Selama menikah dengan Danar Yudistira, Embun tidak pernah melihat pria itu marah padanya. Wajahnya seolah datar dengan suara yang terkesan dingin. Pertama kali ia mendengar Danar membentaknya ialah sewaktu Danar dan Mita membawa bayinya di rumah sakit.Setelah berpikir lama, Embun tetap bersikukuh pada keputusannya. Ia akan tetap bertemu dengan Danar dan berbicara empat mata dengannya. Semoga saja pria itu luluh hatinya.Embun menjawab perkataan Gilang dengan tegas.“Tidak apa-apa, Pak Gilang! Aku akan bertemu dengan Tuan Danar. Aku hanya mencoba untuk meminta pertimbangan beliau terlebih dahulu.”Embun berusaha menguatkan hatinya. Ia hanya ingin berjuang mendapatkan anaknya kembali dengan cara apapun. Setidaknya, berada dekat dengannya meskipun tak bisa memilikinya. Atau bahkan mungkin suatu saat putranya hanya memangilnya dengan bibi pengasuh. Hal itu tak jadi masalah baginya. Gilang mendesah pelan mendengar jawaban Embun yang terkesan memaksa. Ia menjadi semakin penasaran akan hubu
Malam itu, ke dua babysitter yang menjaga Sagara tampak kewalahan sepeninggal Embun Ganita. Mereka tak habis pikir mengapa tiba-tiba saja atasannya memecat ibu susu Sagara. Mereka lantas menarik kesimpulan, pasti Embun telah berbuat kesalahan yang fatal hingga membuat Danar marah besar. Sial, mereka terpaksa harus bergadang demi menenangkan Tuan muda yang kembali menangis kejer. Padahal mereka baru saja menikmati ketenangan karena kehadiran ibu susu sangat membantu mereka dalam mengurus Sagara.“Gara, bobo! Oh, Gara bobo! Kalau tidak bobo digigit kebo, eh, nyamuk-” Maya bernyanyi dengan asal-asalan demi menidurkan Sagara. Bukan tanpa alasan, wanita muda itu sudah berusaha mengeluarkan seluruh tenaga dan pikirannya demi membuat anak itu diam. Sumpah demi apapun, Sagara memang termasuk anak yang menguji iman dan imun.Anak itu kembali tantrum ketika keinginannya tidak terpenuhi. Ya, keinginan terbesarnya ternyata ia ingin menyusu langsung pada sumber ASI. “May, liriknya ngaco nih! K
Malam itu Danar menjadi gelisah hingga ia enggan memejamkan mata. Ia tengah membayangkan hari esok yang akan dilalui oleh putra kecilnya. Isi kepala pria itu hanya putranya!Karena tak bisa tidur, pria berwajah dingin itu bangun lalu berjalan menuju nakas. Sekotak rokok yang tergolek di atas nakas menarik perhatiannya. Pria itu pun mengambil sebatang benda candu itu lalu berjalan menuju pintu balkon.Duduk bersilang kaki di atas kursi rotan, ia pun menyalakannya dan mulai menghisapnya sembari menatap hujan yang turun dari langit dengan begitu derasnya. Setidaknya, gulungan tembakau itu bisa mengurangi rasa frustrasi yang menderanya saat ini.Namun, udara malam itu sangat dingin akibat hujan besar disertai angin kencang. Rasa dinginnya sampai menusuk hingga ke tulang belulang. Ia pun memilih mengusak rokok terakhir itu ke dalam asbak, menyudahi kegiatannya menatap kesunyian malam dan masuk kembali ke dalam kamarnya.Danar pun membuka layar ponselnya. Ia membuka rekaman CCTV di kamar put
