Perasaanku lega mengetahui kondisi ibuku sudah berangsur membaik.Kalau tahu begini, aku jadi tidak terlalu kepikiran lagi.Ed mengajakku ke sebuah tempat untuk menemui anak-anak. Aku heran saja. Ini bukan hotel tempatnya menginap. Melainkan sebuah vila. Dan aku tahu, lokasi tempat ini tidak jauh dari tempat proyek resort perusahaan di bangun.“Anak-anak di sini?” tanyaku membuntutinya masuk.“Iya,” ujarnya menggandeng tanganku untuk segera masuk.Melihat dua bocah kembar itu sedang berenang-renang dengan berteriak-teriak kesenangan, aku hanya menggeleng. Ed juga sudah meminta beberapa orang untuk mengawasi anak-anak. Dua diantaranya perempuan.“Sudah sore ini, ayo selesai!” panggilku pada mereka.“Mama?!” Meida terlihat senang melihatku datang.“Ayo, Ma. Ikut renang!” Gala malah memintaku ikut nyemplung.“Papa juga ayo renang!” Meida menyahut.Dua bocah itu sepertinya kompak ingin kami ikut nyemplung di kolam.“Tidak, Sayang. Ini sudah sore. Sebentar lagi mal--” aku tidak sempat m
Kutatap Ed saat mengatakannya dengan tanpa beban.Tetiba perasaanku menjadi terluka karena kata-kata itu terucap begitu saja dari bibirnya. Padahal aku sendiri yang memintanya bersikap agar bisa memikirkan haknya yang akan diambil Jessica jika dia tidak menikahinya.“Kalau kau memang mau melakukannya, nikahi saja dia!” kukatakan itu tanpa bisa menyembunyikan kesalku. Lalu berbalik badan memunggunginya.Kudengar Ed malah tertawa. Dan itu mengesalkan sekali.“Lha kok ngambek? Aku sudah bilang kalau aku akan memilihmu dan anak-anak daripada harus menikahi Jessica. Kamu yang masih tidak terima saja, kan?” Ed menarik bahuku tapi aku menolaknyaSungguh memalukan aku ini. Sok-sokan menantangnya untuk memikirkan haknya, begitu Ed membalikan pertanyaan, apa aku memintanya menikahi Jessica, aku malah kesal.“Yang penting bagiku saat ini hanya kamu dan anak-anak, Sayang. Kemarin duniaku hanyalah kehampaan
Aku terbangun dengan terkejut melihat jam digital di nakas menunjukan pukul 09.00 dan matahari sudah bersinar cerah dari balik gorden jendela.Jam segini seharusnya anak-anak sudah berangkat sekolah dan aku sendiri sudah di kantor.Karena bingung harus bagaimana, jadinya aku keluar kamar dulu untuk mencari anak-anakku. mudah-mudahan Ed sudah mengurus mereka dan aku tinggal berangkat ke kantor. Biar nanti aku cari alasan keterlambatanku pada Rafael.Ada Sam di sana, dan kuharap dia bisa membantuku memberikan alasan pada Rafael.Oh. Aku hampir lupa belum membahas hal ini semalam dengan Ed. Tentang Sam yang akan dilepasnya. Kuharap Ed bisa memikirkan kembali keputusannya.Setelah mengeluarkan unek-unek yang tertahan di dadaku lima tahun ini, semuanya sudah terasa plong sekarang. Aku tidak ingin lagi mengusik hari-hari kami selanjutnya dengan masih memendam dendam dan benci. Yang terpenting saat ini adalah aku sudah mendapatkan suamiku, dan anak-anak j
