Kami sudah berada di dalam mobil karena Ramzi akan mengajakku ke suatu tempat agar kami bisa dengan leluasa berbicara.Meski sambil menyetir, sepanjang jalan Ramzi tidak berhenti menceritakan keresahannya saat aku tiba-tiba meninggalkan rumah sakit.“Ibu bilang kau ingin menenangkan diri, jadi aku percaya dan berharap kau hanya sedang butuh waktu sendiri dulu,” tukasnya sesekali melirikku yang hanya diam.“Karenanya aku tidak mencarimu dulu dan rencananya hari ini kalau kau juga belum kembali aku akan mulai mengerahkan polisi untuk mencarimu,” tambahnya, seolah menegaskan bahwa dia bisa sangat berkuasa untuk melakukan apapun yang dia mau.“Aku sungguh peduli padamu, Mila. Tidak seperti suamimu yang hanya bisa bersembunyi seperti pecundang karena takut ditangkap polisi. Dia tidak mungkin memikirkanmu. Karena memikirkan dirinya sendiri saja dia bingung.” Lagi Ramzi tidak berhenti membanggakan sikapnya.Aku belum memutuskan untuk angkat suara. Kusimpan saja energiku untuk nanti ketika ha
Pyar!Ramzi bangkit dan tiba-tiba menyeret taplak meja hingga piring dan gelas berjatuhan ke lantai.Kulihat sekilas tatapannya begitu mengerikan dan napasnya naik turun seolah ingin menghancurkan semua benda di sekitar.Aku jadi menyusut dan kakiku sudah gemetaran saja. Benar-benar tidak menyangka pria ini bisa semarah begini.“Maaf, Mila. Aku hanya sedikit stres akhir-akhir ini,” ujarnya beberapa saat setelah melihatku ketakutan. Kemudian dia mendorong kursinya ke belakang dengan sedikit kasar dan berkata, “Kalau sudah selesai kita balik!”Perasaan cemas menguasaiku.Namun kukondisikan mentalku dengan banyak berdoa. Agar pria ini tidak mulai bertindak gila.Aku pun bangkit dan mengikutinya.‘Sabar dan kendalikan sikapmu, Mila! Pria ini bisa saja melukaimu,’ batinku terus mengingatkan diri ini.Kutoleh ke kanan dan ke kiri, sesaat berpikir untuk kabur saja dari Ramzi.Tapi Ramzi mengatakan sendiri, anak buahnya banyak.Aku tidak mau membuat diriku dalam masalah.Pikiranku sudah k
Aku segera masuk ke kamarku dan mengunci pintunya.Kurogoh tasku untuk mengeluarkan benda pipih itu. Sepertinya low baterai jadi tidak bisa diaktifkan.Bergegas aku mencari kabel data untuk mengisi baterai ponselku.Untungnya di laci riasku ada kabel yang bisa digunakan untuk menyambungkan ponselku dengan listrik.Rasanya tidak sabar ingin mengaktifkan ponsel itu dan segera bisa menghubungi Ed lagi.Kutahan diriku agar sedikit bersabar setelah berkali-kali mencoba mengaktifkan benda itu tapi belum berhasil juga.Ternyata baterainya baru 1% dan aku sudah terus mencoba mengaktifkannya. Tentu saja ponselnya belum mau diaktifkan.Sembari menunggu, aku mengambil botol air minum di meja dan langsung meneguknya. Lumayan bisa membuatku lebih tenang.Kuelus perutku untuk membantu merilekskan seluruh ketegangan yang kurasakan.Di dalam sini ada Ed kecilku. Mungkin mengajaknya bicara membuatku lebih baik.Ingat pesan Dokter Hartono, aku tidak boleh stres dan tertekan. Itu sangat berpengaruh terh
“Maaf, kalau sudah tidak ada yang disampaikan saya izin menutup panggilan.” Ririn menggugah keterkejutanku. Tekadku melorot hanya karena mendengar wanita yang biasanya sangat sopan dan ramah padaku itu kini bersikap asing.Apa mereka sudah tahu permasalahan kami sehingga dalam pendangan mereka aku sudah bukan istri Ed lagi?Ah. Bukan waktunya untuk memanjakan perasaan. Aku belum tahu di mana neneknya Ed akan dimakamkan. “Maaf, Mbak Ririn. Apakah nenek akan di makamkan di New York?” tanyaku menahan wanita itu dalam panggilan.“Tidak. Beliau akan dimakamkan di Jakarta bersanding dengan mendiang suaminya dan orang tua Tuan Edward.”“Oh, jadi kapan itu dan di mana tempatnya?” kupaksakan bertanya hal itu karena sama sekali tidak tahu apa-apa tentang keluarga Ed.Ririn tidak menyahut, lalu sebentar kemudian dia meminta maaf harus menutup panggilan karena ada panggilan lain yang mendesak.Aku sedih tidak bisa mengetahui lebih banyak. Sedih juga karena tidak bisa tersambung pada Ed.Walau