Embun menghela nafas pelan. Ia bersyukur karena bisa selamat. Hum, apalagi yang menyelamatkannya itu adalah pria dingin itu. Ia menjadi berpikir jika pria itu masih memiliki hati. Jika tidak, mungkin ia akan membiarkannya mati kedinginan karena terserang hipotermia di bawah rinai hujan.Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Air mata kembali menetes di ujung matanya. Embun teringat bayinya. Ia sangat mengkhawatirkannya. Tak berselang lama setelah kepergian Danar, seorang perawat datang menghampiri Embun.“Sus, aku ingin pulang. Aku sudah baikan. Aku cuma demam,” kata Embun. Ia tidak ingin berlama-lama berada di ruangan itu. Ia akan pulang ke apartemen Yasmin. Seperti tujuan awalnya ia akan pergi mencari pekerjaan lain dan melanjutkan hidupnya. Perawat hanya tersenyum menatap Embun lalu menggelengkan kepalanya pelan. Dengan cekatan, ia memeriksa labu infusan.“Mbak, boleh pulang kalau cairan infusannya habis,” jawab perawat kemudian pergi meninggalkan Embun.Embun hanya pasrah, l
Waktu seakan merangkak lamban. Detik detik demi detik terasa lama. Namun Embun tak bisa melarikan diri dari kondisi canggung itu. Wajahnya menunduk dalam, tatapannya tertuju pada piring keramik bermotif bunga krisan di pinggirnya. Ia berusaha mengolah perasaannya yang menegang saat berada satu meja dengan pria itu—mantan suami yang begitu dipujanya. Entahlah, perasaan apa yang dimilikinya saat ini terhadapnya.“Setelah makan, kita bicara,” ujar Danar bernada singkat. Pria itu langsung menikmati sarapan siangnya. Ia mengalasi piring miliknya dengan nasi dan lauk pauk serta tumis sayuran.Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang berdenting dan beradu. Pria tampan itu makan tanpa suara dan tampak anggun. Kali ini ia sama sekali tidak merasa terusik akan kehadiran Embun.Embun hanya menghela nafas pelan. Ingatannya berputar begitu saja. Setiap kali Danar pulang ke villa, ia selalu menyambut pria itu di luar rumah. Diciumnya punggung tangannya dengan takzim.Embun yang memang sama pendi
“Halo, Baby! Lagi apa?”Malam hari, Mita baru saja pulang dari rumah ke dua orang tuanya. Ia langsung mendatangi ruang kerja suaminya yang berada di lantai tiga. Danar tengah menatap layar laptop dengan tatapan serius.Danar bahkan tidak menyadari kepulangan istrinya—yang sesuka hatinya. Pedih, bahkan Mita tidak memperdulikan putra mereka.Menaruh tas mahalnya di atas meja, Mita berjalan berlenggak-lenggok mendekati suaminya. Ia bahkan tiba-tiba saja menyingkirkan laptop dari pangkuan suaminya, kemudian ia duduk di atas pangkuan suaminya dengan ke dua tangan yang mengalung pada leher suaminya. Wanita cantik itu memeluk suaminya dengan erat.“Mita, Mas masih punya pekerjaan. Tolong, awas dulu!” peringat Danar yang merasa tak nyaman karena istrinya itu menduduki miliknya. Seharusnya, ia tidak mengganggunya saat ini. Bukan waktu yang tepat. Suasana hati pria itu juga sedang buruk.Raut wajah Mita langsung kecut saat mendapat penolakan dari Danar. Ia kecewa dan langsung turun dari pangku
“Tuan Danar, saya mau melapor,” ucap Gilang ketika ia sudah bertemu langsung dengan majikannya. Pemuda tampan itu langsung duduk di sofa seberang Danar di ruang kerjanya. Ia pun menaruh berkas laporan keuangan di atas meja.Danar hanya mengangguk sebagai jawaban.“Saya sudah menyelesaikan tugas saya, mengurus gaji para pekerja di sini. Termasuk, ibu susu Den Sagara,” ucapnya dengan sudut bibir yang tertarik hingga membentuk senyum samar saat menyebut ‘ibu susu Den Sagara’. Jelas, Danar bisa menangkap maksudnya.Danar menatap tajam ke arah Gilang. Rasanya, ia tidak senang melihat perhatian Gilang pada sosok mantan istrinya.“Saya harap kau harus bersikap profesional, Gilang!” peringat Danar dengan singkat, jelas dan padat. “Siap, Tuan. Ah, ya, satu lagi, saya telat memberikan gaji pada Mbak Embun. Oleh karena itu saya meminta maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan itu,” imbuh Gilang terdengar serius.“Kenapa? Alasan?” tukas Danar didera rasa ingin tahu yang besar.Danar sudah berpik