“Sudah selesai menelponnya, Ed?” tanyaku tanpa mengusik nama Jessy.“Iya, sudah,” ujarnya seperti biasa tidak mencoba menjelaskan sesuatu lagi. Selalu begitu dan membuatku kesal.Kutunggu dia mengatakan sesuatu tapi tidak juga dia mencoba mengatakan apapun.Inginnya aku menanyakan tentang mengapa wanita itu mencarinya, tapi segan saja.Walau sudah kusepakati tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kami dengan saling terbuka dalam hal apapun itu, nyatanya aku tidak mungkin se-bar-bar dengan memaksanya mengatakan semua hal kepadaku.“Kita menjemput ibu jam berapa?” tanyaku lebih memilih mengingatkan tentang rencana menjemput ibu.“Kalau sudah siap kita ke rumah sakit sekarang,” tukasnya menghampiriku. Mungkin tahu raut wajahku yang muram melihatnya pergi mengangkat panggilan Jessica tadi, Ed memeluk dan mencium puncak kepalaku.“Anak-anak boleh tidak masuk ke rumah sak
“Sebenarnya aku lebih nyaman di rumah sendiri, Mila. Tapi kalau ibu memilih di rumah, kau dan anak-anak pasti ikut ke rumah. Dan suamimu akan ikut juga. Kasihan dia kalau harus tinggal di rumah kita yang kecil,” ujar ibu saat kubantu beristirahat di tempat tidur. Ed langsung membawa kami ke vilanya setelah menjemput ibu dari rumah sakit tadi.“Suasana di sini lebih nyaman, Bu. Ibu juga tidak perlu dengar orang-orang bergunjing tetang kita. Biar tidak kepikitan terus. Nanti kalau ibu sudah sehat, kita pulang ke rumah, ya?” bujukku padanya. Kuingatkan juga bahwa sebelum dia jatuh sakit ibu pasti stres mendegar ocehan tetangga.“Kata Lilis, Erna sudah pindah, Mila. Sudah tidak ada yang mengusik kamu lagi. Kalau Rosita, dia hanya beraninya karena ada teman. Setelah ini Rosita pasti sudah tidak punya taring.” Ibu ternyata tahu tentang tetangga depan rumahku yang pindah mendadak itu.“Kupikir ibu belum tahu hal itu,” tukasku mendengar ibu membicarakan Erna.Pasti ibu selama ini juga merasa
“Mila?!” Rafael mengejutkanku dari belakang.“Oh, iya, Pak. Saya langsung datang begitu mendapat pesan dari Anda,” ucapku pada Rafael. Kulihat di tangannya ada dua minuman hangat.“Oh. Baiklah kalau begitu. Aku antar minuman ini ke dalam untuk Tuan Edward dan Nona Jessica. Kau tunggulah aku di ruang sebelah. Setelah ini kita akan sama-sama survey pembangunan lagi.”“Pak Rafael, izinkan saya yang membawakannya. Saya jadi tidak enak harusnya itu tugas saya.” Kuambil dua gelas plastik yang ada di tangan Rafael dan dia nampak tidak keberatan.“Terima kasih, Mila,” ujar Rafael yag merasa bebannya berkurang.Setelah melihatnya berlalu ke ruang sebelah, aku menghela napas panjang dan menyiapkan mental untuk masuk ke ruangan itu.Entahlah. Pengen saja melihat bagaimana reaksi Ed melihatku yang datang membawakan minuman mereka.Kesal juga mengapa dia pergi pun tidak bilang kalau akan menemui Jessica di tempat ini.Apa selama ini tidak cukup kesalahpahaman yang membuat kami harus sebegininya men
“Dari mana saja tadi baru sampai di proyek?” suara Ed terdengar ketika aku kembali ke mobil untuk mengambil sesuatu sementara Rafael masih sibuk bersama mandor dan beberapa pekerja. “Oh. Kau di sini?” tanyaku setengah terkejut ternyata pria ini juga ke tempat proyek.“Sudah setengah jam sebelum kalian datang,” tukas Ed tampak kesal.Kenapa jadi dia yang kesal?Siapa juga yang minta dia lebih dulu ke proyek? Ini tugasku dan Rafael, bukan tugas seorang big bos sepertinya.Bisa jadi setelah aku memergokinya bersama Jessica di ruangan tadi, Ed tidak enak dan ingin menjelaskan padaku. Mengiraku sudah berangkat lebih dulu ke proyek bersama Rafael pria ini pasti berniat segera menyusul. Ternyata kami baru sampai tiga puluh menit setelahnya.“Tidak perlu ikut datang ke proyek, biar Rafael yang kerjakan!” Ed mencari perhatianku yang mengabaikannya.“Pak Rafael butuh bantuan, sebagai pegawai yang baik aku tentu membantunya ‘kan?”“Mila, letakan itu dan ikut aku pulang.” Ed menarik lengank