“Sel, apa Indra juga tahu saat ini Ed sedang berduka karena neneknya meninggal dunia?”Kalau Indra juga tahu hal ini, setidaknya aku bisa memintainya tolong untuk meminta sepupunya itu mengantarku ke pemakaman nenek Ed.Bukankah statusku masih istri tuannya, Ed juga pasti tidak keberatan kalau aku ikut datang kepemakaman neneknya.“Oh, kami tidak tahu hal itu, Mila. Meski dia sepupu orang yang dekat dengan Bosnya, belum tentu semua hal tentang Bosnya bisa diketahui Indra.” Sella juga tampak terkejut mendengar Ed sedang berduka.“Kasihan sekali suamiku itu, Sel. Belum selesai masalah yang menimpanya dan sekarang harus dirundung duka,” ujarku yang jadi memikirkan Ed.“Jadi kalian sudah menyelesaikan salah paham?” tanya Sella teringat hal yang membuatku sampai harus keluar rumah waktu itu.“Kau benar, Sel. Dia ternyata dijebak.”“Oh, mudah-mudahn setelah ini kalian menyelesaikan kesalahpahaman.”“Masalahnya aku tidak bisa menghubunginya, Sel. Ada banyak hal yang terjadi padaku dalam ming
Tidak sampai dua jam perjalanan dengan pesawat terbang aku bersama sepupu Sella sudah menginjakan kaki di bandara Soekarno-Hatta.Pria yang bernama Dendi itu dengan sopan menanyakan apakah aku ambil rehat atau langsung ke tempat tujuan.Karena kabarnya jenazah nenek Ed akan segera dimakamkan, aku inginnya langsung saja sekalian mengikuti proses pemakaman nenek Ed.“Sepertinya pemakaman nyonya besar bersifat tertutup dengan pengawalan yang ketat. Saya tidak bisa memastikan apakah kita bisa masuk ke area makam keluarga itu.”“Oh, benarkah?” ujarku sedikit kecewa.“Kita lihat nanti saja, Nyonya. Biar saya hubungi Pak Sam untuk menanyakannya.” Dendi segera mengambil ponselnya. Selesai menghubungi seseorang, tiba-tiba Dendi menyampaikan kabar tentang Sella yang baru didapatnya.Dia mengatakan bahwa orang-orang Ramzi mendatangi rumah Sella karena mencariku. Mereka hampir berbuat onar karena S
“Aku sedih saat mendengar Ed dilaporkan tentang Tania yang bunuh diri itu.”Mengingat tentang Tania aku jadi sekalian ingin membahasnya. Mumpung mobil jemputan kami belum datang.Dendi yang mendengar pertanyaanku hanya mengedikan pundaknya.“Mungkin tuan punya rencana sendiri menggapa tidak bertindak saat Ramzi melaporkannya sebagai penyebab wanita itu bunuh diri.”Oh, jadi berita Ed dilaporkan tentang dugaan terlibatnya atas kasus Tania yang bunuh diri itu benar?Apa itu artinya Ed sudah mengenal Tania sejak awal?Aku sungguh mulai merasa sangat bodoh karena tidak tahu apa-apa tentang semua orang di sekitarku. Padahal mereka adalah orang-orang yang dekat denganku.Sudahlah. Aku tidak ingin banyak menduga lagi. Tujuanku datang ke sini untuk menemui suamiku. Aku tidak mau hanya karena sedikit hal yang
“Nyonya?” suara itu mengusik lamunan indahku.Aku berbalik badan dan melihat Sam sudah berdiri di sana.Tidak salah, pria itu memang sopir yang pernah mengantar jemput ibuku.Dia juga sopir yang pagi-pagi datang ke rumah dengan alasan mengambil kekurangan upah menyupirnya padahal Ed yang memintanya mengechek keadaanku.Sekilas memori itu membuatku merasa sedikit lucu. Dalam ketidak tahuanku, Ed sudah melibatkan banyak orang untuk ikut berdrama demi bisa bersamaku. Membuatku semakin tidak tahan untuk bertemu dengannya. “Di mana suamiku?” Aku langsung menanyakan tentang Ed.“Mohon maaf, Tuan Edward begitu lelah dan masih dalam perasaan berduka yang dalam. Jadi belum bisa menemui Anda saat ini.”Mendengar kata-kata itu hatiku yang sudah berbunga-bunga tadi seketika mencelos dan tertarik jatuh.Tidak ada yang salah dengan kata-kata itu. Bahwa Ed sedang lelah dan sangat berduka. Tapi entahlah, mengapa aku yang mendengarnya bisa merasa terluka begini.Yang kutangkap dari kata itu seolah