Setiap subuh, Sagara selalu terbangun minta ASI. Mau tak mau Embun yang kini menempati kamar yang bersebelahan dengan Sagara, langsung datang ke sana saat menerima telepon dari Maya. Senyum terbit di wajahnya setiap kali mendengar nada dering khusus dari Maya—pertanda bayinya menginginkan dirinya.Beruntung, pukul tiga pagi Embun sudah terbangun. Ia sudah mandi dan menikmati sepertiga malamnya. Wanita itu bahkan selalu berdandan dan memakai pakaian yang terbaik saat menyambut bayinya. Bahkan ia sudah menyemprotkan parfum beraroma lembut pada tubuhnya. Ia ingin anaknya merasa nyaman saat bersamanya dan mengingatnya sebagai ibu—yang begitu mencintainya. “Mbak, mau kemana?” tanya Maya yang sudah menyambut kedatangan Embun di bibir pintu. Wanita muda itu memindai penampilan Embun dari pucuk kepala hingga ujung kaki. Kemudian ia terkekeh pelan. “Memang beda ya kalau menyusui anak sultan,” katanya lagi dengan tanpa rasa canggung. Gadis itu bicara ceplas-ceplos. Embun hanya tersenyum tak te
Sulis datang diikuti oleh ke dua anak kembar identiknya, Beryl dan Alby. “Kenapa gak nunggu Omnya sih? Omnya juga pengen ngasih nama,” imbuh Beryl sembari menggamit tangan mungil istrinya.“Bayinya kembar identik juga ya,” Laila berkomentar dengan tersenyum manis menatap Rosa.Rosa menangguk. “Mereka kembar identik. Tapi … yang satu ada tanda lahir di dadanya. Yang satu enggak,”“Nah, ada juga bedanya,” gumam Ana hampir kebingungan. Dulu ia juga tidak bisa membedakan mana Alby atau Beryl.“Kalau masih bayi agak sulit emang. Kecuali udah gede,” tukas Sulis memandang ke dua putranya bergantian dengan mata yang memicing penuh arti.“Apa Mi?” Baik Beryl maupun Alby mendengus pelan.“Kalau udah gede, sikapnya kan beda. Jadi gak bakalan bingung,” imbuh Laila berkomentar. Pasha seketika terkekeh pelan. “Laila, sikap Beryl masih nyebelin gak udah nikah? Dia kan rada-rada sin—”“Sa, kenapa kamu jadi kasar begitu?” tegur dr Zain mengerutkan keningnya. “Tanya aja sama istri gue.”Beryl menj
Senja itu, langit terlihat indah dan cerah seakan menambah nuansa bahagia sepasang kekasih yang baru saja memulai hidup baru. Mobil yang dikendarai Pasha melaju pelan memasuki halaman kediaman sang ibu yang luas dan megah. Namun, di dalam mobil, dada Rosa terasa sesak. Jari-jarinya menggenggam erat selimut bayi yang membungkus salah satu anak kembarnya. Ia menoleh ke kursi bayi di sampingnya, tempat bayinya tertidur pulas.Pasha, yang duduk di sebelahnya, menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan hal yang mudah bagi Rosa. Wanita itu telah mengalami banyak hal, termasuk penolakan dari keluarganya sendiri. Kini, ia akan menghadapi keluarga besar.Situasinya berbeda. Jika dulu ia datang ke sana sebagai asisten pribadi Ana sekaligus pengawal Jeena. Sekarang, ia datang sebagai wanita yang telah melahirkan dua cucu sekaligus untuk keluarga Basalamah. “Rosa,” suara Pasha terdengar lembut, namun tegas. “Ini rumah kita sekarang. Kau tidak perlu takut.”Rosa menelan ludah, mencoba menenangkan