“Anda lihat ‘kan aku tidak melakukan apa-apa, dan wanita itu sudah mengiraku yang menggoda Tuan Edward.”“Yang kau panggil wanita itu adalah Nona Jessica, Mila. Panggil dia dengan sebutan Nona Jessica.” Rafael tidak menanggapi ucapanku justru mengoreksi caraku memanggil Jessica.Aku mendegus dan baru ingat, pria ini kan teman baiknya Jessica. Tentu akan selalu membelanya. Apalagi dia bisa menjadi asisten Ed karena jasa Jessica juga.Oh. Pintar sekali Jessica menjadikan teman baiknya sebagai asisten Ed. Pasti misinya agar Rafael bisa mengawasi Ed untuknya.Untungnya kulihat Ed tidak terlalu mempercayakan segala urusan pada Rafael. Buktinya, saat dia menghilang sekalipun, Rafael sendiri tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, sepertinya aku mulai kehilangan penilain baikku pada Rafael. “Kalau kau sakit baiknya kau istirahat saja.” Rafael kembali mengingatkanku. Dia pasti takut tuannya marah-marah padanya karena membiarkanku tetap bekerja.“Tidak apa, Pak Rafael. Aku masih bisa
“Kalau bisa, kujambak sekalian saja rambutnya!” ujarku yang masih kesal sementara Ed hanya tertawa saja.“Ngapain juga sih masih kunjungin wanita seperti itu?”“Iya, sabar, buk!” Sambil menyetir Ed masih terkekeh.Kami segera sampai disebuah bangunan yang megah sekali. Sebuah gereja berkubah yang tampak sangat agung. Ed tadi bilang ini Katredal Monreale.“Kalau sudah hilang kesalnya kita masuk?” Ed melihat raut wajahku yang masih ketarik itu.“Belum. Aku mau duduk sebentar dan kau harus menjawab pertanyaanku dengan baik. Jadi kalau sampai aku bertanya pada orang lain, itu karena kau yang pelit sekali informasi tentang kelurgamu, Ed!” sekalian kukeluarkan kesalku agar nanti tinggal bersenang-senang melihat katredal yang terkenal itu.“Baik, Sayang.” Dengan sabar Ed mendengarku. “Bukankah hubunganmu dengan Erik tidak begitu baik? Tapi kulihat tadi kau juga begitu mengenal istri Erik?” aku tahunya Ed dan Erik sudah berpisah sejak mereka masih remaja. “Tidak baik bukan berarti aku tid
Kami tiba di sebuah rumah besar dan mewah setelah Ed mengajakku menemui lawyernya Erik.Setelah mendapat pengarahan, Ed sekalian mengajakku ke rumah ini. Tadi dia juga sudah menghubungi seseorang untuk menyampaikan akan datang. Mungkin itu istri Erik.Ah, bukan. Pengacara Erik tadi bilang berkas perceraian Erik sudah disetujui. Jadi mereka bukan lagi suami istri.“Ini masih di kota yang sama?” tanyaku padanya sembari menunggu orang yang dihubunginya keluar rumah.“Bukan, ini Monreale. Hotel kita tadi di Palermo,” jawab Ed.Aku yang tidak banyak tahu hanya mengangguk-angguk saja. Bagaimana bisa tahu, ini saja pegalaman pertamaku ke luar negri.“Kalau tadi anak-anak mau ikut, kita bisa berkunjung ke Katredal Monreale sekalian. Tidak jauh kok dari sini.” Ed memberitahu tentang salah satu destinasi tempat yang rekomended di kunjungi.“Ada apa saja di sana?”“Aku tidak bisa banyak menjelaskan, nantilah kalau kau mau kita mampir sebentar.”Aku mempertimbangkan. Nantilah lihat situasinya dul
