Aku tidak tahu Jam berapa Ed pulang, karena sebelum aku terlelap, ranjang disampingku kosong dan saat membuka mata, aku sudah melihatnya tertidur pulas di sampingku.
“Jam berapa sudah di rumah?” tanyaku saat Ed terusik ketika aku menarik diri dari pelukannya.
Ed tidak menjawab.
Masih mengantuk tapi Ed mencoba membuka matanya lalu menarikku kembali ke pelukannya.
Aku hanya terdiam sembari mendengarkan detak jantungnya di telingaku yang menempel di dadanya.
“Ed sudah siang, lepaskan aku.” Kuusik kembali setelah beberapa saat hanya menjadi pendengar napas halusnya itu.
Ed baru membuka lengannya dariku dan membiarkanku beranjak sementara dirinya malah memeluk bantal, membalikan tubuh ke sisi lainnya, dan melanjutkan tidurnya.
Mungkin Ed baru datang dan masih mengantuk.
Hingga aku selesai sholat subuh sendirian, Ed masih juga tertidur. Tidak ingin suamiku melewatkan kewajibannya kubangunkan dia dengan lembut.
Kubuka kimonoku dan menyisakan baju dalamannya agar tidak ribet saat memandikan anak-anak.Ed sudah kuminta tidak perlu ikut memandikan anak-anak. Agar mereka menurut padaku dan tidak berlama-lama bermain-main saat mandi.Sebenarnya itu hanya alasanku saja, agar pria itu tidak berlanjut meminta macam-macam pagi ini.Bukannya tidak mau melayaninya, aku harus ke kantor dan tidak mau telat saja karena harus menyempatkan waktu untuk memenuhi kewajibanku.Belum lagi anak-anak yang terkadang rewel saat sarapan dan ingin disuapi olehku. Itu sudah menyita waktu lagi.Lagian, salah sendiri. Semalam dia tidak pulang. Jadi tidak ada jatah untuk pagi ini. “Sudah harum anak-anak mama. Minta pakaikan baju sama sus, ya?” tukasku membungkus tubuh si kembar dengan handuk dan menyerahkan pada pengasuh mereka.Tidak perlu segan walau hanya memakai dalaman kimono di depan pengasuh anak-anak. Toh mereka juga
Setelah libur panjang dari kerja karena Ed yang merumahkanku, membuatku tidak sabar kembali berjibaku dengan pekerjaan di kantor.Sepanjang lima tahun terakhir ini aku memang hampir tidak pernah mengambil cuti panjang. Jadi diskorsing dua minggu saja sudah membuatku bosan sekali di rumah.Apalagi anak-anak sekarang sudah sibuk dengan dunia mainnya sendiri-sendiri. Mereka hanya membutuhkanku disebagian kecil waktunya saja.“Kalau kembar memang begitu. Sejak lahir sudah ada temannya jadi mau ditinggal mama papanya mereka masih nyaman saja karena berdua. Apalagi kan di rumah ada neneknya.” Tika yang siang ini ke kantin bareng mengomentari si kembar saat kuceritakan tentang mereka.Dia juga punya keponakan kembar, jadi sedikit banyak tahu tentang anak kembar. Bahkan darinya juga aku sering meminta tips kalau kebetulan si kembar rewel.Aneh memang, Tika bahkan belum menikah dan tidak punya anak. Tapi selalu bisa kasih solusi kalau aku bertanya.“Aku sekarang tinggal sama orang tuaku lagi.”
Bisa-bisanya Ed sudah mengancamku di hari pertama aku bekerja.Itu memang tujuan hidupnya. Mempensiunkan aku dari pekerjaan. Tidak berdaya kalau harus memaksaku, jadinya menggunakan alasan job description pekerjaan untuk bisa memberhentikanku lagi.“Maaf, Tuan. Aku lupa tentang tugasku. Ada yang perlu aku kerjakan?” ujarku menghampiri kursi kerja Ed dan berdiri di belakang untuk memijit pundaknya.Tidak perlu berdebat, karena Ed pasti akan mengalahkanku dengan segala pasal keprofesionalan. Jadinya mending merayunya saja seperti sekretaris-sekretaris yang genit pada big bosnya. Amit-amit. Mudah-mudahan tidak ada sekretaris genit yang mengoda suamiku. Sekuat-kuatnya iman kalau terus dirongrong dan dipancing bisa saja menggoyahkan pertahanan kaum pria. Walau Ed pernah bilang tidak pernah tergoda bahkan selama lima tahun ini.“Kau pasti berpikir apa pernah ada wanita yang memijitku di ruang kerjaku ‘kan?” tanya Ed tiba-tiba membuatku menghentikan pijitanku karena tebakannya benar.“B
Apa tadi?Berbagi suami katanya?“Kenapa aku harus berbagi suami?” tanyaku menatapnya sejurus sebagai efek keterkejutanku. Wanita yang dipanggil Kak Lisa oleh Ed itu memperhatikan ekspresiku yang bereaksi terlihat menolak dengan kata-katanya.“Ed mengatakan kau wanita yang penuh pengertian, tapi ternyata aku tidak menemukan sama sekali hal itu dalam dirimu.” Kak Lisa mulai terlihat dingin padaku.“Buta kalau ternyata Edward begitu saja meninggalkan Jessica hanya karena wanita yang sudah menghianatinya!”“Tidak, Kak. Aku tidak...” tadinya ingin menjelaskan tentang kesalahpahaman yang masih terus didengungkan ini, namun sahutan wanita ini membuat kata-kataku terpotong.“Diam, kau!” bentak Kak Lisa dengan tatapan memendam kemarahan. Ternyata dia juga sama emosionalnya dengan Jessica.Sebenarnya aku terkejut dan tersinggung dibentak begitu oleh orang yang baru juga bertemu denganku ini.Walau dia seperti Jessica yang selalu mengiraku sebagai seorang penghianat dan datang kembali seenak