Pasha mengangguk dengan mantap. “Ya, mereka anak-anakku.”Alby merasa dunianya jungkir balik. “Kapan ini terjadi?! Kenapa aku nggak tahu?!“Sulis menepuk bahunya. “Mungkin karena kamu terlalu sibuk cari gara-gara sama Levina?”Alby masih tidak percaya. Ia berjalan mendekat dan mengintip bayi yang sedang berada di pelukan Pasha. Wajah mungil itu begitu polos, matanya tertutup rapat dengan pipi bulat menggemaskan.Alby memijat pelipisnya. “Oke. Ini kejutan besar. Aku perlu duduk.”Pasha tersenyum kecil. “Kamu bisa duduk di lantai kalau perlu.”Sulis hanya bisa menghela nafas lagi. “Sepertinya aku akan sering pusing mulai sekarang.”Tak lama kemudian Rosa keluar dari kamar mandi. Tatapannya bertemu dengan Alby.Alby menatap Rosa dengan tatapan bingung. Namun ia tidak ingin menghakimi siapapun di sana. “Sorry banget, aku kaget,”Pantas saja ibunya memintanya untuk menjenguk Rosa. Mungkin maksud ibunya ialah membesuk ke dua keponakannya. Ia tidak tahu ternyata hubungan Pasha dengan mantan
Jeena menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Rekaman CCTV yang baru saja diputar memperlihatkan sesuatu yang menggetarkan hatinya—Rosa yang kesakitan, merintih di lantai, sementara Selina hanya berdiri, menatapnya dengan ekspresi kosong sebelum akhirnya berbalik dan pergi begitu saja.Sulis yang duduk di samping Jeena terkesiap. Jari-jarinya yang sudah mulai berkerut mencengkeram lengan kursinya. Napasnya memburu, dan ekspresi terkejutnya segera berubah menjadi kemarahan yang mendidih.“Astaga, Jeena,” Sulis menggelengkan kepalanya tak percaya. “Anak itu benar-benar tega. Aku tahu dia punya dendam, tapi membiarkan seorang ibu dan bayinya dalam bahaya? Ini sudah kelewatan.”Jeena mengepalkan tangannya di atas pahanya. Matanya menyala, penuh dengan amarah. “Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja, Tante. Aku akan melaporkannya ke polisi sekarang juga! Bayangkan saja, bukankah dia seorang dokter? Namun membiarkan wanita hamil yang ingin melahirkan begitu saja, sungguh pe
“Sa, udah cukup. Aku udah kenyang.”Rosa menahan tangan Pasha untuk terus menyuapinya.Pasha pun menurut lalu menyerahkan sebotol air minum untuk Rosa, lengkap dengan sedotannya. Tanpa ragu, Rosa menerima air minum itu lalu meneguknya perlahan. Dengan telaten, Pasha pun menaruh nampan bekas makan Rosa di atas nakas. Lalu ia langsung memanggil perawat yang tiba di sana untuk membereskan bekas makan Rosa. Ia tidak bisa melihat ada barang kotor di sana.Setelah memastikan Rosa makan dengan benar, Pasha tak langsung beranjak dari sana. Ia kembali duduk di sisi Rosa, membetulkan bantal yang menjadi sandaran Rosa meskipun ia terlihat letih.“Sa,” imbuh Rosa menatap Pasha yang mengabaikan dirinya sendiri. Wajah pria tampan itu terlihat letih dengan penampilannya yang berantakan.“Apa?” tanya Pasha dengan suara serak—yang letih.“Kamu pulang aja,” Rosa menatap iba pemuda itu. “Kamu bisa istirahat di rumah. Di sini ada perawat kok,”Pasha menatap Rosa dengan tatapan penuh arti. Tangannya memb
“Siapa Na?” Sulis bertanya saat Ana tak kunjung mengangkat teleponnya.Ana melirik ke arah Sulis setelah mengatur ponsel itu menjadi silent. Untuk saat ini ia tidak ingin mendengar tentang Selina ataupun keluarganya. Ia hanya ingin fokus pada kebahagiaan Pasha dan wanita pilihannya. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Pasha sudah memilih Rosa. Bahkan kini mereka sudah punya anak.Mungkin ia akan segera menangani soal pertunangan Pasha dengan Selina yang akan batal untuk ke dua kalinya. Ana belum tahu apa yang ditemukan oleh Jeena di apartemen Pasha. Andai Ana tahu apa yang terjadi pasti ia akan murka. Seolah memahami isyarat yang diberikan oleh Ana, Sulis pun memilih mendekat. Ke dua wanita yang sudah tidak muda itu lalu memilih keluar ruangan. “Dasha telepon,” imbuh Ana sembari merangkul lengan Sulis. Sulis menatap Ana dengan tatapan serius. “Kamu harus segera bertemu dengan Dasha. Kalau kamu takut, aku temani,”Ana meraih oksigen rakus lalu mengembuskannya dengan berat, menja