Palermo, Italy..Gala tak berhenti menanyai papanya yang sudah terkantuk-kantuk itu setelah sebentar tadi kami berjalan-jalan di sekitaran kota Palermo.Dia tidak terima karena tidak mendapati salju di kota ini.“Lalu buat apa mama bawa baju tebal yang banyak kalau kita tidak mendapati salju, Pa?” tukasnya mengguncang bahu papanya yang sudah ingin rebahan.“Mungkin sekarang belum musim salju, Gal. Kasihan papa capek, seharian ngantar kita jalan-jalan. Padahal kita baru datang tadi malam.” Meida menyingkirkan tangan Gala agar tidak mengusik cinta pertamanya. Dengan lembut gadis kecilku itu menyelimuti sang papa dan menciumi pipinya.“Kau bodoh, ya? Ini bulan November. Sudah menjelang Desember. Sudah masuk musim dingin, lah. Jadi harusya sudah ada salju.”“Jangan bilang bodoh. Itu tidak boleh Gala. Kau kasar sekali pada wanita!” Meida memarahi saudaranya yang mengatai bodoh.Aku yang sedang sibuk mengolesi wajahku dengan pelembab hanya memutar bola mata, lalu melirik mereka yang masi
Keesokan harinya, rumah sedikit sibuk. Ibu dan Mbak Lilis menyiapkan banyak hidangan dibantu beberapa pelayan yang lain. Ada juga yang sudah menata meja makan dan beberapa kursi di halaman.Hari apa ini?Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal karena benar-benar tidak tahu akan ada acara apa?“Memangnya mau ada apa, Bu?” tanyaku dengan suara bantalku. Aku sedang halangan, jadi tidurnya bablas tanpa sholat subuh. Ed pun sengaja tidak membangunkanku.“Ya Allah, kamu ini sudah ibu-ibu lho, anaknya saja sudah bangun sejak tadi malah emaknya molor.” Bukannya menjawab, Ibu malah mengomeliku.“Ya habis enggak dibangunin sama menantu ibu itu. Harusnya ibu marahin tuh menantunya, jangan aku yang dimarahi!” Dengan seenak jidatku kulempar kesalahan pada Ed.Mumpung dia juga tidak ada. Karena kalau sudah kulempar kesalahan padanya, ibu tentu tidak akan mau memarahi mantu kesayangannya itu.Tapi, kemana dia? Tumben pergi tanpa bangunin aku untuk kasih tahu. Anak-anak juga tidak ada.“Mereka
“Mila?” Tante Atika menyenggolku membuatku terkejut bukan main. Bahkan hampir menjatuhkan nampan yang aku bawa. Untung gerakan reflekku masih bagus. Tante Atika pasti heran mengapa aku tidak menyuguhkan kue yang sudah kubawa, malah hanya berdiri membeku di balik jendela. “Kenapa enggak dibawa keluar? Malah bengong depan pintu. Awas ada setan lewat, lho!” tegurnya.“Apaan sih, Tante. Jadi kayak ibu saja, dikit-dikit kasih mitos begituan.”Tante Atika terkekeh. Aku orangnya parnoan. Walau tidak percaya dengan hal-hal begituan, tapi tetap saja aku jadi takut.“Ayo dibawa keluar, biar bisa diincip bapak-bapak di luar,” ujar Tante Atika mengingatkan lagi. “Hehe, iya, Tante. Ini mau keluar. Tadi paman masih bicara serius, takutnya aku malah ganggu.” Lalu kami besama keluar menghampiri suami-suami kami yang duduk di teras itu.Paman Prabowo suka memelihara binatang. Jadi banyak sangkar burung dan kucing di halaman rumah. Suara murai yang nyaring pun menjadi backsound selama obrola
