“Sampai kapan aku harus bed rest?” tanyaku pada Bu Sania setelah beberapa hari hanya rebahan di klinik milik keluarga gadis yang menabrakku itu. Wanita itu setiap hari datang menengok untuk melihat kondisiku.“Papanya Lyra bilang kondisimu berangsur membaik, janin di kandunganmu pun menunjukan kemajuan yang baik. Asal kau rutin meminum obat yang diberikan, aku yakin dua tiga hari besok kau sudah bisa beraktifitas kembali,” tukas Bu Sania mengupaskan apel untukku.Kuperhatikan wanita itu yang beberapa hari ini sudah repot mengurusku. Padahal bukan siapa-siapaku juga. Aku seharusnya berterima kasih padanya.“Bu, terima kasih, ya? Ibu baik sekali merawatku.” ucapku.Bu Sania menatapku dan tersenyum. “Jangan menyindir begitu, aku baik padamu karena kau seperti ini juga sebab ulah anak perempuanku. Maafkan Lyra, ya?”“Namanya juga anak remaja, mudah-mudahan Lyra banyak belajar setelah ini.”“Benar. Papanya juga jadi tahu kalau terlalu memanjakan putrinya itu tidak baik. Aku juga berterima
Aku sungguh tidak sabar agar Dokter Hartono menyampaikan bahwa kondisiku sudah sangat baik hingga aku bisa keluar dari kliniknya dan pergi menyelesaikan urusanku.Saat ini aku tidak bisa egois jika hendak melakukan sesuatu. Ada mahluk mungil di tubuhku. Au harus memastikan dia baik-baik saja dulu baru bisa memikirkan yang lain.“Kondisimu sudah baik, tapi kenapa terburu-buru?” ucap Dokter Hartono di chek up terakhirnya.“Ada urusan yang mendesak, Dokter. Saya sudah menunggu sejak dua hari yang lalu sampai Dokter benar-benar menyakatakan aku baik-baik saja.”“Hmm, baiklah. Asal kau jangan stres dan juga terlalu lelah. Ini baru trimester awal. Sangat rentan terjadi hal yang tdak diinginkan,” nasihat dokter itu padaku.“Terima kasih, Dokter. Semoga tuhan memberkati keluarga Dokter Hartono,” ujarku padanya yang sudah dengan baik hati mau merawatku.Walau semua itu juga karena ulah putrinya, tapi kalau memang bukan orang baik, mereka tidak akan sebegini pedulinya padaku. “Kalau ada apa-ap
Kami sudah berada di dalam mobil karena Ramzi akan mengajakku ke suatu tempat agar kami bisa dengan leluasa berbicara.Meski sambil menyetir, sepanjang jalan Ramzi tidak berhenti menceritakan keresahannya saat aku tiba-tiba meninggalkan rumah sakit.“Ibu bilang kau ingin menenangkan diri, jadi aku percaya dan berharap kau hanya sedang butuh waktu sendiri dulu,” tukasnya sesekali melirikku yang hanya diam.“Karenanya aku tidak mencarimu dulu dan rencananya hari ini kalau kau juga belum kembali aku akan mulai mengerahkan polisi untuk mencarimu,” tambahnya, seolah menegaskan bahwa dia bisa sangat berkuasa untuk melakukan apapun yang dia mau.“Aku sungguh peduli padamu, Mila. Tidak seperti suamimu yang hanya bisa bersembunyi seperti pecundang karena takut ditangkap polisi. Dia tidak mungkin memikirkanmu. Karena memikirkan dirinya sendiri saja dia bingung.” Lagi Ramzi tidak berhenti membanggakan sikapnya.Aku belum memutuskan untuk angkat suara. Kusimpan saja energiku untuk nanti ketika ha
Pyar!Ramzi bangkit dan tiba-tiba menyeret taplak meja hingga piring dan gelas berjatuhan ke lantai.Kulihat sekilas tatapannya begitu mengerikan dan napasnya naik turun seolah ingin menghancurkan semua benda di sekitar.Aku jadi menyusut dan kakiku sudah gemetaran saja. Benar-benar tidak menyangka pria ini bisa semarah begini.“Maaf, Mila. Aku hanya sedikit stres akhir-akhir ini,” ujarnya beberapa saat setelah melihatku ketakutan. Kemudian dia mendorong kursinya ke belakang dengan sedikit kasar dan berkata, “Kalau sudah selesai kita balik!”Perasaan cemas menguasaiku.Namun kukondisikan mentalku dengan banyak berdoa. Agar pria ini tidak mulai bertindak gila.Aku pun bangkit dan mengikutinya.‘Sabar dan kendalikan sikapmu, Mila! Pria ini bisa saja melukaimu,’ batinku terus mengingatkan diri ini.Kutoleh ke kanan dan ke kiri, sesaat berpikir untuk kabur saja dari Ramzi.Tapi Ramzi mengatakan sendiri, anak buahnya banyak.Aku tidak mau membuat diriku dalam masalah.Pikiranku sudah k