[Ed aku cari minum, aku tinggal ke kantin dulu, ya?] kutuliskan pesan pada Ed kemudian berjingkat melangkahkan kaki mencari kantin.Hingga sampai di kantin dan kuhabiskan setengah botol tanggung air mineral, bunyi nada pesan baru kudengar.[Masih di kantin? Aku ke sana sekarang, ya?] pesan Ed kubaca.Kubalas dengan mengetikan kata [Iya],Lalu menungunya lumayan lama di kantin itu tapi dia belum juga nampak datang.Bukankah Ed tadi mengatakan akan segera menyusul ke kantin? Tapi kenapa belum juga nampak? Apa di rumah sakit ini ada kantin yang lain?Meski hatiku bercelaru dengan banyak hal hingga membuat bernapaspun sesak rasanya. Aku mencoba tidak mudah untuk berpikir negatif dan terbawa perasaan.Kudahulukan sisi kemanusiaan dan rasa simpati atas penderitaan orang lain. Apalagi orang itu yang selama lima tahun ini ada menemani Ed di saat aku tidak bersamanya.Ucapan Kak Lisa tadi sontak mengacaukan lagi perasaanku.Kalau dihitung-hitung, masa kebersamaanku dengan Ed sejak kami menikah
“Meida mau tidur di kamar mama dan papa saja!” Rengek anak perempuanku menolak saat kutidurkan di kamarnya sendiri.Karenanya, aku langsung membawanya ke kamarku saja agar tidak malah lebih rewel. Badannya hangat dan Meida tidak berhenti menanyakan kapan papanya pulang. Sementara aku juga tidak tahu apa Ed akan pulang malam ini atau tidak?Hatiku sebenarnya sedih dan meradang semenjak tadi, tapi belum bisa merasainya karena Meida yang rewel.Kalau sudah begini, tak guna pengasuh bahkan ibuku sendiri yang sejak lama merawatnya. Butuh kesabaran lebih menghadapi Meida yang merajuk.“Sekarang sudah di kamar mama, kan? Tutup matanya ya putri mama yang cantik.” Kuusap rambut kepala Meida dengan lembut agar dia bisa tertidur. Sesore tadi dia menangis, apa tidak lelah?“Tunggu papa dulu ya, Ma. Meida mau bilang tadi jatuh dari kuda.” Meida masih menahan kantuk dan lelahnya demi mau mengadukan apa yang sudah menimpanya.“Iya, nanti mama bilangin sama papa kalau Meida jatuh pas mau naik kuda,”
“Kau menangis?” tanya Ed membelai pipiku yang masih terasa sedikit basah oleh sisa air mata. Sorot matanya terlihat begitu bersalah melihatku bersedih begini.“Tidak apa, kok. Kau baru datang?” Kutarik telapak tangannya dari pipiku dan tidak tega saja membuatnya yang baru datang selarut ini masih juga disuguhi keluhanku.“Iya, maaf aku tidak melihat pesan dan panggilan-panggilanmu. Apa ada yang serius dengan Meida?” tanyanya lagi cemas.“Tidak apa, Ed. Meida hanya lecet. Hanya saja dia begitu rewel tadi karena mencarimu. Untungnya bisa kubujuk juga dia untuk tidur. Tapi mintanya tidur di sini agar nanti saat kau datang bisa langsung bertemu denganmu.” Kusampaikan hal itu padanya agar besok ketika bangun Ed tidak terkejut kalau putrinya itu langsung menohoknya dengan aduan-aduannya.Ed tidak berkata apa-apa langsung menarik tubuhku untuk dipeluknya.“Tadinya aku langsung mau menyusulmu ke kantin, tapi mendadak Jessica mengeluhkan nyeri sekujur tubuhnya. Dia bahkan meronta-ronta tanpa t
“Kau tidak mau tidur bersamaku?” tatapan Ed meredup.Selarut ini baru pulang sementara mengabaikan istri dan anaknya, suamiku itu tidak enak sendiri dan sudah berpikir aku marah padanya.Apalagi dia paham betul bagaimana wanita ini kalau sedang cemburu. “Ah, tidak apa, Ed. Tidurlah dulu, aku harus ke toilet sebentar,” ujarku mengulas senyum agar Ed tidak resah.Namun masih tidak percaya, Ed menarik lenganku hingga tubuhku tertarik ke pangkuannya. “Jangan membuatku gelisah begini, Mila. Kau marah?”Aku hanya tersenyum dan membingkai wajah tampannya. Kucium bibirnya lalu perlahan wajahnya berubah tenang.“Tidak, suamiku. Aku kebelet!” bisikku dan kucium lagi bibirnya sebagai penandas bahwa aku tidak sedang marah.Ed terkekeh mendengar ucapanku. Baru kemudian dia melepasku pergi ke toilet.Tercenung beberapa saat di kamar mandi sembari menatap pantulan bayangku sendiri di cermin wastafel itu, perasaaanku kembali terusik.Aku ini munafik sekali. Meski tidak mempermasalahkannya, bayan