Rosa terdiam mendengar permintàan maaf mantan bosnya itu. Bukankah itu pertanda jika ia merestui hubungannya dengan putra kesayangannya?Dengan napas tersengal, Rosa mencoba menggerakkan tubuhnya, berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan wanita yang dulu menolak keberadaannya.Pasha yang duduk di kursi samping tempat tidur, langsung menggenggam tangan Rosa, seakan tahu bahwa Rosa sedang ketakutan. “Tenang, aku di sini,” bisiknya pelan.Ana memperhatikan interaksi mereka. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Mungkin itu penyesalan, mungkin itu rasa bersalah.“Nyonya … aku …” imbuh Rosa menggantung sebab Ana sudah lebih dulu memotongnya.“Jangan banyak bicara. Kau masih belum pulih,” ucap Ana dengan nada simpatik.Rosa menunduk, menatap selimutnya dengan pandangan kosong. Ia masih takut. Ia ingat dengan jelas bagaimana Ana dulu mengatakan bahwa ia tidak pantas untuk Pasha, dan permintaannya agar bisa menjauh dari Pasha.Tapi kini, Ana ada
Di ruangan bernuansa putih yang sepi, hanya suara detak monitor dan hembusan lembut oksigen yang menemani. Lampu redup di langit-langit menerangi wajah pucat Rosa yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Kini ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.Di sampingnya, Pasha duduk dengan tubuh lelah, pakaian kusut, rambut berantakan, dan mata yang sembab. Namun, ia tetap tidak beranjak.Tangannya menggenggam erat jemari Rosa, seolah takut kehilangan lagi.Kelopak mata Rosa mulai bergerak. Pelan, ia membuka matanya, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Pandangannya buram sesaat, sebelum akhirnya menangkap sosok di sampingnya.Pasha.Dengan wajah yang begitu lelah, namun tatapan matanya hangat… dan penuh penyesalan.“Pasha,” suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Sekejap, Pasha menegakkan tubuhnya. Matanya membulat, penuh keterkejutan sekaligus kelegaan.“Kamu sadar,” suaranya bergetar. Jemarinya refleks menggenggam tangan Rosa lebih erat, seolah ingin memastikan ini bukan
Ana berdiri di depan ruang ICU dengan perasaan campur aduk. Matanya sembab karena menangis terlalu lama, tapi ia tetap berdiri di sana, menunggu.Hatinya berdegup kencang saat akhirnya pintu ICU terbuka. Lalu tampaklah Pasha melangkah keluar.Putranya tampak berantakan—wajahnya pucat, rambutnya kusut, dan matanya merah karena letih. Seorang pria yang terbebani oleh terlalu banyak emosi.“Pasha,” suara Ana nyaris berbisik.Tapi Pasha bahkan tidak menoleh. Pemuda tampan itu berjalan lurus, melewati Ana begitu saja, seolah ibunya tidak ada di sana.Ana menahan napas. Sakit. Hatinya terasa diremuk. Tapi ia tahu—ia pantas mendapatkannya. Pasha sangat marah dan kecewa padanya. Dengan cepat, Ana berbalik dan mengejar langkah Pasha yang menuju bangku tunggu di lorong rumah sakit.“Pasha… Nak, dengar dulu,” suara Ana sedikit gemetar, mencoba menyentuh lengan putranya.Tapi Pasha menepis tangannya, menghindar. Ana merasa tersentak mendapat perlakuan Pasha seperti itu. Pasha putranya yang manja