Permisi, Nyonya! S
Sulis datang diikuti oleh ke dua anak kembar identiknya, Beryl dan Alby. “Kenapa gak nunggu Omnya sih? Omnya juga pengen ngasih nama,” imbuh Beryl sembari menggamit tangan mungil istrinya.“Bayinya kembar identik juga ya,” Laila berkomentar dengan tersenyum manis menatap Rosa.Rosa menangguk. “Mereka kembar identik. Tapi … yang satu ada tanda lahir di dadanya. Yang satu enggak,”“Nah, ada juga bedanya,” gumam Ana hampir kebingungan. Dulu ia juga tidak bisa membedakan mana Alby atau Beryl.“Kalau masih bayi agak sulit emang. Kecuali udah gede,” tukas Sulis memandang ke dua putranya bergantian dengan mata yang memicing penuh arti.“Apa Mi?” Baik Beryl maupun Alby mendengus pelan.“Kalau udah gede, sikapnya kan beda. Jadi gak bakalan bingung,” imbuh Laila berkomentar. Pasha seketika terkekeh pelan. “Laila, sikap Beryl masih nyebelin gak udah nikah? Dia kan rada-rada sin—”“Sa, kenapa kamu jadi kasar begitu?” tegur dr Zain mengerutkan keningnya. “Tanya aja sama istri gue.”Beryl menj
Senja itu, langit terlihat indah dan cerah seakan menambah nuansa bahagia sepasang kekasih yang baru saja memulai hidup baru. Mobil yang dikendarai Pasha melaju pelan memasuki halaman kediaman sang ibu yang luas dan megah. Namun, di dalam mobil, dada Rosa terasa sesak. Jari-jarinya menggenggam erat selimut bayi yang membungkus salah satu anak kembarnya. Ia menoleh ke kursi bayi di sampingnya, tempat bayinya tertidur pulas.Pasha, yang duduk di sebelahnya, menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan hal yang mudah bagi Rosa. Wanita itu telah mengalami banyak hal, termasuk penolakan dari keluarganya sendiri. Kini, ia akan menghadapi keluarga besar.Situasinya berbeda. Jika dulu ia datang ke sana sebagai asisten pribadi Ana sekaligus pengawal Jeena. Sekarang, ia datang sebagai wanita yang telah melahirkan dua cucu sekaligus untuk keluarga Basalamah. “Rosa,” suara Pasha terdengar lembut, namun tegas. “Ini rumah kita sekarang. Kau tidak perlu takut.”Rosa menelan ludah, mencoba menenangkan
Pasha mengangguk dengan mantap. “Ya, mereka anak-anakku.”Alby merasa dunianya jungkir balik. “Kapan ini terjadi?! Kenapa aku nggak tahu?!“Sulis menepuk bahunya. “Mungkin karena kamu terlalu sibuk cari gara-gara sama Levina?”Alby masih tidak percaya. Ia berjalan mendekat dan mengintip bayi yang sedang berada di pelukan Pasha. Wajah mungil itu begitu polos, matanya tertutup rapat dengan pipi bulat menggemaskan.Alby memijat pelipisnya. “Oke. Ini kejutan besar. Aku perlu duduk.”Pasha tersenyum kecil. “Kamu bisa duduk di lantai kalau perlu.”Sulis hanya bisa menghela nafas lagi. “Sepertinya aku akan sering pusing mulai sekarang.”Tak lama kemudian Rosa keluar dari kamar mandi. Tatapannya bertemu dengan Alby.Alby menatap Rosa dengan tatapan bingung. Namun ia tidak ingin menghakimi siapapun di sana. “Sorry banget, aku kaget,”Pantas saja ibunya memintanya untuk menjenguk Rosa. Mungkin maksud ibunya ialah membesuk ke dua keponakannya. Ia tidak tahu ternyata hubungan Pasha dengan mantan
Jeena menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Rekaman CCTV yang baru saja diputar memperlihatkan sesuatu yang menggetarkan hatinya—Rosa yang kesakitan, merintih di lantai, sementara Selina hanya berdiri, menatapnya dengan ekspresi kosong sebelum akhirnya berbalik dan pergi begitu saja.Sulis yang duduk di samping Jeena terkesiap. Jari-jarinya yang sudah mulai berkerut mencengkeram lengan kursinya. Napasnya memburu, dan ekspresi terkejutnya segera berubah menjadi kemarahan yang mendidih.“Astaga, Jeena,” Sulis menggelengkan kepalanya tak percaya. “Anak itu benar-benar tega. Aku tahu dia punya dendam, tapi membiarkan seorang ibu dan bayinya dalam bahaya? Ini sudah kelewatan.”Jeena mengepalkan tangannya di atas pahanya. Matanya menyala, penuh dengan amarah. “Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja, Tante. Aku akan melaporkannya ke polisi sekarang juga! Bayangkan saja, bukankah dia seorang dokter? Namun membiarkan wanita hamil yang ingin melahirkan begitu saja, sungguh pe
“Sa, udah cukup. Aku udah kenyang.”Rosa menahan tangan Pasha untuk terus menyuapinya.Pasha pun menurut lalu menyerahkan sebotol air minum untuk Rosa, lengkap dengan sedotannya. Tanpa ragu, Rosa menerima air minum itu lalu meneguknya perlahan. Dengan telaten, Pasha pun menaruh nampan bekas makan Rosa di atas nakas. Lalu ia langsung memanggil perawat yang tiba di sana untuk membereskan bekas makan Rosa. Ia tidak bisa melihat ada barang kotor di sana.Setelah memastikan Rosa makan dengan benar, Pasha tak langsung beranjak dari sana. Ia kembali duduk di sisi Rosa, membetulkan bantal yang menjadi sandaran Rosa meskipun ia terlihat letih.“Sa,” imbuh Rosa menatap Pasha yang mengabaikan dirinya sendiri. Wajah pria tampan itu terlihat letih dengan penampilannya yang berantakan.“Apa?” tanya Pasha dengan suara serak—yang letih.“Kamu pulang aja,” Rosa menatap iba pemuda itu. “Kamu bisa istirahat di rumah. Di sini ada perawat kok,”Pasha menatap Rosa dengan tatapan penuh arti. Tangannya memb
“Siapa Na?” Sulis bertanya saat Ana tak kunjung mengangkat teleponnya.Ana melirik ke arah Sulis setelah mengatur ponsel itu menjadi silent. Untuk saat ini ia tidak ingin mendengar tentang Selina ataupun keluarganya. Ia hanya ingin fokus pada kebahagiaan Pasha dan wanita pilihannya. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Pasha sudah memilih Rosa. Bahkan kini mereka sudah punya anak.Mungkin ia akan segera menangani soal pertunangan Pasha dengan Selina yang akan batal untuk ke dua kalinya. Ana belum tahu apa yang ditemukan oleh Jeena di apartemen Pasha. Andai Ana tahu apa yang terjadi pasti ia akan murka. Seolah memahami isyarat yang diberikan oleh Ana, Sulis pun memilih mendekat. Ke dua wanita yang sudah tidak muda itu lalu memilih keluar ruangan. “Dasha telepon,” imbuh Ana sembari merangkul lengan Sulis. Sulis menatap Ana dengan tatapan serius. “Kamu harus segera bertemu dengan Dasha. Kalau kamu takut, aku temani,”Ana meraih oksigen rakus lalu mengembuskannya dengan berat, menja
Rosa terdiam mendengar permintàan maaf mantan bosnya itu. Bukankah itu pertanda jika ia merestui hubungannya dengan putra kesayangannya?Dengan napas tersengal, Rosa mencoba menggerakkan tubuhnya, berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan wanita yang dulu menolak keberadaannya.Pasha yang duduk di kursi samping tempat tidur, langsung menggenggam tangan Rosa, seakan tahu bahwa Rosa sedang ketakutan. “Tenang, aku di sini,” bisiknya pelan.Ana memperhatikan interaksi mereka. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Mungkin itu penyesalan, mungkin itu rasa bersalah.“Nyonya … aku …” imbuh Rosa menggantung sebab Ana sudah lebih dulu memotongnya.“Jangan banyak bicara. Kau masih belum pulih,” ucap Ana dengan nada simpatik.Rosa menunduk, menatap selimutnya dengan pandangan kosong. Ia masih takut. Ia ingat dengan jelas bagaimana Ana dulu mengatakan bahwa ia tidak pantas untuk Pasha, dan permintaannya agar bisa menjauh dari Pasha.Tapi kini, Ana ada
Di ruangan bernuansa putih yang sepi, hanya suara detak monitor dan hembusan lembut oksigen yang menemani. Lampu redup di langit-langit menerangi wajah pucat Rosa yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Kini ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.Di sampingnya, Pasha duduk dengan tubuh lelah, pakaian kusut, rambut berantakan, dan mata yang sembab. Namun, ia tetap tidak beranjak.Tangannya menggenggam erat jemari Rosa, seolah takut kehilangan lagi.Kelopak mata Rosa mulai bergerak. Pelan, ia membuka matanya, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Pandangannya buram sesaat, sebelum akhirnya menangkap sosok di sampingnya.Pasha.Dengan wajah yang begitu lelah, namun tatapan matanya hangat… dan penuh penyesalan.“Pasha,” suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Sekejap, Pasha menegakkan tubuhnya. Matanya membulat, penuh keterkejutan sekaligus kelegaan.“Kamu sadar,” suaranya bergetar. Jemarinya refleks menggenggam tangan Rosa lebih erat, seolah ingin memastikan ini bukan
Ana berdiri di depan ruang ICU dengan perasaan campur aduk. Matanya sembab karena menangis terlalu lama, tapi ia tetap berdiri di sana, menunggu.Hatinya berdegup kencang saat akhirnya pintu ICU terbuka. Lalu tampaklah Pasha melangkah keluar.Putranya tampak berantakan—wajahnya pucat, rambutnya kusut, dan matanya merah karena letih. Seorang pria yang terbebani oleh terlalu banyak emosi.“Pasha,” suara Ana nyaris berbisik.Tapi Pasha bahkan tidak menoleh. Pemuda tampan itu berjalan lurus, melewati Ana begitu saja, seolah ibunya tidak ada di sana.Ana menahan napas. Sakit. Hatinya terasa diremuk. Tapi ia tahu—ia pantas mendapatkannya. Pasha sangat marah dan kecewa padanya. Dengan cepat, Ana berbalik dan mengejar langkah Pasha yang menuju bangku tunggu di lorong rumah sakit.“Pasha… Nak, dengar dulu,” suara Ana sedikit gemetar, mencoba menyentuh lengan putranya.Tapi Pasha menepis tangannya, menghindar. Ana merasa tersentak mendapat perlakuan Pasha seperti itu. Pasha putranya yang manja