“Sherin itu temanmu?” kutanya hal itu setelah kami sudah di perjalanan.Kebetulan Ed ada urusan dengan Paman Prabowo, jadi sekalian kuajak saja dia berkunjung ke rumahnya dari pada meminta orang yang lebih tua menemuinya.Mendengar nama Sherin kusebut, Ed melirikku sebentar. Kemudian tidak memberikan jawaban apapun dengan lebih fokus menyetir.Kupikir Ed tidak ingin menanggapi pertanyaanku tadi, dan aku juga sudah tidak peduli. Namun, dia akhirya mengangkat suaranya untuk bertanya balik.“Kenapa membahas dia?”“Tadi ketemu di mall, kita juga minum bareng di resto yang sama. Kau tidak melihatnya tadi?”Ed mengedikan bahunya. Sepertinya memang dia tidak melihatnya. Padahal Sherina tidak jauh dari tempat kami duduk.“Dia cerita tadi, katanya habis dari kantor dan ketemu kamu, mau nglamar pekerjaan.”“Iya, dia memang datang ke kantor tadi.” Ed membenarkannya.“Dia teman apa? Kuliah atau sekedar kenal karena dia teman Jessica? Tapi dia bilang dulu pernah menjadi teman dekatmu, lho!” kuta
Kukirim pesan pada Ed bahwa saat ini aku dan Mbak Lilis ada di pusat perbelanjaan di dekat kantornya.Ed mengirim pesan balik yang menyampaikan akan segera menyusulku.Di sana aku tidak sengaja bertemu dengan wanita yang waktu itu bersama Jessica. Seingatku namanya Sherin. Aku juga tidak lupa, dia bilang temannya Jessica.“Kau sedang berbelanja?” tanyaku basa-basi seteah dia duluan yang menyapaku.Kami duduk di resto dan mengobrol santai di sana sembari menikmati makanan yang kami pesan.“Iya, tadi aku dari kantor suamimu, mau tanya adakah lowongan pekerjaan di sana. Aku mau tinggal di Indonesia lagi saja,” ujar Sherina.Senyumnya ramah sekali. Penampilannya juga cantik dan elegan. Dia berteman dengan Jessica, pasti sedikit tahu tentangku dan Ed. Namun wanita ini masih tetap ramah. Sepertinya dia berbeda dengan Jessica.“Sebelum ini tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Di Prancis. Aku model di sana. Tapi usia semakin tua dan kalah saing dengan para model muda. Jadi sudah seharusnya aku m
Gala dan Meida senangnya minta ampun ketika papanya bilang minggu depan akan mengajak mereka jalan-jalan ke luar negri. Padahal libur sekolah masih sebulanan. Tapi Ed tidak mempermasalahkan hal itu.“Jangan terlalu keras, mereka masih TK. Enggak masalah juga,” ujarnya saat kuingatkan tentang jadwal sekolah mereka.“Takutnya sekolah tidak memberi izin, Sayang,” ujarku memberi alasan.“Anak-anak aku sendiri, ngapain juga minta izin?” tukasnya tidak begitu memikirkan hal ini.“Astaga, Papa...!” tukasku menanggapinya. Mungkin dia tidak serius. Tapi, ya sudahlah. Biar nanti kumintakan izin pada pihak sekolah kalau anak-anak lebih dulu libur panjang. Tidak mungkin juga ‘kan kalau mereka tidak memberi izin. Seandainya sampai pihak sekolah tidak memberi izin, baru ucapan Ed bisa dibenarkan.“Ma, nanti kita belanja jaket tebal, ya? Papa bilang sekarang sedang musim dingin di Eropa?” Meida sudah bingung sendiri dan membayangkan akan kedinginan kalau tidak punya jaket tebal.“Iya nanti kita bel
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant