Jangan lupa support novelnya ya my lovely goodreaders. Thanks.
Keesokan harinya, Gilang pergi mendatangi rumah Danar dengan perasaan yang berkecamuk. Ia bingung harus menyampaikan pesan atasannya pada Embun Ganita. Sebetulnya ada yang lebih membingungkan baginya. Mengapa tuannya memintanya untuk memecat Embun? Apa alasannya? “Mas Gilang rajin amat datang ke sini. Padahal, Tuan Danar sedang keluar kota loh,” sapa Mbak Nuri yang sedang asik menyiram bunga membantu tukang kebun di sana.Di sana terlihat ramai karena para kuli banguanan mulai berdatangan. Mereka sedang mengerjakan proyek renovasi rumah bagian belakang. “Ya udah, aku pulang lagi nih. Tapi jangan kangen ya Mbak,” jawab Gilang seraya memutar tubuhnya dengan gerakan lambat. Seketika ia tertawa menatap Mbak Nuri yang terlihat basah-basahan.“Mbak, mau mandi atau mau menyiram bunga? Hum, sepertinya Mbak Nuri butuh siraman kasih sayang deh,” kata Gilang sembari melewati Mbak Nuri begitu saja. “Terserah, Mas Gilang!” beo Mbak Nuri dengan tawa kecilnya. Ia menggelengkan kepalanya beberap
Selama menikah dengan Danar Yudistira, Embun tidak pernah melihat pria itu marah padanya. Wajahnya seolah datar dengan suara yang terkesan dingin. Pertama kali ia mendengar Danar membentaknya ialah sewaktu Danar dan Mita membawa bayinya di rumah sakit.Setelah berpikir lama, Embun tetap bersikukuh pada keputusannya. Ia akan tetap bertemu dengan Danar dan berbicara empat mata dengannya. Semoga saja pria itu luluh hatinya.Embun menjawab perkataan Gilang dengan tegas.“Tidak apa-apa, Pak Gilang! Aku akan bertemu dengan Tuan Danar. Aku hanya mencoba untuk meminta pertimbangan beliau terlebih dahulu.”Embun berusaha menguatkan hatinya. Ia hanya ingin berjuang mendapatkan anaknya kembali dengan cara apapun. Setidaknya, berada dekat dengannya meskipun tak bisa memilikinya. Atau bahkan mungkin suatu saat putranya hanya memangilnya dengan bibi pengasuh. Hal itu tak jadi masalah baginya. Gilang mendesah pelan mendengar jawaban Embun yang terkesan memaksa. Ia menjadi semakin penasaran akan hubu
Malam itu, ke dua babysitter yang menjaga Sagara tampak kewalahan sepeninggal Embun Ganita. Mereka tak habis pikir mengapa tiba-tiba saja atasannya memecat ibu susu Sagara. Mereka lantas menarik kesimpulan, pasti Embun telah berbuat kesalahan yang fatal hingga membuat Danar marah besar. Sial, mereka terpaksa harus bergadang demi menenangkan Tuan muda yang kembali menangis kejer. Padahal mereka baru saja menikmati ketenangan karena kehadiran ibu susu sangat membantu mereka dalam mengurus Sagara.“Gara, bobo! Oh, Gara bobo! Kalau tidak bobo digigit kebo, eh, nyamuk-” Maya bernyanyi dengan asal-asalan demi menidurkan Sagara. Bukan tanpa alasan, wanita muda itu sudah berusaha mengeluarkan seluruh tenaga dan pikirannya demi membuat anak itu diam. Sumpah demi apapun, Sagara memang termasuk anak yang menguji iman dan imun.Anak itu kembali tantrum ketika keinginannya tidak terpenuhi. Ya, keinginan terbesarnya ternyata ia ingin menyusu langsung pada sumber ASI. “May, liriknya ngaco nih! K
Malam itu Danar menjadi gelisah hingga ia enggan memejamkan mata. Ia tengah membayangkan hari esok yang akan dilalui oleh putra kecilnya. Isi kepala pria itu hanya putranya!Karena tak bisa tidur, pria berwajah dingin itu bangun lalu berjalan menuju nakas. Sekotak rokok yang tergolek di atas nakas menarik perhatiannya. Pria itu pun mengambil sebatang benda candu itu lalu berjalan menuju pintu balkon.Duduk bersilang kaki di atas kursi rotan, ia pun menyalakannya dan mulai menghisapnya sembari menatap hujan yang turun dari langit dengan begitu derasnya. Setidaknya, gulungan tembakau itu bisa mengurangi rasa frustrasi yang menderanya saat ini.Namun, udara malam itu sangat dingin akibat hujan besar disertai angin kencang. Rasa dinginnya sampai menusuk hingga ke tulang belulang. Ia pun memilih mengusak rokok terakhir itu ke dalam asbak, menyudahi kegiatannya menatap kesunyian malam dan masuk kembali ke dalam kamarnya.Danar pun membuka layar ponselnya. Ia membuka rekaman CCTV di kamar put
Embun menghela nafas pelan. Ia bersyukur karena bisa selamat. Hum, apalagi yang menyelamatkannya itu adalah pria dingin itu. Ia menjadi berpikir jika pria itu masih memiliki hati. Jika tidak, mungkin ia akan membiarkannya mati kedinginan karena terserang hipotermia di bawah rinai hujan.Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Air mata kembali menetes di ujung matanya. Embun teringat bayinya. Ia sangat mengkhawatirkannya. Tak berselang lama setelah kepergian Danar, seorang perawat datang menghampiri Embun.“Sus, aku ingin pulang. Aku sudah baikan. Aku cuma demam,” kata Embun. Ia tidak ingin berlama-lama berada di ruangan itu. Ia akan pulang ke apartemen Yasmin. Seperti tujuan awalnya ia akan pergi mencari pekerjaan lain dan melanjutkan hidupnya. Perawat hanya tersenyum menatap Embun lalu menggelengkan kepalanya pelan. Dengan cekatan, ia memeriksa labu infusan.“Mbak, boleh pulang kalau cairan infusannya habis,” jawab perawat kemudian pergi meninggalkan Embun.Embun hanya pasrah, l
Waktu seakan merangkak lamban. Detik detik demi detik terasa lama. Namun Embun tak bisa melarikan diri dari kondisi canggung itu. Wajahnya menunduk dalam, tatapannya tertuju pada piring keramik bermotif bunga krisan di pinggirnya. Ia berusaha mengolah perasaannya yang menegang saat berada satu meja dengan pria itu—mantan suami yang begitu dipujanya. Entahlah, perasaan apa yang dimilikinya saat ini terhadapnya.“Setelah makan, kita bicara,” ujar Danar bernada singkat. Pria itu langsung menikmati sarapan siangnya. Ia mengalasi piring miliknya dengan nasi dan lauk pauk serta tumis sayuran.Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang berdenting dan beradu. Pria tampan itu makan tanpa suara dan tampak anggun. Kali ini ia sama sekali tidak merasa terusik akan kehadiran Embun.Embun hanya menghela nafas pelan. Ingatannya berputar begitu saja. Setiap kali Danar pulang ke villa, ia selalu menyambut pria itu di luar rumah. Diciumnya punggung tangannya dengan takzim.Embun yang memang sama pendi
“Halo, Baby! Lagi apa?”Malam hari, Mita baru saja pulang dari rumah ke dua orang tuanya. Ia langsung mendatangi ruang kerja suaminya yang berada di lantai tiga. Danar tengah menatap layar laptop dengan tatapan serius.Danar bahkan tidak menyadari kepulangan istrinya—yang sesuka hatinya. Pedih, bahkan Mita tidak memperdulikan putra mereka.Menaruh tas mahalnya di atas meja, Mita berjalan berlenggak-lenggok mendekati suaminya. Ia bahkan tiba-tiba saja menyingkirkan laptop dari pangkuan suaminya, kemudian ia duduk di atas pangkuan suaminya dengan ke dua tangan yang mengalung pada leher suaminya. Wanita cantik itu memeluk suaminya dengan erat.“Mita, Mas masih punya pekerjaan. Tolong, awas dulu!” peringat Danar yang merasa tak nyaman karena istrinya itu menduduki miliknya. Seharusnya, ia tidak mengganggunya saat ini. Bukan waktu yang tepat. Suasana hati pria itu juga sedang buruk.Raut wajah Mita langsung kecut saat mendapat penolakan dari Danar. Ia kecewa dan langsung turun dari pangku