Aku segera masuk ke kamarku dan mengunci pintunya.Kurogoh tasku untuk mengeluarkan benda pipih itu. Sepertinya low baterai jadi tidak bisa diaktifkan.Bergegas aku mencari kabel data untuk mengisi baterai ponselku.Untungnya di laci riasku ada kabel yang bisa digunakan untuk menyambungkan ponselku dengan listrik.Rasanya tidak sabar ingin mengaktifkan ponsel itu dan segera bisa menghubungi Ed lagi.Kutahan diriku agar sedikit bersabar setelah berkali-kali mencoba mengaktifkan benda itu tapi belum berhasil juga.Ternyata baterainya baru 1% dan aku sudah terus mencoba mengaktifkannya. Tentu saja ponselnya belum mau diaktifkan.Sembari menunggu, aku mengambil botol air minum di meja dan langsung meneguknya. Lumayan bisa membuatku lebih tenang.Kuelus perutku untuk membantu merilekskan seluruh ketegangan yang kurasakan.Di dalam sini ada Ed kecilku. Mungkin mengajaknya bicara membuatku lebih baik.Ingat pesan Dokter Hartono, aku tidak boleh stres dan tertekan. Itu sangat berpengaruh terh
“Maaf, kalau sudah tidak ada yang disampaikan saya izin menutup panggilan.” Ririn menggugah keterkejutanku. Tekadku melorot hanya karena mendengar wanita yang biasanya sangat sopan dan ramah padaku itu kini bersikap asing.Apa mereka sudah tahu permasalahan kami sehingga dalam pendangan mereka aku sudah bukan istri Ed lagi?Ah. Bukan waktunya untuk memanjakan perasaan. Aku belum tahu di mana neneknya Ed akan dimakamkan. “Maaf, Mbak Ririn. Apakah nenek akan di makamkan di New York?” tanyaku menahan wanita itu dalam panggilan.“Tidak. Beliau akan dimakamkan di Jakarta bersanding dengan mendiang suaminya dan orang tua Tuan Edward.”“Oh, jadi kapan itu dan di mana tempatnya?” kupaksakan bertanya hal itu karena sama sekali tidak tahu apa-apa tentang keluarga Ed.Ririn tidak menyahut, lalu sebentar kemudian dia meminta maaf harus menutup panggilan karena ada panggilan lain yang mendesak.Aku sedih tidak bisa mengetahui lebih banyak. Sedih juga karena tidak bisa tersambung pada Ed.Walau
“Sel, apa Indra juga tahu saat ini Ed sedang berduka karena neneknya meninggal dunia?”Kalau Indra juga tahu hal ini, setidaknya aku bisa memintainya tolong untuk meminta sepupunya itu mengantarku ke pemakaman nenek Ed.Bukankah statusku masih istri tuannya, Ed juga pasti tidak keberatan kalau aku ikut datang kepemakaman neneknya.“Oh, kami tidak tahu hal itu, Mila. Meski dia sepupu orang yang dekat dengan Bosnya, belum tentu semua hal tentang Bosnya bisa diketahui Indra.” Sella juga tampak terkejut mendengar Ed sedang berduka.“Kasihan sekali suamiku itu, Sel. Belum selesai masalah yang menimpanya dan sekarang harus dirundung duka,” ujarku yang jadi memikirkan Ed.“Jadi kalian sudah menyelesaikan salah paham?” tanya Sella teringat hal yang membuatku sampai harus keluar rumah waktu itu.“Kau benar, Sel. Dia ternyata dijebak.”“Oh, mudah-mudahn setelah ini kalian menyelesaikan kesalahpahaman.”“Masalahnya aku tidak bisa menghubunginya, Sel. Ada banyak hal yang terjadi padaku dalam ming
Tidak sampai dua jam perjalanan dengan pesawat terbang aku bersama sepupu Sella sudah menginjakan kaki di bandara Soekarno-Hatta.Pria yang bernama Dendi itu dengan sopan menanyakan apakah aku ambil rehat atau langsung ke tempat tujuan.Karena kabarnya jenazah nenek Ed akan segera dimakamkan, aku inginnya langsung saja sekalian mengikuti proses pemakaman nenek Ed.“Sepertinya pemakaman nyonya besar bersifat tertutup dengan pengawalan yang ketat. Saya tidak bisa memastikan apakah kita bisa masuk ke area makam keluarga itu.”“Oh, benarkah?” ujarku sedikit kecewa.“Kita lihat nanti saja, Nyonya. Biar saya hubungi Pak Sam untuk menanyakannya.” Dendi segera mengambil ponselnya. Selesai menghubungi seseorang, tiba-tiba Dendi menyampaikan kabar tentang Sella yang baru didapatnya.Dia mengatakan bahwa orang-orang Ramzi mendatangi rumah Sella karena mencariku. Mereka hampir berbuat onar karena S