“Tuan Danar, saya mau melapor,” ucap Gilang ketika ia sudah bertemu langsung dengan majikannya. Pemuda tampan itu langsung duduk di sofa seberang Danar di ruang kerjanya. Ia pun menaruh berkas laporan keuangan di atas meja.Danar hanya mengangguk sebagai jawaban.“Saya sudah menyelesaikan tugas saya, mengurus gaji para pekerja di sini. Termasuk, ibu susu Den Sagara,” ucapnya dengan sudut bibir yang tertarik hingga membentuk senyum samar saat menyebut ‘ibu susu Den Sagara’. Jelas, Danar bisa menangkap maksudnya.Danar menatap tajam ke arah Gilang. Rasanya, ia tidak senang melihat perhatian Gilang pada sosok mantan istrinya.“Saya harap kau harus bersikap profesional, Gilang!” peringat Danar dengan singkat, jelas dan padat. “Siap, Tuan. Ah, ya, satu lagi, saya telat memberikan gaji pada Mbak Embun. Oleh karena itu saya meminta maaf sebesar-besarnya atas keterlambatan itu,” imbuh Gilang terdengar serius.“Kenapa? Alasan?” tukas Danar didera rasa ingin tahu yang besar.Danar sudah berpik
"Rosa,” suara Pasha terdengar serak. “Kenapa kau tidak memberitahuku?”Rosa menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. “Karena ini … bukan urusanmu, Tuan Pasha.”Pasha mengepalkan tangannya. “Bagaimana bisa bukan urusanku? Kau mengandung anakku!”Rosa menatap tajam Pasha lalu mendesah pelan. “Kata siapa? Jangan terlalu percaya diri Tuan.”Pasha tersenyum getir. “Memangnya kau punya kekasih? No! Kau tidak punya kekasih. Sudah jelas, kita melakukan itu tanpa pengaman. Bagaimana bisa kau melupakan malam itu begitu saja?”Rosa tercekat tenggorokannya. “Tolong. Pergilah!”“Aku akan pergi setelah tahu kebenaran tentang bayi yang kau kandung,” lanjut Pasha terdengar serius.Percuma Rosa terus mengelak. Pada akhirnya Pasha akan tahu kebenarannya.Rosa menatapnya dengan mata penuh luka. “Aku tidak butuh kau dalam hidupku.”Pasha merasa dadanya seperti dihantam keras.Ia melangkah maju, suaranya lebih pelan kali ini. “Rosa… aku tidak bisa membiarkanmu menjalani ini sendirian.”Rosa menggele
Sementara itu, di tempat lain, Pasha duduk termenung di ruangannya. Pikirannya kembali pada mimpi-mimpi yang terus mengganggunya. Dua anak kecil. Dua anak lelaki yang mirip dengannya. Mereka selalu memanggilnya dengan suara ceria. “Papa! Papa kapan kau akan menjemput kami?”Pasha mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak bisa berdiam diri. Ia harus menemukan Rosa. Sebelum semuanya terlambat. Anak-anak kecil itu. Mereka berlarian di padang rumput, tertawa riang, dan kemudian menoleh ke arahnya dengan mata yang hidup. Suara itu masih terngiang jelas di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Bagaimana jika mimpinya bukan sekadar bunga tidur? Bagaimana jika itu adalah pertanda? Jeena benar. Ia bodoh. Bagaimana bisa ia membiarkan Rosa pergi begitu saja setelah malam itu? Pasha tahu Rosa bukan tipe wanita yang akan berbuat gegabah. Jika Rosa sampai pergi dan memutuskan untuk menghilang, pasti ada sesuatu yang disembunyikannya. Dan kini, setelah Jeena melihatnya dengan perut
Malam itu, Jeena duduk di tepi ranjangnya, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Gelisah. Hatinya penuh keraguan dan kekhawatiran yang semakin menyesakkan dada. Jeena meraih ponselnya, menatap nomor yang telah disimpannya beberapa hari yang lalu. Ia mendapatkannya dari seorang rekan kerja Rosa. Ia hanya cukup menghubungi suaminya yang masih berada di lokasi proyek.Sejak beberapa hari lalu, ia sudah ragu-ragu untuk menghubungi, takut Rosa menolak atau justru semakin menjauh. Tapi malam ini, ia tidak bisa menunda lagi.Dengan napas tertahan, Jeena mengetik pesan singkat.[Rosa, ini aku, Jeena. Aku ingin bertemu denganmu, hanya kita berdua. Tolong beri tahu aku jika kamu bersedia.]Jeena menekan tombol kirim. Seketika jantungnya berdebar lebih kencang. Waktu terasa melambat, setiap detik berlalu dengan lamban, menambah beban di hatinya. Ia tidak berharap banyak, tapi harapan kecil itu tetap ada. Semoga saja Rosa bersedia bicara empat mata dengannya.Satu jam berlalu tanpa balasan.
Pasha telah bermimpi beberapa kali dalam beberapa bulan terakhir. Dalam mimpinya, ia berdiri di sebuah taman luas, matahari bersinar hangat, angin bertiup lembut. Lalu, dua anak kecil berlari ke arahnya. Dua anak lelaki. Mereka berwajah sama. Keduanya memiliki mata yang tajam seperti dirinya. Rambut mereka hitam, sedikit berantakan. Mereka tersenyum ceria, berlari sambil memanggilnya. [Papa!]Pasha selalu terbangun dengan napas memburu setiap kali mimpi itu datang. Kini, setelah mendengar cerita Jeena, sebuah firasat kuat menghantamnya. [Jeen,] suaranya terdengar lebih serius. [Bagaimana jika anak itu… anakku?]Jeena terdiam di tempatnya, ponsel masih menempel di telinganya. Kata-kata Pasha bergema di kepalanya, seperti gema yang enggan mereda. [Bagaimana jika anak itu… anakku?]Di seberang telepon, Pasha terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. Jeena mengerjap, merasa seperti mendengar sesuatu yang salah. Ia menggigit bibirnya, jantungnya berdetak lebih
Jeena melangkah pelan di sepanjang trotoar kota kecil itu, tangannya menggamit lengan Manggala. Udara sore membawa hembusan angin hangat yang mengelus pipinya, sementara cahaya matahari yang meredup membuat segalanya tampak lebih tenang. “Kau yakin ini lokasi proyek yang kita cari?” tanya Jeena, melirik sekeliling. Saat ini Jeena pulang di sela-sela kegiatan kampusnya yang longgar. Ia memilih menemani suami tercinta melakukan survey ke beberapa tempat.Manggala mengangguk. “Ya. Tanah di pinggiran kota ini cukup potensial. Jika proyek ini berjalan, daerah ini bisa berkembang pesat dalam beberapa tahun ke depan, Yang,” Jeena mengangguk, meskipun pikirannya melayang ke tempat lain. Ia merindukan Bagas. Sudah lama ia tidak tahu kabar tentangnya. Pergi ke tempat pelosok selalu membawa nostalgia yang sulit dijelaskan. Namun, takdir sering kali memiliki cara aneh untuk membawa masa lalu kembali ke hadapan seseorang. Saat langkah mereka mendekati sebuah butik kecil di ujung jalan, mata
Laila mundur perlahan, matanya membulat saat melihat ekspresi Beryl yang entah kenapa malam ini terlihat sangat berbahaya. “Kak, kau kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya dengan suara lirih, tubuhnya menempel ke dinding seperti seekor cicak, seakan berharap bisa menembusnya dan kabur. Beryl menyilangkan tangan di dada, bibirnya terangkat sedikit. “Kenapa? Aku hanya menatap istriku yang manis ini. Gak boleh emang?”Laila semakin waspada. Beryl tidak pernah bicara selembut itu. Apalagi dengan ekspresi seperti itu. “Jangan macam-macam, ya,” ancamnya, menunjuk Beryl dengan jari telunjuknya yang mungil. Beryl melangkah pelan mendekat. “Macam-macam bagaimana?”Laila makin panik. “Kak! Aku serius! Aku masih harus banyak istirahat!”Laila cukup trauma saat ia memergoki suaminya di kamar mandi. Ia terkejut saat melihat kejantanan suaminya yang besar. Ia menjadi takut menghadapi malam pertama dengan segala skenario aneh di kepalanya. Ia takut milik suaminya melukainya dan sebagainya.“
Selina berdiri di depan rumah sakit dengan kotak makan siang di tangannya, menggenggamnya erat seolah-olah itu adalah harapan terakhirnya. Angin dingin Manhattan menusuk kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Matanya menerawang ke arah pintu utama rumah sakit, menunggu sosok yang sudah memenuhi pikirannya sejak lama.Tak lama kemudian, Pasha keluar dengan langkah cepat, mengenakan jas dokternya yang memberi kesan tegas dan profesional. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena jam panjang dalam masa magangnya. Saat melihat Selina berdiri di sana, ia terkejut sejenak, lalu menarik napas dalam sebelum melangkah mendekat.“Selina… kenapa kamu di sini?” suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada kehati-hatian di dalamnya.Selina tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan kegelisahan. “Aku bawakan makan siang untukmu. Aku ingat kamu suka sandwich ayam dan salad buah. Kamu pasti sibuk dan lupa makan.”Pasha menatap kotak itu dengan ragu. Ia tahu maksud Selina lebih dari sekadar perhatian. Ini bukan
Hujan rintik-rintik mengguyur kota saat Rosa melangkah keluar dari mini market tempatnya bekerja. Tangannya menangkup perutnya yang mulai membesar, merasakan gerakan kecil dari dua nyawa yang tumbuh dalam dirinya. Ia tersenyum tipis, bukan karena kebahagiaan, tetapi karena tekad yang semakin menguat dalam dirinya.“Ros, pulanglah dulu. Hujan semakin deras,” suara Dahayu Ilyas menghentikan langkahnya. Wanita paruh baya itu sudah menganggap Rosa seperti anaknya sendiri sejak ia menyelamatkannya dari perampokan sebulan yang lalu.“Tidak apa-apa, Bu. Saya membawa payung,” jawab Rosa, meskipun sebenarnya ia merasa tubuhnya semakin lemah. Kehamilan ini tidak mudah, hamil dua janin membuatnya cepat letih, tetapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bertahan, untuk membesarkan anak-anaknya dengan baik tanpa menuntut siapa pun bertanggung jawab. Ia merasa tidak pantas meminta pertanggungjawaban pada Pasha.Apalagi, ia dengar rumor yang mengatakan bahwa Pasha tinggal di Manhattan bersam
Di dalam mobil, Beryl sesekali melirik ke arah istrinya yang duduk manis dengan mata berbinar. Laila tampak begitu bersemangat ingin segera sampai di rumah Jeena. Ia bahkan terus membicarakan Sagara, bocah kecil lucu yang sudah dianggapnya seperti keponakan sendiri. Alih-alih menghabiskan waktu berdua sebagai pengantin baru, Laila ingin menghabiskan waktu dengan Sagara sebelum pergi ke Malaysia untuk melanjutkan terapi yang sempat tertunda.“Kita ini pengantin baru, tahu?” keluh Beryl akhirnya. “Harusnya kita pacaran berdua, bukan kamu sibuk main sama bocil ingusan!”Laila tertawa kecil. “Sagara itu bukan bocil ingusan, Kak! Dia putra Jeena yang tampan dan menggemaskan! Anak itu cerdas dan aku menyukainya.”Beryl mendengus, pura-pura cemburu. “Jadi aku nggak lebih menggemaskan dan cerdas dari Sagara?”Laila menatap suaminya sambil tersenyum jahil. “Kamu? Hmmm, lebih mirip bayi raksasa yang rewel!”Beryl hampir saja memarkir mobil di pinggir jalan dan menyandera istrinya dengan serangan